Anda di halaman 1dari 5

Pendahuluan

Stroke menduduki urutan ketiga penyebab kematian setelah penyakit jantung dan kanker. Stroke masih
merupakan penyebab utama dari kecacatan. Data dari NHLB’s Farmingham Heart Study, di Amerika
Serikat diperkirakan terdapat 600.000 yang terdiri dari 500.000 penderita stroke baru dan 100.000
penderita stroke ulang1.

Di Indonesia, belum ada data epidemologis stroke yang lengkap, tetapi proporsi penderita stroke dari
tahun ke tahun cenderung meningkat. Hal ini terlihat dari laporan survei Kesehatan Rumah Tangga
Depkes RI di berbagai rumah sakit di 27 provinsi di Indonesia. Hasil survei itu menunjukkan terjadinya
peningkatan antara 1984 sampai 1986, dari 0,72 per 100 penderita pada1984 menjadi 0,89 per 100
penderita pada 19862. Di RSU Banyumas, pada 1997 pasien stroke yang rawat inap sebanyak 255
orang, pada 1998 sebnyak 298 orang, pada 1999 sebanyak 393 orang, dan pada 2000 sebanyak 459
orang.

Biaya yang dikeluarkan untuk pengobatan stroke dan kehilangan mata pencaharian sangat tinggi. Di
Amerika Serikat, pada 1981 pernah dihitung biaya yang dikeluarkan untuk perawatan pasien stroke, yaitu
sebanyak 7 milyar dolar3 dan pada 1996 meningkat menjadi 40 milyar dolar. Biaya tersebut terdiri dari
direct costs (biaya rumah sakit, dokter, dan rehabilitasi) sebanyak 27 milar dolar dan indirect costs
(kehilangan produktivitas) sebanyak 13 milyar dolar 4. American Heart Association memperkirakan total
biaya menjadi 51 milyar dolar pada 19995.

Stroke merupakan masalah serius karena dapat menyebabkan kematian, kecacatan, dan biaya yang
dikeluarkan sangat besar. Karena itu, perlu usaha pencegahan untuk terjadinya stroke primer maupun
stroke sekunder (stroke ulang). Salah satu faktor risiko yang penting untuk terjadinya stroke adalah
hipertensi. Oleh karena itu, dengan mengendalikan tekanan darah, angka kejadian stroke primer maupun
stroke sekunder dapat diturunkan. Dalam makalah ini, akan dibahas peran hipertensi terhadap kejadian
stroke, pengendalian hipertensi untuk pencegahan stroke, serta terapi hipertensi pada stroke akut.

Pengaruh Hipertensi pada Organ Target

Hipertensi dapat mengakibatkan kerusakan berbagai organ target seperti otak, jantung, ginjal, aorta,
pembuluh darah perifir, dan retina. Beberapa penelitian secara cross sectional membuktikan bahwa
kerusakan organ target lebih erat hubungannya dengan hasil pengukuran tekanan darah selama 24 jam
atau Ambulatory Blood Preasure (ABP) daripada tekanan darah sesaat di klinik6.

Pada orang normal, tekanan darah mengikuti pola sirkadian, yaitu tekanan darah mengalami penurunan
pada malam hari dan mengalami kenaikan pada pagi hari. Demikian pula pada sebagian besar penderita
hipertensi, yang juga mengikuti pola sirkadian orang normal (dippers). Tetapi, pada penderita hipertensi
non-dippers tidak terjadi penurunan tekanan darah malam hari. Kejadian penyakit kardiovaskular maupun
stroke lebih sering timbul pada penderita hipertensi non-dippers daripada penderita hipertensi dippers.
Kerusakan organ target yang lebih berat erat hubungannya dengan pasien dengan tekanan darah tetap
tinggi pada malam hari (non-dippers) daripada pasien yang tekanan darahnya menurun secara normal
pada malam hari (dippers)7. Sebagai contoh, hasil penelitian dari Verdecchia dan kawan-kawan secara
kohort prospektif terhadap1100 penderita hipertensi, dilaporkan angka kematian rata-rata lebih tinggi,
baik pada non-dippers dan reverse dipper daripada dippers. Hasil penelitian Yamamoto membuktikan
bahwa tekanan darah yang tinggi pada pengukuran secara ambulatory (ABP), khususnya tekanan darah
yang tinggi pada malam hari dan penurunan tekanan darah yang kurang pada malam hari, akan
menyebabkan efek yang merugikan (bertambah luasnya lesi) pada lesi iskemik yang tenang (silent
ischemic lesions) dan stroke simptomatis pada pasien dengan infark lakuner9.

