Anda di halaman 1dari 22

BAB I

PENDAHULUAN

Demensia adalah suatu sindrom klinik yang bersifat progresif dan sebagin
besar bersifat irreversible yang ditandai oleh suatu gangguan mental yang luas.
Gejala demensia seperti kehilangan memori, gangguan berbahasa, disorientasi,
perubahan kepribadian, kesulitan dalam melakukan aktivitas kehidupan sehari-
hari, pengabaian diri, gejala psikiatri dan perilaku diluar karakter (1). Pada
demensia terjadi gangguan kognitif yang cukup mengganggu fungsi sosial
ataupun pekerjaan, gangguan ini dapat terjadi karena berbagai proses
neurodegenaratif dan proses iskemik (2).
Di USA, demensia telah menjadi masalah kesehatan yang sangat penting.
Prevalensi penyakit Alzheimer menunjukkan peningkatan empat kali lipat pada
usia di atas 50 tahun pada 1 : 45 orang Amerika (2). Pada tahun 2005 penderita
demensia di kawasan Asia Pasifik berjumlah 13,7 juta orang dan menjelang tahun
2050 jumlah ini akan meningkat menjadi 64 juta orang. Pada tahun 2005 jumlah
kasus demensia baru di kawasan adalah 4,3 juta per tahun. Menjelang tahun 2050
jumlah ini diproyeksikan akan meningkat menjadi 19,7 juta kasus baru per tahun
(3). Selain itu, lamanya durasi, bebab pengasuhan dan biaya yang terkai dalam
perawatan dan kontribusi pada penderita demensia menjadi masalah besar dalam
kesehatan (2).
Faktor risiko terjadinya demensia meliputi semakin bertambahnya usia
semakin besar risiko terjadinya demensia. Stroke dan factor risiko kardiovaskular
yang menjadi factor meningkatkan risiko terjadinya stroke, seperti hipertensi,
hiperlipidemia, diabetes merupakan factor risiko terjadinya demensia (4).
Penatalaksanaan demensia meliputi terapi farmakologis maupun non
farmakologis. Terapi farmakologis meliputi penggunaan obat-obatan berupa
antipsikotik tipikal, antipsikotik atipikal, antidepresan, mood stabilizer,
cholinesterase inhibitor dan beberapa jenis obat lainnya. Terapi non farmakologis
meliputi intervensi kognitif dan psikososial serta aktivitas fisik (5,6).

1
Oleh karena itu perlu dilakukan penelusuran kepustakaan tentang demensia
untuk memberi pengetahuan tentang demensia dan untuk mencegah perburukan
kognitif ke arah demensia dan pengobatan terhadap demensia serta untuk
mengetahui terapi agar dapat meningkatkan kualitas hidup dari pasien yang
menderita demensia.

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

II.1. Definisi

Terdapat sejumlah definisi tentang demensia, tetapi semuanya harus


mengandung 3 hal pokok yaitu gangguan kognitif, gangguan tadi harus
melibatkan berbagai aspek fungsi kognitif dan bukannya hanya sekedar
penjelasan defisit neuropsikologik, dan pada penderita tidak terdapat gangguan
kesadaran (7).
Demensia merupakan suatu sindrom klinik yang bersifat progresif dan
sebagin besar bersifat irreversible yang ditandai oleh suatu gangguan mental yang
luas. Gejala demensia seperti kehilangan memori, gangguan berbahasa,
disorientasi, perubahan kepribadian, kesulitan dalam melakukan aktivitas
kehidupan sehari-hari, pengabaian diri, gejala psikiatri dan perilaku diluar
karakter (1). Gangguan kognitif yang terjadi cukup mengganggu fungsi social
ataupun pekerjaan, gangguan ini dapat terjadi karena berbagai proses
neurodegenaratif dan proses iskemik (2).
Definisi lain mengenai demensia adalah hilangnya fungsi kognisi secara
multidimensional dan terus-menerus, disebabkan oleh kerusakan organik system
saraf pusat, tidak disertai penurunan kesadaran secara akut seperti halnya terjadi
pada delirium (7).

II.2. Epidemiologi

Di kawasan Asia Pasifik, pada tahun 2005 penderita demensia berjumlah


13,7 juta orang dan menjelang tahun 2050 diprediksikan jumlah ini akan
meningkat menjadi 64,6 juta orang. Pada tahun 2005 jumlah kasus baru di
kawasan adalah 4,3 juta per tahun. Menjelang tahun 2050 jumlah ini
diproyeksikan akan meningkat menjadi 19,7 juta kasus baru pertahun (3).
Prevalensi penyakit Alzheimer menunjukkan peningkatan empat kali lipat pada
usia di atas 50 tahun pada 1 : 45 orang Amerika (2).

3
KESELURUHAN PREVALENSI: CHINA, INDIA DAN KAWASAN LAIN, 2005-50

Berikut adalah tabel prevalensi dan insidensi demensia di kawasan Asia


Pasifik :

I.3. Jenis-jenis Demensia


Demensia terdiri dari beberap jenis yaitu (7) :
1. Demensia jenis Alzheimer pembagiannya terdiri dari demensia
Alzheimer dengan awitan dini (usia 65 tahun), dengan awitan lambat (usia
diatas 65 tahun), dengan delirium, dengan waham, dengan perasaan
depresif,tanpa penyulit (7).

