<p style="\">Oleh:
Prof. Dr. H. B. Subagyo, dr., Sp.A(K)
<p style="\">Bismillahirrahmanirrahiim
Yang saya hormati,
Rektor/Ketua Senat, Sekretaris Senat dan para anggota Senat Universitas Sebelas Maret Surakarta
Para Guru Besar Tamu
Para Pejabat Sipil dan Militer
Para Dekan/Pimpinan Fakultas, Direktur Pascasarjana
Kepala Biro, Kepala UPT, Kepala Jurusan, Kepala Bagian serta Kepala Program Studi, Dosen/Staf pengajar, Staf
Administrasi dan Mahasiswa serta seluruh pejabat di lingkungan Univer¬sitas Sebelas Maret Surakarta
Teman sejawat, peserta Program Pendidikan Dokter Spesialis, dan mahasiswa Kedokteran Universitas Sebelas Maret
Surakarta
Para Direktur Rumah Sakit Pemerintah dan Swasta di Surakarta dan sekitarnya, Para Ketua Lembaga, Para Tamu
Undangan, wartawan media masa yang meliput acara ini, sanak keluarga, handai taulan, serta hadirin sekalian yang saya
muliakan,
Imunopatologi hipersensitivitas
1. Reaksi hipersensitivitas tipe I
Pada individu yang mempunyai predisposisi genetik, paparan antigen makanan menyebabkan produksi IgE. Pada usia
penya¬pihan, apabila supresor sel T tidak berkembang, atau produksi IgA defisien pada saat lahir, maka terjadi proses
lebih lanjut yang diawali ikatan IgE spesifik pada sel mast atau basofil. Pemaparan antigen spesifik berikutnya, maka sel
mast atau sel basofil akan mengikat antigen kemudian mengeluarkan berbagai macam media¬tor. Penyebab utama
reaksi tipe I adalah protein susu sapi atau protein telur. Protein susu sapi dapat berada di dalam ASI dalam jumlah sedikit,
sehingga kasus alergi CMPA pada anak yang minum EBF lebih jarang (Mac Donald dalam Pitono, 2003)
CMPA
Sebagian kecil penderita CMPA akan menetap, sebagian besar akan menjadi toleran. Penelitian menunjukkan bahwa anak
dengan Radio allergosorbent test (RAST), Uji kulit, skin prict test (SPT). negatif, CMPA akan mengalami toleransi
lebih awal apabila dibandingkan pada penderita dengan RAST dan SPT positif. Pada anak CMPA dengan riwayat IgE
positif, akan lebih sering muncul gejala seperti asma, rinokonjungtivitis, atopi dermatitis, apabila dibandingkan pada anak
dengan IgE negatif. Anak dengan IgE negatif kemungkinan menderita alergi berbagai macam makanan juga lebih kecil.
Pada saat diagnosis CMPA ditegakkan dengan eliminasi diet dan uji provokasi, disarankan untuk memeriksa IgE
(Vandenplas dkk, 1997).
Diketahui ada sekitar 40 macam protein penyebab alergi. Protein-protein tersebut yang menginduksi respon imun sehingga
menyebabkan alergi. Komponen whey terdiri dari -lactoglobulin, -laktalbumin, bovin imunoglobulin.
Komponen kasein yaitu
-bovine serum albumin dan imunoglobulin. Komponen -lacto¬globulin, -laktalbumin dan
imunoglobulin merupakan komponen yang paling alergenik (Wido, 2006; Mc Bean, 2006). Selain CMA sebagai penyebab,
maka CMPA dipengaruhi faktor genetik. Bebe¬rapa penelitian menunjukkan bahwa atopi terjadi pada anak 20-40%
apabila salah satu orang tua atopi. Riwayat atopi pada saudara maka risiko atopi pada anak 25-35%. Apabila kedua
orang tua ada riwayat atopi, anak akan mengalami atopi sekitar 40-60%. Apabila didalam keluarga tidak ada riwayat atopi,
anak mengalami atopi 5-15% (Sawitri, 2007).
