TUGAS MATRIKULASI
MATA KULIAH TAUHIDY STRING RELATION (TSR)
DOSEN : Ir. Hayu Prabowo, MH
Dibuat oleh :
Nama : Juju Zubair
NPM : 20101220010
I. Pendahuluan
Apakah moral dan etika menjadi bagian dari perilaku ekonomi ? Pandangan
ekonomi kapitalis menanamkan doktrin bahwa tujuan dari kegiatan ekonomi adalah
meraih keuntungan (nominal) yang sebesar-besarnya. Untuk mencapai tujuan ini, maka
mereka memandang bahwa moral dan etika justru akan menghambat tercapainya tujuan
tersebut. Oleh karenanya moral dan etika tidak mendapat tempat bagi mereka. Mereka
menganut dan menggemakan cara pandang ekonomi klasik yang dilahirkan Adam Smith
bahwa sebuah kegiatan ekonomi (bisnis) tidak mempunya tanggungjawab social dan
bisnis terlepas dari “etika”. Theodore Levitt mengungkapkan bahwa tanggung jawab
perusahaan hanyalah mencari keuntungan ekonomis belaka.1
Doktrin ini mendominasi keputusan-keputusan bisnis yang diambil oleh para
penganutnya, mulai dari ide/gagasan, perancangan, produksi dan pemasarannya. Kita
banyak menemukan “pelanggaranan moral dan etika” dalam berbagai kegiatan bisnis
tersebut. Banyak contoh ide bisnis yang cenderung radikal yang menjadi menu sehari-
hari seperti ide bisnis judi, bisnis sex, bisnis perang, bisnis jual beli pulau dan bisnis mistik.
Lebih gencar lagi adalah model pemasaran bisnis yang terpampang dan tertayang setiap
detik seperti iklan seronok berbagai produk toiletres, pembodohan public pada iklan
makanan, minuman dan obat-obatan. Demikian juga dengan model pemasaran langsung
yang manipulative dengan rayuan “bonus atau hadiah” sehingga tidak lagi
memperhatikan harga jual dan lain sebagainya. Sementara di sisi produksi, ekploitasi
buruh begitu kentara. Mereka diperas bagaikan robot, sementara hak-hak mereka
dikebiri. Fenpomena kekerasan pada TKI adalah salah satu akibat yang ditimbulkannya.
Dalam pandangan para penganut ekonomi kapitalis individualis, semua cara diatas
sah-sah saja, yang penting bagaimana mereka menjual produknya dengan keuntungan
sebesar-besarnya. Hal ini pula yang melatarbelakangi perampokan kekayaan Negara
(rakyat) oleh para konglomerat pengemplang BLBI pada masa krisis melanda Indonesia
akhir tahun 90-an. Ketika berbicara tentang etika bisnis, mereka berdalih bahwa bisnis
adalah value free (bebas nilai). Memasukkan nilai etika dan moral dalam bisnis akan
1
Agustianto, MA,Drs, “ Etika Bisnis Dalam Islam” 2009
menjadi penyebab tidak ilmiah dan tidak objektifnya kegiatan ekonomi itu sendiri, dan
bertentangan dengan prinsif ekonomi yaitu mencari keuntungan sebesar-besarnya,
karena akan mempersempit ruang gerak kegiatan ekonomi mereka.
