Anda di halaman 1dari 6

Komunitas Wedangjae :: Wacana dan Analisis Jurnalisme Empatik

MENGENAL BENTURAN PERADABAN : SEBUAH PENGANTAR


Contributed by Doni Riadi
Thursday, 13 March 2003

Apa perbedaan ideologi dengan peradaban ? Bagaimana pengaruhnya terhadap tatanan global dunia? Dimanakah
posisi ideologi dan peradaban dalam gerakan mahasiswa ? Adalah pertanyaan fundamental yang layak dipahami oleh
seorang aktivis gerakan mahasiswa muslim.

Yang jelas, setelah blok komunitas runtuh pada kurun waktu 1980-an, maka perbincangan tentang ideologis dianggap
sudah selesai. Para pemikir kemudian kemudian menemukan cara pandang baru yang lebih komprehensif yaitu
peradaban. Dalam tataran lokal masional, friksi diantara tiga ideologi besar --nasionalis, agama (Islam), dan
komunis—tidak lagi menarik dibicarakan dibanding dengan pembicaraan seputar peradaban barat, Islam, dan
konfusian.

Tulisan berikut ini bukanlah sebuah analisis orisinil penyusun, tetapi kumpulan tulisan dari beberapa penulis dan
pengamat peradaban yang dimuat dimedia massa, baik berupa artikel, resensi, maupun kutipan-kutipan dari esai ilmiah
populer. Dengan harapan, dapat digunakan sebagai bahan diskusi yang hangat untuk memperkaya wacana benturan
peradaban dan perang pemikiran.

Fawaz A. Gerges (2002)


Kebijakan luar negeri Amerika terhadap Islam, menurut Gerges, dipengaruhi dan menjadi ladang tarik ulur antara dua
kubu akademisi, intelektual dan wartawan Amerika.

Kubu pertama, kubu konfrontasionalis, meyakini Islam politik sebagai "musuh baru" setelah komunisme runtuh dan
menyarankan agar Amerika membasminya. Pendukung kubu ini, antara lain Samuel Huntington, Bernard Lewis, dan
Daniel Pipes, berusaha meyakinkan publik bahwa ajaran Islam secara umum bertentangan dengan "peradaban Barat
yang demokratis". Huntington dan Lewis mengatakan bahwa Islam secara intrinsik tidak demokratis. Pipes bahkan lebih
kasar lagi mengatakan ajaran Islam pada dasarnya "terorisme".

Kubu kedua, kubu akomodasionis, menolak deskripsi Islamis sebagai "anti- Barat" serta "antidemokrasi" dan
menyarankan agar Amerika "tidak menentang penerapan hukum Islam atau aktivis gerakangerakan Islam, jika program-
program tersebut tidak mengancam kepentingan vital Amerika". Pendukung kubu ini, antara lain John L. Esposito dan
Robin Wright, menyarankan Amerika memberi peluang munculnya politisi demokrat Islam.

Namun, kesimpulan akhir Gerges sangat menarik. Meski ada banyak pernyataan para pejabat Amerika tentang Islam,
menurut Gerges, Amerika Serikat sebenarnya "tidak punya kebijakan yang komprehensif, koheren, dan konkrit tentang
peran Islam dalam proses politik". Baik Bush Sr maupun Clinton, menurut Gerges, lebih mengutamakan kebijakan-
kebijakan jangka pendek yang diilhami oleh kepentingan pragmatis.

Christianto Wibisono
Pada dimensi ideologi dan falsafah, maka para pakar terpecah dalam dua setengah kubu yang saling berlawanan
walaupun barangkali masih mempunyai secercah titik temu yang rawan serta memerlukan kultivasi genius negarawan
yang toleran dan demokrat. Kubu pertama diwakili oleh Francis Fukuyama yang menguraikan teori keunggulan
demokrasi leberal sebagai produk final dari upaya manusia mencari metode penyelesaian konflik dan akomodasi ambisis
manusia secara modern, tertib dan rasional. Karena itu ia menulis buku The End of History and The Last Man sebagai
tesis mengenai sistem politik"final" yang harus diambil manusia jika mereka ingin mengatasi konflik secara tertib.

