Anda di halaman 1dari 21

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Penyelenggaraan pemerintahan dalam satu Negara tidak hanya ada dalam


satu pihak saja. Namun dalam jalannya roda pemerintahan satu Negara ada pihak-
pihak yang menjadi aktor pelaksananya. Dimana para aktor pelaksana
pemerintahan itu adalah pemerintah (state), sektor swasta (private sektor) dan
juga masyarakat (civil society). Ketiga pihak inilah yang menjalankan roda
pemerintahan suatu Negara. Dan ketiga pihak ini harus mempunyai suatu jalinan
kerjasama dalam pencapaian tujuan Negara. Sebab jika salah satu pihak tidak ada
atau mempunyai peran yang kecil maka akan terjadi ketimpangan yang nantinya
hal ini dapat menjadi salah satu penghambat dalam pencapaian tujuan Negara.
Filosofi otonomi daerah adalah mewujudkan kemandirian daerah di
segala segi kehidupan, yang diukur melalui elemen Pendapatan Asli Daerah
(PAD). Di harapkan dengan otonomi, semua daerah di Indonesia mampu
melaksanakan semua urusan pemerintahan dan pembangunan dengan bertumpu
pada Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang di milikinya. Dengan melihat realita
pencapaian PAD di hampir semua daerah di Indonesia, tujuan mulia otonomi
tersebut bagaikan jauh panggang daripada api. Bukan kemandirian yang ada
justru tingkat ketergantunagn terhadap pusat yang semakin besar.
Dan sama halnya dengan hal tersebut muncul konsep Good Governance
yang marak dilaksanakan dalam bidang pemerintahan. Good Governance yang
merupakan landasan nilai penyelenggaraan pemerintahan saat ini pada prinsipnya
menekankan tentang pentingnya kolaborasi dalam kesetaraan dan keseimbangan
antara sektor publik, sektor swasta dan masyarakat. Good Governance
mengisyaratkan adanya pandangan atau paradigma baru administrasi publik yang
disebut dengan tata kepemerintahan yang baik. Paradigma Good Governance

1
menekankan arti penting kesetaraan antara institusi Negara, swasta dan
masyarakat.
Dimana menurut konsep ini bahwa setiap pilar penyelenggara pemerintah
harus bersama-sama melaksanakan pemerintahan supaya dapat mencapai tujuan.
Artinya baik pemerintah, swasta dan masyarakat harus mengambil porsi atau
kedudukannya masing-masing agar pencapaian tujuan Negara dapat terlaksana.
Namun, ditengah maraknya isu Good Governance itu praktek
penyelenggaraan pemerintahan berbeda dari yang diharapkan. Dimana posisi
pemerintah adalah pelayanan publik dinilai masyarakat tidak tepat atau
memberikan pelayanan yang rendah. Hal ini dapat dilihat dari pelayanan yang
sulit untuk diakses, prosedur yang berbelit-belit ketika harus mengurus suatu
perijinan tertentu, biaya yang tidak jelas, serta terjadinya praktek pungutan liar
(pungli), dll. Disamping itu, terdapat pula kecenderungan adanya ketidakadilan
dalam pelayanan publik dimana masyarakat yang tergolong miskin akan sulit
mendapatkan pelayanan. Sebaliknya, bagi mereka yang memiliki “uang“, dengan
sangat mudah bisa mendapatkan segala yang diinginkan.
Dan baik masyarakat dan juga pemerintah kurang memiliki hubungan
timbal balik yang kuat. Dimana baik dari masyarakat sendiri sudah menyuarakan
aspirasinya kepada pemerintah, namun realita yang diperoleh pemerintah kurang
memberikan respon yang baik terhadap masyarakat. Dan seperti diuraikan di atas,
jika dibiarkan berlarut-larut akan berdampak sangat buruk.
Buruknya kinerja pelayanan publik ini antara lain dikarenakan belum
terlaksananya tranparansi dan akuntabilitas dalam penyelenggaraan pelayanan
publik. Oleh karena itu, pelayanan publik harus dilaksanakan secara transparan
dan akuntabel oleh setiap unit pelayanan instansi pemerintah karena kualitas
kinerja birokrasi pelayanan publik belum memiliki implikasi yang luas dalam
mencapai kesejahteraan masyarakat.
Atas dasar itulah penulis tertarik untuk mengambil judul tulisan tentang : “
Peran Multistakeholder partnership dalam meningkatkan pendapatan asli
daerah”

2
1. 2 Rumusan Masalah

Dari latar belakang di atas, maka dirumuskan yang menjadi permasalahan


dalam tulisan ini adalah : “Bagaimana peranan multistakeholder partnership
dalam meningkatan pendapatan asli daerah?”

1. 3 Tujuan dan Manfaat

Adapun tujuan dari penulisan ini adalah :


1. Untuk mengetahui bagaimana pelaksanaan konsep Good Governance
dalam pemerintahan.
2. Untuk mengetahui bagaimana peran stakeholder dalam peningkatan
pendapatan asli daerah (PAD).