Waktu manifes CMPA dapat bervariasi, pada umumnya setelah satu minggu mendapatkan CM. Lebih muda anak
menderita CMPA, lebih cenderung anak mengalami gangguan pertumbuhan. Pemberian EBF akan memperlambat
terjadinya CMPA akan tetapi EBF tidak menurunkan kejadian atopi (Snijder, Thijs dkk, 2008).
Tidak ada gejala CMPA yang patogpnomonik untuk diagnosis CMPA. Variasi gejala klinis meliputi; pada gastrointestinal
men¬capai 50-60%, kulit 50-60%, saluran nafas 20-30%. Gejala dapat ringan, sedang sampai berat yang dapat
mengancam jiwa seperti anafilaksis, udem laring, asma berat. Diagnosis banding CMPA antara lain kelainan metabolisme,
kelainan anatomis, penyakit celiac, enteropati, insufisiensi pankreatik (cystic fibrosis), reaksi non-imunologi terhadap
makanan seperti malabsorpsi fruktose, intoleransi laktosa.
Perlu mendapat perhatian adanya gejala klinik yang mirip, misalnya refluk gastroesofagus pada CMPA yang dapat terjadi
pada 15-21%. CMPA juga dapat terjadi kolik infantil.
Demikian juga hubungan antara CMPA dengan gejala derma¬titis atopi. Semakin berat dermatitis, semakin muda anak
maka sangat mungkin ada kaitan antara CMPA dengan dermatitis atopi.
CMPA dapat bersamaan dengan alergi makanan lain seperti telur, ikan, kacang, sehingga pada saat diagnosis, perlu
dipertim¬bangkan untuk melakukan eliminasi bahan-bahan makanan tersebut (Vandenplas, 1997).
Gejala Klinik.
Organ target CMPA meliputi: kulit, saluran cerna, saluran nafas, sistim kardio vaskuler, mata. Gejala klinik pada kulit berupa
eczema, rash, urticaria, swelling, dryness.
Gejala pada saluran cerna dimulai dari mulut; gatal atau udema pada bibir, mulut, lidah, faring. Gejala klinik lainnya berupa
mual, muntah. Sakit perut di daerah ulu hati selama dan setelah minum CM, kembung, konstipasi, nyeri perut, diare, rectal
bleeding, anemia defisiensi besi, berak berdarah dan berlendir, diare kronik, gangguan pertumbuhan. Muntah maupun diare
kronik dapat me¬nyebabkan gangguan tumbuh kembang, maupun diare akut berat.
Gejala di saluran nafas berupa batuk, rhinitis, wheezing, reaksi alergi yang berat dapat menyebabkan; asma berat, edema
laring akut, dermatitis atopi disertai eksudasi, anafilaksis.
Diagnostik
Adanya riwayat atopi dalam keluarga (ayah & ibu, ayah saja, atau ibu saja, saudara, kakek, nenek, usia penderita).
Gejala klinik atopi bervariasi misalnya adanya rhinitis, dermatitis atopi, asma, GER dan diare kronik. Pemeriksaan untuk
menegakkan diagnosis; eliminasi dan provokasi bahan yang diduga sebagai alergen.
Endoskopi, pemeriksaan biopsi yang dilanjutkan pemeriksaan patologi anatomi. Diagnostik lainnya adalah RAST,
SPT. Pemerik¬sa¬an IgE total, IgE spesifik. Uji SPT menggunakan ekstrak komer¬sial memberikan
58,8% positif, sedangkan pemakaian alergen fresh food dapat memberikan positifitas sebesar 91,7%. Hal ini
menunjuk¬¬kan fresh food memberikan hasil yang lebih baik daripada pemakian ektrak komersial. SPT dan RAST
bermanfaat dalam penentuan progosis dan lama penyakit
Proporsi Eosinofil darah tepi lebih dari 3% dan jumlah eosi¬nofil absolut lebih dari 300/mL.
Eliminasi dan provokasi merupakan baku emas diagnostik CMPA (Vandenplas, Bruiton dan Dupon, 2007).