Sebaliknya kubu kedua diwakili oleh Samuel P Huntington secara pesimis meragukan kebenaran tesis Fukuyama
tentang akhir konflik ideologi antar manusia setelah berakhirnya perang dingin dan runtuhnya Tembok Berlin. Huntington
merujuk pada insiden Tiananmen dan perang teluk yang merupak bukti adanya kesenjangan dan konflik baru pasca
perang dingin, yang lebih mendasar dan mirip dengan pola konflik di zaman Perang Salib pada Milenium Pertama.
Dalam buku The Clash of Civilzation and the Remaking of World Order Huntington meramalkan bahwa dunia akan
memasuki konflik antar peradaban. Tiga peradaban yang paling dominan yaitu Barat Kristen, Sinic Confucian dan Islam
akan bertarung memperebutkan hegemoni. Di luar tiga besar ada 5 sub peradaban yang tidak begitu dominan yaitu
Jepang, Rusia, Hindu, Amerika Latin, dan Afrika.

Menurut seorang cendekiawan Muslim pemengang Hadia Nobel Fisika, Prof Abdus Salam dalam buku Idealis and
Realities. Orang harus membedakan antara agama sebagi ritual dan pengejawatahan jiwa dan semangat serta ajaran
agama, dalam pola tingkah laku dan budaya yang diterapkan secara konkret dalam kehidupan sehari-hari. Menurutnya
juga, dunia Islam pernah mengalami zaman keemasan ketika Eropa justru berada pada Abad Kegelapan (the Dark
Ages) karena toleransi yang moderat dan meritokrasi yang dipraktekkan secara konsisten tanpa fanatisme dan
ekstremisme agama.
http://www.wedangjae.net Powered by Joomla! Generated: 13 April, 2010, 13:02
Komunitas Wedangjae :: Wacana dan Analisis Jurnalisme Empatik

Sebenarnya suatu paradox yang jarang diingat oleh banyak pegamat ialah fakta bahwa ekonomi AS sangat tergantung
pada lalu lintas pinjaman melalui mekanisme pasar berupa penjualan Obligasi Pemerintah AS (Us Treasuries Notes and
Bonds). Negara dan Pemerintah AS adalah pengutang terbesar di dunia, tetapi mereka melelang obligasi yang
dimenangkan justru oleh mereka yang rela menerima suku bunga terendah dari Pemerintah AS.

Karena investor dunia seperti Jepang dan kaum elite negara maju termasuk Cina Perantauan Asia Tenggara percaya
bahwa AS tidak akan mengemplang utang atau kudeta oleh oknum militer, maka arus modal terbesar justru mengalir ke
AS melalui Arsitektur Finansial Global yang berlandaskan mekanisme pasar. Tetapi pasar AS sangat dipercaya, sedang
pasar negara berkembang seperti kita mengalami distorsi akibat KKN. Sehingga arus dana ditarik keluar sebagai bagian
dari lingkaran setan depresi mata uang, impotensi ekspor dan erosi daya beli dan daya saing nasional Dunia Ketiga.

Sayd Tahrera
Persentuhan Islam-Barat, Sebuah Keniscayaan
Barat, dalam realitasnya bukan saja sebutan untuk sebuah bangsa. Namun dengan sebutan itu pula, norma, adat,
sistem bahkan ideologi telah menjadi model ideal bagi negara penghuni dunia ketiga, sebagai percontohan negara
modern. Ali Syariati pernah mengatakan yang ditulisnya dalam buku Peranan Cendekiawan Muslim, "tujuan dari
alternatif ini (globalisasi) bukanlah kekerasan, melainkan mengatur terjadinya perubahan mendasar : yaitu mengubah
nilai-nilai agar shampo, kemeja, lipstik dapat diterima. Masyarakat harus dimodernisasi secara global, kalau sudah
modern, mereka akan menerima dengan senang hati apa yang ditawarkan kepada mereka". Alangkah benar sinyalemen
Ibnu Khaldun (1332-1406) "Orang taklukan selalu meniru penakluknya, baik pakaian, perhiasan, kepercayaan serta adat
kebiasaan lainnya".

Sedang dalam buku Agama dan Modernisasi Politik, Donald E Smith, mensinyalir : sekularisasi yang dibawa Barat
merupakan keniscayaan dunia yang mengalami proses modernisasi. Sebab ciri terpenting dari modernisasi adalah
sekularisasi. Berbeda Maryam Jamella dalam menanggapi persentuhan Islam dan barat, di bukunya Islam versus the
West, ia menyebutkan : pemikir-pemikir Islam seperti Sayid Qutub, Muhammad Qutub, Muhammad Asad lebih jelas dan
tegas memaparkan paradoksal antara Islam dan Barat. Maryam Jamella -seorang Yahudi keturunan yang sebelum
memeluk Islam bernama Margareth Marcus-menegaskan bahwa antara Islam dan Barat terdapat perbedaan yang
fundamental, menurutnya "the imitation of Western ways of life based on their materialistic, pragmatic and secular
philosophies can only lead to abandonment of Islam".