Dan manfaat penulisan ini adalah :


1. Manfaat Secara Ilmiah
Untuk menambah khasanah ilmiah dan sumbangan bagi pengembangan dan
penyempurnaan teori-teori dalam Ilmu Administrasi Negara khususnya dalam
kaitannya dengan peran stakeholder.
2. Manfaat Secara Praktis
Secara praktis penelitian ini dapat menjadi masukan bagi pemerintah ataupun
lembaga-lembaga lain yang membutuhkan serta menjadi acuan dalam
melaksanakan prinsip-prinsip Good Governance.
.

3
BAB II
TELAAH PUSTAKA

2. 1 Tinjauan Pusataka

Dalam pelaksanaan penyelenggaraan pemerintahan saat ini pelaksanaan


Good Governance sangat marak dalam upaya memperbaiki pelayanan publik oleh
pemerintah. Banyak upaya yang sudah dilakukan oleh pemerintah untuk mencapai
pemerintahan yang baik. Adapun prinsip-prinsip tersebut, yaitu partisipasi
(participation), akuntabilitas (accountability) aturan hukum (rule of law),
transparansi (transparency), daya tanggap (responsivennes), beorientasi konsensus
(consensus orientation), berkeadilan (equity), efektivitas dan efesiensi
(effectiveness and effeciency), dan visi strategis (strategic vision).
Dan dalam berbagai kasus Good Governance telah sering digunakan
sebagai landasan untuk menganalisis masalah pelayanan public termasuk dalam
permasalahan pendapatan asli daerah. Seperti dalam banyak penelitian yang
dilakukan, bahwa sering kali tujuan dari pemerintahan tidak tercapai karena tidak
ada kerjasama yang baik antara setiap elemen. Dimana elemen ini adalah Negara,
masyarakat dan juga swasta.
Dalam satu sisi terkadang masyarakatnya kurang aktif atau tidak
memberikan partisipasi dalam penyelenggaraan pemerintahan. Dimana partisipasi
yang dimaksud tidak hanya sekedar materi namun juga aspirasi atau masukan
kepada pemerintah. Tapi di lain pihak juga aspirasi yang diberikan telah besar
namun respon pemerintah terhadap aspirasi yang dalam bentuk keluhan ataupun
kritikan masyarakat kurang atau bahkan tidak ada.
Sehingga hasil yang diperoleh tidak ada. Dimana hubungan
multistakeholder tidak harmonis. Maksudnya tidak ada respon yang baik antara
setiap stakeholder. Dimana seharusnya pemerintah aktif dalam mendengar setiap
keluhan yang ada atau diberikan oleh masyarakat. Dan dalam penyelesaiany juga

4
pemerintah tidak boleh sendiri atau dengan kata lain, harus juga melibatkan pihak
swasta atau stakeholder lainya.

2. 2 Kerangka Teori

2. 2. 1 Stakeholder

Pada dasarnya unsur-unsur dalam kepemerintahan (governance


stakeholders) dapat dikelompokkan menjadi 3 kategori yaitu:
1) Negara/Pemerintahan: Konsepsi kepemerintahan pada dasarnya adalah
kegiatan kenegaraan, tetapi lebih jauh dari itu melibatkan pula sektor
swasta dan kelembagaan masyarakat madani.
2) Sektor swasta: Pelaku sektor swasta mencakup perusahaan swasta yang
aktif dalam interaksi dalam sistem pasar, seperti: industri pengolahan
perdagangan, perbankan dan koperasi, termasuk kegiatan sektor informal.
3) Masyarakat Madani: Kelompok masyarakat dalam konteks kenegaraan
pada dasarnya berada diantara atau ditengah-tengah antara pemerintah dan
perseorangan, yang mencakup baik perseorangan maupun kelompok
masyarakat yang berinteraksi secara sosial, politik, dan ekonomi.

2. 2. 2 Good Governance

Istilah good governance berasal dari induk bahasa Eropa, Latin, yaitu
gubernare yang diserap oleh Bahasa Inggris menjadi govern, yang berarti steer
(menyetir, mengendalikan), direct (mengarahkan), atau rule (memerintah).
Governance merupakan kata sifat dari govern, yang diartikan sebagai the
action of manner of governing yang berarti tindakan (melaksanakan) tata cara
pengendalian. Pada tahun 1590 kata ini dipahami sebagai state of being governed,
berkembang menjadi mode of living (1600), kemudian menjadi the office,
function, or power of governing (1643), berkembang menjadi method of