Uji provokasi
Setelah dilakukan eliminasi selama 2-4 minggu dan gejala klinis membaik, seharusnya dilakukan uji provokasi dengan
CMP. Hendaknya provokasi dilakukan di bawah pengawasan dokter, dapat dilakukan di luar rumah sakit, akan tetapi perlu
dipertimbangkan kemungkinan terjadinya reaksi berat seperti anafilaksis, hal ini mungkin terjadi setelah periode eliminasi.
Dapat pula terjadi awal¬nya muncul gejala klinis ringan diikuti gejala klinis berat. Sehingga provokasi hendaknya
dilakukan di rumah sakit, dengan peralatan resusitasi, persiapan pemberian cairan intravena dan obat-obat lainnya.
Langkah selanjutnya dilakukan pemeriksaan SPT dan IgE. Adanya dugaan gejala klinis berat, uji provokasi
hendaknya diper¬timbangkan untuk tidak dilakukan kecuali uji SPT atau IgE menunjuk¬kan perbaikan. Prosedur
provokasi dilakukan dalam dosis kecil, awalnya diteteskan susu formula pada bibir, timbul reaksi sekitar 15 menit. Kalau
tidak ada reaksi maka dimulai pemberian CMP yang ditingkatkan bertahap selang waktu setiap 30 menit dari 0,5 ml sampai
100 ml yang diberikan secara bertahap. Lihat reaksi pada kulit atau saluran nafas. Setelah 2 jam tidak ada reaksi, anak
boleh pulang. Orang tua dipesankan untuk melihat reaksi lambat yang mungkin timbul setelah anak diberikan CMP. CMP
dari susu formula dapat diberikan sebanyak 250 ml/hari pada minggu berikut¬nya.
Tatalaksana
Penatalaksanaan CMPA pada prinsipnya adalah eliminasi CMP dan makanan yang mengandung susu sapi.
Pada ibu hamil dan menyusui, disarankan untuk diet bebas CM dan produk makanan yang bebas CMP. Keluarga penderita
seharusnya perlu diberitahu untuk dapat memilih produk makanan yang tidak mengandung CMP.
EBF sampai usia 4 bulan-6 bulan. Kejadian CMPA minimal pada bayi yang minum EBF apabila dibandingkan bayi minum
CMP atau kombinasi ASI dan CMP. Sekitar 0,5% penderita CMPA pada bayi minum ASI eksklusif dan gejala klinik yang
timbul ringan sampai sedang. Klinik CMPA berat seperti dermatitis atopi berat, hilang protein enteropati disertai gangguan
tumbuh kembang, anemia akibat enterokolitis dan perdarahan rektum. Komponen protein ada pada ASI seperti susu sapi,
telur, kacang yang dapat menyebabkan efek samping selama bayi minum ASI pada anak yang sensitif. Pada ibu yang
menyusui, diet ibu bebas susu sapi.
Rekomendasi pemberian bertahap CMP dengan partially hydrolised formula(pHF), extensively hydrolised formula (eHF),
atau diet bebas CMP. Pada anak yang mengalami CMPA berat, pemberian eHF pun masih memberikan reaksi alergi. Pada
kasus anak ini diberikan amino acid-derived elemental formula (AAF). Perlu dipertimbangkan harga eHF dan AAF sangat
mahal. Rasa susu formula pHF dan eHF tidak enak.
Pemberian susu kedelai masih menjadi kontroversi, oleh karena anak yang alergi CMP, 17-47% juga alergi susu
kedelai. Di sisi lain sudah diketahui susu kedelai mengandung fitat yang meng¬hambat penyerapan zat besi dan
zink. Pemberian susu kedelai men¬jadi pertimbangan.
Air susu kambing (GMP=goat’s milk protein, atau sheep’s milk=SMP), susu unta dan susu kuda tidak
dianjurkan, oleh karena komponen protein di dalam susu-susu tersebut juga mengandung komponen protein alergen,
sehingga susu formula dari GMP tidak direkomendasikan sebagai pengobatan CMPA.
Proses pasteurisasi, pemanasan, evaporasi tidak menghilang¬kan tetapi hanya mengurangi efek antigen atau CMPA.
