PENDAHULUAN
1
menekankan arti penting kesetaraan antara institusi Negara, swasta dan
masyarakat.
Dimana menurut konsep ini bahwa setiap pilar penyelenggara pemerintah
harus bersama-sama melaksanakan pemerintahan supaya dapat mencapai tujuan.
Artinya baik pemerintah, swasta dan masyarakat harus mengambil porsi atau
kedudukannya masing-masing agar pencapaian tujuan Negara dapat terlaksana.
Namun, ditengah maraknya isu Good Governance itu praktek
penyelenggaraan pemerintahan berbeda dari yang diharapkan. Dimana posisi
pemerintah adalah pelayanan publik dinilai masyarakat tidak tepat atau
memberikan pelayanan yang rendah. Hal ini dapat dilihat dari pelayanan yang
sulit untuk diakses, prosedur yang berbelit-belit ketika harus mengurus suatu
perijinan tertentu, biaya yang tidak jelas, serta terjadinya praktek pungutan liar
(pungli), dll. Disamping itu, terdapat pula kecenderungan adanya ketidakadilan
dalam pelayanan publik dimana masyarakat yang tergolong miskin akan sulit
mendapatkan pelayanan. Sebaliknya, bagi mereka yang memiliki “uang“, dengan
sangat mudah bisa mendapatkan segala yang diinginkan.
Dan baik masyarakat dan juga pemerintah kurang memiliki hubungan
timbal balik yang kuat. Dimana baik dari masyarakat sendiri sudah menyuarakan
aspirasinya kepada pemerintah, namun realita yang diperoleh pemerintah kurang
memberikan respon yang baik terhadap masyarakat. Dan seperti diuraikan di atas,
jika dibiarkan berlarut-larut akan berdampak sangat buruk.
Buruknya kinerja pelayanan publik ini antara lain dikarenakan belum
terlaksananya tranparansi dan akuntabilitas dalam penyelenggaraan pelayanan
publik. Oleh karena itu, pelayanan publik harus dilaksanakan secara transparan
dan akuntabel oleh setiap unit pelayanan instansi pemerintah karena kualitas
kinerja birokrasi pelayanan publik belum memiliki implikasi yang luas dalam
mencapai kesejahteraan masyarakat.
Atas dasar itulah penulis tertarik untuk mengambil judul tulisan tentang : “
Peran Multistakeholder partnership dalam meningkatkan pendapatan asli
daerah”
2
1. 2 Rumusan Masalah
3
BAB II
TELAAH PUSTAKA
2. 1 Tinjauan Pusataka
4
pemerintah tidak boleh sendiri atau dengan kata lain, harus juga melibatkan pihak
swasta atau stakeholder lainya.
2. 2 Kerangka Teori
2. 2. 1 Stakeholder
2. 2. 2 Good Governance
Istilah good governance berasal dari induk bahasa Eropa, Latin, yaitu
gubernare yang diserap oleh Bahasa Inggris menjadi govern, yang berarti steer
(menyetir, mengendalikan), direct (mengarahkan), atau rule (memerintah).
Governance merupakan kata sifat dari govern, yang diartikan sebagai the
action of manner of governing yang berarti tindakan (melaksanakan) tata cara
pengendalian. Pada tahun 1590 kata ini dipahami sebagai state of being governed,
berkembang menjadi mode of living (1600), kemudian menjadi the office,
function, or power of governing (1643), berkembang menjadi method of
5
management, system of regulation (1660), dan kemudian dibakukan menjadi the
action or manner governing (Nugroho, 2004: 204).
Pengertian good governance menurut Mardiasmo (1999:18) adalah suatu
konsep pendekatan yang berorientasi kepada pembangunan sektor publik oleh
pemerintahan yang baik. Lebih lanjut menurut Bank Dunia yang dikutip Wahab
(2002:34) menyebut good governance yaitu suatu konsep dalam penyelenggaraan
manajemen pembangunan yang solid dan bertanggung jawab sejalan dengan
demokrasi dan pasar yang efisien, penghindaran salah alokasi dan investasi yang
langka dan pencegahan korupsi baik secara politik maupun administratif,
menjalankan disiplin anggaran serta penciptaan legal and political framework
bagi tumbuhnya aktivitas kewirausahaan. Selain itu Bank Indonesia juga
mensinonimkan good governance sebagai suatu hubungan yang sinergis dan
konstruktif di antara negara, sektor swasta, dan masyarakat (Effendi,1996:47).
