Anda di halaman 1dari 23

Kota dan Harta

Perihal Jarak antara Jakarta dan Indonesia*


B. Herry-Priyono
Program Pascasarjana STF Driyarkara

Mana lebih jauh/dekat: jarak Jakarta ke Tasikmalaya, ataukah Jakarta ke Singapura?


Pertanyaan itu langsung dapat dijawab apabila yang dimaksud adalah jarak fisik/material
(material space): Jakarta-Tasikmalaya lebih dekat daripada Jakarta-Singapura. Namun
pengertian spasial material itu bukan satu-satunya cara memahami persoalan.
Dalam ilmu geografi, jawaban seperti itu juga sudah lama dilampaui. Pelampauan itu
berasal dari keragaman pengalaman atas ‘ruang’ (space). Kota Jakarta lebih dekat dengan
Tasikmalaya ketimbang dengan Singapura hanya dalam pengertian ruang kota sebagai
tata spasial absolut (absolute space). Namun jika dipahami dalam pengertian ruang relatif
(relative space) dan ruang relasional (relational space), Jakarta tidak mudah dikatakan
lebih jauh dari Singapura ketimbang dari Tasikmalaya.
Apa yang menentukan perbedaan itu? Jawaban tidak terdapat dalam letak lokasional,
tetapi pada corak kegiatan antroposentris yang terlibat dalam kaitan titik spasial kota satu
dengan lainnya. Dalam bahasa ahli geografi David Harvey, “pertanyaan seperti itu bukan
pertanyaan filosofis, melainkan pertanyaan bagaimana aneka kegiatan/praktik manusia
menentukan keanekaragaman arti ruang”.1 Dari pokok ini juga segera muncul pertanyaan
lanjut: praktik/kegiatan apa yang membuat jarak kota Jakarta ke Singapura lebih dekat
atau lebih jauh daripada ke Tasikmalaya? Sketsa kecil ini akan berfokus pada praktik dan
kegiatan yang menyangkut urusan ‘harta’ (wealth). Dari titik-berangkat itulah saya coba
menawarkan refleksi kecil mengenai Kota dan Harta.
Dalam rumusan yang sudah dilucuti dari kerumitan, sketsa ini hendak mengajukan
argumen sederhana berikut: dalam urusan ‘harta’, Jakarta cenderung makin menyurut
statusnya sebagai ibukota Indonesia dan lebih terkait dengan kota-kota global dalam tata
ekonomi-politik mondial, seperti Singapura, Hong Kong ataupun New York. Seperti akan
kita lihat nanti, pokok ini punya implikasi jauh bukan hanya bagi kehidupan ekonomi,
tetapi juga bagi tata politik, cuaca kultural, dan tata-ruang kota Jakarta.

Jakarta: Lipatan Segala Kemungkinan


Kisah Jakarta dewasa ini tentu bukan sekadar kelanjutan kisah tentang kota bernama
Batavia pada awal abad XX, apalagi kota ketika Laksamana Cornelis Matelief de Jonge
melukiskan Jacatra di tahun 1607: “Di tengah kota terdapat sungai yang bersih dengan air
yang baik; udaranya enak dan segar; tanah di sekitarnya rendah, tetapi baik dan indah”.2
Itulah abad-abad yang kemudian membawa Jakarta pertama-tama menjadi (meminjam
istilah Lefebvre) “situs sentralitas”.3 Sesudah itu berlangsung lintasan panjang sejarah
yang tidak selalu jelas kaitannya satu sama lain: dari kota politik, lalu kota dagang, kota
industrial dan kini menjadi kepungan urbanisme sebagai ‘zona kritis’ (critical zone).4

*
Disampaikan sebagai seri ke-5 dalam rangkaian Studium Generale mengenai Philosophy in the City,
Goethe Institut, Jakarta, 15 Oktober 2009.
2

Apa yang dimaksud adalah, kota telah menjadi lipatan-lipatan percampuran antara
implosi dan eksplosi bagi segala kemungkinan gejala, dari politik, dagang, industri, barter
transaksi spekulatif, sampai kriminalitas. Semua itu terjadi pada berbagai lapis lipatan
sekaligus, dari lipatan personal, inter-personal, antar-tetangga, lokal, nasional, regional,
sampai skala global. Mengenai gejala urbanisme zona kritis ini, Lefebvre menulis:

“Fase kritis ini dipahami sebagai semacam kotak hitam. Kita mengerti apa yang masuk
ke dalamnya dan kadang-kadang menyaksikan apa yang keluar dari kotak itu. Tetapi
kita tidak tahu apa yang sesungguhnya berlangsung di dalamnya. Itu membuat segala
jenis prosedur konvensional untuk meramalkan apa yang akan terjadi menjadi sia-sia”.5

Itu berarti, dari apa yang kini faktual terjadi di Jakarta, kita selalu menemui kesulitan
untuk memprediksi apa yang akan terjadi bahkan 5-10 tahun ke depan. Prediksi tentang
kualitas udara kota Jakarta dengan mudah meleset, patah dibatalkan oleh lipatan-lipatan
gejala yang berlangsung di sektor lain, seperti modus transportansi, pola pembuangan
sampah, tingkat migrasi urban, atau juga pasar kendaraan bermotor. Begitulah seterusnya,
prediksi tentang sektor tertentu mudah gagal oleh apa yang terjadi pada lipatan sektor-
sektor lain. Ringkasnya, Jakarta selalu mengelak dari ceteris paribus.
Kesulitan itu bukan perkara baru. Contohnya, dengan luas wilayah 740,28 kilometer
persegi dan penduduk 8.489.910 jiwa serta menanggung jejak kegiatan sekitar 12 juta
orang per hari, DKI Jakarta butuh ruang terbuka hijau (RTH) sekurangnya 30% dari total
wilayah. Dalam periode 1965-1985, alokasi RTH itu masih mencapai 37,2%, tetapi pada
Rencana Induk Jakarta 2000-2010 RTH itu tinggal 13,94%.6 Bagaimana mungkin death
wish itu terjadi? Tentu saja banyak faktor yang terlibat, akan tetapi salah satunya adalah
pembengkakan ruang komersial. Seperti akan ditunjukkan di bawah nanti, hanya dalam
waktu lima tahun (2000-2005), ruang komersial hipermodern meledak menjadi tiga kali
lipat. Dengan 130 supermalls (173 jika ditambahkan kota-kota satelit sekitarnya), Jakarta
mungkin menjadi kota dengan jumlah malls terbanyak di dunia.7 Laju gejala ini tentu
hanya satu dari banyak lipatan gejala, dan semuanya lolos dari kendali prediksi.
Contoh lain, dari sekitar 10.000-12.000 rumah yang dibangun di Jakarta setiap tahun,
terdapat 4.000-4.500 rumah mewah yang berdiri dengan menyalahi aturan atau tanpa
izin.8 Atau juga lipatan gejala yang terlibat dalam masalah lalu-lintas sebagai contoh lain.
Sementara tingkat perluasan jalan hanya 0,01%, kepadatan lalu-lintas Jakarta dalam lima
tahun terakhir tumbuh antara 9% sampai 11% per tahun.9 Dengan kebutuhan perjalanan
17,1 juta satuan per hari, lalu-lintas Jakarta dipadati 98% kendaraan pribadi (melayani
49,7% satuan perjalanan), sedangkan tansportasi umum hanya mencakup 2% (melayani
50,3% perjalanan). Andai kerugian dari lipatan kerumitan lalu-lintas ini dihitung dalam
rupiah, angkanya mencapai puluhan triliun rupiah setiap tahun.10
Semua contoh yang sangat hemat itu diajukan bukan pertama-tama sebagai kisah
tentang patologi moral, hanya lantaran kita senantiasa tidak suka menerima kritik bahwa
semua itu adalah hasil gaya-hidup kita. Bukankah kita selalu menemukan alasan bahwa
kita masing-masing hanyalah bagian dari pola hidup dan perilaku kawanan-hewan yang
membentuk seluruh lipatan gejala bernama ‘kota Jakarta’? Beberapa contoh statistik yang
hemat itu juga dengan mudah bisa dikoreksi, tergantung untuk kepentingan apa dan siapa.
Namun bahkan dari corak statistik yang paling konservatif sekalipun, akan segera terlihat
bagaimana kota Jakarta telah menjadi adukan gejala implosi dan eksplosi dari apa saja:
kesempitan ruang terlipat bersama penguasaan lahan lapang, mesin uang terlipat dengan
3

luasnya kemiskinan, tingkat tinggi polusi terlipat-lipat dengan kerinduan akan keutuhan
ekologi. Lalu, hidup di kota ini pada akhirnya menggantung pada beberapa kemungkinan
yang ringkih.
Dalam lipatan dengan deret masalah lain, simptomnya adalah berbagai penyakit yang
terkait dengan masalah pernafasan, yang secara langsung ditanggung 31,4% (2.81 juta)
penduduk Jakarta: demam, batuk, pilek, asma, dsb.11 Berpikir kausal mungkin merupakan
kemewahan akademik, tapi para dokter juga melihat kaitan langsung kondisi lingkungan
kota dan 1.4 juta penduduk Jakarta yang dirawat karena stress selama tahun 2007. Di RS
Jiwa Soeharto Heerdjan Grogol, Jakarta Barat, misalnya, 80-100 orang datang setiap hari
untuk memeriksakan tingkat depresi dan stress mereka.12
Juga sesudah deret penjelasan mengenai ketidakmungkinan menampung lagi para
pendatang, Jakarta tidak berhenti menjadi obyek hasrat. Minggu-minggu setelah Lebaran
2009, kota ini harus menerima sekitar 200.000 pendatang baru, naik dari 88.000 selama
pasca-Lebaran 2008, dan 128.000 pendatang baru pada pasca-Lebaran 2007.13 Mencari
penjelasan tentang alasan para pendatang baru tentu berguna, tetapi keragaman alasan itu
niscaya segera lolos dari genggaman. Barangkali terlalu miskin, tapi jawaban yang paling
mungkin: “Sebab Jakarta adalah kemungkinan yang tak pernah padam”. Kemungkinan
yang tak pernah padam!
Itu juga menunjukkan bahwa beberapa contoh hemat yang kedengaran buram di atas
bukan satu-satunya kemungkinan tentang Jakarta. Kota Jakarta juga merupakan lanskap
kemungkinan berbagai daya harapan dan vitalitas. Justru lantaran kota ini berdiri di atas
lipatan segala kemungkinan, dan karena kaitan antara gejala satu dengan yang lain berisi
relasi ‘mendukung’ sekaligus ‘membatalkan’, kemiskinan akut juga bersanding dengan
kekayaan melimpah, destruksi terlipat bersama inovasi, inklusi terjadi bersama eksklusi,
atau pathos kematian bergulung bersama libido kehidupan. Sebagai tata hidup material,
Harvey menunjuk gejala itu sebagai “proses akumulasi melalui perlucutan harta” yang
berlangsung di kota-kota global.14
Bahkan dapat dikatakan, pada celah-celah berbagai kontradiksi ini terletak sumber
yang tidak pernah habis bagi hidup berkelimpahan maupun hidup untuk sekadar survival.
Itulah mengapa setiap usai Lebaran, para pendatang baru ke Jakarta seperti bersatu dalam
agenda: “Mencari kerja? Jakarta menyediakan semuanya!”15 Sekitar 38% peredaran uang
di Indonesia terkonsentrasi di Jakarta,16 dan dalam tangga mobilitas sosial di negeri ini,
Jakarta merupakan situs puncak untuk segala jenis ambisi, dari politik sampai ekonomi,
dari status sampai selebritas. Mungkin soalnya bukan karena kota-kota lain di Indonesia
tidak menyediakan semua itu, tetapi karena di Jakarta rentangan kemungkinan itu tak
pernah punya batas. Di Jakarta, ketinggian mimpi tak pernah ditaklukkan. Dalam bahasa
dokumen UN Habitat, “kota berisi tatanan dan kekacauan, keindahan dan kedegilan,
kebajikan dan kenistaan; kota menampilkan apa yang terbaik dan terburuk dari bangsa
manusia”.17 Sekali lagi, Jakarta adalah kemungkinan kutuk dan sekaligus berkat.
Dengan itu, Jakarta sebagai ‘zona kritis’ juga mengisyaratkan gejala mendua begini:
sementara kita membuat Jakarta menjadi obyek hasrat kompulsif, kita yang sama juga
menyaksikan kompulsi itu tanpa daya. Fakta bahwa semua keganasan kondisi ini tidak
menyurutkan kemilau kota Jakarta sebagai obyek hasrat mengisyaratkan perlunya kita
memandang kota Jakarta dengan cara berpikir paradoks. Tentu, semua gejala ini semakin
sulit dipahami dari ideal klasik tentang ‘kota’ sebagai situs peradaban dan pemberadaban,
yang sering terungkap dalam istilah Latin civitas (komunitas warga negara) dan civilitas
4