Melalui tesisnya, Prof. Hutington meyakinkan Barat, bahwa idelogi adalah senjata paling ampuh dalam perumusan pola
hubungan internasional dan pembentukan Tata Dunia Baru. Dengan adanya dominasi tunggal AS, telah melahirkan Tata
Dunia Baru. Sebagai negara nomor satu di dunia, AS mengatur tata politik dunia dengan bendera kapitalismenya.
Berkaitan dengan penyebaran kapitalisme ini ada satu hal yang harus betul-betul diperhatikan yakni, setelah AS berhasil
memantapkan dominasi ideologi kapitalisme secara internasional, maka kini AS tengah berusaha untuk memantapkan
dominasi ideologi secara universal.

Adian Husaini
Di bukunya Sekularisme Penumpang Gelap Reformasi, menyebutkan setidaknya politik luar negeri AS berpijak pada dua
pendulum antara idealisme (HAM dan demokratisasi) dan pragmatisme (national interest). Standar ganda yang
dimainkan AS lebih mengedapankan pragmatisme ketimbang idealisme. Artinya, demi mempertahankan national interest-
nya, maka AS rela mengorbankan nilai-nilai HAM dan demokrasi, meskipun kedua nilai itu sudah menjadi kebijakan
resmi politik luar negeri.

Pertanyaan selanjutnya, mengapa AS menggunakan perang melawan terorisme sebagai senjata kepentingan
ekonominya? Boleh jadi, perang melawan terorisme ini merupakan alat yang paling cepat dan efektif. Dengan begitu, AS
bisa masuk ke wilayah manapun di dunia ini dan menguasainya dangan alasan menyerang terorisme. Cara ini juga
efektif untuk mengancam dan menundukkan negara-negara yang membakang terhadap AS. Tampaknya, AS melihat,
semata-mata menggunakan instrumen ekonomi seperti IMF dan WTO tidaklah cukup dan terlalu bertele-tele.

Huntington ‘The Clash of Civilization" (1993),


Huntington berpendapat bahwa ikatan sekelompok masyarakat modern semakin ditentukan oleh warisan agama,
bahasa, sejarah, dan tradisi yang mereka miliki bersama atau yang disebut sebagai peradaban.

Ia berpendapat bahwa benturan antarperadaban akan terjadi karena tiga hal pokok: hegemoni/arogansi Barat, in-
toleransi Islam dan fanatisme konfusianisme. Lebih lanjut Hungtington menyebutnya sedikitnya ada enam alasan
mengapa terjadi perang antarperadaban di masa depan yaitu: 1) perbedaan antar peradaban tidak hanya riil, tetapi juga
mendasar, peradaban terdiferensiasi oleh sejarah, bahasa, budaya, tradisi, dan yang lebih penting lagi, agama. 2) dunia
sekarang sehingga antara orang yang berbeda peradaban semakin meningkat. 3) proses modernisasi ekonomi dan
perubahan dunia membuat orang atau masyarakat tercerabut dari identitas lokal mereka yang sudah berakar dalam,
disamping memperlemah negara-bangsa sebagai sumber identitas mereka. 4) tumbuhnya kesadaran peradaban
dimungkinkan karena peran ganda Barat. Di satu sisi, Barat berada di puncak kekuatan, namun di sisi lain, peradaban-
peradaban non-Barat telah kembali ke fenomena asalnya. 5) karakteristik dan perbedaan budaya kurang bisa menyatu
http://www.wedangjae.net Powered by Joomla! Generated: 13 April, 2010, 13:02
Komunitas Wedangjae :: Wacana dan Analisis Jurnalisme Empatik

dan karena itu bisa berkompromi dibanding karakteristik dan perbedaan politik dan ekonomi. 6) regionalisme ekonomi
semakin meningkat dengan penekanan pada aspek agama yang menjadi roh peradaban.

Huntington bahkan melihat bahwa agamalah yang banyak berperan dalam konflik antarperadaban di masa depan. Kita
seakan di ingatkan bahwa agama tidak hanya berfungsi sebagai wacana spiritual yang menghadirkan rasa aman dan
damai, tetapi juga bisa menampilkan sosoknya yang seram dan menakutkan. Agama bisa meletupkan konflik dan
pertikaian ketika diinterpretasi sesuai dengan kepentingan sepihak umat atau kelompok agama. interpretasi yang
subjektif itu memberi wewenang pada pemeluk agama untuk membunuh dan mengobarkan perang atas nama Tuhan
dan Kitab Suci.