Lembaga Administrasi Negara (2000) memberikan pengertian good
governance yang hampir sama dengan Bank Indonesia yaitu bahwa wujud good
governance adalah penyelenggaraan pemerintahan negara yang solid dan
bertanggung jawab, serta efesien dan efektif, dengan menjaga kesinergisan
interaksi yang konstruktif diantara domain-domain negara, sektor swasta, dan
masyarakat.
Maka dapat disimpulkan good governance adalah pengelolaan tata
pemerintahan yang baik, meliputi tata pemerintahan yang berwawasan ke depan
(visi), bersifat terbuka (transparansi), cepat tanggap, akuntabel (akuntabilitas),
berdasarkan profesionalitas dan kompetensi, menggunakan struktur dan sumber
daya secara efesien dan efektif, terdesentralisasi, demokratis dan berorientasi pada
konsensus, mendorong kepada peningkatan partisipasi masyarakat, mendorong
kemitraan dengan swasta dan masyarakat, menjunjung supremasi hukum,
memiliki komitmen kepada pengurangan kesenjangan, memiliki komitmen
kepada pasar, dan memiliki komitmen pada lingkungan hidup. Keberhasilan
penyelenggaraan tata pemerintahan yang baik sangat ditentukan oleh keterlibatan
dan sinergi tiga aktor utama dari good governance ini yakni aparatur pemerintah,
masyarakat atau publik, dan keterlibatan pihak swasta.
6
Gambir Bhatta (1996) menggungkapkan bahwa “unsur utama
governance”, yaitu: akuntabilitas (accountability), transparansi (transparency)
keterbukaan (opennes), dan aturan hukum (rule of law) ditambah dengan
kompetensi manajemen (management competence) dan hak-hak azasi manusia
(human right).
Kemudian UNDP melalui Lembaga Administrasi Negara yang dikutip
Tangkilisan (2005:115) mengemukakan bahwa karakteristik atau prinsip yang
harus dianut dan dikembangkan dalam praktek penyelenggaraan kepemerintahan
yang baik, meliputi:
1) Partisipasi (Participation): Setiap orang atau warga masyarakat, baik laki-
laki maupun perempuan, memiliki hak suara yang sama dalam proses
pengambilan keputusan, baik secara langsung maupun melalui lembaga
perwakilan sesuai dengan kepentingan dan aspirasinya masing-masing.
2) Akuntabilitas (Accountability): Para pengambil keputusan dalam sektor
publik, swasta, dan masyarakat madani memiliki pertanggung jawaban
(akuntabilitas) kepada publik (masyarakat umum), sebagaimana halnya kepada
para pemilik (stakeholders).
3) Aturan Hukum (Rule of Law): Kerangka aturan hukum dan perundang-
undangan harus berkeadilan, ditegakkan dan dipatuhi secara utuh, terutama
aturan hukum tentang hak azasi manusia.
4) Transparansi (Transparency): Transparansi harus dibangun dalam rangka
kebebasan aliran informasi. Informasi harus dapat dipahami dan dapat
dimonitor.
5) Daya Tanggap (Responsivennes): Setiap intuisi dan prosesnya harus
diarahkan pada upaya untuk melayani berbagai pihak yang berkepentingan
(stakeholders).
6) Beorientasi Konsensus (Consensus Orientation): Pemerintahan yang baik
akan bertindak sebagai penengah bagi berbagai kepentingan yang berbeda
untuk mencapai konsensus atau kesempatan yang terbaik bagi kepentingan
masing-masing pihak, dan berbagai kebijakan dan prosedur yang akan
ditetapkan pemerintah.
7
7) Berkeadilan (Equity): Pemerintahan yang baik akan memberikan
kesempatan yang baik terhadap laki-laki maupun perempuan dalam upaya
mereka untuk meningkatkan dan memelihari kualitas hidupnya.