(keberadaban) – istilah-istilah yang berakar dari kata civis (warga negara). Itulah konsep
‘kota’ menurut humanisme klasik. Terhadap konsepsi kota seperti itu, Lefebvre dengan
lugas menulis: “Humanisme klasik tentang kota telah lama mati”.18
Semua gejala itu tidak hanya terjadi pada kota Jakarta, tetapi merupakan bagian dari
‘zona kritis’ yang berlangsung di kota-kota besar lain di seluruh dunia. Dan pertumbuhan
urbanisasi di negara-negara sedang berkembang mencapai 95% dari urbanisasi global.
Pada tahun 2050, populasi urban di negara-negara sedang berkembang akan mencapai 5,3
milyar, dan kota-kota Asia akan berisi 63% dari seluruh populasi urban global.19 Sejarah
negara-negara sedang berkembang di abad XXI sedang berarak menuju situs-situs urban.
Untuk berpenduduk dari 1 juta menjadi 8 juta, London butuh waktu 130 tahun, Bangkok
butuh 45 tahun, Dhaka 37 tahun, dan Seoul hanya butuh waktu 25 tahun.20 Dari 23 kota
besar yang akan berpenduduk lebih dari 10 juta pada tahun 2015, 19 di antaranya ada di
negara-negara miskin dan sedang berkembang – dan Jakarta adalah salah satunya.21
Kisah berikutnya tentu segera dapat ditebak. Kota-kota di Asia berisi 60% dari total
penduduk dunia yang hidup di kawasan kumuh – antara 40% sampai 50% di Jakarta dan
kota-kota seperti Dhaka, Kolkata serta São Paulo.22 Deretan statistik ini bisa diperpanjang
lagi, tetapi tambahan itu justru akan lebih menegaskan bahwa gagasan humanisme klasik
tentang ‘kota’ akan kian menjadi kilatan nostalgia, namun juga sangat sulit bertahan dari
gempuran derap urbanisme yang sedang melaju kencang bagai kawanan-hewan. Tentu,
pada titik kritis seperti inilah mimpi tentang ‘kota’ menurut humanisme klasik terdengar
makin nyaring. Tentang pokok ini, Lefebvre mengingatkan:

“Bayang-bayang tentang kota, rasa penyesalan atas apa yang telah mati karena dibunuh,
mungkin rasa salah besar, telah mengganti ketakutan lama. Namun gambaran tentang
neraka urban yang sedang terbentuk itu tidak kurang memesona, dan kemudian orang-
orang bergegas menuju situs-situs kota kuno untuk mengkonsumsinya sebagai turis,
dengan keyakinan bahwa tindakan itu akan menjadi penyembuh nostalgia”.23

Tetapi konsepsi kota menurut tradisi humanisme klasik itu juga bukan satu-satunya
cara memahami apa yang sedang terjadi, meskipun ia tetap kemilau untuk menggagas apa
yang sebaiknya dilakukan. Pada titik ini, perkenankan saya mengajukan satu pertanyaan
sederhana: mungkinkah kita kenali satu saja di antara berbagai daya penggerak yang telah
membuat kota menjadi implosi-eksplosi segala kemungkinan gejala? Untuk menjawab
pertanyaan itu, barangkali kita perlu (meminjam ungkapan Fredric Jameson) “menerobos
kehampaan cuaca pasca-modernisme yang lengang tanpa angin, untuk menanam kembali
kehidupan kota agar berdiri lagi pada ruang dan waktu yang dibuat oleh manusia”.24

De-materialisasi Kota Global


Mungkin salah satu kesesatan dalam memandang kota adalah menganggap ‘ekologi’
hanya menyangkut hal-hal yang secara tradisional disebut alami (natural) ataupun yang
diberikan oleh alam (nature), seperti tanah, air, udara, sungai, pohon, dsb. Yang fatal dari
konsepsi ini adalah bahwa perubahan-perubahan pada kualitas sungai, pohon, air ataupun
udara kemudian tidak dapat dijelaskan dengan menunjuk penyebab ‘ekologis’ itu sendiri.
Mengapa? Sebab, itu sama dengan merujuk diri sendiri (self-referential). Kesalahan itu
bukan hanya kesesatan tautologis, tapi secara empirik juga merupakan kekeliruan besar.
Dalam tata ekonomi-politik dewasa ini, orang tidak perlu menganut determinisme
ekonomi untuk menyimpulkan pengaruh yang begitu langsung dari modus ekonomi pada
5

tata ekologi kota. Dengan lugas Harvey menegaskan hal ini: “Sirkulasi uang dan modal
harus diperlakukan sebagai variabel ekologis yang sama pentingnya seperti sirkulasi air
dan udara”.25 Seandainya kita bersikeras tak mau memasukkan pokok ini dalam kalkulus
penjelasan, efek-samping (unintended consequences) dari kinerja faktor itu de facto tetap
mengganggu, atau bahkan membatalan prediksi serta harapan kita yang paling kita yakini
sekalipun. Maka, daripada mengabaikan variabel ekonomi-politik itu (mungkin lantaran
takut dituduh sebagai pengritik sistem ekonomi dominan dewasa ini), dampak faktualnya
yang jelas-jelas terjadi memaksa kita untuk secara lugas memasukkannya dalam kalkulus
pertimbangan.
Dengan kata lain, masalah bagaimana akumulasi modal (capital) beroperasi melalui
proses-proses fisik, kimiawi, dan biologis (tanah, air, pohon, udara, sungai) yang secara
tradisional disebut ‘ekologi’ merupakan masalah mahapenting bagi refleksi tentang kota.
Lugasnya, ekologi ekonomi-politik terjadi dalam lipatan yang sama dengan ekologi alam
yang dimengerti secara tradisional. Akan tetapi, dari mana kita mesti memulai refleksi
atas persoalan itu?
Setiap masyarakat menghasilkan surplus bagi kebutuhan hidup warganya – surplus
dipahami secara lugas sebagai ketersediaan lebih besar nilai-guna (use value) barang/jasa
daripada yang dikonsumsi langsung. Kecuali pada zaman purba, tiap orang di masyarakat
dapat dikatakan berusaha menghasilkan surplus itu, tentu saja dalam kadar berbeda-beda.
Maka masalahnya bukan apakah surplus dihasilkan, tapi “siapa yang menguasai surplus,
seberapa banyak surplus dapat dikuasai, dan bagaimana surplus itu dipakai?”26 Di situlah
terletak kisah besar tentang ekonomi-politik kapitalisme.
Kapitalisme pertama-tama bukan sebuah kisah tentang kapasitas untuk menghasilkan
surplus, tetapi kisah tentang kapasitas menguasai surplus, mengklaim surplus itu sebagai
hak milik pribadi, lalu melancarkan tualang baru untuk memutar-lanjutkan surplus bagi
pengejaran surplus lebih besar. Di situ berlangsung seluruh kerumitan proses produksi,
distribusi, dan konsumsi. Sketsa kecil ini tidak akan membahas kerumitan yang terlibat
dalam proses tersebut. Apa yang relevan adalah, komoditas – dari mana surplus1 menjadi
surplus2 dan seterusnya (surplusn) – tidak berdatangan ke pasar dengan sendirinya, sebab
barang/jasa/modal tidak punya kaki untuk berjalan sendiri. Semua itu masuk-keluar pasar
melalui tindakan para kapitalis. Masuk/keluarnya komoditas ke/dari pasar melibatkan
sederet usaha penerobosan jarak-jarak spasial. Itulah mengapa penerobosan hambatan-
hambatan spasial dan pembukaan lokasi-lokasi baru sebagai pasar atau lokasi produksi
menjadi kegelisahan agung yang tiada henti dari para kapitalis.27
Dalam proses ini terjadi dua gejala sekaligus. Pertama, penciptaan kawasan-kawasan
baru pasar dan lokasi produksi melalui penaklukan, pembukaan kantor cabang, franchise,
outsourcing, sub-contracting, dan semacamnya. Kedua, lewat proses ini berlangsung pula
perkembangan geografis kapitalisme secara tidak merata. Ketidakrataan itu bukan hanya
terjadi pada skala mondial, melainkan juga dalam lingkup negara-bangsa. Kesenjangan
penentuan pengaruh bukan hanya terjadi antara New York-Tokyo-London dan Jakarta-
Kuala Lumpur-Manila, tetapi juga antara Jakarta dan kawasan-kawasan lain di Indonesia
sendiri, bahkan antara kawasan seperti Jl. Sudirman atau Jl. Thamrin dan kawasan seperti
Penjaringan atau Cilincing pada wilayah kota Jakarta yang sama.
Kapitalisme tidak berdiri di atas ekuilibrium, tetapi ia berderap di atas pertumbuhan
melalui (meminjam bahasa Schumpeter) ‘destruksi kreatif’. Inilah dinamika yang secara
konstan membuat lanskap geografis kapitalisme menjadi tidak stabil, sebab pengejaran
6