Doktrin pemikiran ekonomi kapitalis-individualis ini memang terbukti bisa
menggenjot keuntungan financial (nominal) pada para pelakunya secara individu. Data
menunjukkan bahwa investasi swasta, domestic dan asing, tiga kali lipat daripada
investasi pemerintah Indonesia. Terlebih lagi setelah memasuki era ekonomi dan
keuangan global, dengan prinsif bebas nilai, mereka bisa mempengaruhi kedaulatan
sebuah Negara, terutama Negara sedang berkembang atau Negara miskin, tanpa harus
menguasai Negara atau menjajahnya. Dengan mempengaruhi kebijakan ekonomi dengan
pola pinjaman lunak dan penanaman modal, para kapitalis bisa menguasai asset-aset
penting dan sumber daya alam sebuah Negara, tanpa mempedulikan kesejahteraan
penduduknya, kerusakan alam yang ditimbulkannya, polusi yang mencemari daratan,
perairan dan juga udaranya. Mereka mengeruk keuntungan sebanyak-banyaknya dan
meninggalkan sisa-sisa kerusakan dan kehancuran tanpa rasa tanggungjawab moral dan
etika.
Hilangnya moral dan etika dalam kegiatan ekonomi dan bisnis, bukan saja
meninggalkan kerusakan dan kesengsaraan secara massif, tetapi juga menjadi penyebab
terjadinya buble economics, karena penguasaan ekonomi oleh segelintir orang saja. Pada
kacamata makro, senantiasa terlihat angka pertumbuhan ekonomi yang fantastis, namun
dilihat dari sisi ekonomi mikro, terjadi pemiskinan dan penurunan ekonomi masyarakat.
Hal ini terjadi karena terjadinya kesenjangan ekonomi yang sangat lebar. SEbagai contoh,
BPS menetapkan garis kemiskinan pada angka penghasilan Rp 200 ribu per bulan,
sementara segelintir orang bisa mendapatkan penghasilan 1-2 milyar perbulan. Artinya
gap penghasilan bisa mencapai 1:10.000. Dengan kondisi ini pula, ekonomi sebuah
Negara bisa dikuasai oleh segelintir orang saja.
Dengan fakta-fakta di atas, adalah penting bagi semua pelaku ekonomi, baik secara
individual atau institusi, untuk mengembangkan diskursus ilmu ekonomi yang bisa
menampung tujuan kegiatan ekonomi berupa perolehan keuntungan dan sekaligus bisa
mencegah kerusakan dan dampak-dampak negative dari upaya perolehan keuntungan
tersebut. Apakah dengan memasukkan nilai-nilai moral dan etika dalam kegiatan
ekonomi dengan system yang ada bisa memberikan solusi yang komprehensif, atau
menggunakan system ekonomi lain yang sudah mengintegrasikan tujuan kegiatan
ekonomi dengan nilai-nilai moral dan etika ?
II. Sejarah Moral dan Etika dalam Kegiatan Ekonomi menurut Al-Qur’an.
Menilik sejarah perkembangan manusia dalam kegiatan ekonomi, kita menemukan
bahwa kegiatan ekonomi tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan dirinya sendiri, tetapi
senantiasa ada misi yang lain yang terkandung di dalamnya. Sejarah menunjukkan bahwa
misi kegiatan ekonomi pada masa sebelum munculnya kapitalisme terbagi pada dua sisi.
Sisi pertama, kegiatan ekonomi senantiasa bertujuan untuk memberikan manfaat kepada
rakyat, baik melalui isntitusi kenegaraan ataupun tidak. Hal ini menjadi tolok ukur
perilaku manusia dalam kegiatan ekonomi mereka yang senantiasa didasarkan pada
moral dan etika. Praktek-praktek curang, ketidak jujuran, penipuan, pencurian – baik
eksplisit ataupun inplisit, adalah suatu hal yang harus dihindarkan oleh siapapun. Dan
siapapun yang melanggarnya akan dikenakan sanksi atau hukuman. Tidak sedikit dari
para nabi yang diutus Allah SWT untuk menerapkan misi kegiatan ekonomi yang
bermoral dan beretika. Sebagai contoh, Nabi Suaeb as diutus di tengah-tengah kaumnya
yang menjalankan praktek ekonomi curang yang digambarkan dalam kecurang timbangan
dan takaran (QS Asy-Syu’aro 181-183). Nabi Yusuf a.s menunjukkan kepiawaiannya
dalam mengelola ekonomi Negara untuk kesejahteraan rakyat secara merata (QS Yusuf
54-56). Demikian juga misi kerasulan Muhammad saw yang membawa risalah Islam
adalah untuk membawa kesejahteraan bagi seluruh umat manusia (QS Al-Anbiya 107).
