MAFIA KESEHATAN
OLEH:
IRSAN
N11108293
FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2011
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Dan tak salah bila muncul pernyataan yang mengatakan bahwa “orang
miskin kesehatan dilarang sakit”. Karena selama ini kesehatan ibarat barang
mewah bagi mereka. Realitanya, banyak rumah sakit pemerintah yang sering
melakukan penolakan untuk memberikan pelayanan kesehatan bagi mereka
yang lemah dan terpinggirkan. Harga obat yang mahal pun semakin menambah
penderitaan “orang miskin”.
PEMBAHASAN
A. MAFIA KESEHATAN
1. Mafia
Organisasi ini biasa dikelola oleh suatu keluarga yang kuat dan
menonjol,dan erat pertalian darahnya yang disebut cosca.Setiap cosca ini
dikepalai oleh seorang don yang selalu memberi perintah perintah rahasia untuk
melindungi organisasinnya.
2. Definisi kesehatan
Mari kita coba lihat secara seksama, dalam UU Pokok Kesehatan No. 9 tahun
1960 Bab I
Pasal 2, kesehatan dilihat dari tiga aspek, yaitu :Aspek Jasmani, Aspek Rohani
(Mental), dan Aspek Sosial
Bicara mengenai kejahatan kesehatan dan medis mau tidak mau kita
akan melihat dan mengungkapakan siapa siapa yang terlibat didalamnnya dan
skala besar kejahatan yang dimainkannya.
Para peracik obat ini tidak hanya obat yang diresepkan, tetapi bahan
kimia lain yang diperlukan untuk tujuan yang berbeda. Bahkan, di masa lalu para
peracik obat ini pernah mengalami reputasi buruk yakni ia menjual berbagai jenis
racun untuk kejahatan dan bertanggung jawab atas banyak kematian yang
sengaja dilakukan. Sejak zaman dahulu, industri ini dianggap memiliki nilai
ekonomis ynag sangat tinggi dan sangat dibutuhkan oleh orang banyak
kalangan, yang bahkan rela menyimpan racikan-racikan obat dalam
perhiasannya sebagai persediaan jika dibutuhkan
Dalam hal ini terdapat dualisme antara fungsi farmasist, dalam konteks
teknologi produksi obat, dan tugas apoteker sebagai perakit obat dan penyedia
obat. Kesimpangsiuran ini masih ditambah dengan hadirnya medical
representative sebagai marketing industri obat yang oleh para dokter dianggap
lebih mampu memberikan informasi yang lengkap tentang produksi ketibang para
farmasist. Sehingga fungsi farmasist mulai bergeser dan hubungan harmonis
antara dokter dan farmasistmulai mngalami keretakan. Apalagi untuk alasan
kepraktisan dokter kembali lagi ke fungsi semula sebagai terapis penyedia obat
yang sering dikenal dengan dispensing resep.
Hal ini disebabkan karena dokter yang sering memberikan obat sendiri
langsung kepada pasien. Tindakan ini menurut kode etik kedokteran
seharusnnya dilarang karena sudah ada kesepakatan, untuk memisahkan ilmu
kedokteran dan farmasi dalam bidang tugas yang berbeda. Dokter hanya boleh
memberikan obat langsung berupa injeksi atau jika kondisi pasien gawat darurat
dan segera membutuhkan obat. Pada masa sebelumnya, dokter hanya
melakukan diagnosa dan menetukan terapi pasien, obat diberikan dalam bentuk
resep yang harus ditebus di apotek.
Pemberian obat sendiri oleh dokter membuat pertanggung jawaban dan
pengendalian obat menjadi sulit dilakukan. Mengingat jenis obat yang mana
diberikan dokter pun menjadi sulit dipertanggung jawabkan. Apakah ada jaminan
bahwa dokter tidak akan memberikan obat yang berbahaya pada pasiennya.
Ataukah ada jaminan bahwa dokter tersebut tidak mengejar target dari medical
representatifnya yang mungkin akan memberikan banyak intensif jika obatnya
dijual dalam jumlah yang banyak. Bagi pasien ini adalah kerugian pasien karena
tidak dapat juga meminta salinan resep yang diberikan dokter apabila nanntinnya
terjadi apa yang disebut dispensing error.