4
Manifestasi demensia jenis Alzheimer yaitu (7) :
a. Gangguan memori : muncul tahap awal, gangguan ,memori hal-hal
yang baru lebih berat daripada hal-hal yang lama, memori verbal
dan visuil juga terganggu, ,memori prosedural relatif masih baik
b. Gangguan perhatian : muncul pada tahap awal, sulit untuk
merubah mental set, sulit untuk mendorong perhatian dan
preverasi, gangguan untuk mempertahankan gerak yang terus-
menerus
c. Gangguan fungsi visuo-spasial : muncul pada tahap awal,
gangguan dalam hal menggambar dan mencari/menemukan alur
d. Gangguan dalam pemecahan masalah : muncul pada tahap awal,
gangguan dalam hal abstraksi dan menyatakan pendapat.
e. Gangguan dalam kemapuan berhitung : muncul pada tahap awal
f. Gangguan kepribadian : hilangnya rem, agitasi, mudah tersinggung
g. Gangguan isi pikiran : waham
h. Gangguan afek : depresi
i. Gangguan berbahasa : sulit menemukan kata yang tepat, artikulasi
dan komprehensi relatif masih baik
j. Gangguan persepsi : gangguan visual, penghidu, dan pendengaran;
halusinasi, ilusi
k. Gangguan praksis : apraksia ideasional dan ideomotor
l. Gangguan kesadaran akan penyakit : menolak pendapat bahwa dia
sakit, mungkin diikuti waham, konfabulasi, dan indifference
m. Gangguan kemampuan sosial : muncul di kemudian hari, tidak
begitu mencolok
n. Defisit motorik : muncul dikemudian hari, relatif ringan
o. Inkontinensia urin dan alvi : muncul dikemudian hari
p. Kejang / epilepsi : muncul dikemudian hari
2. Demensia vaskular (dahulu multi-infark demensia) merupakan penyebab
kedua demensia setelah penyakit Alzheimer (8). Pembagiannya ialah

5
demensia vaskular dengan delirium, dengan waham, dengan perasaan
depresif dan tanpa penyulit (7,8)
Penjelasan tentang demensia vaskular adalah sebagai berikut (7) :
- stroke akan menimbulkan demensia apabila jaringan otak yang rusak
meliputi 50-100 gram, dengan demikian disebut sebagai multinfark
demensia
- Sebagian besar penderita dengan kerusakan otak antara 50-100 gram
mengalami stroke berulang kali dan mengenai kedua hemisferium serebri
- Tidak ada hubungan antara munculnya demensia dan tingkat aterosklerosis
serebral
- Lesi otak dibagian mana saja mampu menimbulkan demensia. Sementara
itu, perubahan mental pada lesi otak tunggal bergantung pada arteri yang
terganggu antara lain : a. Serebri media, a. Serebri anterior, a. Serebri
posterior dan infark subkortikal. Stroke belum tentu menimbulkan
demensia; ini perlu sekali dipahami
3. Demensia karena kondisi medik umum lainnya (4)
a. Demensia infeksi HIV
Demensia HIV; pada awalnya berfikir dan berekspresi lambat, sulit
berkonsentrasi, apatis, prilaku masih baik, depresi. Motorik gerakan
lambat dan lemah, ataksia, reflek patologis positif
b. Demensia karena trauma kepala
Demensia bersifat statis, dengan gangguan menetap lesi biasanya besar
dan tunggal.
c. Demensia karena penyakit Parkinson
d. Demensia karena penyakit Huntington
e. Demensia karena penyakit Creutzfeldt-Jakob
Demensia (d dan e) bersifat progresif dengan kerusakan pada serebral.
f. Demensia karena penyakit Pick
Demensia penyakit Pick; klinis mirip Alzheimer perbedaan primer adanya
atropi terutama lobus frontalis dan temporalis.
g. Demensia karena penyakit lainnya