Kejadian serangan stroke dan infark miokard akut mengikuti pola sirkadian. Hasil metaanalisis terhadap
30 laporan dari berbagai negara, dengan 66.635 penderita infark miokard akut (IMA), menunjukan
adanya kenaikan risiko IMA sebesar 40% pada jam 06.00–12.00 dibandingkan saat lain dalam sehari 10.
Demikian pula hasil meta-analisis dari 19 penelitian dengan 19.390 kejadian kematian mendadak karena
serangan jantung. Ada kenaikan 29% risiko kematian mendadak pada jam 06.00–12.00 10. Hasil meta-
analisis dari 31 laporan yang telah dipublikasi menunjukkan bahwa dari 11.816 pasien stroke, terjadi
kenaikan risiko 49% serangan stroke pada jam 06.00–12.00 dari seluruh tipe stroke. Tiga dari seluruh
sub-tipe stroke menunjukkan secara bermakna risiko yang lebih tinggi (55% pada 8250 stroke iskemik,
34% pada 1801 stroke hemoragik, dan 50% pada 405 TIA) pada jam 06.00–12.00 (gbr) 11.

Sementara itu, hasil penelitian dari Chaturvedi dan kawan-kawan membuktikan bahwa serangan stroke
iskemik lebih sering terjadi pada pagi hari (antara jam 06.00 sampai 12.00). Menurut Chaturvedi, ada
beberapa penjelasan yang dapat diterima mengapa serangan stroke iskemik terjadi pada pagi hari:

1. Pola sirkadian tekanan darah. Pola tekanan darah meningkat pada pagi hari (peningkatan
tertinggi terjadi pada pertengahan pagi hari sampai tengah hari). Peningkatan tekanan darah
menyebabkan peningkatan intraplaque hemorrhage, sehingga akan memperberat stenosis
pembuluh darah yang mengalami aterosklerosis.
2. Peningkatan agregasi platelet terjadi pada pagi hari.
3. Viskositas darah mencapai puncaknya pada pagi hari.
4. Aktivitas TPA (endogenous tissue plasminogen activator) sangat rendah pada pagi hari. Hal
ini akan mengubah keseimbangan antara trombosis dan fibrinolisis sehingga trombosis
menjadi lebih dominan.

Peran Hipertensi Dalam Patogenesis Stroke

Orang normal mempunyai suatu sistem autoregulasi arteri serebral. Bila tekanan darah sistemik
meningkat, pembuluh serebral menjadi vasospasme (voasokonstriksi). Sebaliknya, bila tekanan darah
sistemik menurun, pembuluh serebral akan menjadi vasodilatasi. Dengan demikian, aliran darah ke otak
tetap konstan. Walaupun terjadi penurunan tekanan darah sistemik sampai 50 mmHg, autoregulasi arteri
serebral masih mampu memelihara aliran darah ke otak tetap normal. Batas atas tekanan darah sistemik
yang masih dapat ditanggulangi oleh autoregulasi ialah 200 mmHg untuk tekanan sistolik dan 110-120
mmHg untuk tekanan diastolik.

Ketika tekanan darah sistemik meningkat, pembuluh serebral akan berkonstriksi. Derajat konstriksi
tergantung pada peningkatan tekanan darah. Bila tekanan darah meningkat cukup tinggi selama
berbulan-bulan atau bertahun-tahun, akan menyebabkan hialinisasi pada lapisan otot pembuluh serebral.
Akibatnya, diameter lumen pembuluh darah tersebut akan menjadi tetap. Hal ini berbahaya karena
pembuluh serebral tidak dapat berdilatasi atau berkonstriksi dengan leluasa untuk mengatasi fluktuasi
dari tekanan darah sistemik. Bila terjadi penurunan tekanan darah sistemik maka tekanan perfusi ke
jaringan otak tidak adekuat. Hal ini akan mengakibatkan iskemik serebral. Sebaliknya, bila terjadi
kenaikan tekanan darah sistemik maka tekanan perfusi pada dinding kapiler menjadi tinggi. Akibatnya,
terjadi hiperemia, edema, dan kemungkinan perdarahan pada otak 13.