Dalam pandangan Huntington, dunia pasca-Perang Dingin adalah sebuah dunia dengan tujuh atau delapan peradaban
besar. Kesamaan-kesamaan serta perbedaan-perbedaan kultural membentuk kepentingan-kepentingan, antagonisme-
antagonisme serta asosiasi-asosiasi antarnegara. Negara-negara besar terdiri dari berbagai negara dengan peradaban
mereka masing-masing. Konflik-konflik lokal rupa-rupanya menjadi sebab timbulnya pertikaian dalam skala yang lebih
luas antara berbagai kelompok dan negara yang memiliki peradaban yang berbeda-beda. Pola-pola perkembangan
politik dan ekonomi saling berbeda antara satu peradaban dengan peradaban lainnya. Salah satu persoalan utama yang
masuk dalam agenda internasional adalah adanya perbedaan-perbedaan antar-peradaban. Kekuatan peradaban
tampaknya mengalami pergeseran dari Barat menuju peradaban-peradaban non-Barat. Dan, politik global pun menjadi
bersifat multipolar dan multisivilisasional.

Ruslani
Oleh karena itu, menarik memperhatikan tesis Huntington (The Clash of Civilizations and the Remaking of the World
Order, 1996) yang mendefinisikan "peradaban" sebagai pengelompokan terbesar masyarakat yang melampaui tingkat
pembedaan manusia dari spesies lainnya. Sebuah peradaban ditentukan oleh anasir-anasir objektif bersama-bahasa,
sejarah, agama, adat, dan lembaga-lembaga-juga oleh swa-identifikasi masyarakat. Huntington menyatakan, kini ada
tujuh atau delapan peradaban besar di dunia: Barat, Konfusius, Jepang, Islam, Hindu, Kristen Ortodoks, Amerika Latin,
dan "mungkin" Afrika.

Teori Huntington berusaha menentang skenario "akhir sejarah" pasca-perang dunia mengenai sebuah tatanan
internasional berdasarkan penerimaan universal atas model ekonomi kapitalis, tanpa perubahan pada cakrawala sejarah
manusia selanjutnya. Arti penting tesis Huntington ini terletak pada faktor-faktor kultural yang bisa dipertimbangkan
sebagai perkembangan yang amat positif. Hingga kini, hubungan dan konflik antarnegara sudah terbiasa dijelaskan
menurut analisis ekonomi. Lembaga-lembaga politik tumbuh di luar struktur kekuatan ekonomi, dan budaya adalah
ekonomi, dalam arti, di Barat, sistem pasar menentukan kerangka nilai-nilai umum yang dalam teori seharusnya secara
independen dimunculkan oleh budaya sendiri.

Namun, Huntington seolah melihat peradaban sebagai blok monolitik. Padahal, dalam kenyataan tidak demikian.
Sebagian peradaban, misalnya peradaban Islam, terutama ditentukan oleh wahyu keagamaan; yang lain, seperti
Konfusius, ditentukan oleh hubungan antara agama yang mengilhami mereka dan kekuasaan politik yang kurang jelas.
Dalam peradaban Barat, versi Katolik atau Protestan dari agama Kristen membentuk bagian dari lanskap budaya
mereka, meski masyarakat negara-negara Barat amat terbagi berdasar kepercayaan keagamaannya. Dalam setiap
peradaban, ada beberapa tren pemikiran yang mengikuti garis-garis pengakuan, dan yang lain mengikuti garis-garis
penempatan-subjek perdebatan yang kini hidup di negara-negara seperti Turki dan Italia.

Kenichi Ohmae (1995)


Namun, konflik-konflik dalam dunia modern tidak hanya antar peradaban, bahkan dalam peradaban yang sama bisa
terjadi konflik. Menurut Kenichi Ohmae, dalam peradaban yang sama, masyarakat sering berperang di antara mereka
masing-masing. Misalnya, konflik di Irlandia Utara antara penganut Protestan dan Katolik, bukan merupakan alasan yang
tepat untuk menyatakan kebencian yang mendalam, karena sama-sama Kristen. Contoh lain, akan sulit menjelaskan
konflik di Ambon, di mana masyarakatnya berada dalam tradisi dan suku yang sama. Perbedaan keyakinan dalam
masyarakat Ambon, antara Islam dan Kristen, bukanlah perbedaan besar, karena pada intinya sebenarnya kedua
agama itu sama punya tradisi dan akar sejarah yang sama: semitik.