5
management, system of regulation (1660), dan kemudian dibakukan menjadi the
action or manner governing (Nugroho, 2004: 204).
Pengertian good governance menurut Mardiasmo (1999:18) adalah suatu
konsep pendekatan yang berorientasi kepada pembangunan sektor publik oleh
pemerintahan yang baik. Lebih lanjut menurut Bank Dunia yang dikutip Wahab
(2002:34) menyebut good governance yaitu suatu konsep dalam penyelenggaraan
manajemen pembangunan yang solid dan bertanggung jawab sejalan dengan
demokrasi dan pasar yang efisien, penghindaran salah alokasi dan investasi yang
langka dan pencegahan korupsi baik secara politik maupun administratif,
menjalankan disiplin anggaran serta penciptaan legal and political framework
bagi tumbuhnya aktivitas kewirausahaan. Selain itu Bank Indonesia juga
mensinonimkan good governance sebagai suatu hubungan yang sinergis dan
konstruktif di antara negara, sektor swasta, dan masyarakat (Effendi,1996:47).
Lembaga Administrasi Negara (2000) memberikan pengertian good
governance yang hampir sama dengan Bank Indonesia yaitu bahwa wujud good
governance adalah penyelenggaraan pemerintahan negara yang solid dan
bertanggung jawab, serta efesien dan efektif, dengan menjaga kesinergisan
interaksi yang konstruktif diantara domain-domain negara, sektor swasta, dan
masyarakat.
Maka dapat disimpulkan good governance adalah pengelolaan tata
pemerintahan yang baik, meliputi tata pemerintahan yang berwawasan ke depan
(visi), bersifat terbuka (transparansi), cepat tanggap, akuntabel (akuntabilitas),
berdasarkan profesionalitas dan kompetensi, menggunakan struktur dan sumber
daya secara efesien dan efektif, terdesentralisasi, demokratis dan berorientasi pada
konsensus, mendorong kepada peningkatan partisipasi masyarakat, mendorong
kemitraan dengan swasta dan masyarakat, menjunjung supremasi hukum,
memiliki komitmen kepada pengurangan kesenjangan, memiliki komitmen
kepada pasar, dan memiliki komitmen pada lingkungan hidup. Keberhasilan
penyelenggaraan tata pemerintahan yang baik sangat ditentukan oleh keterlibatan
dan sinergi tiga aktor utama dari good governance ini yakni aparatur pemerintah,
masyarakat atau publik, dan keterlibatan pihak swasta.

6
Gambir Bhatta (1996) menggungkapkan bahwa “unsur utama
governance”, yaitu: akuntabilitas (accountability), transparansi (transparency)
keterbukaan (opennes), dan aturan hukum (rule of law) ditambah dengan
kompetensi manajemen (management competence) dan hak-hak azasi manusia
(human right).
Kemudian UNDP melalui Lembaga Administrasi Negara yang dikutip
Tangkilisan (2005:115) mengemukakan bahwa karakteristik atau prinsip yang
harus dianut dan dikembangkan dalam praktek penyelenggaraan kepemerintahan
yang baik, meliputi:
1) Partisipasi (Participation): Setiap orang atau warga masyarakat, baik laki-
laki maupun perempuan, memiliki hak suara yang sama dalam proses
pengambilan keputusan, baik secara langsung maupun melalui lembaga
perwakilan sesuai dengan kepentingan dan aspirasinya masing-masing.
2) Akuntabilitas (Accountability): Para pengambil keputusan dalam sektor
publik, swasta, dan masyarakat madani memiliki pertanggung jawaban
(akuntabilitas) kepada publik (masyarakat umum), sebagaimana halnya kepada
para pemilik (stakeholders).
3) Aturan Hukum (Rule of Law): Kerangka aturan hukum dan perundang-
undangan harus berkeadilan, ditegakkan dan dipatuhi secara utuh, terutama
aturan hukum tentang hak azasi manusia.
4) Transparansi (Transparency): Transparansi harus dibangun dalam rangka
kebebasan aliran informasi. Informasi harus dapat dipahami dan dapat
dimonitor.
5) Daya Tanggap (Responsivennes): Setiap intuisi dan prosesnya harus
diarahkan pada upaya untuk melayani berbagai pihak yang berkepentingan
(stakeholders).
6) Beorientasi Konsensus (Consensus Orientation): Pemerintahan yang baik
akan bertindak sebagai penengah bagi berbagai kepentingan yang berbeda
untuk mencapai konsensus atau kesempatan yang terbaik bagi kepentingan
masing-masing pihak, dan berbagai kebijakan dan prosedur yang akan
ditetapkan pemerintah.