surplus lebih besar per definisi menghasilkan pergolakan lokasi geografis terus-menerus
pada situs-situs operasi modal. Gejolak geografis ini paralel dengan kegelisahan inovasi
teknologi dan cara pengorganisasian (manajemen) baru. Dalam kisah besar kapitalisme
ini, ‘kota’ adalah obyek sasaran pergolakan. Akan tetapi, apa yang menarik adalah bahwa
kota-kota yang dalam sejarah kapitalisme telah lebih dulu punya keuntungan komparatif
(comparative advantage) dan kompetitif (competitive advantage) – seperti London, New
York, atau Amsterdam – tidak serta-merta surut atau mati karena pergolakan kompetisi
teritorial. Umur tua kota tidak selalu menjadi kutuk, melainkan justru berkat. Daripada
remuk diratakan dalil kompetisi, kota-kota seperti New York atau London mengalami
magnifikasi dan spesialisasi pengaruh.
Proses magnifikasi berisi gejala ini: “kapitalisme mengalami spesialisasi teritorial”.28
Yang dimaksud adalah, berbagai sektor dalam ekonomi kapitalis membelah-diri menurut
kalkulus cost-benefit lokasional dalam pergolakan spasial-geografis. Fungsi kantor pusat,
riset dan pengembangan (R&D), produksi, pemasaran, keuangan, reklame, eceran, dst
diorganisasikan secara berbeda-beda menurut tuntutan cost-benefit lokasional tersebut.
Kantor pusat bisa saja di London, tetapi keuangan dipusatkan di Singapura, reklame dan
pemasaran di Shanghai, sedangkan pabrik produksi ada di Tangerang. Pada gilirannya,
dari mata-rantai penentuan ini dapat diciptakan berbagai varian, dalam rupa taktik sub-
contracting, outsourcing, dan cara-cara baru yang terus mengalami mutasi.29 Melalui
proses ini berlangsung apa yang disebut ‘transnasionalisasi’ secara kolosal.30
Namun saya kira dalam dinamika itu terlibat gejala rumit lain yang diam-diam akan
menentukan kecenderungan kota seperti Jakarta dalam kapitalisme global dan kaitannya
dengan daerah-daerah lain di Indonesia. Meskipun bukan gejala baru, atau setidaknya
belum berkembang pesat 100 tahun lalu, corak kapitalisme dewasa ini sulit dipahami di
luar dominasi sektor keuangan (finance) atas sektor-sektor lain seperti produksi, R&D,
pemasaran, dsb.31 Inilah jenis kapitalisme yang “tidak mengembalikan modalnya ke
proses produksi, tapi surplus modal itu secara terus-menerus menyelundup dalam transfer
harta yang semakin membengkak ke sektor keuangan”.32 Artinya, modal menghasilkan
surplus lebih lanjut bukan melalui investasi (misalnya) dalam proses produksi pabrik atau
pertanian, tetapi “dengan menjadi parasit pada sektor keuangan itu sendiri”.33
Karena proses ini berlangsung dalam dinamika geografis kapitalisme yang ditandai
magnifikasi dan spesialisasi, “sirkularitas sebab-akibat dalam tata ekonomi itu menjamin
bahwa sentra-sentra dengan pool modal yang kaya akan menjadi makin kaya”.34 Ada dua
modus yang dipakai untuk melakukan konsolidasi itu. Pertama, dengan mempertahankan
kota-kota tertentu sebagai sentra keuangan. Kedua, dengan melakukan strategi proteksi
keunggulan teknologis melalui hak patent dan pemilikan intelektual (intellectual property
rights). Dengan itu terjadilah konsentrasi akumulatif atas barang/jasa intangible (uang,
desain, program, dsb) di kota-kota kunci dalam galaksi kapitalisme global. Itulah kota-
kota yang kemudian disebut ‘kota global’ (global cities), seperti New York, London, dan
Tokyo.35 Corak kapitalisme ini sering disebut ‘kapitalisme turbo’, ‘kapitalisme silicon’,
atau juga ‘kapitalisme kasino’.36 Sekurangnya terdapat tiga ciri pokok yang menandai
pembentukan kota-kota global itu.
Pertama, kota-kota global terbentuk dari proses pembelahan-diri (unbundling) dalam
produksi komoditas. Pembelahan-diri pertama terjadi dalam sektor manufaktur, dengan
pemisahan produksi bahan mentah, komponen barang, perakitan, produk akhir, kemudian
ke sub-contracting, outsourcing, dst. Dinamika pembelahan-diri ini secara terus-menerus
7

mengikuti logika cost-benefit lokasional-geografis, dan dalam proses itu terbentuk kota-
kota global baru. Proses pembelahan-diri yang sama sekarang terjadi pada komoditas jasa
(services). Desain kartun Walt Disney dimulai di Hollywood, tetapi rancangan gambar
dikerjakan di Manila. Mumbai di India mengelola urusan akuntansi SwissAir, Barbados
mengolah akuntasi American Airlines, Manila memproses rekor tertulis kasus kriminal
seluruh Inggris, dan Shenzhen mengelola transaksi tanah yang terjadi di Jepang.37 Dalam
kegelisahan memburu surplus lebih besar, tualang modal secara terus-menerus mengitari
bola dunia, dan dalam proses itu terbentuklah kota-kota global.
Kedua, kota-kota global terbentuk bersama kemunculan dan pertumbuhan komoditas
baru, yang terpenting adalah jasa keuangan intangible dan pengetahuan (knowledge) serta
informasi, yang pada gilirannya menuntut infrastruktur urban untuk mendukungnya.38
Pokok ini punya implikasi mendalam pada tata kota. Segera berlangsung tegangan akut
antara sisi historis kota dan tuntutan atas pengadaan infrastruktur bagi ciri finansial dan
informasional kota tersebut. Inilah yang terjadi pada banyak kota di negara-negara sedang
berkembang seperti Jakarta. Melalui proses ini, kota sebagai gugus ruang urban tersendiri
menjadi tidak relevan, sebab yang terpenting adalah keterkaitan (connectedness) dengan
titik-titik global dalam galaksi ekonomi mondial.39 Pengertian kota sebagai tata-ruang
absolut (absolute space) menjadi irelevan, dan yang beroperasi adalah kota sebagai ruang
relatif (relative space) dan ruang relasional (relational space). Dari kecenderungan ini
lalu berkembang-biak cuaca kultural kota-kota global yang ditandai oleh “produksi citra”
dan “organisasi hasrat untuk hidup dari ekonomi citra”.40 Akumulasi surplus ditempuh
bukan terutama lewat produksi barang/jasa material, tapi dengan produksi pembangkitan
hasrat akan citra (surplus desire).41
Ketiga, kota-kota global terbentuk lewat proses de-materialisasi ekonomi, yang pada
gilirannya mengubah secara mendalam ciri ‘uang’ (money).42 Uang makin dikosongkan
dari kaitannya dengan barang/jasa material dan tangible. Dalam ungkapan lain, uang kian
tidak terkait dengan ekonomi sektor riil (real economy), dan lebih merupakan bagian dari
sektor maya (virtual economy). Itu samasekali tidak berarti bahwa kota global tidak lagi
berisi pedagang kaki lima atau penjual sepeda motor. Yang lebih dimaksud adalah, dalam
kaitannya dengan ekonomi mondial, kota-kota global tidak berfungsi terutama sebagai
situs produksi barang/jasa material, melainkan kian menjadi titik-pusat atau titik-hubung
arus sirkulasi dan akumulasi uang yang telah mengalami de-materialisasi. Castells punya
ungkapan tepat untuk menyebut ciri kota-kota seperti itu, yaitu the space of flows.43 Salah
satu implikasinya, di kota-kota global itu berkembang pesat kultus baru terhadap berbagai
transaksi uang virtual, seperti sekuritas, derivatif, lindung nilai (hedges), futures, fowards,
options, produk keuangan lain, pasar uang, bursa saham, dsb.44 Sampai akhir tahun 1993,
jumlah transaksi global derivatives baru 7,8 triliun dollar AS, tetapi di akhir tahun 2007
volume transaksi itu telah mencapai 62 trilyun dollar AS.45 Di Indonesia, sampai akhir
Januari 2009, nilai transaksi derivatives sudah mencapai 60-70 milyar dollar AS (660-770
trilyun rupiah), dan 15 bank terlibat dalam transaksi produk derivatives spekulatif.46
Dengan ungkapan lain, barangkali tiga ciri penting di atas dapat diringkas dengan
istilah ‘de-materialisasi kota global’. Saskia Sassen menyebut geografi baru kota global
itu mencakup kota-kota seperti New York, London, Tokyo, Paris, Frankfurt, Amsterdam,
Zurich, Los Angeles, Sydney, Hong Kong, dan kini perlu ditambah dengan Taipei, São
Paulo, Buenos Aires, Mumbai, Mexico City, Shanghai, Bangkok, dan tentu Jakarta yang
mematut-matut diri untuk menjadi salah satunya.47 Seperti disebut, ciri penting kota-kota
8

global ini adalah bahwa mereka tidak lagi ber-aspirasi menjadi sentra ekonomi material,
tetapi menjadi titik-pusat atau titik-hubung sirkulasi dan akumulasi ekonomi de-material.
Itulah yang membuat mengapa arah tata-kota dan perencanaan infrastruktur tertuju pada
penciptaan tata kota sebagai pusat kegiatan finansial, pasar digital dan transnasional, serta
jasa teknologi yang sangat terspesialisasi dalam jaringan ekonomi global.48
Tentu, keterhubungan kota-kota global bukan realitas yang rata (flat). Jarak ekonomi
antara Jakarta dan New York terlalu jauh untuk terhubung secara langsung. Dari fakta
stratifikasi ini kemudian terbentuk hirarki skala, dan dari hirarki skala kemudian muncul
proses regionalisasi. Misalnya, keterhubungan Jakarta dan New York ditempuh melalui
kaitan antara Jakarta dan Singapura, Hong Kong, Shanghai, atau dengan Taipei.49 Pada
gilirannya, kaitan ini tidak muncul begitu saja melalui fiat global, melainkan berlangsung
dalam lipatan dengan, misalnya, jaringan ekonomi komunitas-komunitas etnis Cina yang
terhubung secara erat pada kota-kota global di Asia Timur dan Gugus Pasifik.50 Dengan
itu, kota-kota global bukan hanya gejala yang muncul dari proses sirkulasi dan akumulasi
modal global, melainkan juga situs-situs aliansi kelas sosial dalam melakukan akumulasi
dan mempertahankan harta (wealth).51
Selain itu, kecenderungan kota-kota global untuk menjadi sentra atau titik-hubung
sirkulasi/akumulasi harta finansial pada gilirannya berdampak besar pada tata-negara.
Kapitalisme tidak menciptakan administrasi teritorial yang kini disebut ‘negara modern’
(the State). Tata negara seperti Inggris dan Perancis jauh lebih tua dibanding kapitalisme.
Apa yang khas adalah, berbagai ciri lembaga politico-administratif tata-negara diubah,
dimodifikasi, atau disesuaikan bagi tuntutan pembentukan kota-kota global. Gejala ini
tampak dalam corak berbagai kebijakan pemerintah di negara-negara sedang berkembang
yang berfokus pada penciptaan “iklim bisnis yang kondusif”.52 Kini para pejabat negara
betindak sebagai “pengusaha” yang menjual kota, wilayah, dan apa yang bisa ditawarkan
kepada investor global. Policy disebut sukses apabila pengusaha berdatangan melakukan
investasi, dalam supermarkets dan malls, sekolah dan rumah sakit internasional. Tulis
Harvey: “Andaipun ‘negara’ tidak pernah lahir, kapitalisme akan menciptakannya dari
ketiadaan”.53 Seperti akan ditunjukkan nanti, pada gilirannya kecenderungan ini punya
dampak mendalam pada relasi antara kota-kota global dan daerah lain dalam lingkup
negara itu sendiri, seperti misalnya antara Jakarta dan Tasikmalaya.
Apa implikasi pokok-pokok itu untuk urusan kota Jakarta dan harta?