Pada hipertensi kronis dapat terjadi mikroaneurisma dengan diameter 1 mm. Mikroaneurisma ini dikenal
dengan aneurisma dari Charcot-Bouchard dan terutama terjadi pada arteria lentikulostriata. Pada
lonjakan tekanan darah sistemik, sewaktu orang marah atau mengejan, aneurisma bisa pecah. Hipertensi
yang kronis merupakan salah satu penyebab terjadinya disfungsi endotelial dari pembuluh darah.

Pada keadaan normal, endotelial menunjukkan fungsi dualistik. Sifat ini secara simultan
mengekspresikan dan melepaskan zat-zat vasokonstriktor (angiotensin II, endotelin-I, tromboksan A-2,
dan radikal superoksida) serta vasodilator (prostaglandin dan nitrit oksida). Faktor-faktor ini menyebabkan
dan mencegah proliferasi sel-sel otot polos pembuluh darah secara seimbang. Keseimbangan antara
sistem antagonis ini dapat mengontrol secara optimal fungsi dinding pembuluh darah. Akibat disfungsi
endotel, terjadi vasokonstriksi, proliferasi sel-sel otot polos pembuluh darah, agregasi trombosit, adhesi
lekosit, dan peningkatan permeabilitas untuk makromolekul, seperti lipoprotein, fibrinogen, dan
imunoglobulin14. Kondisi ini akan mempercepat terjadinya aterosklerosis. Aterosklerosis memegang
peranan yang penting untuk terjadinya stroke infark.

Penurunan Tekanan Darah Dalam Pencegahan Stroke Primer dan Sekunder

Pencegahan stroke primer ini ditujukan bagi individu berisiko tinggi untuk terjadinya stroke, yaitu dengan
mengendalikan faktor-faktor risiko stroke. Faktor-faktor risiko stroke yang dapat diobati atau dikendalikan
dan terbukti dapat menurunkan terjadinya stroke dengan baik adalah hipertensi, merokok, diabetes,
stenosis arteri karotis yang asimptomatis, penyakit sel Sickle, hiperlipidemia, dan arterial fibrilasi. Faktor
risiko lain yang potensial dapat dikendalikan adalah obesitas, aktivitas fisik yang kurang, alkohol,
hiperhomosisteinemia, penyalah gunaan obat (kokain, ampetamin, dan heroin), nutrisi (diet kurang
sayuran dan buah-buahan), oral kontrasepsi, hiperkoagulabilitas, infeksi kronis Chalmydia pneumoniae,
dan terapi pengganti hormon15.

Klugel dan kawan-kawan melaporkan bahwa hipertensi yang tidak terkontrol terdapat pada 78% kasus
stroke iskemik dan 85% pada kasus stroke hemoragik 16. Hipertensi yang tidak terkendali sangat kuat
hubunganya dengan stroke akut17. Suatu overviews dari 14 prospective randomized menunjukkan bahwa
dengan penurunan tekanan darah 5 mmHg sampai 6 mmHg dapat menurunkan terjadinya stroke 42% 18.
Hasil penelitian The Systolic Hypertension in the Eldery Program (SHEP) memperlihatkan penurunan
insiden stroke 36% dengan pengobatan antihipertensi (klortahalidon atau atenolol) pada pasien usia
lanjut dengan hipertensi sistolik terisolasi (isolated systolic hypertension)19. Risiko terjadinya stroke akan
meningkat dua kali setiap kenaikan 7,5 mmHg tekanan diastolik. Antihipertensi dapat menurunkan risiko
terjadinya stroke 38%20.

Hasil meta-analisis yang dilakukan oleh Gueyffier menunjukkan bahwa penurunan tekanan darah dengan
obat antihipertensi dapat menurunkan terjadinya risiko stroke ulang 21. Sedangkan hasil penelitian dari
POGRESS (Perindopril Protection Against Recurrent Study) menunjukkan bahwa terapi dengan
perindopril pada pasien stroke dengan hipertensi dapat menurunkan secara bermakna terjadinya sroke
ulang (risk reduction=28%, 95% Cl = 17% to 38%, P22.