7
7) Berkeadilan (Equity): Pemerintahan yang baik akan memberikan
kesempatan yang baik terhadap laki-laki maupun perempuan dalam upaya
mereka untuk meningkatkan dan memelihari kualitas hidupnya.
8) Efektivitas dan Efesiensi (Effectiveness and Effeciency): Setiap proses
kegiatan dan kelembagaan diarahkan untuk menghasilkan sesuatu benar-benar
sesuai dengan kebutuhan melalui pemanfaatan yang sebaik-baiknya dengan
berbagai sumber-sumber yang tersedia.
9) Visi Strategis (Strategic Vision): Para pimpinan dan masyarakat memiliki
perspektif yang luas dan jangka panjang tentang penyelenggaraan
pemerintahan yang baik dan pembangunan manusia, bersamaan dengan
dirasakannya kebutuhan untuk pembangunan tersebut.
Prinsip-prinsip tersebut merupakan suatu karakteristik yang harus
dipenuhi dalam pelaksanaan good governance yang berkaitan dengan
pengendalian, yakni pengendalian suatu pemerintahan yang baik agar mencapai
hasil yang dikehendaki stakeholders.

2.2.3 Pendapatan Asli Daerah


Sebagai salah satu tujuan yang hendak dicapai di dalam pelaksanaan
desentralisasi dan otonomi Daerah, jargon tentang kemandirian Daerah bukan hal
yang baru. Secara teoritis pengukuran kemandirian Daerah diukur dari
Pendapatan Asli Daerah (PAD). Sesuai dengan Undang Undang No 22 tahun
1999 disebutkan bahwasanya Pendapatan Asli Daerah (PAD) terdiri dari :
1. hasil pajak daerah
2. hasil retribusi daerah
3. hasil perusahaan milik daerah dan hasil pengelolaan kekayaan daerah
yang dipisahkan dan
4. lain lain pendapatan asli daerah yang sah.

Namun di dalam perkembangan selanjutnya, diantara semua komponen


Pendapatan Asli Daerah (PAD), pajak dan retribusi daerah merupakan

8
penyumbang terbesar, sehingga muncul anggapan bahwasanya Pendapatan Asli
Daerah (PAD) identik dengan pajak dan retribusi Daerah.
Dalam Undang Undang tersebut juga disebutkan jenis retribusi yang terdiri dari :
1. Retribusi Jasa Umum yang merupakan pungutan yang dikenakan oleh daerah
kepada masyarakat atas pelayanan yang diberikan.Pelayanan yang digolongkan
sebagai jasa usaha tersebut tergolong quasy goods dan pelayanan yang
memerlukan pengendalian dalam konsumsinya dan biaya penyediaan layanan
tersebut cukup besar sehingga layak dibebankan pada masyarakat misalnya :
retribusi pelayanan kesehatan, persampahan, akta catatan sipil, KTP dll.
2. Retribusi Jasa Usaha merupakan pungutan yang dikenakan oleh daerah
berkaitan dengan penyediaan layanan yang belum memadai disediakan oleh
swasta dan atau penyewaan aset/kekayaan daerah yang belum dimanfaatkan
misalnya : retribusi pasar grosir, terminal, rumah potong hewan dll.
3. Retribusi Perijinan Tertentu yang merupakan pungutan yang dikenakan
sebagai pembayaran atas pemberian ijin untuk melakukan kegiatan tertentu yang
perlu dikendalikan oleh daerah misalnya : IMB, Ijin Pengambilan Hasil Hutan
Ikutan, Pengelolaan Hutan dll.

2.2.3.1 Kondisi Pajak dan Retribusi Daerah di era Otonomi

Kondisi perpajakan dan retribusi daerah di Indonesia dewasa ini dapat di


gambarkan sebagai berikut :

1. Masih rendahnya potensi penerimaan pajak Daerah terhadap Pendapatan


Nasional.
2. Masih rendahnya taxing power di hampir semua Daerah di Indonesia
3. Semakin tingginya proporsi PAD yang dialokasikan untuk Belanja
Kepala Daerah dan DPRD.
4. Semakin meningkatnya proporsi Dana yang Didaerahkan jika dilihat dari
alokasi APBN,
5. Masih rendahnya kemampuan PAD yang dihasilkan daerah terkait
dengan kewajibannya untuk membiayai pengeluaran rutin

9
6. Masih rendahnya prosentase penerimaan retribusi daerah di Indonesia
7. Kondisi BUMD yang kurang memberikan sumbangan yang siginifikan
bahkan ada beberapa BUMD yang merugi