8) Efektivitas dan Efesiensi (Effectiveness and Effeciency): Setiap proses
kegiatan dan kelembagaan diarahkan untuk menghasilkan sesuatu benar-benar
sesuai dengan kebutuhan melalui pemanfaatan yang sebaik-baiknya dengan
berbagai sumber-sumber yang tersedia.
9) Visi Strategis (Strategic Vision): Para pimpinan dan masyarakat memiliki
perspektif yang luas dan jangka panjang tentang penyelenggaraan
pemerintahan yang baik dan pembangunan manusia, bersamaan dengan
dirasakannya kebutuhan untuk pembangunan tersebut.
Prinsip-prinsip tersebut merupakan suatu karakteristik yang harus
dipenuhi dalam pelaksanaan good governance yang berkaitan dengan
pengendalian, yakni pengendalian suatu pemerintahan yang baik agar mencapai
hasil yang dikehendaki stakeholders.
8
penyumbang terbesar, sehingga muncul anggapan bahwasanya Pendapatan Asli
Daerah (PAD) identik dengan pajak dan retribusi Daerah.
Dalam Undang Undang tersebut juga disebutkan jenis retribusi yang terdiri dari :
1. Retribusi Jasa Umum yang merupakan pungutan yang dikenakan oleh daerah
kepada masyarakat atas pelayanan yang diberikan.Pelayanan yang digolongkan
sebagai jasa usaha tersebut tergolong quasy goods dan pelayanan yang
memerlukan pengendalian dalam konsumsinya dan biaya penyediaan layanan
tersebut cukup besar sehingga layak dibebankan pada masyarakat misalnya :
retribusi pelayanan kesehatan, persampahan, akta catatan sipil, KTP dll.
2. Retribusi Jasa Usaha merupakan pungutan yang dikenakan oleh daerah
berkaitan dengan penyediaan layanan yang belum memadai disediakan oleh
swasta dan atau penyewaan aset/kekayaan daerah yang belum dimanfaatkan
misalnya : retribusi pasar grosir, terminal, rumah potong hewan dll.
3. Retribusi Perijinan Tertentu yang merupakan pungutan yang dikenakan
sebagai pembayaran atas pemberian ijin untuk melakukan kegiatan tertentu yang
perlu dikendalikan oleh daerah misalnya : IMB, Ijin Pengambilan Hasil Hutan
Ikutan, Pengelolaan Hutan dll.
9
6. Masih rendahnya prosentase penerimaan retribusi daerah di Indonesia
7. Kondisi BUMD yang kurang memberikan sumbangan yang siginifikan
bahkan ada beberapa BUMD yang merugi
10
kualitas dan keabsahan produk pelayanan. Selain itu prosedur dan
mekanisme kerja harus sederhana dan dilaksanakan sesuai dengan
ketentuan yang telah ditetapkan.
11
Kedua hal ini yaitu transparansi dan akuntabilitas harus dilaksanakan pada
seluruh aspek manajemen pelayanan, yang meliputi kebijakan, perencanaan,
pelaksanaan, pengawasan/pengendalian, dan laporan hasil kinerja. Transparansi
dan akuntabilitas hendaknya dimulai dari proses perencanaan pengembangan
pelayanan karena sangat terkait dengan pelayanan bagi masyarakat umum yang
memerlukan dan yang berhak atas pelayanan.
12
BAB III
METODE PENULISAN
13
BAB IV
ANALISIS DAN SINTESIS
1) Penyerahan beberapa pajak dan retribusi yang masih dipegang oleh Pusat
kepada Daerah dengan tetap mempertimbangkan faktor efisiensi ekonomi,
mobilitas obyek pajak serta fungsi stabilitasi dan distribusi pajak itu
sendiri. Adapun pajak-pajak tersebut antara lain :
PBB dan BPHTB dapat dialihkan ke Daerah dimana Daerah diberi
wewenang untuk menetapkan dasar penggenaan pajak dan tarif sampai
batas tertentu meskipun adminstrasinya masih dilakukan oleh Pusat.