Penatalaksanaan Hipertensi pada Stroke Akut

Hipertensi didapatkan pada 80% penderita stroke akut ketika masuk ke rumah sakit. Terjadi kenaikan
tekanan darah pada stroke iskemik akut yang sebagian besar hanya bersifat sementara. Hasil penelitian
dari Harper dan kawan-kawan menunjukkan penurunan tekanan darah yang signifikan sampai hari ke-7
setelah serangan stroke iskemik akut23. Mekanisme kenaikan tekanan darah, baik pada stroke iskemik
maupun stroke hemoragik, masih belum diketahui. Tetapi, diduga ada hubungan dengan peningkatan
aktivitas sistem saraf simpatik, yaitu dengan adanya peningkatan kadar katekolamin plasma dan
kortikosteroid24. Prognosis dan hipertensi post stroke masih belum jelas. Tekanan darah pada saat masuk
ke rumah sakit tidak berhubungan dengan prognosis stroke, kecuali pada penderita dengan gangguan
kesadaran. Ada korelasi antara hipertensi dengan besarnya angka kematian. Tetapi, hasil penelitian
Danish menunjukkan bahwa tekanan sistolik pada saat masuk rumah sakit berhubungan dengan
menurunnya risiko terjadinya progresivitas dan stroke sebesar 40% setiap kenaikan 20% tekanan
sistolik25.

Terapi hipertensi pada saat stroke akut mempunyai risiko kurang baik pada prognosis stroke. Penurunan
tekanan darah beberapa jam setelah stroke akut menyebabkan perburukan kelaianan nerologis. Mungkin
hal ini disebabkan

oleh adanya penurunan tekanan perfusi di darah infark26. Pada beberapa hari sesudah serangan stroke
akut, autoregulasi serebral dan tekanan perfusi serebral lokal mengalami gangguan. Namun, kebanyakan
akan menjadi normal kembali setelah 2 sampai 4 hari27. Peneliti lain melaporkan bahwa apabila hipertensi
tidak diturunkan pada waktu serangan stroke akut, dapat menyebabkan edema otak 28. Hasil penelitian
dari Chamorro dan kawan-kawan menunjukan bahwa perbaikan yang sempurna pada iskemik stroke
dipermudah oleh adanya penurunan tekanan darah yang cukup ketika edema otak berkembang,
sehingga menghasilkan tekanan perfusi serebral yang adekuat 29.

Masih ada perbedaan pendapat mengenai dapat tidaknya hipertensi pada stroke akut segera diturunkan.
Walaupun demikian, belum ada uji klinik randomisasi mengenai pemberian obat antihipertensi pada
penderita stroke akut dengan hipertensi. Guideline Stroke 2000 yang dikeluarkan oleh kelompok studi
Serebrovskular & Neurogeriatri Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia dapat digunakan sebagai
pegangan dalam terapi hipertensi pada saat stroke akut 30.

Stroke Iskemik Akut

Tekanan darah baru diturunkan setelah 2–7 hari pasca stroke iskemik akut, kecuali ada indikasi khusus.
Pada fase akut, tekanan darah tidak boleh diturunkan > 20-25% dari tekanan darah rata-rata. Indikasi
terapi hipertensi pada stroke akut:

1. Jika tekanan darah diastolik > 140 mmHg pada dua kali pembacaan selang 5 menit, berikan
infus natriun nitroprusid (sangat emergensi).
2. Jika tekanan darah sistolik > 230 mmHg dan atau tekanan darah diastolik l21–140 mmHg
pada dua kali pembacaan selang 20 menit, berikan 20 mg labetolol iv selama 1–2 menit. Dosis
labetolol dapat diulang setiap 10–20 menit sampai penurunan darah yang memuaskan.
Setelah pemberian dosis awal, labetolol dapat diberikan setiap 6–8 jam bila diperlukan
(emergensi).
3. Jika tekanan darah sistolik 180–230 mmHg dan atau tekanan darah diastolik 105–120
mmHg, terapi darurat harus ditunda tanpa adanya bukti perdarahan intraserebral atau gagal
ventrikel jantung kiri. Jika tekanan darah menetap pada dua kali pengukuran selang 60 menit,
maka diberikan 200–300 mg labetolol 2–3 kali sehari. Pengobatan alternatif selain labetolol
adalah nifedipin oral 10 mg tiap 6 jam atau kaptopril 6,25–12,5mg tiap 8 jam (urgensi).
4. Tekanan sistolik

Stroke Perdarahan Intraserebral

Tekanan darah pada fase akut tidak boleh diturunkan lebih dari 20%. Penurunan tekananan darah rata-
rata tidak boleh lebih dari 25% dan tekanan darah arteri rata-rata. Kriteria penurunan:

1. Bila tekanan darah sistolik lebih dari 230 mmHg atau tekanan diastolik lebih dari 140 mmHg
pada dua kali pengukuran tekanan darah selang 5 menit, berikan natrium nitroprusid atau
nitrogliserin drip.
2. Bila tekanan sistolik 180–230 mmHg atau tekanan diastolik 105–140 mmHg, atau tekanan
darah arterial rata-rata 130 mmHg pada dua kali pengukuran tekanan darah selang 20 menit,
berikan labetolol injeksi atau enalapril.
3. Bila tekanan sistolik kurang dari 180 mmHg dan tekanan diastolik kurang 105 mmHg,
pemberian obat anti hipertensi ditangguhkan.