6
4. Demensia karena penggunaan substansi tertentu dalam jangka lama
5. Demensia karena etiologi multipleks
6. Demensia yang tidak terspesifikasi
II.4. Etiologi
Demensia dapat terjadi karena proses degenatif maupun non generatif.
Patofisiologi demensia vaskular berhubungan dengan etiologi vaskular seperti
penyakit serebrovaskular dan faktor resiko vaskular (seperti infark pada otak,
white matter lessions dan atropi usia, pendidikan, jenis kelamin dan faktor
kognitif (seperti kecepatan psikomotor dan fungsi eksekutif) (2,8,9).
Diabetes melitus (DM) dapat meningkatkan resiko demensia pada lanjut
usia. Hal ini melibatkan mekanisme multipel, efek tidak langsung DM yaitu dapat
menyebabkan infark mikrovaskular sehingga menimbulkan disfungsi serebral
seperti stroke (10).
Penggunaan hormonal jangka panjang dapat meningkatkan risiko
terjadinya demensia. Menurut Women’S Health Initiative Memory Study
insidensi demensia pada wanita usia 65 tahun ke atas dengan riwayat penggunaan
hormonal yang lama meningkat (11). Peningkatan berat badan dan perokok dapat
meningkatkan risiko terjadinya demensia vaskular, hal ini dapat dihubungkan
dengan faktor risiko vaskular (8,12).
II.5. Diagnosis
Gambaran utama demensia adalah munculnya defisit kognitif multipleks,
termasuk gengguan memori, setidak-tidaknya satu diantara gangguan kognitif
berikut ini: afasia, apraksia, agnosia, atau gangguan dalam hal fungsi eksekutif.
Deficit kognitif harus sedemikian rupa sehingga mengganggu fungsi social atau
okupasional (pergi ke sekolah, berbelanja, berpakaian, mandi, mengurus uang dan
kegiatan kehidupan sehari-hari lainnya) serta harus menggambarkan menurunnya
fungsi luhur sebelumnya. Rincian gambaran klinik dimensia adalah sebagai
berikut: (7)
1. Gangguan memori, dalam bentuk ketidakmampuan untuk belajar tentang
hal-hal baru atau lupa akan hal-hal yang baru saja dikenal, dikerjakan atau
dipelajari. Pada dimensia tahap lanjut, gangguan memori menjadi sedemikian

7
berat sehingga penderita lupa akan pekerjaan, sekolah, tanggal lahir, anggota
keluarga, dan bahkan namanya sendiri. (7)
2. Afasia, dapat dalam bentuk kesulitan menyebut nama orang atau benda.
Penderita afasia berbicara secara samara-samar atau terkesan hampa. Dengan
ungkapan kata-kata yang panjang dan menggunakan istilah-istilah yang tidak
menentu misalnya “anu”, “itu”, “apa itu”. Bahasa lisan atau tertulis dapat juga
terganggu. Pada tahap lanjut penderita bisa menjadi bisu tau mengalami
gangguan pola bicara yang dicirikan oleh ekolalia (meniru apa yang ia dengar)
atau palilalia (mengulang suara atau kata terus-menerus). (7)
3. Apraksia, ialah ketidakmampuan untuk melakukan gerakan meskipun
kemampuan motorik, fungsi sensorik dan pengertian yang diperlukan tetap
baik. Penderita dapat mengalami kesulitan dalam menyisir rambut,
melambaikan tangan, memasak, mengenakan pakaian, menggambar. (7)
4. Agnosia, ketidakmampuan untuk mengenali atau mengidentifikasi benda
meskipun fungsi sensoriknya utuh. Contohnya penderita tidak mengenali
kursi, pena meskipun visusnya baik. Demikian pula, meski taktilnya utuh,
penderita tidak mampu mengenali benda yang diletakkan ditangannya atau
yang disentuhnya. (7)
5. Gangguan fungsi eksekutif, merupakan gejala yang sering dijumpai pada
dimensia. Fungsi eksekutif melibatkan kemampuan berfikir abstrak,
merencanakan, mengambil inisiatif, membuat urutan memantau dan
menghentikan kegiatan yang kompleks. Gangguan ini berkaitan dengan
gangguan pada lobus frontalis atau jaras subkortikal yang berhubungan
dengan lobus frontalis.(7)
6. Gejala yang lain, sangat bervariasi. Penderita dimensia dapat mengalami
gangguan orientasi ruang dengan demikian akan sulit untuk melakukan
kegiatan yang berkaitan dengan ruangan sementara itu, wawasannya menjadi
sempit dan sulit untuk menyatakan pendapat. Penderita kurang atau tidak
menyadari adanya gangguan memori atau kelainan kognitifnya. Penderita
melakukan pengukuran yang tidak realistik terhadap kemampuannya dan
membuat rencana yang tidak sesuai dengan tingkat kemampuannya.

8
Memperhitungkan resiko dalam aktivitasnya juga dapat keliru. Kadang-
kadang penderita demensia dapat membahayakan orang lain dengan tindakan
kekerasan yang dilakukannya. Dapat terjadi percobaan bunuh diri, terutama
pada tahap awal, dimana penderita masih lebih mampu melaksanakan rencana
kerjanya. Demensia kadang-kadang disertai gangguan motorik : mudah
terjatuh pada saat berjalan. Sementara penderita memperlihatkan tingkah laku
yang tidak terkendali atau aneh, misalnya membuat lelucon yang tidak lucu,
lupa akan higiene dirinya, memperlihatkan hal-hal yang tidak pantas kepada
orang lain, atau tak menganggap lagi adanya aturan sosial yang berlaku. Suara
tertelan pada demensia berkaitan dengan gangguan subkortikal misalnya pada
penyakit parkinson, Huntington, serta beberapa kasus demensia vaskular.
Gangguan kognitif multipleks pada dimensia seringkali berhubungan dengan
gangguan tidur dan berperasaan. Waham sering muncul pada demensia.
Halusinasi dapat terjadi pada seluruh modalitas sensorik, tetapi yang paling
sering adalah halusinasi visual. Penderita demensia rentan terhadap stressor
fisik ( penyakit atau tindakan bedah minor) dan psikososial (berkunjung ke
Rumah sakit, turut belasungkawa), yang dapat memperberat defisit intelektual
dan masalah-masalah lainnya yang terkait. Beberapa penderita menunjukkan
adanya gangguan ekstrapiramidal, abnormalitas aktifitas susunan saraf pusat
dan saraf tepi, inkontinensia urin dan feses. Kejang dapat terjadi tetapi sangat
jarang ditemukan. (7)
7. Tanda klinik dan kondisi medik secara umum, bergantung pada riwayat
penyakit, letak dan tahap perjalanan proses patologis yang mendasarinya.
Penyebab utama demensia adalah penyakit Alzheimer, kemudian diikuti oleh
penyakit vaskular dan kemudian faktor etiologi multipleks. Penyebab-
penyebab lainnya ialah penyakit Pick, hidrosefalus, normotensif, penyakit
Parkinson, penyakit Huntington, trauma kepala, tumor otak, anoksia, infeksi,
penyakit endokrin, penyakit Creutzfeldt-Jakob, defisiensi vitamin, penyakit
imunologik, penyakit hepar, gangguan metabolik dan sklerosis multipleks
(DSM-IV, 1994). (7)