Pada umum¬nya CMPA akan menghilang pada usia 2-3 tahun, maka untuk menghindari diet bebas CMP
berkepanjangan, serta pengobatan yang berlebihan, maka perlu dilakukan uji ulang terhadap reaksi alergi dari CMP pada
usia 6-12 bulan. Uji ulang dilakukan selang 1-2 tahun setelah anak berusia diatas 3 tahun (Host, 1997).
Saat ini dikembangkan immunoterapi spesifik (ITS) atau “vaksinasi” alergen, untuk memicu
desensitisasi alergen spesifik (dalam Rengganis I, 2008). Beberapa waktu ini prebiotik dan probiotik, dipergunakan
mengurangi efek alergi (Bindels, 2008).
Proctitis/Proctocolitis
Anak kelihatan sehat. Gejala muncul pada usia beberapa bulan, sekitar 2 bulan. Di dalam tinja ditemukan bercakan darah
dan mukus. Darah yang hilang minimal, jarang menyebabkan anemia. Pada umumnya anak masih minum ASI. Sebagai
pemicu proctocolitis adalah CMP dan jarang susu kedelai. Gejala berasal dari diet ibu yang mengandung CMP.
Pemeriksaan biopsy dan PA menunjukkan infiltrasi eosinofil dan hiperplasia limfonoduler. Mekanisme hipersensitivitas tidak
berkaitan dengan IgE. Hasil PST negatif. Perdarahan pada umumnya akan berhenti dalam waktu 72 jam setelah CMP yang
diduga sebagai penyebab di eliminasi. Pada umumnya gejala akan menghilang pada usia 1-2 tahun
Kolik infantile
Beberapa bukti menunjukkan hubungan CMPA dengan kolik infantile. CMP pada bayi mengalami kolik sekitar 44%.
Pemberian eHF atau pHF, lebih memberikan efek daripada pemberian formula rendah laktosa.
Eosinophilic Gastroenteropathies
Terdiri dari; eosinophilic, Esophagitis dan Gastritis. Diagno¬sis dan tatalaksana yang sulit adalah allergic eosinophylic
esopha¬gitis. Penyakit ini mirip dengan GER (gastroesophageal reflux), gastritis. Pada Esophagitis dan gastritis, sangat
dianjurkan dilakukan endoskopi dan biopsi, selanjutkan dilakukan pemeriksaan patologi anatomi. Eosinophilic primer
merupakan 1% dari esophagitis. Pengobatan ditujukan pada reflux esophagitis memberikan respon pada pengobatan GER.
Konstipasi kronik
CM menyebabkan gangguan motilitas usus, menyebabkan konstipasi. Sitokin dan proses inflamasi dari syaraf dan sistim
motorik, mengakibatkan konstipasi. Infiltrasi limfosit dan eosinofil pada lamina propria dan peningkatan eosinofil
intraepithelial dan infiltrasi pada kripta, ditemukan pada CMP disertai konstipasi. Eliminasi CMP akan memperbaiki
konstipasi kronik, dan apabila dilakukan provokasi akan memberikan relap.
Anafilaksis
CM sebenarnya jarang menimbulkan anafilaksis. Anafilaksis merupakan keadaan klinik, yang diakibatkan pelepasan secara
men¬dadak mediator aktif dari sel mast dan basofil yang mengakibatkan urtikaria kulit, angioedema, kulit memerah
(flushing), spamus bronchus, edema laring, kardiovaskuler seperti hipotensi, disritmia iskemia miokardial dan gejala
gastrointestinal seperti nausea, pain abdomen kolik, muntah, diare. Di USA diperkirakan kejadian ana¬filaksis terjadi 30
kasus per 100.000 orang per tahun. Di Australia, 0,59% anak usia 3-17 tahun mengalami anafilaksis. Penyebab anafilaksis
dapat disebabkan bahan makanan yang berasal dari kacang, telur, susu sapi, ikan, bahan makanan yang mengandung
susu sapi seperti keju, yoghurd, es krim. Tatalaksana anafilaksis harus dilakukan secara agresif dengan pemberian
epinefrin intra-muskuler atau antihistamin H1 dan H2 secara intravaskuler, pem¬berian oksigen, cairan
intravena. Pada asma maka
pemberian
-agonis dan kortikosteroid inhalasi albuterol. Menghindari penyebab alergen dan semua makanan yang
mengandung makanan penyebab alergen (Leung, 2004).