2. 2. 4 Akuntabilitas dan Transparansi dalam Pelayanan Publik

Dalam KepMenPAN No. 26/KEP/M.PAN/2/2004 tentang Pedoman Umum


Penyelenggaraan Pelayanan Publik dikatakan bahwa penyelenggaraan pelayanan
publik harus dapat dipertanggungjawabkan, baik kepada publik maupun kepada
atasan/pimpinan unit pelayanan instansi pemerintah sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
Dan hal ini merupakan salah satu bagian dalam pelaksanaan pemerintahan
yaitu akuntabilitas. Lenvine (dalam Dwiyanto, 2005:147) mendefenisikan
akuntabilitas sebagai suatu ukuran yang menunjukkan seberapa besar proses
penyelenggaraan pelayanan sesuai dengan kepentingan stakeholders.
Akuntabilitas bermakna pertanggungjawaban dengan menciptakan pengawasan
melalui distribusi kekuasaan pada berbagai lembaga pemerintah sehingga
mengurangi penumpukan kekuasaan sekaligus menciptakan kondisi saling
mengawasi (check and balances system).
Yang menjadi indikator dalam mengukur akuntabilitas antara lain:
a. Akuntabilitas kinerja pelayanan publik, dilihat berdasarkan proses yang
meliputi; tingkat ketelitian (akurasi), profesionalitas petugas, kelengkapan
sarana dan prasarana, kejelasan aturan (termasuk kejelasan kebijakan atau
peraturan perundang-undangan), dan kedisiplinan. Harus sesuai dengan
standar yang telah ditetapkan dan dapat dipertanggungjawabkan secara
terbuka.
b. Akuntabilitas biaya pelayanan publik, dipungut sesuai dengan ketentuan
perundang-undangan yang telah ditetapkan.
c. Akuntabilitas produk pelayanan publik, persyaratan teknis dan
administratif harus jelas dan dapat dipertanggungjawabkan dari segi

10
kualitas dan keabsahan produk pelayanan. Selain itu prosedur dan
mekanisme kerja harus sederhana dan dilaksanakan sesuai dengan
ketentuan yang telah ditetapkan.

Di sisi lain hal yang juga mempengaruhi pelaksanaan pelayanan publik


dalam pemerintahan adalah transparansi. Dimana dalam KepMenPAN
No.26/KEP/M.PAN/2/2004 tentang Pedoman Umum Penyelenggaraan Pelayanan
Publik, menjelaskan pengertian transparansi penyelenggaraan publik merupakan
pelaksanaan tugas dan kegiatan yang bersifat terbuka bagi masyarakat dari proses
kebijakan, perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan ataupun pengendaliannya,
serta mudah diakses oleh semua pihak yang membutuhkan informasi.
Transparansi adalah prinsip yang menjamin akses atau kebebasan bagi
setiap orang untuk memperoleh informasi tentang penyelenggaraan pemerintahan
dan kegiatan lainnya, yakni informasi tentang kebijakan, proses pembuatan dan
pelaksanaan serta hasil-hasil yang dicapai. Transparansi merupakan upaya
menciptakan kepercayaan timbal balik antara pemerintah dan masyarakat melalui
penyediaan informasi dan menjamin kemudahan dalam memperoleh informasi
yang akurat dan memadai.
Yang menjadi indikator untuk mengukur transparansi ini antara lain:
a. Manajemen dan penyelenggaraan pelayanan publik
b. Prosedur pelayanan
c. Persyaratan teknis dan administratif pelayanan
d. Rincian biaya pelayanan
e. Waktu penyelesaian pelayanan
f. Pejabat yang berwenang dan bertanggung jawab
g. Lokasi pelayanan
h. Janji pelayanan
i. Standar pelayanan publik
j. Informasi pelayanan

11
Kedua hal ini yaitu transparansi dan akuntabilitas harus dilaksanakan pada
seluruh aspek manajemen pelayanan, yang meliputi kebijakan, perencanaan,
pelaksanaan, pengawasan/pengendalian, dan laporan hasil kinerja. Transparansi
dan akuntabilitas hendaknya dimulai dari proses perencanaan pengembangan
pelayanan karena sangat terkait dengan pelayanan bagi masyarakat umum yang
memerlukan dan yang berhak atas pelayanan.

12
BAB III
METODE PENULISAN

Dalam penulisan dan penyusunan tulisan ini metode yang digunakan


adalah deskriptif. Dimana, tulisan ini memberikan gejala-gejala, fakta-fakta, atau
kejadian-kejadian secara sistematis dan akurat, mengenai sifat-sifat dalam sebuah
permasalahan.
Data yang diperlukan dalam tulisan ini adalah data sekunder. Dimana data
sekunder adalah data yang diperoleh baik yang belum diolah maupun telah diolah,
baik dalam bentuk angka maupun uraian. Pengumpulan data dilakukan melalui
Studi kepustakaan (Library research), yaitu pengumpulan data yang dilakukan
dari buku-buku, karya ilmiah, pendapat para ahli yang memiliki relevansi dengan
masalah yang diteliti. Dimana segala data atau informasi yan terkait dengan
tulisan ini ditelaah dan disusun dalam tulisan ini.