9
8. Gambaran spesifik tentang budaya dan umur, perlu dipahami untuk
melengkapi data tentang demensia. Latar belakang budaya dan pendidikan
perlu dipertimbangkan dalam mengevaluasi kapasitas mental seseorang.
Sekelompok orang dengan latar belakang tertentu mungkin saja tidak mengerti
sama sekali tentang pengetahuan umum (misalnya nama presiden,
pengetahuan geografi), memori (tanggal lahir yang dalam budayanya tidak
diperingati secara rutin), dan orientasi (perasaan tentang tempat atau lokasi
yang tidak pernah diperhatikan). Perbedaan dalam hal penyebab demensia,
apabila diberlakukan untuk semua kelompok budaya sangat bervariasi. Umur
awitan demensia bergantung pada etiologi, namun demikian biasanya pada
usia lanjut dengan puncak prevalensi diatas 85 tahun. Gangguan yang jelas
dalam hal memori dan keterampilan multipleks, yang diperlukan untuk
mendiagnosa demensia, mungkin sulit didapatkan pada usia balita. Dengan
demikian, diagnosis demensia praktis tidak bisa ditegakkan pada usia tersebut
sampai mereka berumur lebih tua (antara 4-6 tahun). Pada individu berusia
dibawah 18 tahun dengan retardasi mental, diagnosis demensia dapat
ditegakkan apabila kondisinya tidak hanya dicirikan oleh retardasi mental saja.
Demensia jarang terjadi pada anak-anak dan remaja, tetapi dapat terjadi akibat
penyakit tertentu misalnya cedera kepala, tumor otak, infeksi HIV, stroke,
adrenoleukodistrofi. (7)
9. Perjalanan klinik demensia, secara historis telah berubah. Istilah demensia
memang menunjuk pada makna progresif atau suatu yang tidak kembali lagi
(irreversibel). Namun demikian, defisiensi demensia didasarkan atas pola
defisit kognitif dan tidak membawa konotasi prognosis. Demensia dapat
bersifat progresif, statik atau mengalami remisi. Pola awitan dan gejala klinik
berikutnya bergantung pada etiologi yang mendasarinya. Tingkat disabilitas
tidak hanya bergantung pada beratnya gangguan kognitif tetapi juga
bergantung pada pendukung sosial. Pada demensia lanjut, penderita dapat
terlupa secara total terhadap lingkungannya dan memerlukan perawatan yang
konstan. Penderita demensia lanjut rentan terhadap kecelakaan dan penyakit
infeksi, yang seringkali bersifat fatal. (7)

10
Kriteria diagnosis demensia jenis Alzheimer (DSM-IV) ( 7)

A.Adanya defisit kognitif multipleks yang dicirikan oleh kedua keadaan berikut
ini:
1. Gangguan memori (gangguan kemampuan untuk mempelajari hal baru atau
menyebut kembali informasi yang baru saja diperolehnya).
Satu (atau lebih) dari gangguan kognitif berikut ini:
a. Afasia (gangguan bahasa)
b. Apraksia (gangguan kemampuan untuk mengerjakan aktivitas motorik,
sementara fungsi motoriknya normal)
c. Agnosia (tak dapat mengenal atau mengidentifikasi objek walaupun
fungsi
sensoriknya normal.
d. Gangguan fungsi eksekutif (merancang, mengorganisasi, daya abstraksi,
membuat urutan)
B. Defisit kognitif pada A1 dan A2 masing-masing menyebabkan gangguan
jelas dalam fungsi sosial atau okupasional dan menggambarkan penurunan
tingkat kemampuan fungsional sebelumnya secara jelas.
C. Awitan bersifat bertahap dan fungsi kognitif menurun terus-menerus.
D. Defisit kognitif pada A1 dan A2 tidak disebabkan oleh :
1. Gangguan sistem saraf sentrallainnya yang menyebabkan defisit memori
dan kognisi yang progresif (gangguan peredaran darah otak, penyakit
Parkinson, penyakit Huntington, hematome subdural, hidrosefalus
normotensi dan tumor otak).
2. Gangguan sistemik yang dapat menyebabkan demensia (hipotiroidisme,
defisit vitamin B12 atau asam folat, defisiensi niasin, hiperkalsemia,
neuritis, infeksi HIV).
3. Intoksikasi bahan kimia/obat-obatan.
E. Defisit yang ada tidak terjadi selama berlangsungnya delirium.
F. Gangguan yang ada tidak menggambarkan kelainan Aksis I (depresi mayor,
skizofrenia).