Dalam bukunya yang berjudul The End of Nation State (1995), Ohmae berpendapat bahwa perang biasanya terjadi
ketika para pemimpin politik menonjolkan perbedaan-perbedaan kecil secara tajam seraya menciptakan kebencian laten
bukan ketika antar peradaban saling berbenturan, sebagaimana dinyatakan Huntington. Seakan menyanggah tesis
Huntington, Kenichi Ohmae berpendapat bahwa konflik-konflik terjadi lebih disebabkan oleh para pemimpin politik yang
kolot yang melibatkan rakyat untuk melakukan konfrontasi bersenjata.

Hans Kung (1997)


Seorang teolog besar abad ini, Hans Kung, mengajukan sebuah visi besarnya tentang etika global. Dalam karyanya
yang berjudul A Global Ethics for Global Politics and Economics (1997), Hans Kung menyatakan tak akan ada tatanan
baru tanpa sebuah etika dunia yang baru; sebuah etika global. Ia mendefinisikan etika global sebagai sebuah konsensus
dasar tentang nilai-nilai pengikat dan sikap dasar yang dikukuhkan oleh semua sistem kepercayaan (agama) meskipun
terdapat perbedaan dogmatis, dan yang sesungguhnya bisa juga disumbangkan oleh kaum non-beriman (ateis).
http://www.wedangjae.net Powered by Joomla! Generated: 13 April, 2010, 13:02
Komunitas Wedangjae :: Wacana dan Analisis Jurnalisme Empatik

Dalam kehidupan masyarakat global, menurut Hans Kung, konsensus berarti kesepakatan yang memerlukan standar
etika fundamental (nilai-nilai universal) yang meskipun terdapat banyak perbedaan wujudnya dalam agama, bentuk-
bentuk kehidupan, budaya, politik, namun dapat diposisikan sebagai basis terkecil bagi kehidupan masyarakat yang
pluralistik. Sebuah konsensus global dimungkinkan terwujud di atas moralitas dasar yang membatasi dirinya hanya pada
beberapa tuntutan fundamental (nilai-nilai universal); seperti kebenaran, keadilan, kemanusiaan, dan semacamnya. .

Tentu saja, nilai-nilai universal dalam sebuah konsensus global tidak bersifat subjektif (monologal). Artinya, kebenaran
dalam sebuah konsensus tidak bisa didasarkan pada klaim kebenaran yang sifatnya subjektif atau kebenaran yang
dipikirkan sendiri. Menurut Jurgen Habermas, orang tidak boleh menganggap klaim kebenarannya sebagai kebenaran
yang sudah selesai yang mengatasi hubungan-hubungan sosial (FB Hardiman: 2002). Karena kebenaran yang sifatnya
subjektif bisa mentotalisir atau fasis, seperti yang dilakukan oleh Hitler dan Musollini.

Jadi, kebenaran dalam sebuah konsensus, seperti yang dikatakan Habermas, bersifat intersubjektif (dialogal). Melalui
dialog yang bebas dominasi, jujur dan terbuka, nilai-nilai konsensus sebagai etika global dapat dikukuhkan. Tanpa etika
global, cepat atau lambat masyarakat modern terancam konflik-konflik dan kekacauan.

Louis Burhani
Hubungan Orang Islam dengan Barat
Kaum muslimin berhubungan dengan Barat lewat jalur Andalusia (Spanyol). Pada saat itu umat Islam tengah
menyebarkan ajaran Islam ke dunia Barat. Selain itu, umat Islam juga membawa berbagai kemajuan, yang tercermin
dalam peranan ilmu pengetahuan dan berdirinya universitas-universitas, seperti Universitas Granada dan Cordova.

Setelah itu, orang-orang Barat datang bersama tentara salibnya pada abad pertengahan. Mereka datang tanpa
membawa pemikiran dan peradaban. Mereka tidak memiliki sesuatupun yang bisa membuat kagum penduduk negeri
yang mereka kuasai. Sampai-sampai Usamah bin Munqidz mengomentari pasukan berkuda tentara salib dengan
mengatakan "Mereka adalah sekumpulan binatang ternak. Tidak ada yang mereka miliki kecuali keahlian berperang"
Ketika mereka kalah, dan penjaga benteng-benteng pertahanan mereka menyerah, maka selang dua abad kemudian
mereka tidak meninggalkan sedikitpun pengaruh kepada kehidupan umat Islam.

