Anda di halaman 1dari 2

Senyum Terakhir

Kupandangi empat foto ukuran 20R yang tertempel di dinding kamarku. Kamarku selalu
biru. Kupandangi senyum itu, senyum terakhir yang ada padanya. Kini segalanya telah
sirna. “Deu… yang jadi mahasiswa terbaik! Selamat ya Kak!” Aku memberi selamat
pada kakak sambil memeluknya. “Adek ntar harusnya juga gitu!” sela mamaku. Aku tak
mengomentari, aku hanya manyun sambil bergelanyut manja pada mama.
“Makasih ya, Dek, Ma, Pa! Mungkin tanpa kalian, Syadza nggak mungkin bisa dapatin
prestasi ini. Thanks for all!”
“By the way, rencana syukurannya kapan nih? Terus, mau acara ke mana?” tanyaku
iseng. “Kita sudah lama nggak ke vila. Gimana kalau kita ke vila aja?” Papa memberi
penawaran yang langsung kami sambut sambut dengan teriakan setuju. Kami pun
bergegas meninggalkan gedung tempat kakak diwisuda untuk beranjak pulang.
Semua kurasakan bak mimpi. Meskipun bukan yang terbaik di sekolah, aku tetap
bersyukur bahwa aku masih berkesempatan menjadi lulusan dengan nilai tertinggi ketiga
di sekolah. Aku juga diterima PMDK di jurusan yang aku inginkan.
Kakakku, Syadza, yang juga merupakan saudaraku satu-satunya, dinobatkan sebagai
mahasiswa terbaik pada saat wisudanya. Tawaran pekerjaan pun datang, tanpa kakak
harus mencari. Papa dan Mama usahanya lancar. Mereka telah membuka cabang untuk
toko yang mereka rintis bersama di beberapa tempat. Aku bersyukur sekali.
“Pa, rencananya hari ini kite ngapain?” tanya Kak Syadza sambil mengoleskan selai pada
roti tawarnya.
“Hari ini kalian mau mancing atau ke air terjun?” Papa membebaskan kami untuk
memilih.
Suara Mama yang memecah kesunyian, “Mancing aja, Pa! Sekalian nanti kita makan
siang di sana dan bisa beli ikan di sana. Mama juga pengin liburan!”
“lihh maunya!” seruku dan kakak bersamaan. Papa hanya menanggapi dengan senyuman.
Akhirnya, usulan mama yang dilaksanakan. Sebab, memang tak ada usulan yang lain dari
kami. Tempat memancing favorit kami berada agak jauh dari vila. Bukan di danau, tapi
di kolam-kolam. Di sisinya, terdapat pendopo kecil untuk tempat memancing dan
bersantai.
Setelah puas memancing dan makan siang, kakak mengusulkan untuk menghabiskan sisa
hari di air terjun. Kami pun menyetujinya.
“Berapa tahun sih Kak, kita nggak ke sini? Beda banget dari yang dulu!” Kutoleh
kakakku yang juga terpesona oleh keindahan alam yang ada. Tidak menjawab, kakak
malah balik bertanya padaku tanpa menoleh ke arahku, “Nea bawa kamera?”
Pertanyaan yang tidak perlu sekali untuk dijawab. Ke mana pun kami pergi mama, yang
memiliki hobi fotografi tentu tak pernah absen dari kameranya. Hanya saja, kakak tidak
begitu perhatian ketika dan tadi di tempat memancing hingga tiba di sini, mama tak
pernah berhenti untuk memfoto segala objek.
Setiap ekspresi kami yang tanpa dibuat-buat akan terabadikan oleh kamera mama. Air
mataku tak henti mengalir membasahi pipi. Senyum itu begitu tulus, begitu lepas, seolah
tak ada beban.
Tiba-tiba kurasakan belaian tangan yang telah kuhafal sekali.. “Papa udah nunggu di
mobil, sayang,” kata mama lembut.
Sekali lagi kutatap potret yang tergantung di dinding kamarku itu. Saat kakak wisuda,
kami berdua kegirangan karma kami berhasil mendapatkan ikan, bermain air di sungai air
terjun, dan ketika kami menikmati percik-percik air terjun.
Aku pun segera beranjak dan menyusul mama yang telah berjalan menuju mobil.
Kuhapus air mataku. Kucoba menghentikannya.
Seperti biasa, mama selalu menemaniku duduk di bangku belakang kemudi papa. Mama
tak akan pernah melepaskan pelukannya kepadaku. Di tengah perjalanan, sekali lagi
kulayangkan pertanyaan yang hingga kini belum jugs terjawab, “Apa sih yang terjadi
pada kakak pagi itu?” Semua diam. “Kenapa waktu itu aku nggak mau di ajak jalan jalan
pagi sama kakak ya!” sesalku.
Setelah seharian beraktivitas di luar rumah, keesokan paginya aku kelelahan. Tapi, entah
kenapa kakakku semangat sekali untuk joging. Dia mengajakku serta. Tapi, aku tak mau
ikut. Akhirnya, dia pergi sendirian.
Hari telah siang, tapi kakak belum juga kembali. Kami mengira dia mampir ke vila
temannya yang memang banyak berada di dekat vila kami. Tak selang beberapa lama,
ternyata kakak pulang. Tapi, kakak tidak sendiri dia diantar oleh orang-orang yang
menemukannya. Keadaannya begitu buruk sekali. Sayangnya, tak ada satu orang pun
yang tahu apa yang telah terjadi pada kakak.
“Nea, ayo turun sudah sampai,” bisik mama perlahan. Kuhela napasku dalam-dalam.
Kukuatkan jiwaku. Sekali lagi untuk entah yang kesekian kalinya, kubaca papan itu,
rumah sakit jiwa…
Ya, kakakku yang brilian mengalami ketakutan yang luar biasa.

Anda mungkin juga menyukai