Sejak masa Rasulullah sampai masa kejayaan Islam, sangat jelas terlihat bahwa misi
ekonomi adalah untuk memberikan kesejahteraan kepada rakyat secara merata. Bahkan
dakwah dan penyebaran agama Islam pun, tidak lepas dari misi kesejahteraan rakyat ini.
Secara individu para da’i melakukan dakwah sambil menunjukkan praktek-praktek
ekonomi yang benar. Muhammad saw bahkan telah menunjukkan keunggulan konsep
ekonominya sebelum beliau diangkat menjadi Rasul. Kegiatan ekonomi yang dijalankan
dengan moral dan etika telah dengan nyata membawa kepada kemajuan dan
perkembangan yang sangat pesat. Marsudi mengatakan bahwa berdasarkan berbagai
literature sejarah, Muhammad saw telah menjadi pedagang kaya dan mapan pada usia
tidak lebih dari 37 tahun. Dengan bekal kemapanan ekonomi itulah beliau menjalankan
tugasnya sebagai Rasul dan menggunakan kekayaannya sebagai bekal dakwahnya.
Dengan kata lain, kegiatan ekonomi yang mengusung misi kerakyatan akan membawa
kepada kesejateraan secara merata dan menghindarkan manusia dari kerusakan. 2
Di sisi lain, Kegiatan ekonomi yang menyimpang dari misi kesejahteraan rakyat
secara merata akan senantiasa membawa kesengsaraan dan kehancuran. Penguasaan
kekayaan (ekonomi) yang dijadikan alat untuk melahirkan tirani kekuasaan, akan menjadi
cikal bakal jatuhnya peradaban. Sebuah Negara besar akan mengalami kehancuran ketika
misi kegiatan ekonominya telah menyimpang. Inilah yang terjadi pada negeri Saba’ (QS
Saba 16-17). Contoh lain penyimpangan misi ekonomi adalah pemikiran ekonomi
individualistic. Sejarah menunjukkan bahwa pemikiran misi ekonomi individualistic akan
menuai kehancuran dengan sendirinya. Simbol dari kehancuran ekonomi individualistic
adalah Qarun (QS Al-Qashshash 76-80).
Dari sejarah tersebut, kita bisa menyimpulkan secara komprehensif bahwa
kemajuan dan perkembangan ekonomi yang sebenarnya (hakiki) akan tercapai ketika
kegiatan ekonomi dibingkai oleh moral dan etika. Hal ini didasarkan pada paradigm
ekonomi yang tidak menjadikan keuntungan nominal (angka) sebagai satu-satunya tujuan
kegiatan ekonomi, tetapi ada nilai-nilai yang senantiasa beriringan dengan kegiatan
ekonomi itu sendiri yaitu kemaslahatan manusia secara merata.
John Echols dalam Kamus Inggris Indonesia (1992:219) mengartikan moral sebagai
moral, akhlak atau susila dan Ethics berarti etika atau tata susila. Sedangkan Uno
menyebutkan bahwa etika berasal dari Bahasa latin yang berarti falsafah moral dan
merupakan cara hidup yang benar dilihat dari sudut budaya, susila dan agama. (Uno
dalam Anderson, 2004).
Sim (2003) dalam bukunya Ethics and Corporate Social Responsibility - Why Giants
Fall, menyebutkan:
Ethics is a philosophical term derived from the Greek word “ethos,” meaning
character or custom. This definition is germane to effective leadership in organizations in
that it connotes an organization code conveying moral integrity and consistent values in
service to the public.