Aktifitas Barat di Negeri Islam


(1). Setelah keruntuhan Daulah Islamiyyah, mereka mengerat-erat negeri Daulah Islamiyyah ke dalam banyak institusi,
seperti Turki, Cyprus, Irak, Suriah, Pakistan dan lain-lain.
(2). Mereka terus menyerang bahasa Arab. Mereka menjadikan bahasa mereka untuk meminggirkan bahasa Arab di
negeri-negeri Islam. Mereka juga mendorong digunakannya dialek-dialek pasar (bahasa pasaran)
(3). Mereka mencekoki kita dengan sebuah klim bahwa mereka telah bangkit berlandaskan nasionalisme. Mereka
mempopulerkan banyak partai nasionalis dan patriotis, yang semua itu dilakukan demi menjauhkan kita dari Islam.
(4). Mereka menganologikan Islam dengan Nasrani, seraya mengatakan bahwa jika kita menginginkan sebuah
kebangkitan, maka kita harus memisahkan agama dari kehidupan sebagaimana yang telah mereka lakukan.
(5). Mereka mengubah sistem pemerintahan di negeri-negeri Islam dari sistem pemerintahan Islam menjadi sistem
pemerintahan kapitalistik.
(6). Mereka menciptakan jurang pemisah diantara negeri-negeri yang baru terbentuk (pecahan dari Daulah Islamiyyah)
untuk memecahbelah antar sesama putra-putri umat Islam, disamping untuk memperdalam jurang pemisah yang
terdapat di antara berbagai institusi yang baru muncul itu. Mereka memunculkan isu-isu seperti masalah tapal batas
negara, semangat nasionalisme, dan kesukuan, seperti munculnya masalah Kashmir, Cyprus, Palestina, Sahara di
Maroko, dan Tepi Barat.
(7). Mengeksploitasi kekayaan kaum muslimin untuk kepentingan Barat, seperti minyak dan barang tambang.
(8) Menjadikan dunia Islam sebagai pasar konsumtif bagi Barat dan mencegah berdirinya industri-industri produksi dan
industri-industri berat.
(9). Barat memaksakan kebudayaan mereka kepada Umat Islam, dengan memasukkan kebudayaan-kebudayaan
tersebut ke dalam kurikulum pendidikan dan berbagai media informasi seperti radio, surat kabar dan majalah.

Pengaruh Peradaban Barat terhadap Kaum Muslimin


(1). Berbagai persepsi dan eksperimen Barat telah dijadikan sebagai patokan baku bagi para pelajar dan politikus kita.
Sehingga, semua yang serba kebarat-baratan dianggap sebagai sesuatu yang modern dan maju. Sebaliknya, semua
yang tidak berasal dari Barat dianggap kampungan.
(2). Putra-putri terbaik umat Islam, terutama yang belajar pada universitas-universitas di Barat, terpesona dengan
peradaban Barat. Akhirnya, mereka menyerukan untuk meniru peradaban Barat dalam rangka menyongsong sebuah
kebangkitan, setelah lama kita lama dalam kelemahan dan keterpurukan. Hal ini nampak pada berbagai anggaran dasar
dan rumah tangga partai-partai nasionalis dan patriotis dan juga pada kurikulum pendidikan kita.
(3). Dalam hal tingkah laku, umat Islam mulai menyimpang jauh dari hukum-hukum Islam. Akhirnya mereka
melangsungkan berbagai aktivitas berdasarkan asas manfaat materi seperti riba.

Lester Peason (1950)


Ia telah mengingatkan bahwa manusia akan memasuki “suatu abad ketika berbagai peradaban yang berbeda
http://www.wedangjae.net Powered by Joomla! Generated: 13 April, 2010, 13:02
Komunitas Wedangjae :: Wacana dan Analisis Jurnalisme Empatik

mulai belajar hidup berdampingan secara damai, saling memahami antara satu dengan yang lain, mempelajari sejarah,
cita-cita, seni, dan kebudayaan serta saling memperkaya kehidupan masing-masing. Sebagai dampak dari kondisi dunia
yang semakin menyempit ini terjadi kesalahpahaman, berbagai ketegangan, benturan dan bencana.” Masa
depan perdamaian (dunia) dan peradaban bergantung pada adanya sikap saling pengertian dan kerjasama di antara
tokoh-tokoh politik, spiritual dan intelektual dari peradaban-peradaban besar dunia.

Muhammad Ali (2003)


Kecongkakan budaya (cultural arrogance) bahwa sistem agama, budaya, dan peradaban yang dianutnya yang paling
unggul, membuat seseorang tidak berdaya untuk tidak mengecilkan sistem agama, budaya, dan peradaban lain.
Identitas diri begitu kuat sehingga menafikan identitas the Other. Publik Barat masih menganggap budaya dan
peradaban mereka lebih maju, lebih superior dibandingkan peradaban Timur, dan selalu berusaha melalui penguasaan
berbagai media informasi untuk mencitrakan bahwa superioritas itu adalah keniscayaan sejarah modern. Tradisi
orientalisme (yang intinya memandang the Orient sebagai monolitik dan inferior) adalah salah satu ekspresi superioritas
itu, seperti telah dikritik Edward Said.