Menduga Harta Jakarta


Sampai dasawarsa 1970-an, Jakarta dan berbagai kota besar di Asia Pasifik masih
dikembangkan dengan desain bagi pengadaan apa yang disebut ‘ruang-ruang civic’ (civic
spaces). Itulah ruang-ruang terbuka bagi interaksi publik para warga, dan ruang-ruang itu
sering berperan sebagai “rongga-rongga gerakan politik”. Dalam risetnya, Mike Douglass
menemukan bahwa sekitar tahun 1985 pengembangan tata-kota itu mulai berubah. Dalam
proses ekonomi, kelesuan pertumbuhan ekonomi dunia yang merembet ke Asia Pasifik di
awal dekade 1980-an telah mengubah target investasi bukan lagi pada sektor manufaktur,
tetapi pada sektor jasa keuangan dan teknologi, real estate, shopping malls dan outlets
bagi pasar transnasional. Itulah periode ketika Cyber-Jaya dan berbagai pencakar langit di
Kuala Lumpur, pengembangan kota baru Shenzen (Guangdong), dan Segitiga Emas di
kawasan Kuningan (Jakarta) mulai dilakukan. Kota-kota dekade 1960-an dengan cepat
menyurut ditelan bayang-bayang ambisi kota global dekade 1990-an.54
9

Masih segar dalam ingatan kita, itulah juga periode ketika berlangsung penggusuran
massal atas becak dan perkampungan-perkampungan kumuh di Jakarta. Selain itu, ruang-
ruang dan pasar-pasar terbuka berganti menjadi supermarkets dan malls, semua terkurung
tanpa ruang terbuka bagi interaksi lain di luar shopping malls atau kios makanan cepat
saji. Kota tidak lagi ditata menurut kosmologi istana, tidak juga menurut fungsi politico-
administratif ibukota sebuah republik, tetapi menurut kosmologi “sentra-sentra korporat
yang beroperasi sebagai kantor pusat atau kantor cabang dari sentra-sentra finansial di
belahan lain bola dunia”.55 Dalam penelitian tentang kota Jakarta, Jellinek menemukan
pola yang sama.56
Transformasi ini bukan hanya urusan spasial-lokasional, melainkan juga menyangkut
perubahan besar aspirasi hidup. Dalam periode itu, misalnya, antropolog Walter Williams
mewawancarai seorang pria yang memulai kariernya sebagai guru sebelum Perang Dunia
II. Saat diwawancarai di Semarang pada tahun 1988, ia berumur 70 tahun, dan masih
mengajar bahasa Inggris di suatu Sekolah Sekretaris. Dari berbagai hal yang dikisahkan,
ia bertutur tentang perubahan aspirasi itu:

“Dulu saya berketetapan menjadi guru. Saya sungguh merasa bahwa guru adalah kerja
tertinggi untuk orang Indonesia terpandang... pandai, kaya dan terhormat. Saya punya
gaji 70 gulden sebulan. Dalam rupiah sekarang [1988], itu sebanyak Rp. 600.000,-, atau
3 kali lipat gaji rata-rata guru sekolah negeri sekarang. Kami punya 2 pembantu, tinggal
di rumah bagus, dan bisa bepergian di musim liburan. Sekarang para guru remuk. Gaji
bulanan mereka bahkan tidak cukup untuk hidup seminggu. Dulu, saya cukup kaya dan
terpandang sebagai guru. Tapi menjadi guru sekarang... [tertawa]. Andai saja kini saya
masih muda, jelas saya tidak akan menjadi guru. Saya akan belajar manajemen... untuk
punya standar hidup yang saya punyai di zaman Belanda”.57

Atau, Daniel Lev menunjuk transformasi itu dengan ungkapan begini:

“Sementara status lama disingkirkan status baru yang ditopang dan diperanakkan oleh
uang, kawanan baru membanjiri kantung-kantung profesi – dari birokrasi sipil, tentara,
kalangan pedagang kecil dan petani yang mendesak naik, juga dari keluarga-keluarga
priyayi. Untuk mereka, dunia finance, board perusahaan, dan status semacam menjadi
pengganti lapangan kerja di instansi-instansi pemerintah atau semacamnya, yang telah
kehilangan status”.58

Semua itu terjadi dengan puncak-lokasional yang tertuju pada kota Jakarta. Itulah
masa ketika dunia perbankan, misalnya, ditandai oleh tingginya pertumbuhan aset, yaitu
26% per tahun (1988-1990). Sementara jumlah bank pemerintah dalam periode 1987-
1994 tetap konstan (yaitu 7 bank), jumlah bank swasta melonjak dari 64 (1987) ke 166
(1994), dan jumlah bank asing serta joint-venture naik dari 11 menjadi 40 bank dalam
periode sama. Di tahun 1987, jumlah kantor bank di seluruh Indonesia baru 9.341, tetapi
di tahun 1994 jumlah itu sudah mencapai 13.811.59 Itulah mengapa dalam periode ini
sekitar 67.000 manajer baru dibutuhkan setiap tahun untuk semua level.60 Boom bisnis
swasta itu juga di belakang 79% pertumbuhan lapangan kerja manajerial-profesional per
tahun dalam periode 1971-1989.61 Data-data statistik ini dapat diperpanjang lagi, semua
menunjuk pada transformasi ekonomi yang terjadi ketika lanskap tata-kota Jakarta mulai
berubah menuju aspirasinya sebagai kota global.62
10

Tetapi, apa kaitan semua itu dengan kota dan harta? ‘Harta’ tentu lebih dimaksudkan
sebagai istilah populer yang mau menunjuk pada apa yang biasanya disebut ‘kekayaan’.
Namun definisi keduanya sama-sama tidak mudah dipatok. Untuk keperluan sketsa kecil
ini, istilah ‘harta’ dimengerti sebagai sumberdaya yang punya kekuatan menghasilkan
sumberdaya lebih lanjut.63 Dalam pengertian ekonomi, biasanya istilah itu mengandung
dua unsur pokok, yaitu sumberdaya yang punya nilai pada harga pasar (market prices)
dan sumberdaya yang dapat diukur dalam nilai uang (monetary values).64 Mungkin itulah
mengapa Adam Smith menulis bahwa “harta dan uang adalah istilah yang dapat dianggap
sinonim”.65 Tentu, harta mencakup aset-aset seperti uang, tabungan, barang, tanah, surat
berharga, saham, stok, rumah, sampai apa yang kini disebut kekayaan “intelektual” serta
sumberdaya intangible lain.
Justru karena istilah ‘harta’ mencakup amat banyak komponen, soal ‘kota dan harta’
mungkin hanya bisa didekati dengan bertanya begini: berapa kekayaan yang terkumpul di
kota Jakarta? Akan tetapi, pertanyaan itu juga sangat sulit dijawab, bahkan seandainya
Anda tahu banyak data dan indikatornya. Saya tidak tahu bahkan hanya se-persekian dari
data-data seperti itu. Cara lain adalah coba mengenali beberapa indikator yang mungkin
bisa dipakai menunjukkan hal itu. Salah satunya adalah membandingkan beberapa aspek
transaksi moneter yang terjadi di Jakarta dan daerah-daerah lain di Indonesia.
Ambillah besaran kliring debet sebagai contoh. Total volume kliring debet untuk
DKI Jakarta secara konsisten selalu jauh lebih tinggi bahkan dibanding gabungan semua
provinsi lain.66 Itu berarti tagihan pada transaksi yang terjadi di Jakarta jauh lebih besar
bahkan dari gabungan transaksi di luar Jakarta. Perbedaan tajam itu juga berlaku untuk
simpanan masyarakat yang biasanya dipecah ke dalam 3 komponen: giro, tabungan, dan
deposito. Grafik di bawah ini menyajikan perbandingan per Juli 2009 antara Jakarta dan
beberapa provinsi lain yang biasanya dianggap kaya (seperti Jawa Timur atau Sumatra
Utara) dan miskin (seperti Maluku Utara atau Nusa Tenggara).

Perbandingan Simpanan Bank di Jakarta & Beberapa Provinsi


(dalam Juta Rupiah)

900,000,000
800,000,000 Jakarta
700,000,000
600,000,000 Jawa Timur
500,000,000 Jawa Barat
400,000,000 Sumut
300,000,000
NTB
200,000,000
100,000,000 Maluku Utara
0

Sumber: Bank Indonesia, Juli 2009 (diolah).


11

Grafik di atas menyangkut pola berikut. Perbandingan total simpanan Jakarta dan
Jawa Timur (dengan kota seperti Surabaya) adalah 4,5:1, sedangkan Jakarta-Maluku
Utara menunjuk perbandingan 320:1. Tentu, satu mata-rantai indikator pada gilirannya
terkait dengan mata-rantai indikator lain. Ambillah pola kredit BPR (Bank Perkreditan
Rakyat) sebagai contoh lain. BPR merupakan sumber kredit amat terbatas, dan karena itu
tidak mungkin menjadi sumber kredit untuk berbagai transaksi besar, apalagi untuk skala
internasional. Itulah mengapa BPR biasanya beroperasi di wilayah-wilayah pedesaan dan
terpencil yang tidak menjadi pangsa pasar bank modern. Dari pola ini dapat diajukan
perkiraan: operasi BPR di kota Jakarta akan menunjukkan tingkat rendah atau sangat
rendah. Dan memang itulah yang secara konsisten ditemukan dari tahun ke tahun. Pada
posisi tahun 2004, misalnya, total kredit BPR di Jakarta hanya 5% dari total kredit BPR
di Lampung, dan hanya 2,5% dari BPR di Jawa Tengah.67
Sebaliknya, volume deposito dalam mata-uang asing dapat dipastikan terkonsentrasi
di Jakarta. Dari data 2004-2008, pola itu secara konsisten dapat dikenali. Jumlah deposito
valuta asing di Jakarta di tahun 2008, misalnya, mencapai 18,5 kali lipat dari Riau, 21,5
kali lipat dari Kalimanan Timur, dan 31 kali lipat dari Bali, kota-kota yang dapat disebut
paling terkait dengan lalu-lintas negara lain dan internasional.68 Bagaimana volume kredit
yang dapat dipakai untuk menduga besaran dan intensitas kegiatan ekonomi? Di bawah
ini kita temukan kondisi per Mei 2009. Seperti jelas terlihat, harta moneter dengan proxy
volume kredit valas dan rupiah jelas-jelas terkonsentrasi di kota Jakarta, dengan kelipatan
sekitar 3 kali bahkan dari provinsi yang dalam hal ‘harta’ dianggap paling dekat.

Kredit Valas & Rupiah di Bank Komersial


(dalam milyar rupiah)

Sumber: Bank Indonesia, Mei 2009 (dipinjam dari olahan A. Prasetyantoko)

Semua contoh di atas menyangkut dunia moneter. Apa yang terjadi dengan ekonomi
Jakarta secara sektoral? Struktur ekonomi Jakarta bertumpu pada sektor-sektor modern
seperti keuangan, jasa perusahaan, jasa persewaan, hotel dan restoran. Dan pertumbuhan
di sektor-sektor itu secara konsisten berada di atas sektor-sektor lain, seperti industri
pengolahan, dan tentu jauh di atas sektor primer seperti pertanian, peternakan ataupun
pertambangan.69 Pola ini mungkin hanya menyatakan apa yang sudah jelas sejak awal:
mengharap pertumbuhan pertanian di Jakarta adalah kesesatan paling sederhana. Tetapi,
12

apa yang dengan sendirinya sudah jelas itu juga menunjukkan bagaimana struktur
perekonomian Jakarta merupakan “isolasi ciri modern” dalam lautan ciri fisik/material
perekonomian Indonesia. Apabila perhitungan agregat dilakukan, dominasi “ciri modern”
perekonomian Jakarta ini secara statistik niscaya akan menentukan kesan modern pada
perekonomian umum Indonesia secara keseluruhan.
Pada titik ini mungkin ada gunanya menimbang kaitan antara pola itu dan tema kita
mengenai ‘kota’ dan ‘harta’. Bahkan dari beberapa contoh fragmen di atas, segera tampak
bahwa Jakarta merupakan konsentrasi kekayaan di Indonesia. Tidak ada yang baru dalam
kesimpulan seperti itu. Bahkan secara intuitif kita dapat menyimpulkan itu. Namun juga
perlu diajukan catatan bahwa ciri kekayaan yang terkonsentrasi di kota Jakarta itu terkait
dengan output sektor-sektor lapangan kerja formal yang berciri “modern”. Inilah kategori
lapangan kerja legal-formal, dengan imperatif tata-kontrak, tata-pajak, dan kriteria legal-
administratif lain menurut definisi legalitas modern. Salah satu masalah “ciri modern”
ekonomi ini adalah, ia tampil sebagai tata-kerapihan ‘ekonomi akumulasi’ (accumulation
economy) yang terputus dari simpang-siur ciri fisik/material ‘ekonomi survival’ (survival
economy). Apa yang dimaksud ‘ekonomi survival’ adalah jenis kegiatan yang mengambil
bentuk apa saja untuk sekadar bertahan hidup – dari usaha mengasong sampai memulung,
dari mengojek sampai menjadi preman.
Masalahnya, ‘harta’ yang dihasilkan dari ciri berpeluh/berotot ‘ekonomi survival’ ini
tidak pernah diakomodasi dalam desain tentang bagaimana Jakarta mesti dikembangkan.
Berapa besar sesungguhnya ‘harta’ yang tersimpan dalam ‘ekonomi survival’ di Jakarta?
Inilah teka-teki yang jarang diungkap. Ambillah Pedagang Kaki Lima (PKL) sebagai
salah satu contoh dari apa yang saya maksud ‘ekonomi survival’. Dalam perhitungan
Bappeda DKI Jakarta 2007, omset total PKL di Jakarta sejak 2002 mencapai lebih dari 10
triliun per tahun. Jika dibandingkan dengan besaran Anggaran Pendapatan dan Belanja
Daerah (APBD) DKI Jakarta, kita akan mendapati gambaran di bawah ini.