13
BAB IV
ANALISIS DAN SINTESIS

Banyak realitas di lapangan yang menunjukkan bahwa daerah seperti


kebingungan di dalam menyikapi tuntutan otonomi. Filosofi dasar otonomi untuk
mendekatkan pelayanan kepada tingkat pemerintahan paling bawah justru disikapi
sebaliknya. Untuk beberapa daerah yang terbilang siap secara sumber daya alam
maupun sumber daya manusia, otonomi benar – benar menjadi arena pembuktian
bahwasanya mereka sanggup untuk mengelola daerahnya sendiri dengan
mengurangi campur tangan pusat. Ironisnya hampir di sebagian besar daerah di
Indonesia belum memiliki prasyarat kesiapan tersebut, sehingga akhirnya mereka
justru tenggelam di dalam euforia otonomi itu sendiri. Banyak kebijakan yang
bersifat merugikan dan sangat prematur hanya demi mengejar otonomi versi
mereka. Karenanya peran pusat dirasa masih sangat diperlukan dewasa ini. Hanya
saja ada beberapa elaborasi dan penyesuaian di beberapa aspek sehingga peran
pemerintah itu nantinya juga tetap berada dikoridor hukum, selaras dengan napas
otonomi daerah. Peran tersebut antara lain berupa penciptaan kondisi yang
kondusif bagi perkembangan pajak dan retribusi dengan tetap memperhatikan
landasan hukum yang sudah disepakati bersama. Kebijakan yang dapat diambil
oleh pemerintah pusat dapat dibagi menjadi kebijakan dari sisi penciptaan pajak
baik ekstensifikasi maupun intensifikasi pajak dan retribusi serta kebijakan dari
sisi penggunaannya.

a) Kebijakan dari sisi penciptaan

1) Penyerahan beberapa pajak dan retribusi yang masih dipegang oleh Pusat
kepada Daerah dengan tetap mempertimbangkan faktor efisiensi ekonomi,
mobilitas obyek pajak serta fungsi stabilitasi dan distribusi pajak itu
sendiri. Adapun pajak-pajak tersebut antara lain :
 PBB dan BPHTB dapat dialihkan ke Daerah dimana Daerah diberi
wewenang untuk menetapkan dasar penggenaan pajak dan tarif sampai
batas tertentu meskipun adminstrasinya masih dilakukan oleh Pusat.

14
 Pajak Penghasilan (PPh) orang pribadi yang sekarang dibagi hasilkan,
dapat dialihkan dalam bentuk piggy back dimana Daerah seyogyanya
diberikan wewenang untuk mengenakan opsen sampai batas tertentu di
bawah wewenang penuh Pemerintah Kab/Kota.

2) Memberikan batas toleransi maksimum terhadap pembatalan penciptaan


pajak dan retribusi baru oleh Daerah selama kurun waktu tertentu.
Misalnya jika selama 1 tahun Daerah telah mencapai batas toleransi
jumlah Perda yang dibatalkan maka Daerah tersebut tidak dapat
mengajukan permohonan Perda penciptaan pajak dan retribusi baru. Ini
juga terkait dengan usulan revisi UU No. 34 tahun 2000 butir yang
memberikan kesempatan Daerah untuk menciptakan jenis pajak dan
retribusi baru.
3) Memperluas basis penerimaan pajak melalui identifikasi pembayar pajak
baru/potensial serta meningkatkan efisiensi dan penekanan biaya
pemungutan. Diharapkan biaya pengenaan pajak jangan sampai melebihi
dana yang dapat diserap dari pajak itu sendiri.

b) Kebijakan dari sisi pemberdayaan BUMD


Pemberdayaan BUMD sebagai salah satu alternatif sumber pembiayaan daerah
dapat ditempuh melalui strategi :
1. Reformasi Misi BUMD :
 BUMD sebagai salah satu pelaku ekonomi daerah dapat
mendayagunakan aset daerah untuk mewujudkan kemakmuran rakyat;
 b. BUMD adalah penyedia pelayanan umum yang menjaga kualitas,
kuantitas dan kontinuitas pelayanan;
 BUMD mampu berperan sebagai pendukung perekonomian daerah
dengan memberikan kontribusi kepada APBD, baik dalam bentuk pajak
maupun deviden dan mendorong pertumbuhan perekonomian daerah
melalui multiplier effect yang tercipta dari kegiatan bisnis yang efisien
seperti bertambahnya lapangan kerja dan kepedulian social;

15
 BUMD mampu berperan sebagai countervailing power terhadap
kekuatan ekonomi yang ada melalui pola kemitraan. Diharapkan
berbagai perusahaan swasta dalam dan luar negeri berminat melakukan
kerjasama dengan BUMD terpilih untuk selanjutnya membentuk Joint
Venture/Joint Operation Company (JV/OC).