Di bawah ini disalin algoritma diagnostik dan tatalaksana CMPA dari Vandenplas dkk (2007)
Suspecion of cow’ milk protein allergy (CMPA)
Suspician of cow’s milk allergy (CMPA)
Pencegahan
Pencegahan primer
Pencegahan primer dilakukan pada ibu berisiko alergi yang sedang hamil, dianjurkan untuk menghindari makanan dan
minuman seperti susu, telur, ikan laut, dan kacang-kacangan. Pemberian susu hipoalergenik, diharapkan terjadi respon
toleransi pada bayi di kemudian hari. Pencegahan primer ini masih menjadi kontroversial (Wido, 2006; Mc Bean, 2006)
Pencegahan sekunder
Pada anak yang sudah diketahui terjadi CMPA. Diketahui dengan pemeriksaan IgE spesifik dalam darah perifer atau tali
pusat atau SPT. Menghindari CMP. Dengan pemberian pHF atau eHF atau susu kedelai akan menghindari sensitisasi lebih
lanjut (Wido, 2006; Mc Bean, 2006).
Pencegahan tertier
Pada anak yang sudah mengalami sensitisasi dan menunjuk¬kan manifestasi alergi ringan seperti dermatitis, rhinitis
pada anak usia 6 bulan sampai 4 tahun, diberikan eHF atau pHF. Bila gejala berat terjadi, maka anak diberikan susu AAF
(Wido, 2006). Pem¬berian susu soya masih merupakan kontroversi. Pengalaman beberapa pengamat, pemberian susu
soya memberikan perbaikan klinis.
Prognosis
CMPA pada umumnya tidak berlangsung seumur hidup. Pada usia sekitar 1-3 tahun gejala klinis akan menghilang. Gejala
alergi akan menghilang pada usia 1 tahun sekitar 80-90%. Sekitar10-33% berlanjut sampai usia 3 tahun. Sisanya akan
berlangsung sampai usia 9-14 tahun (Hugh A, Sampson dan Leung D, 2004).
KESIMPULAN
Gejala klinis alergi makanan sangat bervariasi. Eliminasi dan provokasi merupakan baku emas diagnostik. Untuk
menegakkan diagnosis perlu secara cermat di telusuri adanya faktor risiko, adanya riwayat atopi di dalam keluarga. CMPA
perlu mendapat perhatian khususnya pada usia dibawah 3 tahun, terutama lagi usia dibawah 1 tahun. Gejala klinik CMPA
dari saluran cerna dapat berupa muntah, CMPSE, konstipasi, kolik infantil, proktitis, Immediate Gastrointestinal
Hypersensitivity, eosinophilic gastro¬enteropathy, diare kronik yang dapat menyebabkan malnutrisi dan anemia. Pada
masa penyapihan, CMPA gejala ringan-sedang, pem¬berian pHF, eHF maupun eliminasi CMP perlu dipertimbangkan.
Penderita CMPA dengan anafilaksis jarang terjadi, dan bila terjadi tatalaksana sesuai tatalaksana anfilaksis pada umumnya,
disertai eliminasi penyebab alergi. Perlu dilakukan pencegahan. Promosi pemberian EBF. Penderita penderita CMPA perlu
dilakukan evaluasi berkala setiap 6 bulan sampai usia 3 tahun dengan melakukan provokasi CM, perlu dilakukan dengan
hati-hati.