Perbandingan Besaran Omset PKL & APBD DKI Jakarta


(dalam triliun rupiah)
2002 2003 2004 2005 2006

Omset PKL per tahun 10,29 10,81 11,57 12,26 13,00

APBD DKI Jakarta 10,90 11,50 12,40 13,90 17,97


Sumber: Bappeda DKI Jakarta 2007, sebagaimana dikutip dalam Institute for Ecosoc Rights,
Mendengarkan Kota, 2007, hlm. 145.

Tabel di atas menunjukkan bahwa omset perdagangan PKL hampir selalu sebanding
dengan besaran APBD DKI Jakarta, kecuali pada tahun 2006. Itu pola amat menarik,
sebab bahkan hanya dari omsetnya, ‘ekonomi survival’ bukan sekadar lampiran kecil
dalam kisah tentang ‘harta’ di Jakarta. Akan tetapi, seperti setiap hari kita temui, nilai
ekonomi itu ternyata tidak banyak mempengaruhi arah tata-kota Jakarta. Dalam periode
2000-2005, misalnya, sekitar 78.000 warga miskin Jakarta kehilangan tempat tinggal dan
sekurangnya 65.000 PKL kehilangan usaha akibat penggusuran.70 Apa yang menarik
adalah bahwa di tahun 2007, anggaran DKI Jakarta untuk penertiban atau penggusuran
(303,2 juta rupiah) bahkan jauh melebihi anggaran untuk pendidikan dasar (188 juta
rupiah) dan Puskesmas (200 juta rupiah).71
13

Data, contoh dan kisah nyata tentang akumulasi ‘harta’ di Jakarta dapat diperpanjang
lagi. Tetapi tambahan itu hanya semakin menegaskan bahwa kisah tentang ‘harta’ itu
merupakan bagian sentral dari kisah implosi dan eksplosi urbanisme Jakarta. Pada titik
ini, ada gunanya bertanya satu perkara: dalam urusan ‘harta’, seperti apa kecenderungan
ke depan kota Jakarta?

Indonesia Mencari Ibukota


Semua catatan dan fragmen tanda-tanda yang disebut di atas mungkin tidak secara
langsung menunjukkan kecenderungan yang jelas. Namun ‘tanda’ memang tidak pernah
memaknakan sendiri dirinya. Maka, selamat datang ke kawasan pemaknaan, yang berisi
kemungkinan insights, kritik, dan barangkali vista. Yang pasti, kecenderungan berbagai
gejala itu bukan semata-mata persoalan ekonomi, tetapi terkait dengan implikasinya bagi
status politik Jakarta, dan implikasi lebih lanjut dalam urusan tata-kota Jakarta.
Pertama, perkenankan saya mulai dari implikasi politik. Sekurangnya bisa dikatakan
bahwa Jakarta cenderung kehilangan statusnya sebagai sentralitas proses politik bagi
daerah-daerah lain – lugasnya, soal Jakarta sebagai ibukota Indonesia. Bukan lantaran
kini berlaku desentralisasi, tetapi terutama karena pretensi Jakarta terarah ke kota-kota
global. Yang dimaksud bukan apakah Jakarta secara legal merupakan ibukota Indonesia
atau tidak, tetapi apakah Jakarta akan efektif menjadi sentra politico-administratif bagi
keterkaitan kota-kota di berbagai provinsi lain yang terlalu jauh dari gerak-gerik Jakarta
sebagai kota global. Efektivitas bukan perkara legal-konstitusional, tetapi menyangkut
kapasitas idiomatik ekonomi, politik dan kultural kota Jakarta dalam mengkoordinasikan
daerah-daerah dan provinsi-provinsi lain menjadi jaringan sebuah ‘Indonesia’.
Tentu, pretensi dan gerak-gerik Jakarta sebagai kota global tidak dengan sendirinya
menggagalkan kesanggupannya untuk menjadi poros sentralitas politik. Tetapi, pretensi
dan gerak-gerik Jakarta sebagai kota global itu membuat Jakarta lebih mematut-matut diri
bukan bagi daerah-daerah lain dalam jaringan ‘Indonesia’, tetapi terutama bagi pencarian
pengakuan dari kota-kota global lain dalam jaringan tata ekonomi mondial. Di atas kertas
bisa saja Jakarta tetap ibukota Indonesia, namun pretensi dan gerak-geriknya makin tidak
lagi tertuju pada status legalnya sebagai titik sentral penghubung jaringan ‘Indonesia’.
Dan kecenderungan itu terjadi bukan lantaran kebijakan yang sadar, tetapi karena energi
dan sumberdayanya terkuras untuk mengejar pengakuan sebagai kota global.
Dari proses inilah jarak politik antara Jakarta dan daerah-daerah menjadi kian jauh,
sementara jarak politik antara Jakarta dan kota-kota global menjadi lebih dekat. Gejala
de-materialisasi ekonomi kota Jakarta yang muncul dari pretensi dan gerak-geriknya
menjadi kota global bukan hanya proses ekonomi, tetapi juga proses de-materialisasi
politik. Itu disebut ‘de-materialisasi politik’, dalam arti status Jakarta sebagai ibukota
Indonesia “dikosongkan” dari ikatan politico-materialnya dengan daerah-daerah lain yang
membentuk jaringan Indonesia. Terutama bagi provinsi-provinsi, Jakarta lalu bukan situs
sentralitas proses politik Indonesia, tetapi sebuah tontotan politik bagi dirinya sendiri.
Atau, mungkin ia petunjukan bagi kota global lain. Dalam arti itulah jarak Jakarta ke
Sidoarjo lebih jauh daripada Jakarta ke Washington, DC, sebagaimana jarak Jakarta-
Tasikmalaya lebih jauh daripada Jakarta-Singapura. Seperti ditulis oleh Harvey, “laju
pergolakan geografis kapitalisme membawa proses di mana kota-kota putus kaitannya
dengan kedekatan geografis yang telah ada sebelumnya, lalu menciptakan secara baru
jaringan teritorial bagi tujuan lain”.72
14

Apa yang tersisa dari kaitan antara Jakarta dan provinsi-provinsi lain? Secara legal,
tentu Jakarta tetap ibukota Indonesia. Namun dalam urusan lain – dalam hal ini urusan
‘harta’ – Jakarta lebih mungkin akan memperlakukan daerah-daerah lain sebagai sumber
ekstraksi bagi aspirasinya menjadi kota global. Dan persis pada titik inilah barangkali kita
perlu bersiap-siap menghadapi suatu gejala ganjil lain. Jarak politik yang makin jauh itu
berubah menjadi relasi mimesis. Artinya, pretensi dan gerak-gerik Jakarta yang menjauhi
daerah-daerah lain persis menjadi obyek yang ditiru tentang bagaimana provinsi-provinsi
lain mengembangkan dirinya. Melalui proses mimesis ini, kota-kota lain di daerah juga
dapat ditebak akan bergerak-gerik dan berpretensi dengan meniru proses de-materialisasi
politik dan ekonomi yang dilakukan kota Jakarta.73
Karena obyek peniruan Jakarta adalah kota-kota global, sedangkan obyek peniruan
daerah-daerah adalah Jakarta, proses de-materialisasi politik dan ekonomi yang dilakukan
oleh daerah-daerah segera menciptakan pola ketercerabutan politik dan ekonomi dari
watak fisik/material ekonomi-politik penduduk provinsi-provinsi tersebut. Berbagai kota
juga akan menyingkirkan modus-modus ‘ekonomi survival’, seperti yang telah dilakukan
Jakarta terhadap ‘ekonomi survival’ PKL, asongan dan kaum miskin lain. Tentu, seperti
yang terjadi di Jakarta, proses ini pada gilirannya punya implikasi besar pada penataan
ruang-ruang kota. Setelah virtualisasi ekonomi dan politik membuat kota Jakarta menjadi
tontonan bagi dirinya sendiri, proses virtualisasi ekonomi dan politik daerah-daerah lain
juga menciptakan pertunjukan bagi diri sendiri. Untuk mereka yang hidup di perbatasan
kondisi survival, kota tetap menjadi obyek “organisasi hasrat”, tetapi juga akan segera
berkembang menjadi situs “organisasi ketakutan”.74
Kedua, seperti ditunjukkan melalui berbagai fragmen pada bagian sebelumnya, dapat
dikatakan ‘harta’ yang terkonsentrasi di Jakarta jauh melebihi daerah-daerah lain. Dalam
indikator seperti kliring debet, Jakarta bahkan jauh melebihi gabungan dari semua daerah
lain. Telah disebut pula bahwa konsentrasi ‘harta’ kota Jakarta terkait erat dengan proses
yang terjadi di sektor-sektor seperti keuangan, pasar transnasional, jasa terspesialisasikan
dalam rangka menjadi titik-pusat atau titik-hubung sirkulasi modal global. Tentu saja, itu
tidak berarti bahwa pasar uang (misalnya transaksi di Bursa Efek Jakarta) telah mencapai
volume seperti misalnya di Wall Street atau London. Pasar uang dan bursa di Jakarta
masih terlalu kecil dibanding sentra-sentra finansial itu. Apa yang mau diajukan adalah
bahwa pretensi dan gerak-gerik ekonomi Jakarta punya kecenderungan kuat menuju
sektor-sektor yang tercerabut dari corak dominan ekonomi Indonesia.
Dengan mudah kecenderungan ini bisa dilihat dalam pola penataan ruang kota. Salah
satu tandanya adalah luasan ruang yang diperuntukkan bagi malls, supermalls, atau juga
hypermarkets sebagai situs-situs pasar transnasional. Pada tahun 2000, misalnya, ruang
untuk keperluan itu baru mencakup 1,4 juta meter persegi. Dalam waktu 5 tahun (2005),
ruang komersial hipermodern telah melonjak menjadi 4,2 juta meter persegi. Maka,
ketika ruang hypermarket tumbuh 31,4% per tahun, pertumbuhan pasar tradisional justru
negatif (-8,4%).75 Menurut Perda DKI Jakarta No. 2/2002, sentra-sentra hipermodern
wajib menyediakan 20% lahan efektif-nya untuk pasar tradisional seperti PKL, dengan
pembebasan biaya pelayanan hingga 75%. Tentu saja, sudah sejak awal aturan hukum itu
tidak pernah terlaksana.
Pengalihan lahan-lahan konservasi dan pemukiman orang-orang miskin untuk sentra
pasar transnasional ataupun residensi hipermodern juga menjadi gerak-gerik kota Jakarta
dalam aspirasinya menjadi kota global. Salah satu contohnya adalah kawasan di sebelah
15