Ada pula kendala teologis. Barat begitu bangga dengan karakter keagamaannya dan sekulerismenya, sementara
masyarakat Muslim fanatik dengan sistem budayanya yang kaffah (sempurna) dan diyakini bertentangan secara
diametral dengan peradaban Barat.

Widodo Dwi Putro


Ideologi memang berwajah ganda, seperti dikatakan Ernst Bloch yang dikutip ulang generasi penerusnya Douglas
Kellner dalam artikel lepasnya Ernst Bloch, Utopia and Ideology Critique sebagai berikut, "For Bloch, ideology is "Janus-
faced", two-sided: it contain errors, mystifications, and techniques of manipulation and domination, but it also contains a
utopian residue or surplus that can be used for social critique and to advance progressive politics."

Di balik sisi gelap pertikaian ideologi-terutama kapitalisme melawan sosialisme-pertikaian itu membawa kemajuan dan
kegairahan dialektika di bidang ilmu-ilmu sosial. Para teoritisi kapitalisme, misalnya, berlomba-lomba melahirkan teori-
teori modernisasi untuk membendung semangat komunisme dan antikapitalisme. Pertikaian antar-ideologi dalam sekian
dasawarsa, telah mengorbankan banyak nyawa manusia. Misalnya, revolusi borjuis di Perancis, perang saudara (civil
war) di AS, Nazi Jerman, rezim Stalinis di Rusia, rezim Pol Pot di Kamboja, gerakan "30 September" di Indonesia, "Black
September" di AS, dan seterusnya. Lantas sebagian orang berkesimpulan, ideologi merupakan ladang pembantaian
sesama manusia atas nama keagungan cita-cita.

Uniknya, dalam tubuh kapitalisme sendiri terjadi pertarungan teoretik antara Neo Klasik (Keynesian) yang masih
menginginkan campur tangan negara (welfare state) dengan Neoliberalisme yang menginginkan kedaulatan pasar
sepenuhnya. Pertarungan ini "diselesaikan" Neoliberalisme dengan pembagian peran: Milton Friedman melucuti
pemikiran ekonomi Neo Klasik dan Frederick von Hayek melawan sosialis-komunis, ditunjang lembaga dana
internasional (IMF, World Bank, dan sebagainya).

Di sisi lain, para teoritisi sosialis-komunis melahirkan teori-teori yang menelanjangi keserakahan kapitalisme sekaligus
kritik (anti) terhadap kapitalisme, misalnya teori "materialisme dialektika-historis" (Karl Marx), teori "strukturalis"
(Althusser), teori "hegemoni" (Antonio Gramsci), teori "ketergantungan" (Shamir Amin, Andre Gunder Frank, dan
sebagainya).

Selain itu, dalam kelompok "kiri" muncul teori "kritis" (Max Hokreimer, Theodor W Adorno, Herbert Marcuse, dan
sejumlah penerusnya) yang berupaya menyingkap dan menyobek selubung-selubung ideologis yang menutupi
kenyataan tak manusiawi dari kesadaran manusia. Dengan membuka kedok-kedok ideologis dalam segala hal-termasuk
bangunan pemikiran teori "kritis" itu sendiri-teori "kritis" ingin mengajukan kembali maksud dasar Marx, yakni
pembebasan manusia dari segala belenggu penindasan dan pengisapan, tetapi secara kritis dan antidogmatis.

Di luar kubu kapitalisme dan sosialisme, muncul postmodernisme sebagai kritik atas modernisme dan keluar dari tradisi
enlightenment. Meski beraneka warna, filsafat bernapaskan postmodernisme bersatu dalam penolakan "cerita-cerita
besar" (grand narrative) penyelamatan manusia, menolak obyektivitas ilmu pengetahuan, dan menolak pemikiran
dikotomis (binary opposition). Penekanan faham ini pada the right of different (hak untuk berbeda). Dengan gaya
dekonstruksinya, faham ini memutus (discontinuity) rantai perdebatan ideologi "kanan-kiri" beserta seluruh rasionalitas
yang membenarkannya.