Medication error memiliki pengertian memberikan obat yang keliru atau
dengan dosis yang tidak sesuai. Medication error ini termasuk di dalam 8 besar
penyebab utama kematian di amerika serikat. 30% medication error di rumah
sakit berakhir serius, 12% , mengancam jiwa dan 1% fatal atau berakhir dengan
kematian. Angka yang cukup fantastis, seharusnya hal semacam ini dapat
dicegah dengan lebih memberdayakan para apoteker atau farmasis di
dalammemberikan pendidikan atau penegetahuan yang membuka kesadaran
pasien bahwa dii dalam dosis tertentu obat dapat meracuni tubuh.
Para farmasist yang tetap eksis di dalam bisnis ini adalah mereka yang
bekerja pada pabrik obat, Mereka adalah tim yang solid dan terus mnguasai
pasar dunia, apalagi jika ia dipastikan ia akan meneguk keuntungan yang
sangat besar. Hal ini dapat diperparah dengan berlakunnya undang-undang hak
cipta dan hak kekayaan intelektual yang memperbolehkan hak paten atas obat.
Satu obat baru harganya bisa melambung sangat tinggi jika satu
perusahaan saja yang menguasainya. Proses paten obat ini benar-benar
mencekik pasien, karena beban biaya yang harus ditanggung perusahaan
farmasi, dibebankan seluruhnya kepada pasien. Semua penemuan obat obatan
baru tentu akan dipatenkan sejak ditemukan bahan senyawa suatu obat.
Dengan demikian Perusahaan farmasi memiliki hak dan wewenang untuk
memproduksikan dan menjual produk tersebut selama kurang lebih 20-25 tahun
(Tergantung dari regulasi masing-masing Negara).
Proses senyawa obat menjadi obat yang layak konsumsi membutuhkan
waktu uji yang tidak sebentar, kurang lebih 10 sampai dengan 15
tahun,sehingga masa paten yang tersisa hanya 5 tahun. Pemberian paten
sendir buakn akhir dari seluruh proses produksi suatu obat untuk dapat
dipasarkan kepada konsumen, namun harus melalui tahap uji dan evektifitas
obat. Tahap ini disebut dengan clinical trial yang melibatkan ribuan pasien untuk
melakukan tes dan uji coba dengan pengawasan medis yang ketat. Hasilnya
diserahkan kepada FDA atau BPOM untuk dipelajari. FDA akan terus
memantau efek samping dan obat terhadap pasien dan akan melakukan
pembandingan antara evektivitas dan risiko dari penggunaan obat tersebut.
Proses ini tidak akan berhenti, meski obat telah dipasarkan ke masyarakat. Jika
ada indikasi ketidakamanan pada obat maka peredaran obat akan ditarik.
Contoh kasusnya adalah Thalidomide untuk mencegah keguguran apada
kandungan. Thalidomide adalah obat yang dikembangkan sebagai pencegahan
keguguran. Namun dalam penilitian yang cukup panjang tersebut diketahi
bahwa obat ini tidak efisien,karena dengan diam-diam ini diberikan kepada
200.000 wanita hamil untuk menjaga kondisi kandungannya dan sebgai
percobaan uji kelayakan obat, tanpa memberitahukan efek samping dan risiko
dari penggunanya. Hasilnnya, banyak dari ibu-ibu yang menggunakan obat ini
melahirkan anak dengan kondisi cacat berat.
Pada kasus ini sangat jelaslah bahwa pasien adalah korban dari segala
kejahatan yang dilakukan oleh para petugas medis di dalamnya. Dan kemudian
keuntungan keuntungan yang diberikan oleh hukum inpun membuat usaha
dibidang farmasi ini menjadi monopoli dagang yang sangat menjanjikan.
Akibatnya, para pengusaha farmasi berlomba-lomba untuk menemukan obat-
obatan baru. Mereka tidak merasa sayang untuk menginvestasikan uangnya
pada penelitian-penilitian dibidang patologi atau farmasi.
