Anda di halaman 1dari 6

TUHAN MASIH BERSAMAKU

“ aku gagal menjadi seorang ayah dan suami dalam keluarga ini!” ucap lelaki 40 tahun
itu disela isak tangisnya. Baru kali ini kusaksikan benteng ketegaran seorang lelaki runtuh,
hancur, menjadi serpihan-serpihan kecil dan terhanyut derasnya air mata yang menganak
sungai.

Entah berapa lama lelaki yang kupangggil bapak itu menangis di hadapan sebuah figura,
dimana ada foto istri dan anak semata wayangnya, yakni Aku.

Gema takbir malam 1 Syawal agaknya tak mampu menentramkan hatinya. Awalnya
kukira ia sedang menikmati ribuan bintang yang menghiasi langit malam itu. Karena yang aku
tahu itulah kegemarannya sejak kecil. Memandang langit bertabur bintang sembari merangkai
Impian”. Rumah sederhana yang tak pernah sepi oleh canda tawa ia beserta anak dan istrinya.
Namun impian itu semakin jauh dari gapaiannya. Di rumah yang sekarang, hanya tinggal Bapak
dan aku saja.

Dua tahun silam Emak nekad mengadu nasib ke negeri orang dengan menjadi TKW. Aku
anggap kepergiannya sebagai alternative terbaik, setelah kondisi fisik Bapak kian memburuk
dua ahun terakhir. Dengan mengandalkan upah harian Bapak ebagai buruh bangunan rasanya
angat berat untuk mencukupi kebutuhan hidup yang kian mencekik.

“ apa maksud Bapak dengan ucapan Bapak tadi?” tanyaku tak mengerti.

Lama kutunggu dan tak terdengar sepatah katapun dari lisan beliau.

“ selama ini yang mendidik aku Bapak. Kalau Bapak merasa gagal itu sama halnya Bapak
menganggapku gagal menjadi seorang anak. Sebenarnya Bapak menginginkanku seperti apa?
Tak adakah sesuau yang bisa membuat Bapak bangga kepadaku?”

Pertanyaan-pertanyaan itu terus saja trelontar dari mulutku. Aku tak kuasa menahan
emosiku. Tanpa kusadari, akupun menangis. “ seburuk apakah aku?” batinku kesal. “
mungkinkah sederetan Piagam Penghargaan yang memenuhi dinding kamarku tak bisa
membuatnya sedukit bangga kepadaku?”

Untuk sekian detik suasana hening……….aku dan Bapak sama-sama terdiam seirbu
bahasa.
Penilaian secara sepihak itu aku tepis jauh-jauh. Alangkah bodohnya aku, disaat Bapak
bersedih aku justru memojokkan beliau. Tiba-tiba aku teringat kalimat dalam kertas yang
kutemukan di bawah ranjang Bapak kemarin sore. Mungkin lebih pantas disebut surat yang tak
jadi dikirimkan oleh penulisnya, yang tak lain Bapakku sendiri.

“ aku bangga padamu Nak, namun maafkan Bapak yang tak mampu menuruti
keinginanmu untuk sekolah setinggi-tingginya. Maafkan Bapak Nak……”

Ingatanku itu rupanya cukup manjur meredam emosiku dan membuatku berani
memulai pembicaraan dengan Bapak lagi, tentunya dengan tutur bahasa yang lebih halus.

“ sudahlah pak, bagaimanapun keadaan Bapak, aku tetap anak Bapak. Bapak tidak perlu
berkecil hati dengan kondisi bapak sekarang. Toh masih banyak orang lain yang nasibnya lebih
buruk dari kita.” Ujarku setengah berbisik.

“ Bapak tahu Nduk, Tuhan memberikan sesuatu sesuai kemampuan hamba-Nya. Tapi
bapak tak yakin kalau bapak masih kuat,” balas Bapak dengan suara parau.

Kembali kuingat penjelasan Ustadz Manshur Fathal di pengajian kemarin malam.

“ masih!” jawabku mantap.

“ maksudmu?” Tanya Bapak penasaran.

“ yah……. Selama kita masih bernapas selama itulah Tuhan masih percaya kita masih
mampu mengemban amanat dari-Nya. Kalau Bapak tetap merasa seperti itu, lebih b aik aku
berhenti sekolah saja!” ancamku.

Rupanya kalimat terakhirku cukup mengangetkan beliau. Ditatapnya wajahku lekat-


lekat.

“ tidak Ratih! Kau harus tetap sekolah. Buktikan bahwa kau tak selemah Bapakmu ini.
Tunjukkan bahwa kau bisa ke luar negeri tapi tidak untuk menjadi pembantu seperti Emakmu!”
Suara Bapak meninggi.

Untuk kedua kalinya kami menangis bersamaan. Rasa haru kian menyusup jauh ke
dalam sanubariku. Mungkinkah ucapanku tadi mengembalikan kembali semangat hidup Bapak?
Batinku.