utara Mall Taman Anggrek, Kecamatan Grogol, Jakarta Barat, yang kini telah menjadi
kawasan apartemen Mediterrania Garden Residences. Penduduknya sekitar 500 keluarga
(1.500 orang), yang terdiri dari pegawai negeri/swasta, pengusaha kecil, anggota ABRI,
wartawan, tukang cuci, pedagang keliling, PKL, buruh, dan lain-lain. Tanggal 2 Oktober
2003, sekawanan pasukan polisi anti-huru-hara, tentara, hansip, polwan serta preman
melakukan pembongkaran dengan senjata lengkap, bulldozer, dan gas air mata.76 Maka
berdirilah kompleks residensi dan pasar hipermodern seperti yang sekarang kita saksikan.
Atau, kawasan sekitar 5 hektar di daerah Jembatan Besi, Tambora, Jakarta Barat, yang
kini telah berubah menjadi sentra bisnis Season City dengan motto “The City of Fun and
Fortune”.77 Begitu pula yang terjadi dengan kawasan yang kini disebut Pondok Indah di
Jakarta Selatan, yang semula diperuntukkan bagi kawasan resapan air.78
Seperti disebut di bagian awal, adukan implosi dan eksplosi itu membuat prediksi
menjadi tidak berdaya. Misalnya, di akhir dasawarsa 1960-an dan awal 1970-an Jakarta
dipimpin Gubernur Ali Sadikin. Tahun-tahun itu ditandai oleh optimisme bahwa sekitar
70 hektar lahan di kawasan Tomang akan dikembangkan menjadi hutan kota. Di tahun
2006, kawasan seluas itu telah berubah menjadi zona komersial hipermodern.79 Hari-hari
ini juga sedang berlangsung protes luas dan kontroversi atas 50 hektar lahan di kelurahan
Sukapura, Jakarta Utara, yang berfungsi sebagai resapan air. Pengurukan lahan setinggi 4
meter (lebih tinggi dari lahan sekitar) sedang dilakukan, dan di atasnya akan didirikan
Royal Orchard Residences milik PT. Summarecon.80 Dengan mudah dapat dibayangkan
pola itu merambah ke lahan di sekitar Jakarta, seperti daerah Bogor, Puncak dan Cianjur.
Pada tahun 2002, jumlah villa di kawasan itu mencapai 1.764 (80% adalah villa mewah
milik orang-orang kaya Jakarta), dan 927 di antaranya didirikan tanpa IMB.81
Beberapa contoh fragmen itu disajikan bukan pertama-tama sebagai persoalan moral
atau juga masalah estetika lanskap kota, tapi sebagai pola faktual transformasi tata-ruang
Jakarta yang terlibat dalam pretensi dan gerak-geriknya menjadi kota global. Seperti
ditulis Sassen, di jantung kota-kota global ini:

“Kita menyaksikan gejala netralisasi ruang-ruang kota yang digerakkan oleh kultur
bisnis korporat yang mengemban aspirasi menuju presisi dan bau steril dari lingkungan
sekitarnya. Semua itu untuk memberi kesan tatanan teknologi modern dan efisiensi
ekonomi, yang mau dilawankan dengan kultur bisnis kecil, ciri berpeluh dan berotot
ekonomi orang-orang biasa serta kekumuhan. Elemen-elemen ‘non-korporat’ yang tetap
tidak dapat dilenyapkan dalam kinerja kultur korporat itu akan segera disingkirkan atau
disembunyikan, dengan memandang rendah kegiatan-kegiatan dan para pelaku ekonomi
yang bukan korporat sebagai ‘bukan ekonomi’.”82

Dengan itu istilah ‘bukan korporat’, ‘bukan ekonomi’, dan ‘bukan kota’ menjadi tiga
hal yang bisa saling ditukarkan artinya. Yang dikejar adalah membuat “satu-satunya cara
kita memandang gedung, jalan, situs-situs publik, plaza, dan menara kota sebagai ruang
korporat”.83 Itu terjadi bahkan pada corak patung di berbagai ruang publik kota Jakarta.
Contohnya adalah sebuah patung di Bulungan, Jakarta Selatan. Di tengah salah satu jalan
untuk memutar, berdiri tegak patung tangan raksasa yang memegang kartu SIM telepon
seluler Simpati, dengan tulisan “simPATI Pe De”. Pihak Simpati mengakui patung publik
itu dimaksud sebagai iklan komersial. Di tempat lain – di taman segitiga Jl. Sutan Sjahrir
menuju Jl. Agus Salim, Jakarta Pusat – pernah berdiri patung publik tangan raksasa yang
menggenggam botol deodoran merek tertentu. Di situs-situs publik lain, gejalanya tidak
16

sangat menyolok, meski patung-patungnya merupakan pemberian berbagai perusahaan


swasta, seperti patung Arjuna Wijaya di Jl. Thamrin (donasi bank NISP), atau patung
Diponegoro di Jl. Diponegoro (donasi kelompok bisnis Ciputra). Sekitar 90% patung di
Jakarta dibangun sektor bisnis swasta.84
Apa yang bisa disimpulkan dari adukan implosi dan eksplosi Jakarta dalam pretensi
dan gerak-geriknya menjadi kota global ini?
Ketiga, ‘harta’ yang bertumpuk di Jakarta adalah kisah proses ekonomi, politik, dan
kultural yang tidak mudah ditetapkan polanya. Namun dari adukan implosi dan eksplosi
itu bisa dikenali paradoks begini: ‘harta’ Jakarta menumpuk melalui penyingkiran ‘harta’,
dan ‘harta’ Jakarta juga menguap lewat penyingkiran ‘harta’. Sentra-sentra hipermodern
lahir sebagai penanda keterkaitan Jakarta dengan kota-kota global, tetapi hipermodernitas
yang sama lenyap dalam kerugian habitat Jakarta. Pada tahun 2008, pendapatan Jakarta
dari pajak kendaraan mencapai 5,5 triliun rupiah, namun pada tahun yang sama kerugian
akibat kemacetan dari sesak kendaraan mencapai 28,1 triliun.85 Polusi suara kota Jakarta
dapat dikurangi dengan standardisasi suara knalpot kendaraan, tetapi agenda standardisasi
segera menghadapi penolakan dari para pengusaha knalpot. Urgensi pengurangan jumlah
kendaraan pribadi juga selalu ditentang para pengusaha/penjual sepeda morot dan mobil.
Pola saling membatalkan itu merupakan ciri penting proses akumulasi melalui disposesi.
Dan dalam proses itu, “laju gemerlap kota membawa-serta ilusi yang selalu menghantui
tak jauh di belakangnya”.86
Mengapa ilusi itu selalu menempel di buritan gerak-gerik dan pretensi Jakarta untuk
menjadi kota global? Tentu, gejala itu disebabkan banyak faktor, tetapi saya kira salah
satunya adalah karena akumulasi harta yang ditampilkan Jakarta diciptakan dengan cara
melompati ciri fisik-material ekonomi-politik sebagian terbesar warganya. Maka, dalam
kisah pretensi dan gerak-gerik Jakarta menjadi kota global, pada mulanya bukan watak
fisik/material ekonomi-politik warganya yang dirawat agar berevolusi menuju ciri global,
melainkan pada awalnya adalah mimesis tentang kota-kota global yang ditimpakan pada
ciri fisik/material sebagian terbesar warga. Tentang gejala ini, Jameson punya ungkapan
menarik: “Semua itu tidak lagi dialami sebagai kesadaran palsu, tapi sebagai gaya hidup
baru, serupa dengan kecanduan ketimbang kesesatan filosofis atau kebodohan politis”.87
Itulah mengapa berbagai amal, filantrofi, pidato tentang pentingnya usaha mikro dan
kecil, ataupun upacara-upacara CSR (Corporate Social Responsibility) bagi kaum miskin
tidak berisi persentuhan dengan ciri fisik/material jerih-payah hidup kaum miskin, tetapi
semacam topeng bagi hasrat akan ‘kenikmatan mental’ (mental pleasure) kultur korporat
global. Inilah ritual yang kini luas dirayakan dalam foto-foto di banyak halaman koran,
dengan rubrik berjudul ‘Seremonia’, ‘Komunitas’, dan semacamnya. Lugasnya, pretensi
dan gerak-gerik Jakarta untuk menjadi kota global telah mengutuk ciri fisik/material
sebagian terbesar warganya ke dalam kategori ‘bukan kota’ dan ‘bukan ekonomi’. Lewat
proses ini, pada akhirnya ‘harta’ (wealth) kaum miskin Jakarta yang diciptakan melalui
ciri fisik/material ‘ekonomi survival’ juga dianggap sebagai ‘bukan harta’ (non-wealth).
Meminjam ungkapan Lefebvre, “ruang konkret kota lalu diganti dengan ruang abstrak...,
dan dengan itu pengalaman hidup dilempar ke abstraksi, lalu yang abstrak itu ditimpakan
ke pengalaman hidup”.88 Itulah mengapa nilai ‘harta’ PKL yang hampir sebanding
dengan APBD DKI Jakarta (lihat Tabel di atas) selalu berada dalam bayang-bayang
penggusuran.
17

Akan tetapi, ciri fisik/material hidup ekonomi sebagian terbesar warga Jakarta tidak
akan mati oleh kutukan korporat dan pretensi global. Bukan hanya lantaran ciri itu adalah
fakta sosiologis yang keras kepala, tetapi terutama karena tak pernah ada kehidupan yang
sanggup menjadi virtual sepenuhnya. Maka, berlangsunglah ambivalensi ganjil ini. Di
satu pihak, pretensi dan gerak-geriknya menjadi kota global telah melambungkan Jakarta
menjadi titik-hubung akumulasi ‘harta’ pada rantai pasar virtual ekonomi mondial.89 Tak
peduli bahwa pretensi serta gerak-gerik itu telah membuat Jakarta makin “terputus dari
daerah dan kota-kota lain dalam negara yang sama”.90 Itulah yang membuat jarak Jakarta
ke Tasikmalaya lebih jauh daripada ke Hong Kong atau Singapura. Di lain pihak, watak
fisik/material akumulasi ‘harta’ sebagian terbesar warga akan selalu menjadi hantu yang
terus memburu gerak-gerik dan pretensi Jakarta dalam aspirasinya menjadi kota global.
Gejala ini tampak dalam ciri fisik penuh kekerasan pada berbagai amuk yang kadang-
kadang terjadi persis di jantung Jakarta. Ambivalensi ini akan menandai perkembangan
ekonomi, politik, kultur, dan tata-kota Jakarta untuk tahun-tahun yang akan datang.
Sekali lagi perlu ditegaskan bahwa apa yang saya ajukan di sini bukan pertama-tama
menyangkut perkara moral, melainkan pembacaan gejala yang sengaja menyimpang dari
pakem berpikir dominan mengenai gerak-gerik Jakarta dalam aspirasinya menjadi kota
global. Penegasan ini perlu seringkali diulang, hanya lantaran bunyi pembacaan seperti
dalam sketsa ini biasanya segera disalah-mengerti sebagai sikap primitif, anti-pasar, anti-
bisnis, atau juga anti-globalisasi. Terhadap salah paham itu, perlu ditegaskan bahwa tidak
ada yang aneh pada aspirasi Jakarta menjadi kota global – bahkan kadang-kadang aspirasi
itu luhur. Namun justru karena “tak ada yang aneh” dan “kadang-kadang luhur”, implosi
dan eksplosi Jakarta itu dengan mudah menjadi ketidaksadaran yang menolak peninjauan
ulang.91 Lalu semua adukan implosi dan eksplosi ekonomi, politik, kultur serta tata-kota
Jakarta sebagai ‘zona kritis’ akan terus bergulung setiap hari, seolah-olah tak ada masalah
apapun, seakan-akan semua itu terjadi karena hukum alam.
Apa yang mesti dilakukan?