11
Kriteria diagnosis demensia vaskular (DSM-IV) (2)
A. Adanya defisit kognitif multipleks yang dicirikan oleh kedua keadaan
berikut ini: (7)
1. Gangguan memori (gangguan kemampuan untuk mempelajari hal
baru atau menyebut kembali informasi yang baru saja diperolehnya).
2. Satu (atau lebih) dari gangguan kognitif berikut ini:
a. Afasia (gangguan bahasa)
b. Apraksia (gangguan kemampuan untuk mengerjakan aktivitas motorik,
sementara fungsi motoriknya normal)
c. Agnosia (tak dapat mengenal atau mengidentifikasi objek walaupun
fungsi
sensoriknya normal.
d. Gangguan fungsi eksekutif (merancang, mengorganisasi, daya abstraksi,
membuat urutan)
A. Defisit kognitif pada A1 dan A2 masing-masing menyebabkan
gangguan fungsi sosial dan okupasional yang jelas dan
menggambarkan penurunan tingkat kemampuan fungsional
sebelumnya secara jelas.
B. Tanda dan gejala neurologik fokal (reflek fisiologis yang meningkat,
reflek patologik positif, paralisis pseudobulbar, gangguan langkah,
kelumpuhan anggot gerak) atau bukti radiologik yang menunjukkan
adanya GDPO (infark multipleks yang melibtkan korteks dan
subkorteks) yang dapat menjelaskan kaitannya dengan munculnya
gangguan.
C. Defisit yang ada tidak terjadi selama berlangsungnya delirium.
Disamping kriteria tersebut di atas, skor Iskemik Hachinski dapat
membantu penegakkan diagnosis klinik demensia vaskular
A. Defisit yang ada tidak terjadi selama berlangsungnya delirium.
Disamping kriteria tersebut di atas, skor Iskemik Hachinski dapat
membantu penegakkan diagnosis klinik demensia vaskular.

12
Skor Iskemik Hachinski (7)
Gambaran Skor
Awitan sangat mendadak 2
Perubahan bertahap 1
Perjalanan klinik berfluktuasi 2
Bingung malam hari 1
Kepribadian relatif baik 1
Depresi 1
Keluhan somatik 1
Gangguan emosional 1
Riwayat hipertensi 1
Riwayat GPDO 2
Bukti adanya aterosklerosis 1
Gejala neurologik fokal 2
Tanda neurologik fokal 2

Skor ≤ 4 mengesankan adanya demensia degeneratif primer dan skor 8


menggambarkan adanya demensia vaskular

II.5.1. Pemeriksaan klinis

Ada delapan (8) set kriteria dignosis klinik untuk demensia vaskular yang
digunakan pada klinis dan penelitian yaitu: skor iskemik Hachinski original, skor
iskemik Hachinski dengan modifikasi, skor iskemik Rosen, DSM III, DSM III-R,
DSM IV, ICD 10, the state of California Alzheimer’s Disease Diagnostic and
Treatment Center (ADDTC). (7)
1. Pemeriksaan Memori
2. Pemeriksaan kemampuan berbahasa
3. Pemeriksaan apraksia
4. Pemeriksaan daya abstraksi
5. Mini mental stage examination
II.5.2. Pemeriksaan Penunjang
- CT Scan atau MRI;
- EEG (electroencephalography)
- PET (Positron Emission Tomography) dan SPET (Singel photon Emission

13
Computed Tomography) ialah tes yang digunakan untuk mengukur tingkat
aktivitas pada area otak yang berbeda. (PET) (13)

II.5.3. Diagnosis Banding

Diagnosis banding untuk Demensia adalah 1) Delirium, 2) Depresi (7)

II.6. Penatalaksanaan

Penatalaksanaan demensia meliputi non farmakologis dan farmakologis.


Berikut akan diuraikan pengobatan pada penderita demensia.

II.6.1. Non Farmakologi

Terapi non farmakologi pada orang dengan demensia sangat penting untuk
mendukung agen psikofarmakologi yaang digunakan pada pengobatan demensia
dan telah terbukti efektif manfaatnya. Sebelum memberikan suatu intervensi non
farmakologis, masalah periaku/kebiasaan atau gejala yang terdapat pada seorang
penderita harus diidentifikasi dan diperhitungkan dalam hal frekuensi dan tingkat