2
Marsudi, Learning Revolution, Jakarta 2009
Jadi, ada beberapa kata kunci di sini, yaitu:
Ethics: Is the discipline that deals with what is good and bad and with moral
duty and obligation, can also be regarded as a set of moral principles or
values.
Ethical behavior: Is that which isaccepted as morally “good” and “right” as
opposed to “bad” or “wrong” in a particular setting.
Morality: A system or doctrine of moral conduct which refers to principles of
3
right and wrong in behavior.
Dunia etika adalah dunia filsafat, nilai, dan moral. Dunia bisnis adalah dunia
keputusan dan tindakan. Etika bersifat abstrak dan berkenaan dengan persoalan baik
dan buruk, sedangkan bisnis adalah konkrit dan harus mewujudkan apa yang telah
diputuskan. Hakikat moral adalah tidak merugikan orang lain. Artinya moral senantiasa
bersifat positif atau mencari kebaikan. Dengan demikian sikap dan perbuatan dalam
konteks etika bisnis yang dilakukan oleh semua yang terlibat, akan menghasilkan sesuatu
yang baik atau positif, bagi yang menjalankannya maupun bagi yang lain. Sikap atau
perbuatan seperti itu dengan demikian tidak akan menghasilkan situasi “win-lose”, tetapi
akan menghasilkan situasi ”win-win”.
Apabila moral adalah nilai yang mendorong seseorang untuk melakukan atau tidak
melakukan sesuatu, maka etika adalah rambu-rambu atau patokan yang ditentukan
3
Komenaung, Anderson Guntur, Etika Dalam Bisnis, Manado 2004.
sendiri oleh pelaku atau kelompoknya. Karena moral bersumber pada budaya
masyarakat, maka moral dunia usaha nasional tidak bisa berbeda dengan moral
bangsanya. Moral pembangunan haruslah juga menjadi moral bisnis pengusaha
Indonesia.4
Dari berbagai pengertian tentang etika dan moral, kemudian dikaitkan dengan kegiatan
ekonomi atau bisnis, kita bisa menarik kesimpulan bahwa pemikiran yang menyatakan
kegiatan ekonomi bebas nilai dan tidak terikat dengan tanggungjawab moral dan social
bisa terbantahkan. Hal bukan hanya didasarkan kepada teori ekonomi syariah, tetapi
banyak para ahli ekonomi barat sendiri yang telah menggugat teori ekonomi Smith yang
mereka sebut sebagai biang kehancuran ekonomi. Bahkan Ormenof menyebutnya
sebagai kematian ekonomi (Ormenof dalam Agustianto, 2009). Obat yang paling mujarab
untuk membangkitkan kembali kehidupan ekonomi adalah dengan etika dan moral. Prof.
Taussiq menyatakan dengan lantang “ Obat paling mujarab bagi kerusakan dunia bisnis
adalah norma moral yang baik untuk semua dunia industry.”
Sedangkan terkait dengan materi yang merupakan bagian dari rizqi Allah, seorang muslim
meyakini bahwa Allah-lah yang memberikan rizqi, melapangkannya atau
menyempitkannya. Sebesar apapun keuntungan materi yang diraih dalam kegiatan
ekonomi, bagian yang bisa dinikmati oleh mereka hanyalah yang telah ditentukan Allah
saja. Oleh karenanya, diakhir QS Al-Jumu’ah, Allah menegaskan “ Dan Allah lah sebaik-
baik Pemberi Rizqi.”