Surat Pembaca – Epilog


Silahkan para urbanis, ahli tata-kota, pemerintah kota dan kita warga Jakarta mereka-
reka apa yang mungkin dapat dilakukan untuk menanggapi adukan implosi dan eksplosi
itu. Yang pasti, skala masalah Jakarta terjait ketat satu sama lain dalam lipatan-lipatan
kemungkinan: ‘harta’ Jakarta terakumulasi melalui lipatan-lipatan itu, dan ‘harta’ Jakarta
menguap lewat lipatan-lipatan itu. Meskipun makin sulit menggagas kota menurut mimpi
humanisme klasik, waktu dan ruang Jakarta tidak akan berhenti bergolak menurut prinsip
kawanan-hewan. Itu membuat kota Jakarta bergulung seperti mesin giling yang berderak-
derak seolah tanpa kaitan apapun dengan kehidupan dan harapan warganya. Meminjam
ungkapan Lefebvre, soalnya adalah “tak ada agenda tanpa utopia, tak ada agenda tanpa
mereka-reka apa yang mungkin, dan tak ada yang mungkin tanpa tindakan”.92
Di pucuk ‘zona kritis’ urbanisme seperti itulah ia bertanya:

“Jika bukan manusia yang menjadi pusat kota, untuk siapakah kita masih membangun?
Bagaimana kita membangun? Tidaklah penting bahwa sekarang kota telah mati atau
masih berdenyut, atau bahwa kota harus digagas ulang, atau juga disusun ulang menurut
dasar baru, atau bahkan diatasi. Apa yang penting? Siapa yang masih berpikir? Siapa
yang masih bertindak? Siapa yang masih berbicara, dan berbicara untuk siapa? Jika
18

makna dan finalitas lenyap, dan lalu kita tidak sanggup mendeklarasikan apapun dalam
praksis (praxis), tentu tak ada apapun tentang kota yang masih berarti”.93

Ada yang terasa ganjil tentang akhir sketsa ini. Apa yang pada awalnya menyangkut
problematik ‘kota dan harta’, pada akhirnya bermuara di perbatasan antara perayaan dan
ratapan, antara glorifikasi dan lamentasi. Jakarta itu kota implosi dan eksplosi akumulasi
‘harta’ di Indonesia. Dalam aspirasinya menjadi kota global, ia sedang bergerak-gerik
mengakumulasi ‘harta’ menurut pretensi virtual kota-kota global lain dalam tata ekonomi
mondial. Dalam proses itu, ia sedang coba mengebaskan kaitan fisik/materialnya dengan
daerah-daerah lain yang membentuk jaringan Indonesia.
Saya hanya sanggup mengajukan satu imperatif arah. Kita dapat melancarkan jenis
gerakan apapun, tetapi pretensi virtual (virtual pretence) kota ini mesti ditanam kembali
dalam watak fisik/material (material facticity). Harvey melihat bahwa pretensi virtual ini
dibawa oleh patologi pasca-modernisme.94 Dalam strukturalisme linguistik, ‘penanda’
(signifiant) diputus dari relasinya dengan ‘yang ditandakan’ (signifié), seperti halnya kota
Jakarta membubung tinggi dalam relasinya dengan kota-kota global, tetapi dikosongkan
dari kaitannya dengan daerah-daerah lain yang membentuk jaringan Indonesia. Protes
Harvey: “Watak fisik dan material kota punya bobot dan otoritasnya..., gerakan apapun
untuk membentuk arah kota akan mandul kecuali secara fisik/material terwujud dalam
kehadiran nyata” di taman, plaza, dan ruang-ruang publik kota “se-konkret seperti ruang
material di Seattle, Quebec, atau Genoa”.95
Akhirnya, apa status pretensi dan gerak-gerik Jakarta untuk menjadi kota global?
Beberapa bulan di akhir tahun 2007, mingguan The Economist memuat beberapa laporan
tentang inovasi teknologi bagi revolusi ekonomi virtual. Banyak tanggapan atas laporan
itu. Namun di awal Januari 2008, ada sebuah surat pembaca yang membuat seluruh debat
sebelumnya kehilangan daya. Begini bunyi surat pembaca itu:

“Dunia virtual dan berbagai produknya hanya mungkin sejauh energi dan perangkat
keras fisik yang menyangganya juga tetap bekerja. Buktinya cukup sederhana: copotlah
sambungan listrik semua komputer, maka dunia virtual itu akan runtuh”.96

Surat pembaca yang singkat itu mengisyaratkan banyak, sangat banyak. Maka, jika
Anda ingin menguji apakah ‘harta virtual’ yang diakumulasi kota Jakarta memang tahan
uji dan dapat berjalan sendiri, silahkan copot sambungan listrik yang menghubungkan
sentra-sentra finansial dan pasar-pasar transnasional Jakarta dengan kota-kota global lain.
Niscaya Jakarta akan segera bertekuk di kakinya.***

Rujukan dan Catatan


1
Harvey, Social Justice and…, 1973, hlm. 13. Perbedaan pengertian ruang absolut, ruang relatif, dan ruang
relasional ini juga dapat ditemukan dalam buku Harvey tersebut.
2
Matelief de Jonge (1607) dalam Heuken, Sumber-sumber Asli..., 1999, hlm. 38.
3
Lefebvre, Writing on Cities…, 1996, hlm. 106.
4
Istilah ‘zona kritis’ berasal dari Henri Lefebvre (Lefebvre, The Urban Revolution…, 2003, hlm. 15).
5
Lefebvre, The Urban Revolution…, 2003, hlm. 17.
6
KOMPAS, 1 September 2009, hlm. 25.
19

7
The Jakarta Post, 25 August 2009, hlm. 18.
8
KOMPAS, 2 September 2009, hlm. 26.
9
The Jakarta Post, 24 August 2009, hlm. 18.
10
Suara Pembaruan, 29 September 2009, hlm. 1
11
The Jakarta Post, 12 April 2008, hlm. 4.
12
The Jakarta Post, 2 October 2009, hlm. 18.
13
Suara Pembaruan, 28 September 2009, hlm. 1. Tetapi menurut Dinas Kependudukan Kota, sampai awal
Oktober 2009 hanya ada 69.000 pendatang baru ke Jakarta (The Jakarta Post, 5 October 2009, hlm. 18).
14
Harvey, The Spaces of Global..., 2006, hlm. 111.
15
The Jakarta Post, 3 October 2009, hlm. 19.
16
KONTAN, 17 September 2009.
17
UN Habitat, State of the World’s Cities 2008/2009…, hlm. x.
18
Lefebvre, Writing on Cities…, 1996, hlm. 149.
19
UN Habitat, State of the World’s Cities 2008/2009…, hlm. xi.
20
UN Habitat Report, 30 May 2005.
21
New Internationalist, Issue 386, January 2006.
22
New Internationalist, Issue 386, January 2006. Bandingkan juga dengan UN Habitat Report, 30 May
2005. Untuk kajian mengenai kaitan antara pertumbuhan perkampungan-perkampungan kumuh urban dan
corak ekonomi-politik global dewasa ini, lihat misalnya Davis, ‘Planet of Slums...’, 2004.
23
Lefebvre, Writing on Cities…, 1996, hlm. 142-143.
24
Jameson, ‘Future City’…, 2003, hlm. 76.
25
Harvey, The Spaces of Global..., 2006, hlm. 88.
26
Harvey, The Spaces of Global..., 2006, hlm. 90.
27
Bandingkan, misalnya, dengan Litvin, Empires of Profit..., New York: Texere, 2003.
28
Harvey, The Spaces of Global..., 2006, hlm. 98.
29
Untuk pola dan lokasi-lokasi urban baru dari perkembangan oursourcing dan sub-contracting ini, lihat
misalnya edisi khusus ‘Outsourcing: A Survey’, The Economist, 13 November 2004.
30
Dari data empiris-historis, tansnasionalisasi kolosal ini terjadi dalam periode antara 1970-1980, dengan
ledakan jumlah perusahaan transnasional, dari 7.258 TNCs di tahun 1969 menjadi 63.312 TNCs pada
tahun 2000. Untuk data-data rinci mengenai proses dan bentuknya, lihat Gabel & Bruner, Global Inc...,
2003, hlm. 3 & passim.
31
Untuk kajian mendalam dengan data-data statistik yang amat kaya mengenai corak kapitalisme finansial
ini, lihat Duménil & Lévy, Capital Resurgent…, 2004.
32
Duménil & Lévy, Capital Resurgent…, 2004, hlm. 128.
33
Duménil & Lévy, Capital Resurgent…, 2004, hlm. 139.
34
Harvey, The Spaces of Global..., 2006, hlm. 98.
35
Sassen, The Global City…, 2001.
36
Strange, Casino Capitalism, Oxford: Blackwell, 1986.
37
Harris, ‘Technologistics’..., 1998, hlm. 11.
38
Castells, The Informational City..., 1989.
39
Tema tentang realitas ‘jaringan’ dan ‘keterhubungan’ ini dengan panjang lebar dapat dilihat dalam trilogi
Castells, The Rise of Network..., 2000; Castells, End of Millennium..., 2000; Castells, The Power of...,
1997.
40
Jameson, ‘Future City’…, 2003, hlm. 79.
41
Modus baru akumulasi (dari surplus value ke surplus desire) ini dengan rinci dibahas, misalnya, dalam
Goux, Symbolic Economies..., 1990, terutama hlm. 198-212.
42
Bridge & Watson, “City Economies’…, 2003, hlm. 107. Kajian teoretik mengenai gejala ini dapat dilihat
dalam Goux, Symbolic Economies..., 1990.
43
Castells, The Rise of the Network…, 2000, hlm. 407 & passim.
44
Bridge & Watson, “City Economies’..., 2003, hlm. 107.
45
The Economist, 8 November 2008. Untuk sejarah bagaimana produk-produk keuangan ini menjadi
modus baru akumulasi ‘harta’, lihat misalnya Ferguson, The Cash Nexus..., 2002, hlm. 279-314.
46
KONTAN, 31 Januari 2009.
47
Lihat Sassen, Globalization and…, 1998, hlm. xxv.
20