14
keparahannya. Identifikasi dan eliminasi faktor penyebab dalam hal ini sangatlah
penting. Tujuan dari perawatan penderita harus jelaskan kepada perawat atau
pengasuh penderita; walaupun perilaku yang ditargetkan tidak dapat dihilangkan
sepenuhnya tetapi paling tidak dapat dikurangi dan ditoleransi (14).
Terapi non farmakologis dapat dilakukan dengan beberapa pendekatan
seperti (14):
1. Pendekatan untuk pengasuh
Pengasuh penderita demensia harus mendapat edukasi tentang proses penyakit
dan manifestasi klinis penyakit. Dalam situasi yang baik, peniruan strategi
yang meliputi berfikir dengan tenang, menggunakan sentuhan, musik,
boneka, dan keluarga. Membantu pengasuh mengerti kunci intensitas perilaku
yang sangat penting.
2. Pendekatan Tingkah Laku
Pendekatan yang sangat membantu pada masa lalu harus dicoba
sebelumnya.lebih baik mengalihkan perhatian pasien yang sedang marah atau
agresif dari pada mencoba untuk mengetahui alasan mereka. Mengajukan
pertanyaan tertutup (misalnya ”apakah kamu ingin sereal untuk sarapan?”).
Bukan dengan pertanyaan terbuka seperti ”Makanan apa yang kamu inginkan
untuk sarapan?”. pertanyaan tertutup mungkin akan kurang membingungkan
dan membuat stres pasien. Terapi yang baik berfokus pada respon emosi,
bukan isi dari kata-kata penderita. Penggunaan terapi yang mengingatkan pada
sesuatu seperti menceritakan kembali pengalaman yang menyenangkan.
Selain itu juga digunakan terapi seperti tari, seni, musik dan olah raga. Terapi
seperti ini sudah terbukti bermanfaat pada penderita. Orientasi terhadap
realitas tidak dianjurkan kecuali dalam tahap awal penyakit. Ketika tidak
mengancam halusinasi atau delusi dilaporkan, jaminan kepada pengasuh
mungkin hanya terapi yang dibutuhkan.
3. Modifikasi Lingkungan
Pasien dengan perilaku yang tidak agresif secara fisik, misalnya seperti
mondar-mandir dan berjalan, mungkin akan merespon terhadap penciptaan
lingkungan yang aman dimana mereka dapat berjalan tanpa risiko. Barang-

15
barang seperti senjata dan pisau harus dijauhkan. Membuat lingkungan yang
aman adalah pekerjaan yang sedang diusahakan. Untuk pasien dalam stadium
lanjut, lingkungan yang aman dapat dicapai hanya dalam pengaturan yang
khusus seperti unit Alzheimer atau fasilitas perawatan jangka panjang.
4. Pengembangan dan Perawatan Rutin
Pasien dengan demensia harus mendapatkan perawatan yang konsisten.
Melayani makan pada waktu yang sama akan mengurangi stres dan
kemungkinan gangguan perilaku.
5. Intervensi Sensorik
Sentuhan mungkinbermanfaat pada banyak orang dewasa yang lebih tua yang
delusional. Terapi musik dan hewan peliharaan yang menciptakan lingkungan
seperti di rumah pada panti jompo, hal ini sepertinya dapat mengurangi
perilaku yang mengarah pada psikosis dan dapat meningkatkan kualitas hidup.
II.6.2. Farmakologi

Terapi farmakologis pada pasien dengan demensia meliputi beberapa jenis


obat sebagai berikut :

1. Antipsikotik Tipikal

Obat-obatan psikotropika, terutama antipsikotik, telah sering digunakan


dalam upaya untuk memperbaiki gejala-gejala psikotik pada demensia.
Namun, hal ini masih kontroversi, karena beberapa persepsi publik
menunjukkan penggunaan antipsikotik pada demensia sebagai sarana untuk
menciptakan "zombie" dalam rangka untuk meringankan beban kerja petugas
kesehatan. Namun, psikosis dan parah agitasi / agresi yang parah dalam
demensia dapat menimbulkan risiko signifikan untuk pasien dan orang-orang
di sekitar mereka, sehingga upaya untuk mengobati gejala-gejala ini memang
diperlukan (15).
Antipsikotik tipikal (juga disebut antipsikotik konvensional) yang pertama
kali dikembangkan pada tahun 1950-an dan bertindak terutama untuk
mengurangi tingkat neurotransmitter dopamin di otak (15).