Obat hipertensi yang diberikan kepada pasien stroke adalah obat yang tidak mempengaruhi aliran darah
otak. Dyker dan kawan-kawan melaporkan bahwa pemberian perindopril efektif menurunkan tekanan
darah tanpa menganggu aliran darah otak pada pasien stroke iskemik akut 31. Sedangkan Walter dan
kawan-kawan melaporkan bahwa pemberian perindopril pada pasien stroke iskemik yang tidak akut,
dengan stenosis atau oklusi sedang sampai berat pada arteri karotis intema, terjadi penurunan tekanan
darah tanpa penurunan aliran darah otak32.

Kesimpulan

Stroke merupakan masalah yang serius, karena merupakan penyebab utama kecacatan dan kematian
ketiga setelah penyakit jantung serta kanker. Angka kejadian stroke di Indonesia dari tahun ke tahun
meningkat. Biaya yang dikeluarkan untuk pengobatan stroke cukup besar. Hipertensi merupakan faktor
risiko utama untuk terjadinya stroke iskemik maupun stroke hemoragik (perdarahan). Dengan
mengendalikan tekanan darah pada pasien hipertensi, dapat menurunkan terjadinya stroke primer
ataupun stroke sekunder (stroke ulang). Namun, mengenai pemberian segera terapi anti-hipertensi pada
stoke akut dengan hipertensi, masih ada perbedaaan pendapat. Guideline Stroke 2000 yang dikeluarkan
oleh Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia dapat digunakan sebagai pegangan dalam terapi
hipertensi pada saat stroke akut.

Anda mungkin juga menyukai

  • Pengendalian Persediaan Efektif
    Pengendalian Persediaan Efektif
    Dokumen25 halaman
    Pengendalian Persediaan Efektif
    Haryono Faithful
    Belum ada peringkat
  • DEFINISI
    DEFINISI
    Dokumen5 halaman
    DEFINISI
    nia_1mutz2339
    Belum ada peringkat
  • Daun Serai
    Daun Serai
    Dokumen6 halaman
    Daun Serai
    nia_1mutz2339
    Belum ada peringkat
  • Daun Serai
    Daun Serai
    Dokumen6 halaman
    Daun Serai
    nia_1mutz2339
    Belum ada peringkat
  • Pengendalian 1
    Pengendalian 1
    Dokumen6 halaman
    Pengendalian 1
    nia_1mutz2339
    Belum ada peringkat
  • DISOLUSI OBAT
    DISOLUSI OBAT
    Dokumen23 halaman
    DISOLUSI OBAT
    Hanan Laras Indi
    Belum ada peringkat
  • Sistem Kekebalan
    Sistem Kekebalan
    Dokumen13 halaman
    Sistem Kekebalan
    nia_1mutz2339
    Belum ada peringkat
  • Homeostasis
    Homeostasis
    Dokumen2 halaman
    Homeostasis
    nia_1mutz2339
    Belum ada peringkat
  • Gagal Ginjal
    Gagal Ginjal
    Dokumen25 halaman
    Gagal Ginjal
    nia_1mutz2339
    Belum ada peringkat
  • Kurva Karbohidrat
    Kurva Karbohidrat
    Dokumen2 halaman
    Kurva Karbohidrat
    nia_1mutz2339
    Belum ada peringkat
  • Avc
    Avc
    Dokumen8 halaman
    Avc
    nia_1mutz2339
    Belum ada peringkat
  • Cover FTS CSP
    Cover FTS CSP
    Dokumen3 halaman
    Cover FTS CSP
    nia_1mutz2339
    Belum ada peringkat
  • Gagal Jantung (Kelompok 1)
    Gagal Jantung (Kelompok 1)
    Dokumen10 halaman
    Gagal Jantung (Kelompok 1)
    nia_1mutz2339
    Belum ada peringkat
  • Pan 1
    Pan 1
    Dokumen2 halaman
    Pan 1
    nia_raikkychan
    Belum ada peringkat
  • Asma
    Asma
    Dokumen6 halaman
    Asma
    nia_1mutz2339
    Belum ada peringkat