14
Pajak Penghasilan (PPh) orang pribadi yang sekarang dibagi hasilkan,
dapat dialihkan dalam bentuk piggy back dimana Daerah seyogyanya
diberikan wewenang untuk mengenakan opsen sampai batas tertentu di
bawah wewenang penuh Pemerintah Kab/Kota.
15
BUMD mampu berperan sebagai countervailing power terhadap
kekuatan ekonomi yang ada melalui pola kemitraan. Diharapkan
berbagai perusahaan swasta dalam dan luar negeri berminat melakukan
kerjasama dengan BUMD terpilih untuk selanjutnya membentuk Joint
Venture/Joint Operation Company (JV/OC).
2. Restrukturisasi BUMD
Langkah-langkah untuk meningkatkan kinerja dan kesehatan BUMD,
yaitu tindakan yang ditujukan untuk membuat setiap BUMD menghasilkan laba
termasuk mengubah mekanisme pengendalian oleh Pemerintah Daerah yang
semula kontrol secara langsung melalui berbagai bentuk perizinan, aturan, dan
petunjuk menjadi kontrol yang berorientasi kepada hasil. Artinya Pemerintah
Daerah selaku pemegang saham hanya menentukan target kuantitatif dan
kualitatif yang menjadi performance indicator yang harus dicapai oleh
manajemen, misalnya Return On Equity (ROE) tertentu yang didasarkan kepada
benchmarking kinerja yang sesuai dengan perusahaan sejenis;Pengkajian secara
komprehensif terhadap keberadaan BUMD, karena selama ini BUMD dianggap
kurang tepat bila disebut sebagai lembaga korporasi, khususnya, dikaitkan dengan
upaya pemberdayaan BUMD agar dapat menjadi salah satu sumber keuangan
daerah;
16
3. Profitisasi BUMD
Profitisasi BUMD dalam rangka menghasilkan keuntungan atau laba serta
memberikan kontribusi pada Pemerintah Daerah yaitu dapat dilakukan sebagai
berikut :
a. Melakukan proses penyehatan perusahaan secara menyeluruh dengan
meningkatkan kompetensi manajemen dan kualitas Sumber Daya
Manusia.
b. Mengarahkan BUMD untuk dapat berbisnis secara terfokus dan
terspesialisasi dengan pengelolaan yang bersih, transparan dan
professional;
c. Bagi BUMD yang misi utama untuk pelayanan publik dan pelayanan
sosial, diberikan sasaran kuantitatif dan kualitatif tertentu;
d. Memberdayakan Direksi dan Badan Pengawas yang dipilih dan
bekerja berdasarkan profesionalisme melalui proses fit and proper
test;
e. Merumuskan kebijakan yang diarahkan kepada tarif yang wajar,
kenaikan harga produk (minimal menyesuaikan dengan inflasi, tarif
listrik, BBM, dan lain-lain) untuk menghindarkan biaya produksi
yang jauh lebih mahal, sehingga profit dapat diraih.
4. Privatisasi BUMD
17
kemitraan dapat dilaksanakan dalam bentuk kerjasama usaha yang saling
menunjang dan menguntungkan antara koperasi, swasta, dan BUMD, serta antara
usaha besar, menengah dan kecil dalam rangka memperkuat struktur ekonomi
nasional. Bagi BUMD yang usahanya tidak berkaitan dengan kepentingan umum
didorong untuk privatisasi melalui pasar modal.
BUMD infrastruktur tentunya harus dikelola secara profesional sehingga
kinerjanya dapat ditingkatkan dan mampu menjalin kerjasama yang saling
menguntungkan dengan berbagai pihak operator swasta dan Pemerintah Daerah.
Aliansi Stragis dengan operator swasta sangat dibutuhkan untuk mengisi peluang
usaha telekomunikasi yang kompetitif pada segmen pasar tertentu. Sebagai
konsekuensi logis implementasi otonomi daerah, maka peranan Pemerintah
Daerah sebagai salah satu stakeholder mempunyai pengaruh yang cukup
signifikan dalam penentuan arah kebijakan publik di daerahnya. Untuk itu perlu
dikaji lebih mendalam pengembangan kerjasama Pemerintah Daerah dengan
pihak swasta, baik langsung maupun melalui BUMD dalam dalam rangka
menjalin hubungan kemitraan yang saling menguntungkan.