16
Obat-obat antipsikotik yang termasuk dalam golongan ini adalah
haloperidol, thioridazine, trifluoperazine dan acetophenazine. Tidak terdapat
perbedaan kemanjuran antara antipsikotik tipikal yang berbeda terhadap gejala
neuropsikiatrik (6).
Sebuah penelitian RCT terhadapt thiridazine vs plasebo didapatkan
perbaikan yang signifikan terhadap agitasi, tetapi tidak menyebutkan efek
samping dari obat tersebut. Dalam beberapa penelitian terdapat bukti yang
jelas bahwa obat antipsikotik tipikal berguna untuk mengobati gejala
neuropsikiatri secara luas. Pada haloperidol terdapat sedikit manfaat dalam
dosis 1,2 – 3,5 mg/d. Namun tidak jelas apakah manfaat yang didapat lebih
besar daripada efek samping yang ditimbulkan, khususnya gejala
ekstrapiramidal dan sedasi. Tidak ada bukti bahwa salah satu obat antipsikotik
tipikal lebih manjur daripada yang lain (6).
Seperti semua obat-obatan antipsikotik dapat menghasilkan efek
samping pada beberapa orang. Yang paling umum gerakan termasuk
gangguan yang mungkin mirip dengan penyakit Parkinson (disebut sebagai
efek samping ekstrapiramidal atau ekstrapiramidal sindrom); mulut kering,
penglihatan kabur dan sembelit (disebut sebagai efek antikolinergik) sehingga
disebut sebagai mereka karena aksi obat ini pada reseptor cholinergic) ;
perasaan pusing atau cahaya headedness; dan penambahan berat badan (15).
Kadang kala antipsikotik dapat menyebabkan efek samping yang lebih
serius seperti diabetes atau sindrom metabolik, sindrom ganas neuroleptic
(demam, pernapasan cepat, berkeringat, kekakuan otot dan mengurangi
kesadaran), dan aritmia jantung (denyut jantung tidak teratur). Antipsikotik
juga dapat meningkatkan risiko stroke pada orang-orang lanjut usia dengan
demensia dan dalam setiap pasien dengan pra-faktor risiko yang ada untuk
stroke (15).
Orang tua dengan demensia beresiko dari serius dan mengancam nyawa
efek samping bila diobati dengan antipsikotik - yang jelas ada peningkatan
risiko stroke dan kecil risiko kematian meningkat ketika antipsikotik (atipikal
dan tipikal) digunakan pada orang-orang lanjut usia dengan demensia (15).

17
2. Antipsikotik Atipikal

Antipsikotik atipikal dikenal juga sebagai antipsikotik generasi ke dua.


Beberapa contoh golongan ini adalah clozapine, olanzapine, risperidone,
quetiapine, ziprasidone, dan aripiprazole. Terdapat beberapa penelitian yang
menyebutkan manfaat dari olanzapine dan risperidone terhadap pengobatan
neuropsikiatri gejala demensia. Pada dosis 5 – 10 mg/ d olanzapine atau 1,0
mg/d risperidon menunjukkan efek yang efektif terhadap gejala neuropsikiatri
untuk mengobati gejala demensia pada pasien dengan avaskular demensia atau
vaskular demensia. Gejala ekstrapiramidal yang ditimbulkan lebih rendah jika
menggunakan dosis tersebut (6).

Risperidone (Risperdal), ini berlisensi untuk pengobatan demensia


gangguan yang berhubungan dengan perilaku di Inggris: dan kemudian hanya
khusus untuk jangka pendek (sampai 6 minggu ') perlakuan terhadap agresi
terus-menerus sedang sampai parah demensia Alzheimer tidak responsif
terhadap pendekatan non-farmakologis (yaitu orang-orang yang tidak
melibatkan penggunaan obat-obatan) dan di mana terdapat risiko bahaya bagi
pasien atau orang lain. Risperidone (Risperdal) lisensi untuk jangka pendek
pengobatan agresi terus-menerus dalam demensia Alzheimer diberikan pada
tahun 2008 setelah analisis baru dari tiga uji coba terkontrol secara acak
dilakukan pada tanggal 1-3 masalah perilaku pada orang tua menunjukkan
manfaat yang jelas untuk jangka pendek penggunaan risperidone (15).

3. Antidepresan

Penggunaan antidepresan untuk pasien dengan demensia disertai dengan


gejala depresi tersebar luas, tetapi mereka kemanjuran klinis tidak pasti
(cocran). Jenis obat golongan antidepresan adalah sertraline, fluexetine,
citalopran, dan cialis. Dalam percobaan hanya citalopram yang memberikan
manfaat terhadap penderita demensia. Citalopram hanya dapat memperbaiki
agitasi dan labilitas. Dalam beberapa penelitian tampaknya meskipun agen
serotonergik ditoleransi dengan baik tetapi tidak efektif dalam pengobatan
gejala neuropsikiatrik demensia selain depresi (6).

18
4. Mood Stabilizer

Beberapa contoh golongan ini adalah valproate, carbamazepin. Valproate


tidak menunjukkan hasil yang efektif untuk mengobati gejala neuropsikiatri
demensia baik jangka pendek maupun jangka panjang. Selain itu, valproate
menunjukkan efek yang jelek, efek sedasi yang paling umum. Sehingga
penggunaan valproate tidak dianjurkan. Efek carbamazepin juga tidak
menunjukkan bukti yang cukup terhadap pengobatan gejala neuropsikiatri
demensia, terutama efek toksik hematologi dan interaksi obat (6).