Akhir pertarungan, pemenangnya adalah kapitalisme. Kemenangan paradigma kubu kapitalisme, menurut George Ritzer
(jurnal The American Sosiologist No 10, 1975), disebabkan pendukungnya lebih mempunyai kekuatan dan kekuasaan,
bukan karena teori itu lebih manusiawi, lebih baik, apalagi lebih benar.

Namun, kemenangan itu oleh sebagian pendukungnya lalu diwartakan sebagai "kebenaran akhir". Pewarta kebenaran
itu salah satunya adalah Francis Fukuyama dalam The End of History and The Last Man menyebut zaman ini sebagai
"titik akhir dari evolusi ideologis manusia" dan bentuk final "pemerintahan manusia". Alasannya, telah terjadi
kesepakatan luar biasa berkenaan dengan pengakuan terhadap demokrasi liberal sebagai sistem yang diterima di
http://www.wedangjae.net Powered by Joomla! Generated: 13 April, 2010, 13:02
Komunitas Wedangjae :: Wacana dan Analisis Jurnalisme Empatik

seluruh dunia.

Di sisi lain, ilmu pengetahuan modern (teori modernisasi) telah menghasilkan pandangan seragam tentang corak
produksi secara ekonomis (kapitalisme). Dengan kata lain, Fukuyama ingin menyerukan, dialektika manusia sudah
"usai" karena telah mencapai titik akhir ide absolut, bahkan kebenaran absolut di bawah kemenangan mutlak kapitalisme.

Komarudin Hidayat
Reposisi peran agama
Jika pada masa lalu hubungan antara identitas agama dan budaya sedemikian menyatu di bawah kepemimpinan figur
karismatik, kini wilayah budaya di luar agama berkembang melesat dan menghasilkan jaringan peradaban yang
mengglobal sehingga posisi agama merupakan salah satu variabel saja. Menghadapi kenyataan ini, sikap umat
beragama beragam. Pertama, ada yang berpandangan hal itu adalah perkembangan alami, agama hanya bekerja pada
wilayah moral dan spiritual sehingga agama harus rela tampil sebagai penyejuk, ibarat sebuah teknologi AC (air
conditioner) bagi sebuah bangunan besar. Kehadirannya tidak mencolok, tetapi amat diperlukan agar kehidupan menjadi
sejuk dan nyaman.

Kedua, ada yang berpandangan, agama harus berkembang seiring perkembangan wilayah budaya dan sains yang
begitu berjaya mengendalikan perubahan zaman. Karena itu, harus dilakukan reinterpretasi ajaran dan revitalisasi peran
sosial agama. Liberalisasi penafsiran kitab suci dan rekonstruksi pranata keagamaan harus dilakukan agar agama tidak
tersisih ke luar gelanggang percaturan politik, ekonomi, dan peradaban.

Ketiga, ada yang memberi respons konservatif-reaksioner. Mereka berpandangan, agama telah memiliki cetak-biru
(blueprint) yang ideal, yang harus dijadikan rujukan masyarakat, sebagaimana yang pernah terwujud di zaman
keemasannya. Di sini bukannya agama diubah-ubah penafsirannya agar sesuai dengan perkembangan, tetapi
perkembangan yang harus tunduk pada agama.

Keempat, mempertahankan hubungan antara agama dan komunalisme etnis ataupun kelompok sehingga
perkembangan agama dan budaya tampil menyatu. Misalnya, fenomena negara Israel, Arab Saudi, Libya, dan sekian
negara lain sulit dipisahkan antara semangat agama, suku, bangsa, dan kepentingan ekonomi.

Dalam konteks global, manuver politik Gedung Putih dan tesis Huntington telah menyeret dan menyertakan isu agama
ke dalam konflik ekonomi dan politik sehingga peran dan citra agama tidak lagi sebagai pusat dan sumber peradaban,
tetapi dijadikan pemicu peperangan dan terorisme. Mitos agama sebagai pusat peradaban dan misi keselamatan telah
redup, diganti mitos baru: agama adalah problem dan sumber kerusuhan.

Nah, setelah mencermati pemikiran dari 14 analis diatas, marilah kita menjawab satu persatu pertanyaan krusial seputar
posisi, peran, sikap gerakan mahasiswa muslim dalam konteks benturan peradaban baik benturan intern ataupun antar.
Bagaimana sesungguhnya sikap yang paling bijak dalam menyikapinya ?

Selamat Berdiskusi ! (Bahan pemantik Diskusi Kajian Strategis KAMMI Daerah Semarang, Maret 2003)

http://www.wedangjae.net Powered by Joomla! Generated: 13 April, 2010, 13:02

Anda mungkin juga menyukai