Pertannyaan kemudian, bagaimana jika tidak ada lagi yang tidak
membutuhkan lagi penemuan obat baru? Inovasi apa yang harus dilakukan oleh
para pengusaha obat agar usahanya tetap berjalan. Tentu saja dengan
membuat penyakit baru. Bukan rahasia lagi bahwa banyak pabrik-farmasi besar
membiayai penelitian-penelitian virus dengan varian-varian baru untuk
mendapatkan obatnnya. Perusahaan dapat dengan mudah memperoleh hak
paten dengan harga yang tinggi, selain dia memperoleh keuntungan dari hasil
produksi obat tersebut.
Semakin sulit suatu penyakit disembuhkan, semakin lama pasien
bergantung pada obat, maka semakin banyak keuntungan yang akan
diperolehnya.Para pengusaha obat ini seolah-olah menjadi don-don pada
organisasi kejahatan yang terorganisir rapi. Mereka memastikan jaringan,
memastikan pasarnya, memastikan ketergantungannya dan mengorganisir para
pengedar dan menjamin kesejahteraanya.
Pabrik-pabrik obat ini sama dengan para don mafia, yang memiliki
hubungan erat dengan instansi instansi terkait. Modus yang sering dilakukan
adalah menghutangi budi atau sponsorship yang seringkali berdiri dibelakang
lembaga mereka. Contoh, dinas kesehatan dan departemen kesehatan diam
seribu bahasa terkait dengan isu atau produk beracun entah itu obat atau
pruduk kesehatan seperti pasta gigi maupun susu berbakteri. Aksi diam ini
bukan tanpa dasar karena bukan rahasia umum, bahwa proyek-proyek atau
program yang diselenggarakan dinas kesehatan atau departemen kesehatan
dibiayai atau didonori oleh perusahaan-perusahaan besar farmasi.produk health
care dan makanan atau susu bayi. Departemen-departemen atau instansi-
instansi inilah yang nantinya akan menjadi bemper bagi perusahaan jika terjadi
masalah
Tengok kembali pada orang orang yang terlibat di dalamnnya yang tidak
lain dan tidak bukan adalah pekerja medis, dokter misalnnya. Dokter adalah
mitra yang tidak dapat dilepaskan begitu saja dari jejaring kesehatan. Mengapa
demikian? Hal ini dilandasi dengan alasan yang klasik bahwa sekolah
kedokteran membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Tengoklah biaya masuk
seseorang yang masuk ke fakultas kedokteran universitas negeri di Makassar
dangan jalur khusus yang mensyaratkan uang masuk tidak kurang dari 90 juta
rupiah. Belum lagi biaya persemesternya,biaya praktikum dan biaya buku buku
yang diperlukan sebagai fasilitas yang menunjang.
Mahalnya biaya kuliah ini yang mendorong para mahasiswa kedokteran
berorientasi kepada keuntungan dan uang untuk mengembalikan modal yang
telah dikeluarkan. Akibatnnya jika ia lulus fakultas kedokteran jelas orientasi
profesinnya tidak berpihak pada pasien. Belum lagi jika ia dituntut untuk
mengambil spesialisasi atau studi lanjutan ke S2 demi meningkatkan keahlian
dan gengsi profesinnya, maka tarif praktiknya pun akan semakin bertambah
mahal. Dokter tidak hanya sebagai terapis tapi pebisnis.
PENUTUP
1. Kesimpulan
- Kesehatan sudah seharusnya masuk dalam ranah kemanusiaan, bukan
pada ranah bisnis. Jika kesehatan masuk dalam ranah bisnis, maka
kesehatan hanya akan menjadi aset untuk mencari keuntungan setinggi-
tingginya oleh pihak tertentu.
- Dengan keahliannya, dokter dapat mengarahkan resep obat yang
syarat dengan kepentingan bisnis pribadi, lebih lebih tanpa
menghiraukan kemampuan ekonomi pasien
- Konspirasi-konspirasi yang dilakukan oleh pabrik memberi kerugian dan
penderitaan bagi pasien.
- Untuk menciptakan keadilan, dibutuhkan kepercayaan antara pasien,
pabrik farmasi, dokter, dan pemerintah.
DAFTAR PUSTAKA
1. Supratman, dedi dan Eko Prasetyo. 2010. Bisnis Orang Sakit. Resist book