5. Cholinesterase Inhibitor

Obat yang termasuk golongan ini adalah galantamin, donepezil,


rivastigmin dan tacrine. Golongan ini direkomendasikan untuk penyakit
demensia Alzheimer ringan dan sedang. Galantamin dapat menunjukkan efek
yang signifikan secara statistik, namun hasil jangka panjang pengobatan tidak
diketahui. Donepezil menunjukkan hasil yang signifikan secara statistik.
Terdapat peningkatan kognitif dengan penggunaan obat ini, namun dalam
beberapa penelitian hanya menilai secara global sehinga perubahan klinis
tidak pasti. Tidak semua studi menunjukkan perbaikan pada penyakit
Alzheimer dan demensia vaskular. Efek jangka panjang obat ini belum
diketahui. Tacrine menunjukkan efek yang serius terhadap kerusakan hati.
Rivastigmine belum diketahui efek penggunaan jangka panjangnya (6).
6. Obat lainnya

Memantine agen modifikasi neuropeptida. Memantine menunjukkan efek


yang signifikan secara statistik. Terdapat beberapa bukti bahwa penggunaan
memantine menunjukkan peningkatan kualitas hidup, beban pengasuh, dan
pemanfaatan sumber daya. Memantine, N-methyl-D-aspartate receptor
disetujui untuk pengobatan demensia Alzheimer berat dan sedang dan juga
demensia vaskular (6,16).
Selain itu, penderita demensia dengan faktor risiko vaskular dapat
dilakuakan terapi terhadap faktor risiko vaskular penderita (5) :

19
a. Sebagai faktor risiko vaskular dan komorbiditas berdampak pada
perkembangan dan ekspresi penderita demensia, harus diperiksa untuk
diperlakukan secara optimal pada pasien dengan gangguan kognitif
ringan.

b. Terapi terhadap hipertensi. Terdapat bukti yang baik untuk pengobatan


terhadap hipertensi sistolik (> 150 mmHg) pada semua orang usia tua.
Selain mengurangi gejala stroke, insiden demensia dapat dikurangi.
Target tekanan darah harus 140 mmHg atau kurang.

c. Terdapat beberapa bukti bahwa menobati hipertensi dapat mencegah


penurunan kognitif lebih lanjut yang terkait dengan penyakit
serebrovaskular. Tidak ada bukti yang kuat salah satu golongan lebih
unggul daripada yang lain.

d. Terapi dengan antiplatelet seperti asam asetisalisilat. Saat ini tidak ada
bukti yang mendukung penggunaan asam asetisalisilat pada demensia
diperlakukan secara khusus berhunungan dengan penyakit
serenrovaskular. Asam asetisalisilat atau terapi antiplatelet lainnya harus
digunakan untuk mencegah terjadinya stroke iskemik berulang pada
pasien.

II.7. Pencegahan

Sebenarnya tidak diketahui secara pasti cara mencegah penyakit demensia,


namun secara umum dapat dilakukan dengan menghindari atau mengurangi faktor
risiko vaskular. Pada usia pertengahan dan usia tua harus diperhatikan faktor
risiko vaskular dan faktor risiko modifikasi seperti merokok, konsumsi alkohol,
obesitas, hipertensi, kolesterol). Dan melakukan pengobatan segera bila telah
mengalami faktor risiko tersebut. (1).
II.8. Komplikasi
Demensia pada tahap lanjut dapat menimbulkan beberapa komplikasi
seperti pneumonia, episode demam, dan masalah makan. Komplikasi ini
dihubungkan dengan meningkatnya mortalitas di atas 6 bulan. Gejala distress dan

20
intervensi yang membebani umumnya terjadi pada beberapa penderita. Pada suatu
studi kohort penderita prospektif penghuni panti jompo menunjukkan bahwa
pasien dengan demensia lanjut memiliki angka kematian yang tinggi karena
masalah infeksi dan makanan yang cenderung berkembang dalam tahap terminal
demensia (17).

21
BAB III
PENUTUP

III. 1. Kesimpulan
Demensia merupakan penurunan progresif atau permanen beberapa fungsi
intelektual, mengganggu aktivitas sosial dan ekonomi penderita. Selain itu
demensia adalah gangguan fungsi intelektual setelah lahir, akibat penyakit organik
otak. Dapat disimpulkan demensia ialah penurunan progresif kapasitas
intelektual akibat penyakit otak. Demensia secara umum dibagi menjadi demensia
vaskular dan non vaskular seperti Alzheimer.
Faktor risiko terjadinya demensia meliputi semakin bertambahnya usia
semakin besar risiko terjadinya demensia. Stroke dan factor risiko kardiovaskular
yang menjadi factor meningkatkan risiko terjadinya stroke, seperti hipertensi,
hiperlipidemia, diabetes merupakan factor risiko terjadinya demensia.
Penatalaksanaan demensia meliputi nonfarmakologis dan non
farmakologis serta penatalaksanaan terhadap faktor risiko karidiovaskular.
Pendekan non farmakologis merupakan terapi lini pertama pada demensia. Untuk
terapi farmakologis terdapat beberapa golongan obat demensia meliputi
antipsikotik tipikal, antipsikotik atipikal, antidepresan, mood stabilizer,
cholinesterase inhibitor dan beberapa jenis obat lainnya, namun terapi
farmakologis ini juga harus didukung dengan pendekatan non farmakologis.
Terhadap penderita dengan factor risiko vascular juga dapat diberikan terapi
terhadap factor risiko tersebut, hal ini terutama pada demensia vascular.
III.2.Saran
Diharapkan akan dilakukan tinjauan kepustakaan yang lebih lanjut
terhadap tatalaksana penyakit demensia karena penulis menyadari banyak terdapat
kekurangan dalam penulisan terhadap tinjauan kepustakaan ini.

22

Anda mungkin juga menyukai