Sudah maklum dikalangan ulama dan kaum muslimin bahwa dosa itu terbagi menjadi dua
macam; kabair (dosa-dosa besar) dan shaghair (dosa-dosa kecil). Walau demikian ada
juga sebagian ulama yang tidak melihat adanya pembagian seperti ini, namun
menganggap bahwa seluruh kemaksiatan dan penyelewangan dari jalan Allah adalah dosa
besar karena merupakan keberanian dan kelancangan dihadapan Allah. Orang yang
mengatakan demikian karena melihat betapa besarnya hak Allah atas hamba- hamba-Nya.
Ada diantara ulama yang mengatakan: "Suatu dosa dianggap kecil hanya lantaran jika
dibandingkan dengan dosa lain yang lebih besar, jika tidak tentulah semua dosa itu besar
adanya. "Namun pendapat ini lemah sebab Allah sendiri telah membagi dosa dalam dua
bagian yaitu fawahisy/ kabair dan al lamam/shaghair sebagaimana firmanNya:
"(Yaitu) orang yang menjauhi dosa-dosa besar dan perbuatan keji yang selain dari
kesalahan-kesalahan kecil (QS An Najm: 32)
Jadi pendapat yang benar -wallahu a'lam - adalah bahwa dosa itu terbagi menjadi dua;
besar dan kecil. Dan kabair tidaklah terbatas dengan suatu bilangan tertentu namun apa
saja yang dilarang oleh Allah dan disertai dengan ancaman Neraka, murka, laknat, adzab
atau berhadapan dengan sanksi hadd (hukuman berat yang telah ditentukan jenisnya) di
dunia maka itulah kabair, dan yang yang selain demikain maka tergolong shaghair(ithaf
as saadah al muttaqin 10/ hal 615-616).
Imam Ibnul Qayyim pernah berkata: "Dosa-dosa besar biasanya disertai dengan rasa
malu dan takut serta anggapan besar atas dosa tersebut, sedang dosa kecil biasanya tidak
demikian. Bahkan yang biasa adalah bahwa dosa kecil sering disertai dengan kurangnya
rasa malu, tidak adanya perhatian dan rasa takut, serta anggapan remeh atas dosa yang
dilakukan, padahal bisa jadi ini adalah tingkatan dosa yang tinggi (tahdzib madarij as
salikin hal 185-186). Dengan demikian maka dosa kecil dapat berubah menjadi besar
dengan adanya faktor-faktor yang memperbesarnya, yaitu:
Ibnu Mas'ud Radhiallaahu 'anhu pernah berkata: "Seorang mukmin melihat suatu
dosa seakan-akan ia duduk dibawah gunung dan takut jikalau gunung itu
menimpanya dan orang fajir (pendosa) melihat dosa bagaikan lalat yang lewat
didepan hidungnya seraya berkata "begini", Ibnu Syihab menafsirkan: yakni
berisyarat (mengebutkan) tangannya didepan hidung untuk mengusir lalat.
Suatu ketika shahabat Anas Radhiallaahu 'anhu pernah berkata kepada sebagian
tabi'in: "Sesungguhnya kalian semua melakukan suatu perbuatan yang kalian
pandang lebih kecil dari pada biji gandum padahal di masa Nabi saw kami
menganggapnya sebagai sesuatu yang dapat membinasakan. "(riwayat Al
Bukhari). Di sini bukan berarti Anas mengatakan bahwa dosa besar dimasa
Rasulullah dihitung sebagai dosa kecil setelah beliau wafat, namun itu semata-
mata karena pengetahuan para shahabat akan keagungan Allah yang lebih
sempurna. Makanya dosa kecil bagi mereka-jika sudah dikaitkan dengan
kebesaran Allah- akan menjadi sangat besar. Dan dengan sebab ini pula maka
suatu dosa akan dipandang lebih besar jika dilakukan orang alim dibandingkan
jika pelakunya orang jahil, bahkan bagi orang awam boleh jadi suatu dosa
dibiarkan begitu saja (dimaklumi) karena ketidaktahuannya yang mana itu tentu
tidak berlaku bagi orang alim dan arif. Atau dengan kata lain bahwa besar
kecilnya suatu dosa sangat berkaitan erat dengan tingkat pengetahuan dan
keilmuan pelakunya (ithaf as-sa'adah al- muttaqin 10/690).
Orang ini sudah begitu lupa dengan kejelekan dosa sehingga malah senang tatkala
dapat melampiaskan keinginan- nya yang terlarang. Dan perasaan senang terhadap
suatu kemaksiatan menunjukkan adanya keinginan untuk melakukannya,
sekaligus menunjukkan ketidaktahuannya dengan Dzat yang ia maksiati,
buruknya akibat dan besarnya bahaya kemaksiatan. Rasa senang dengan dosa
telah menutupi semua itu, dan senang dengan suatu dosa lebih berbahaya daripada
dosa itu sendiri. Sebab. orang yang berbuat suatu dosa namun sebenarnya tidak
senang dengan perbuatan itu maka ia akan segera menghentikannya. Sedangkan
rasa senang dengan dosa akan menimbulkan keinginan untuk terus melakukannya.
Jika kealpaan dan kelalaian semacam ini telah begitu parah maka akan
menyeretnya untuk melakukan dosa tersebut secara terus menerus, merasa tenang
dengan perbuatan salah dan bertekad untuk terus melakukannya. Dan ini adalah
jenis lain dari dosa yang jauh lebih berbahaya daripada dosa yang ia lakukan
sebelumnya.
"Dan mereka mengatakan pada diri mereka sendiri: "Mengapa Allah tidak
menyiksa kita disebabkan apa yang kita katakan itu" Cukuplah bagi mereka
neraka Jahannam yang akan mereka masuki. Dan neraka itu adalah seburuk-buruk
tempat kembali." (QS. Al-Mujadilah: 8)
• Jika pelakunya adalah orang alim yang jadi panutan atau dikenal
keshalihannya
Yang demikian apabila ia melakukan dosa itu dengan sengaja, disertai
kesombongan atau dengan mempertentangkan antara nash yang satu dengan yang
lain maka dosa kecilnya bisa berubah menjadi besar. Tetapi lain halnya jika
melakukannya karena kesalahan dalam ijtihad, marah atau yang semisalnya maka
tentunya itu dimaafkan.
(Dari Al-'Ibadat Al-Qalbiyah, Dr. Muhammad bin Hasan bin Uqail Musa Asy-
Syarif)
Sumber: www.alsofwah.or.id
Htm2PDF by www.as-salaam.co.cc