2. Restrukturisasi BUMD
Langkah-langkah untuk meningkatkan kinerja dan kesehatan BUMD,
yaitu tindakan yang ditujukan untuk membuat setiap BUMD menghasilkan laba
termasuk mengubah mekanisme pengendalian oleh Pemerintah Daerah yang
semula kontrol secara langsung melalui berbagai bentuk perizinan, aturan, dan
petunjuk menjadi kontrol yang berorientasi kepada hasil. Artinya Pemerintah
Daerah selaku pemegang saham hanya menentukan target kuantitatif dan
kualitatif yang menjadi performance indicator yang harus dicapai oleh
manajemen, misalnya Return On Equity (ROE) tertentu yang didasarkan kepada
benchmarking kinerja yang sesuai dengan perusahaan sejenis;Pengkajian secara
komprehensif terhadap keberadaan BUMD, karena selama ini BUMD dianggap
kurang tepat bila disebut sebagai lembaga korporasi, khususnya, dikaitkan dengan
upaya pemberdayaan BUMD agar dapat menjadi salah satu sumber keuangan
daerah;

Restrukturisasi BUMD dengan prinsip Good Corporate Governance dapat


dikelompokkan kedalam 2 (dua) kelompok yaitu :
a. Kelompok BUMD PDAM dimana tersedia berbagai pilihan restrukturisasi
Perusahaan yang dapat dilakukan tergantung permasalahan yang dihadapi
dan potensi yang tersedia;
b. Kelompok BUMD Non PDAM, dapat diselesaikan secara kasus per kasus
dengan berbagai pilihan sesuai dengan visi pengelolaan BUMD yang
bersangkutan.

16
3. Profitisasi BUMD
Profitisasi BUMD dalam rangka menghasilkan keuntungan atau laba serta
memberikan kontribusi pada Pemerintah Daerah yaitu dapat dilakukan sebagai
berikut :
a. Melakukan proses penyehatan perusahaan secara menyeluruh dengan
meningkatkan kompetensi manajemen dan kualitas Sumber Daya
Manusia.
b. Mengarahkan BUMD untuk dapat berbisnis secara terfokus dan
terspesialisasi dengan pengelolaan yang bersih, transparan dan
professional;
c. Bagi BUMD yang misi utama untuk pelayanan publik dan pelayanan
sosial, diberikan sasaran kuantitatif dan kualitatif tertentu;
d. Memberdayakan Direksi dan Badan Pengawas yang dipilih dan
bekerja berdasarkan profesionalisme melalui proses fit and proper
test;
e. Merumuskan kebijakan yang diarahkan kepada tarif yang wajar,
kenaikan harga produk (minimal menyesuaikan dengan inflasi, tarif
listrik, BBM, dan lain-lain) untuk menghindarkan biaya produksi
yang jauh lebih mahal, sehingga profit dapat diraih.

4. Privatisasi BUMD

Privatisasi utamanya bertujuan agar BUMD terbebaskan dari intervensi


langsung birokrasi dan dapat mewujudkan pengelolaan bisnis yang efisien,
profesional dan transparan. Diharapkan setelah melalui tahapan restrukturisasi,
pihak perusahaan swasta akan berminat mengembangkan usaha dengan cara
melakukan aliansi strategis dengan BUMD, dan bila memungkinkan untuk
BUMD yang sehat dan memiliki prospek bisnis dapat menawarkan penjualan
saham melalui Pasar Modal yang didahului Initial Public Offering (IPO).
Penataan dan penyehatan BUMD yang usahanya bersinggungan dengan
kepentingan umum dan bergerak dalam penyediaan fasilitas publik ditujukan agar
pengelolaan usahanya menjadi lebih efisien, transparan, profesional. Hubungan

17
kemitraan dapat dilaksanakan dalam bentuk kerjasama usaha yang saling
menunjang dan menguntungkan antara koperasi, swasta, dan BUMD, serta antara
usaha besar, menengah dan kecil dalam rangka memperkuat struktur ekonomi
nasional. Bagi BUMD yang usahanya tidak berkaitan dengan kepentingan umum
didorong untuk privatisasi melalui pasar modal.
BUMD infrastruktur tentunya harus dikelola secara profesional sehingga
kinerjanya dapat ditingkatkan dan mampu menjalin kerjasama yang saling
menguntungkan dengan berbagai pihak operator swasta dan Pemerintah Daerah.
Aliansi Stragis dengan operator swasta sangat dibutuhkan untuk mengisi peluang
usaha telekomunikasi yang kompetitif pada segmen pasar tertentu. Sebagai
konsekuensi logis implementasi otonomi daerah, maka peranan Pemerintah
Daerah sebagai salah satu stakeholder mempunyai pengaruh yang cukup
signifikan dalam penentuan arah kebijakan publik di daerahnya. Untuk itu perlu
dikaji lebih mendalam pengembangan kerjasama Pemerintah Daerah dengan
pihak swasta, baik langsung maupun melalui BUMD dalam dalam rangka
menjalin hubungan kemitraan yang saling menguntungkan.
Untuk memelihara sense of belonging, daerah/BUMD dan masyarakat dapat
diberi peluang untuk memiliki sebagian saham BUMN tertentu yang berusaha di
daerahnya sehingga merasa ikut memiliki dan turut bertanggung jawab atas
keberhasilan usahanya. Dalam upaya optimalisasi sumber-sumber pembiayaan
dan investasi bagi daerah otonom, diperlukan dukungan pemerintah dalam
berbagai bentuk pembinaan dan pengawasan di berbagai bidang.