2. Akhlak
Kesatuan antara ekonomi dengan akhlak ini akan semakin jelas pada setiap
langkah ekonomi, baik yang berkaitan dengan produksi, konsumsi, ditribusi atau
5
Hafiduddin, Didin, Drs. “Dakwah Aktual” Jakarta 1998
kegiatan lainnya. Akhlak adalah landasan sekaligus bingkai bagi setiap aktivitas
ekonomi. Jack Aster, pakar ekonmi Prancis, dalam bukunya Islam dan
Perkembangan Ekonomi, menyatakan bahwa Islam adalah system hidup yang
aplikatif dan secara bersamaan mengandung akhlak yang tinggi, keduanyatidak
bisa dipisahkan. Oleh karenanya, system ekonomi apapun yang bertentangan
dengan prinsif ini, tidak bisa diterima oleh seorang muslim, seperti kapitalisme,
sosialisme, liberalism yang hanya mementingkan satu sisi ekonomi yaitu materi
belaka. Dari berbagai permasalah yang muncul dari system-sistem ekonomi
tersebut, maka akhlak ini mampu member makna baru terhadap konsep nilai
dan mampu mengisi kekosongan pikiran yang nyaris muncul akibat era
industrialisasi.
3. Kemanusiaan
Ekonomi islam adalah ekonomi kemanusiaan artinya ekonomi yang
memungkinkan manusia memenuhi kebutuhannya, baik yang bersifat
kebendaan atau yang bersifat kejiwaan. Sebagai pelaku kegiatan ekonomi,
manusia tidak terlepas dari nilai kemanusian yang sangat menonjol dalam
berbagai aktivitasnya yaitu keadilan, persaudaraan, saling mencintai, saling
membantu dan tolong menolong. Dengan nilai-nilai ini, maka harta tidak
selayaknya hanya dikuasai oleh segelintir orang saja (QS 59:7). Seorang muslim
senantiasa menyadari bahwa di dalam hartanya terdapat hak-hak orang lain
baik yang melekat secara langsung (zakat) atupun yang tidak melekat (shadaqah
dll) (QS 70 :24-25). Oleh karenanya, setiap muslim senantiasa menyediakan
sebagian dari harta yang dimilikinya untuk orang lain yang berhak (QS 9:60).
4. Pertengahan/Keseimbangan
Keseimbangan merupakan ruh dari ajaran Islam sekaligus menjadi ruh pula bagi
kegiatan ekonomi Islam. Oleh karenanya, Islam menetapkan konsep
kepemilikan harta yang seimbang antara kepemilikan harta individu,
kepemilikan kolektif dan kepemilikan Negara. Hal ini menjadi penting dalam
rangka menjaga hak-hak setia manusia terhadap harta. Dengan terjaganya hak-
hak tersebut, maka akhlak dan moral dalam berusaha mencari harta (kegiatan
ekonomi), tidak akan melakukan tindakan yang bisa merugikan atau merusak
kepemilikan umum dan kepemilikan Negara. Seorang muslim, lebih baik
mengorbakan kepemilikan individunya daripada mengorbankan kepemilkan
umum atau Negara. Keseimbangan inilah yang tidak ditemukan pada system
perekonomian lain. Kapitalisme cenderung lebih mementingkan kepemilikan
individu dan mengabaikan kepemilikan umum, sebaliknya sosialisme cenderung
mengutamakan kepemilikan bersama dan mengabaikan kepemilikan individu.
Jadi sangat jelas bahwa moral dan etika dalam kegiatan ekonomi dalam pandangan Islam
merupakan sesuatu yang inheren, melekat dan tidak bisa dipisahkan. Dan dalam
perkembangannya, kegiatan ekonomi modern pun mulai menyadari prinsif ini. Hal ini
mulai ditunjukkan dengan adanya Corporate Social Responsibility (CSR), kinerja usaha
berbasis pelayanan, kinerja usaha berbasis lingkungan dan program-program social
lainnya yang merebak dilakukan oleh berbagai perusahaan. Meskipun dalam prakteknya,
masih ditemukan penyimpangan-penyimpangan dari tujuan utamanya. Sisi
komersialisasinya masih sangat kental dibandingkan dengan sisi sosialnya. Namun hal ini
merpakan langkah awal yang baik yang harus terus ditingkatkan dalam pelaksanaannya
ke depan.
Wallahu a’lam