*__________________*

“ Allahu Akbar…….. Allahu Akbar…….. Allahu Akbar…….!” Suara takbir dari masjid utama
desa membangunkanku pagi itu. Seusai shalat shubuh aku tetap di masjid menunggu saat
shalat Id tiba. Seperti tahun-tahun lalu masjid tidak terlalu penuh, karena ada dua masjid di
desaku.

Sesampainya di rumah, aku segera bersiap-siap menyusul Bapak di ruumah budhe


tertuaku. Belum sempat kulepas mukenaku, terdengar seseorang mengetuk pintu depan.

“ assalmu’alaikum..!”

“ waalaikumussalm, tunggu sebentar!” teriakku dari kamar. Bergegas kubukakan pintu


dan betapa terkejutnya aku.

“ Emak! Benar ini, Emak?” kupeluk tubuhnya erat sampai aku luap mempersilahkannya
masuk.

“ ini Emak Ratih! Kenapa? Ratih tidak senang Emak pulang? Tanya Emak.

“ bukan begitu,……tapi….”

“ ya, Emak tahu, kamu pasti kaget kan? Emak sengaja tidak kirim kabar kalau mau
pulang biar surprise,,,” ucap Emak sambil melepaskan pelukanku.

“ Bapak mana? Kok kamu dirumah sendiri?” Tanya Emak bingung.

“ Bapak dirumah Budhe Mak! Sekarang kan kita sydah akur!” jelasku.

“ bagaimana sekolahmu?” Tanya Emak sembari duduk di teras depan

“ maksud Emak kamu masih bertahan jadi juara kelas kan? Emak harap Ratih ma uterus
belajar. Berusahalah, selama paru-parumu masih berfungsi, Tuhan masih bersamamu, begitu
juga Emak,” ucap Emak.

“ ok bos! Ratih janji, Ratih akan membuat Emak dan Bapak tersenyum bangga pada
Ratih,” balasku.

“ Emak mau minum apa, biar Ratih ambilkan!” tawarku.

“ Emak tidak haus, lebih baik kamu kabari Bapak sana!” perintah Emak.

“ kenapa Emak tidak ikut sekalian?”

“ Emak capek, lagipula dari kemarin sore belum mandi,” jawab Emak.

“ baiklah, kalau begitu Emak istirahat saja , biar Ratih ke ruamh budhe dulu.”
Ku tinggalkan Emak sendiri di rumsh. Tak sampai sepuluh menit aku kembali bersama
Bapak.

“ Emak……………….!” Aku sampai lupa mengucap salam. Sepi tak ada jawaban.

“ kemana Emakmu, Ratih?” Tanya Bapak bingung.

“ tadi katanya Emak mau mandi dulu,” tukasku.

“ barangkali di belakang. Ayo Pak!” ajakku sambil ku tarik lengan kanan Bapak.

Sesampainya di belakang hanya hamparan ilalang yang tampak olehku. Dan tak jauh dair
tempatku berdiri, tertanam sebuah nisan bertuliskan Ny. Sari Binti Suwarso, wafat 12 Desember
2006”

“ tidak mungkin, Emaaaaaaaaaakkk …!”

*______________________*

Di hari kedua lebaran rumahku sesak oleh sanak familiku. Baik dari keluarga Bapak
maupun Emak. Kami sama-sama sedang menunggu kedatanggan jenazah Emak, sebagaimana
yang tertulis dalam telegram, Emakku meninggal setelah terjatuh dari tangga dua minggu yang
lalu, persis saat aku bermimpi. Rupanya pertemuan aku dan Emak kemarin, benar-benar
sebuah tanda yang sengaja Tuhan berikan padaku melalui dunia maya, sebelum Ia mengambil
kembali kekasih-Nya dari sisiku. Aku tak lagi menangis karena Emak masih bersamaku selama
paru-paruku masih berfungsi. Demikian juga Tuhanku……..!
UNSUR INTRINSTIK dalam

CERPEN “ TUHAN MASIH BERSAMAKU”

--- Tema : Kasih sayang Tuhan dan Ibunya yang selau hidup di dalam hati
selama paru-paru anaknya masih berfungsi meski Ibunya telah tiada.

--- Judul : Tuhan Masih Bersamaku

--- Latar : o) Tempat : Rumah dan Belakang rumah

o) Waktu : Pagi dan Malam

--- Alur : Maju-Mundur

--- Tokoh : Aku ( Ratih ) : Baik, tegas, pintar, sungguh-sungguh.

Bapak : Mudah putus asa, baik, lembut

Emak : Baik, pekerja keras

--- Sudut Pandang : Orang pertama pelaku utama

--- Amanat : Kita tidak boleh putus asa dalam mewujudkan cita-cita kita
serta dalam membahagiakan kedua orang tu kita. Meski orang tua kita telah tiada, kita
harus selalu tetap semangat dalam membahagiakannya agar ia bisa tersenyum bangga
di alam sana.
TUGAS KLIPPING
B.INDONESIA

NAMA : RIRI AISYATURRIDHO

KELAS :X

TANGGAL : 6 APRIL 2010

WE CAN IF WE WANT TO TRY

ALWAYS STUDY HARD FOR OUR SUCCESFULLY

Anda mungkin juga menyukai