Untuk memelihara sense of belonging, daerah/BUMD dan masyarakat dapat
diberi peluang untuk memiliki sebagian saham BUMN tertentu yang berusaha di
daerahnya sehingga merasa ikut memiliki dan turut bertanggung jawab atas
keberhasilan usahanya. Dalam upaya optimalisasi sumber-sumber pembiayaan
dan investasi bagi daerah otonom, diperlukan dukungan pemerintah dalam
berbagai bentuk pembinaan dan pengawasan di berbagai bidang.
18
menjadi kewenangan daerah sesuai dengan nafas otonomi itu sendiri. Adapun
aturan alokasi tersebut misalnya: PAD sampai presentase tertentu digunakan
untuk pembayaran gaji pokok aparat Daerah dengan memberikan standar yang
sama di seluruh Indonesia. Untuk beberapa Daerah yang memiliki PAD tinggi
dan kelebihan setelah digunakan untuk pembayaran gaji pokok dapat
dimanfaatkan sebagai kekayaan Daerah. Sementara DAU yang diterima sampai
prosentase tertentu digunakan untuk dana operasional (tunjangan) aparat Daerah,
pelayanan publik yang bersifat intangible serta proyek pembangunan jangka
pendek. Sementara DAK diarahkan untuk mensukseskan program nasional yang
bersifat prioritas serta pencapaian Standar Pelayanan Minimal di masing-masing
Daerah. Sementara untuk proyek pembangunan Daerah jangka panjang diarahkan
pada sumber dana Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan melalui Propinsi dan
Menteri Teknis.
Diharapkan dengan adanya beberapa pilihan kebijakan yang dapat diambil
oleh pusat tersebut dapat menghilangkan upaya daerah untuk menggali sumber-
sumber PAD yang berdampak distorsi terhadap perekonomian demi mengejar
satu tujuan kemandirian Daerah yang masih merupakan harapan jauh di angkasa.
19
BAB V
PENUTUP
5. 1 Kesimpulan
Bahwa di Negara Indonesia saat ini masih banyak hal-hal yang perlu
dibenahi, karena masih banyak pelayanan publik yang belum berbasis masyarakat
atau kurang sesuai dengan kepentingan masyarakat yang ada.
Dan kemunculan Good Governance dalam pemerintahan dapat digunakan
untuk menyelesaikan masalah-masalah pelayanan publik tersebut. Namun, dalam
pelaksanaannya pemerintah tidak dapat berjalan sendiri, atau dengan kata lain
harus ada kerjasama antara semua pihak yang ada (setiap stakeholder).
Pelaksanaan pemerintahan yang berbasis akuntabilitas dan transparansi
merupakan prinsip yang dapat digunakan dalam pelayanan publik yang harus
dilaksanakan oleh multistakeholder yang ada.
5.2 Saran
Dalam meuwujudkan pelayanan publik dalam masyarakat maka dapat
dilakukan hal sebagai berikut :
a) Membuka informasi yang luas kepada semua masyarakat.
b) Membuka diri (pemerintah) terhadap semua masukan dari
masyarakat serta memberikan respon.
c) Memberdayakan semua lapisan masryarakat dalam pelayanan
public.
d) Memberikan ruang dan kesempatan kepada masyarakat dan juga
stakeholder lain untuk dapat ikut berperan serta dalam
pemerintahan.
20
DAFTAR PUSTAKA
I. BUKU
Bhatta, Ghambir. (1996). Capacity Building at the Local Level for Effective
Governance, Empowerment Without Capacity is Meaningless.
Wahab, Solichin, Putra, Fadillah, dan Arif, Saiful. 2002. Masa Depan Otonomi
Daerah: Kajian Sosial, Ekonomi dan Politik untuk Menciptakan Sinergi
dalam Pembangunan Daerah. Surabaya: Penerbit SIC.
II. Undang-undang
21