48
Sassen, ‘Analytic Borderlands…’, 2003, hlm. 172-173. Untuk survei rinci mengenai perkembangan kota-
kota global sebagai sentra ekonomi keuangan, lihat misalnya edisi khusus ‘Financial Centres: A Survey’,
The Economist, 15 September 2007.
49
Untuk keterkaitan kota-kota di Asia Timur yang menjadi pusat industri keuangan baru, lihat misalnya
edisi khusus ‘A Survey of Asian Finance’, The Economist, 8 February 2003.
50
Untuk kajian mengenai keterkaitan antara jaringan etnis Cina dan strategi kota global melalui
regionalisasi, lihat Chung, ‘Diaspora Capital and…’, 2003, hlm. 207-223.
51
Bandingkan dengan Harvey, The Spaces of Global..., 2006, hlm. 103.
52
Harvey, The Spaces of Global..., 2006, hlm. 9-68.
53
Harvey, The Spaces of Global..., 2006, hlm. 105.
54
Douglass, ‘Civil society for Itself…’, 2003, hlm. 12.
55
Douglass, ‘Civil society for Itself…’, 2003, hlm. 12.
56
Jellinek, ‘Jakarta, Indonesia...’, 2000, hlm. 265-280.
57
Williams, Javanese Lives....., 1991, hlm. 169, 170, 171, 172
58
Lev, ‘Intermediate Classes and.....’, 1990, hlm. 30.
59
Cole & Slade, Building a Modern Financial..., 1996, hlm. 114.
60
Warta Ekonomi 5 Juni 1989.
61
Jones & Hull, ‘Demographic.....’, 1994, hlm. 176
62
Untuk kisah tentang bagaimana tata-kota Jakarta berubah selama periode ini, lihat Jellinek, ‘Jakarta,
Indonesia...’, 2000.
63
Bishop, Essential…, 2004, hlm. 22.
64
Backhouse, The Ordinary Business…, 2002, hlm. 271-272
65
Smith, The Wealth of…, [1776] 2000, hlm. 456.
66
Lihat data BI 2007-2008.
67
Bank Indonesia, Statistik Ekonomi…, Juni 2009 (diolah).
68
Bank Indonesia, Statistik Ekonomi…, Juni 2009 (diolah).
69
Bandingkan, misalnya, dengan Bank Indonesia, Laporan Perekonomian…, 2008, hlm. 105.
70
Institute for Ecosoc Rights, Mendengarkan Kota…, 2007, hlm. 175.
71
Hasil temuan penelitian Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA), 2007.
72
Harvey, The Spaces of Global..., 2006, hlm. 104.
73
Kecenderungan ini tentu belum sejelas seperti yang terjadi di Jakarta, namun makin dapat dikenali dari
perhatian para kepala daerah yang lebih tertuju pada penarikan para investor global ketimbang pada
pengembangan secara evolusioner kapasitas ekonomi penduduk daerah sendiri – Lihat, misalnya, laporan
khusus para kepala daerah dalam majalah TEMPO, 22-28 Desember 2008 (Edisi Khusus Akhir Tahun).
74
Bandingkan, misalnya, dengan Pile, ‘Sleepwalking in the Modern City…’, 2003, hlm. 84.
75
Survei AC Nielsen (2005) sebagaimana dikutip dalam Institute for Ecosoc Rights, Mendengarkan Kota...
2007, hlm. 175-176.
76
Institute for Ecosoc Rights, Mendengarkan Kota…, 2007, hlm. 182-188.
77
Institute for Ecosoc Rights, Mendengarkan Kota…, 2007, hlm. 189-194. Banyak contoh lain dapat
ditemukan, misalnya, dalam Institut Sosial Jakarta, Jakarta bukan untuk…, 2003; FAKTA, Bunga
Trotoar…, 2004.
78
Kasus-kasus perubahan status lahan Jakarta bagi sentra-sentra residensi mewah dan pasar transnasional
ini dapat ditemukan, misalnya, dalam Jellinek, ‘Jakarta, Indonesia...’, 2000.
79
The Jakarta Post, 12 September 2009, hlm. 18.
80
Suara Pembaruan, 10 Oktober 2009, hlm. 7.
81
Institute for Ecosoc Rights, Mendengarkan Kota…, 2007, hlm. 301; lihat juga laporan khusus mengenai
kisah di balik berdirinya villa-villa ini, Suara Pembaruan, 20 Maret 2007, hlm. 7.
82
Sassen, ‘Analytic Borderlands…’, 2003, hlm. 174, 175.
83
Sassen, ‘Analytic Borderlands…’, 2003, hlm. 175.
84
The Jakarta Post, 12 September 2009, hlm. 19.
85
The Jakarta Post, 30 September 2009, hlm. 18.
86
Harvey, The Condition of…, 1990, hlm. 344.
87
Jameson, ‘Future City’…, 2003, hlm. 78.
88
Lefebvre, The Urban Revolution…, 2003, hlm. 182, 183. Bandingan juga dengan: “Dalam ruang sosial
yang telah diabstraksi ini..., para pemakainya secara spontan akan mengubah diri, kehadiran, pengalaman
21

hidup, dan bahkan tubuhnya menjadi abstraksi pula. Ruang yang diabstraksi pada gilirannya melahirkan
dua abstraksi lanjut: para pemakainya tidak lagi mengenali siapa dirinya, dan mereka tidak sanggup
mengambil jarak dari dirinya” (Lefebvre, The Production of..., 1991, hlm. 93).
89
Untuk kajian mengenai volatilitas sektor keuangan yang berulang kali telah membawa krisis ekonomi di
Indonesia, lihat misalnya Prasetyantoko, Bencana Finansial…, 2008.
90
Bridge & Watson, “City Economies’…, 2003, hlm. 108.
91
Bandingkan, misalnya, dengan Pile, ‘Sleepwalking in the Modern City…’, 2003, hlm. 85.
92
Lefebvre, The Urban Revolution…, 2003, hlm. 182.
93
Lefebvre, Writing on Cities…, 1996, hlm. 149-150.
94
Harvey, The Spaces of Global..., 2006, hlm. 146.
95
Harvey, The Spaces of Global..., 2006, hlm. 147.
96
Surat pembaca (Matt Simon), The Economist, 5 January 2008, hlm. 11.

Daftar Pustaka
Backhouse, Roger E., The Ordinary Business of Life: A History of Economics from the
Ancient World to the Twenty-First Century, New Jersey: Princeton University
Press, 2002.
Bank Indonesia, Laporan Perekonomian Indonesia 2008.
Bank Indonesia, Statistik Ekonomi Keuangan Indonesia, Jakarta, Juni 2009.
Bank Indonesia Statistik Ekonomi Moneter Indonesia, Jakarta Agustus 2009.
Bishop, Matthew, Essential Economics, London: The Economist Books, 2004.
Bridge, Gary & Watson, Sophie, ‘City Economies’ dalam G. Bridge & S. Watson (eds),
A Companion to the City, Oxford: Blackwell, 2003, hlm. 101-114.
Castells, Manuel, Informational City: Information, Technology, Economic Restructuring
and the Urban-Regional Process, Oxford: Blackwell, 1989.
Castells, Manuel, The Power of Identity, Oxford: Blackwell, 1997.
Castells, Manuel, The Rise of the Network Society, Oxford: Blackwell, 2000 (2nd Edition).
Castells, Manuel, End of Millennium, Oxford: Blackwell, 2000 (2nd Edition).
Chung Tong Wu, ‘Diaspora Capital and Asia Pacific Urban Development’ dalam G.
Bridge & S. Watson (eds), A Companion to the City, Oxford: Blackwell, 2003,
hlm. 207-223.
Cole, David C. & Slade, Betty F., Building a Modern Financial System: The Indonesian
Experience, Cambridge: Cambridge University Press, 1996.
Davis, Mike, ‘Planet of Slums’, New Left Review, 26, March-April 2004, hlm. 5-34.
Douglass, Mike, Civil Society for Itself and in the Public Sphere: Comparative Research
on Globalization, Cities and Civic Space in Pacific Asia, makalah penelitian
disampaikan dalam GRAD Conference, Vancouver, 14-16 June 2003.
Duménil, Gérard & Lévy, Dominique, Capital Resurgent: Roots of the Neoliberal
Revolution, Cambridge, MA: Harvard University Press, 2004.
(The) Economist (Mingguan), berbagai edisi.
FAKTA, Bunga Trotoar: Sebuah Tinjauan terhadap Keberadaan Pedagang Kaki Lima
dalam Roda Pembangunan Jakarta, Jakarta: FAKTA, 2004.
Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA), Power-Point Kajian Anggaran
DKI Jakarta 2007.
22

Ferguson, Niall, The Cash Nexus: Money and Power in the Modern World, London:
Penguin, 2002.
Gabel, Medard & Bruner, Henry, Global Inc.: An Atlas of the Multinational Corporation,
New York: The New Press, 2003.
Goux, Jean-Joseph, Symbolic Economies: After Marx and Freud, Ithaca: Cornell
University Press, 1990.
Harris, N., ‘Technologistics’, Urban Age, 6, hlm. 9-11.
Harvey, David, Social Justice and the City, London: Edward Arnold, 1973.
Harvey, David, The Condition of Postmodernity: An Enquiry into the Origins of Cultural
Change, Oxford: Blackwell, 1990.
Harvey, David, Spaces of Global Capitalism: Towards a Theory of Uneven Geographical
Development, London: Verso, 2006.
Heuken, Adolf, Sumber-sumber Asli Sejarah Jakarta – Jilid II, Jakarta: Cipta Loka
Caraka, 1999.
Institut Sosial Jakarta, Jakarta bukan untuk Orang Miskin, Jakarta: Institut Sosial Jakarta,
2003.
Institute for Ecosoc Rights, Mendengarkan Kota, Jakarta: Institute for Ecosoc Rights &
UNDP/Partnership, 2007.
(The) Jakarta Post (Harian), berbagai edisi.
Jameson, Fredric, ‘Future City’, New Left Review, 21, May-June 2003, hlm. 65-79.
Jellinek, Lea, ‘Jakarta, Indonesia: Kampung Culture or Consumer Culture?’ dalam N.
Low et al. (eds), Consuming Cities: The Urban Environment in the Global
Economy after the Rio Declaration, London: Routledge, 2000, hlm. 265-280.
Jones, Gavin W. & Hull, Terrence H., ‘Demographic Perspectives’ dalam H. Hill (ed.)
Indonesia’s New Order: the Dynamics of Socio-economic Transformation,
Sydney: Allen & Unwin, 1994, hlm. 123-178.
KOMPAS (Harian), berbagai edisi.
KONTAN (Mingguan), berbagai edisi.
Lefebvre, Henri, The Production of Space, Oxford: Blackwell, 1991.
Lefebvre, Henri, Writing on Cities (terjm. & ed. E. Kofman & E Lebas), Oxford:
Blackwell, 1996.
Lefebvre, Henri, The Urban Revolution (terjm. R. Bononno), Minneapolis: University of
Minnesota Press, 2003.
Lev, Daniel S., ‘Intermediate Classes and Change in Indonesia: Some Initial Reflections’
dalam R. Tanter & K. Young (eds.), The Politics of Middle-Class Indonesia,
Clayton: Centre of Southeast Asian Studies, Monash University, 1990, hlm. 25-
43.
Litvin, Daniel, Empires of Profit: Commerce, Conquest and Corporate Responsibility,
New York: Texere, 2003.
New Internationalist (Bulanan), berbagai edisi.
Pile, Steve, ‘Sleepwalking in the Modern City: Walter Benjamin and Sigmund Freud in
the World of Dream’ dalam G. Bridge & S. Watson (eds), A Companion to the
City, Oxford: Blackwell, 2003, hlm. 75-86.
Prasetyantoko, A., Bencana Finansial: Stabilitas sebagai Barang Publik, Jakarta:
Penerbit Kompas, 2008.
23

Sassen, Saskia, Globalization and Its Discontents, New York: The New Press, 1998.
Sassen, Saskia, The Global City: New York, London, Tokyo, New Jersey: Princeton
University Press, 2001, 2nd Edition.
Sassen, Saskia, ‘Analytic Borderlands: Economy and Culture in the Global City’ dalam
G. Bridge & S. Watson (eds), A Companion to the City, Oxford: Blackwell, 2003,
hlm. 168-180.
Smith, Adam, The Wealth of Nations (ed. E. Cannan), New York: Modern Library,
[1776] 2000.
Strange, Susan, Casino Capitalism, Oxford: Blackwell, 1986.
Suara Pembaruan (Harian), berbagai edisi.
UN Habitat, State of the World’s Cities 2008/2009, London: Earthscan, 2008.
UN Habitat, Report (berbagai edisi).
Williams, Walter L., Javanese Lives: Women and Men in Modern Indonesian Society,
New Brunswick: Rutgers University Press, 1991.

Jakarta, 15 Oktober 2009.


© B. Herry-Priyono

Anda mungkin juga menyukai