c) Kebijakan dari sisi penggunaan


1. Meningkatkan mekanisme kontrol dari masyarakat dan LSM terhadap
pelaksanaan pengelolaan keuangan Daerah sebagai wujud nyata pelaksanaan asas
transparansi dan akuntabilitas fiskal.
2. Memberikan arahan yang jelas tentang alokasi anggaran terhadap sumber -
sumber penerimaan baik PAD maupun transfer pusat. Adapun peran pusat hanya
sekedar memberikan arahan tentang hal yang seyogyanya dilakukan oleh Daerah.
Semua keputusan tentang mekanisme pelaksanaan alokasi anggaran sepenuhnya

18
menjadi kewenangan daerah sesuai dengan nafas otonomi itu sendiri. Adapun
aturan alokasi tersebut misalnya: PAD sampai presentase tertentu digunakan
untuk pembayaran gaji pokok aparat Daerah dengan memberikan standar yang
sama di seluruh Indonesia. Untuk beberapa Daerah yang memiliki PAD tinggi
dan kelebihan setelah digunakan untuk pembayaran gaji pokok dapat
dimanfaatkan sebagai kekayaan Daerah. Sementara DAU yang diterima sampai
prosentase tertentu digunakan untuk dana operasional (tunjangan) aparat Daerah,
pelayanan publik yang bersifat intangible serta proyek pembangunan jangka
pendek. Sementara DAK diarahkan untuk mensukseskan program nasional yang
bersifat prioritas serta pencapaian Standar Pelayanan Minimal di masing-masing
Daerah. Sementara untuk proyek pembangunan Daerah jangka panjang diarahkan
pada sumber dana Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan melalui Propinsi dan
Menteri Teknis.
Diharapkan dengan adanya beberapa pilihan kebijakan yang dapat diambil
oleh pusat tersebut dapat menghilangkan upaya daerah untuk menggali sumber-
sumber PAD yang berdampak distorsi terhadap perekonomian demi mengejar
satu tujuan kemandirian Daerah yang masih merupakan harapan jauh di angkasa.

19
BAB V
PENUTUP
5. 1 Kesimpulan
Bahwa di Negara Indonesia saat ini masih banyak hal-hal yang perlu
dibenahi, karena masih banyak pelayanan publik yang belum berbasis masyarakat
atau kurang sesuai dengan kepentingan masyarakat yang ada.
Dan kemunculan Good Governance dalam pemerintahan dapat digunakan
untuk menyelesaikan masalah-masalah pelayanan publik tersebut. Namun, dalam
pelaksanaannya pemerintah tidak dapat berjalan sendiri, atau dengan kata lain
harus ada kerjasama antara semua pihak yang ada (setiap stakeholder).
Pelaksanaan pemerintahan yang berbasis akuntabilitas dan transparansi
merupakan prinsip yang dapat digunakan dalam pelayanan publik yang harus
dilaksanakan oleh multistakeholder yang ada.

5.2 Saran
Dalam meuwujudkan pelayanan publik dalam masyarakat maka dapat
dilakukan hal sebagai berikut :
a) Membuka informasi yang luas kepada semua masyarakat.
b) Membuka diri (pemerintah) terhadap semua masukan dari
masyarakat serta memberikan respon.
c) Memberdayakan semua lapisan masryarakat dalam pelayanan
public.
d) Memberikan ruang dan kesempatan kepada masyarakat dan juga
stakeholder lain untuk dapat ikut berperan serta dalam
pemerintahan.

20
DAFTAR PUSTAKA

I. BUKU

Bhatta, Ghambir. (1996). Capacity Building at the Local Level for Effective
Governance, Empowerment Without Capacity is Meaningless.

Dwiyanto, Agus. 2005. Mewujudkan Good Governance Melalui Pelayanan


Publik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Effendi, Sofian. 1996. Membangun Martabat Manusia: Peranan Ilmu-ilmu Sosial


dalam Pembangunan. Yogyakarta: Gajah Mada University.

Mardiasmo, 2002. Otonomi dan Manajemen Keuangan Daerah, Yogyakarta :


Penerbit Andi.

Nugroho, D. Riant. (2004). Kebijakan Publik, Formulasi Implementasi, dan


Evaluasi. Jakarta: Gramedia.

Wahab, Solichin, Putra, Fadillah, dan Arif, Saiful. 2002. Masa Depan Otonomi
Daerah: Kajian Sosial, Ekonomi dan Politik untuk Menciptakan Sinergi
dalam Pembangunan Daerah. Surabaya: Penerbit SIC.

II. Undang-undang

UU No. 32 Tahun 2004


UU No. 22 Tahun 1999
KepMenPAN No.26/KEP/M.PAN/2/2004

21

Anda mungkin juga menyukai