Ilustrasi Kasus
1. Seorang bayi laki-laki, usia 2 bulan, BB 4.5 kg. Suhu 37,00C, RR 32 x/menit, nadi 120x/menit. CRT
< 2 detik. Sejak 24 jam mengalami muntah-muntah dan diare frekuen, tanpa panas. Bayi minum susu formula sejak lahir
oleh karena ASI tidak keluar. Penderita terdiagnosis diare akut dehidrasi sedang. Diberikan cairan rehidrasi. Dalam 1 x 24
jam, muntah setiap diberikan susu dan diare berlanjut, cair tanpa lendir dan darah. Pemeriksaan laboratorium darah tepi
tidak menunjukkan kelainan. AL 7.400/mm3, AE 4.000/mm3. Eosinofil 2%, basofil 0%, staf 2%, segment 62%, limfosit 30%,
monosit 4%. Trom¬bosit 360.000/mm3 Pemeriksaan tinja dan urin, tidak menunjuk¬kan kelainan. Ditelusuri dari
ayah dan ibu ada riwayat atopi yaitu rinitis alergika. Setelah pemberian pHF gejala tidak membaik, bahkan gejala muntah
dan diare semakin memberat. Susu diganti dengan eHF, tetapi anak menolak. Kemudian diberikan susu soya, dan
muntah dan diare mengalami per¬baikan. Pada pemberian CM, anak mengalami muntah dan diare lagi. Diare dan
muntah mengalami perbaikan setelah diberikan susu soya lagi.
2. Seorang anak perempuan, usia 2.5 tahun dengan berat badan 20 kg. Suhu 37,20C. RR 30
x/menit. Nadi 110 x/menit. CRT < 2 detik. Diagnosis klinis diare akut dehidrasi ringan. Anak minum ASI sampai usia 2
tahun. AL 8.400/mm3, AE 5.000/mm3. Eosinofil 3%, basofil 0%, staf 2%, segment 61%, limfosit 30%, monosit 3%.
Trombosit 360.000/mm3 Pemeriksaan tinja dan urin, tidak menunjukkan kelainan. Selama pemberian ASI, anak secara
berselang mendapat susu formula. Beberapa bulan sudah ada gejala gatal dikulit, yang tidak hilang secara total. Pada
suatu saat gatal meningkat disertai muntah dan diare cair berulang. Tanpa panas, tanpa lendir dan tanpa darah dalam tinja.
Keluarga ibu, kakek, nenek ada riwayat atopi. Eliminasi susu formula segera menghentikan muntah dan diare, dermatitis
atopi bertahap menghilang. Oleh karena itu CMP perlu di¬eliminasi seterusnya, sedangkan kebutuhan nutrisi sudah
ter¬penuhi dari makanan yang lain karena anak mau makan dengan berbagai variasi makanan. Perlu dipikirkan
untuk melakukan provokasi CM atau makanan yang mengandung CM untuk meyakinkan apakah anak masih menderita
CMPA yang terdapat pada makanan yang mengandung CM.
Dari gambaran 2 kasus tersebut, gejala klinis atopi pada kasus pertama muncul lebih awal, sedang kasus kedua gejala
klinis muncul lebih lama. Pada kasus ke-2, keluarga tidak menyadari adanya atopi pada anaknya meskipun dermatitis atopi
sudah berlangsung lama. Dermatitis atopi dianggap akibat perubahan suhu tempat tinggal, dari daerah dingin ke daerah
dengan suhu lebih panas. Kedua kasus diatas bila tidak terdiagnosis, dapat memberikan risiko diare kronik dan malnutrisi.
Pemeriksaan RAST, SPT dan IgE bermanfaat untuk menentukan prognosis selanjutnya.
Sesuai penelitian di Eropa (Sneiyder dkk, 2008), penangguhan pemberian susu formula, tidak akan menurunkan
kejadian CMPA.
Chong S, Sanderson I, Wright V, Walker Smith JA, 1984. Foot allergy and infantile colitis. Arch Dis Child; 59:690-1
Bindel J.G, 2008. Immune-modulatory effects of prebiotic oligosaccharides: new data from experimental and clinical studies.
Immunity Breakthroug. Di Jogyakarta
Damayanti R.S, 2006. Seminar Alergi. IDAI Jakarta.
Damayanti W, 2007. Cow’s milk protein sensitive enteropathi. Kongres Nasional Badan Koordinasi Gastroenterologi
Anak Indonesia (BKGAI), Surabaya. 59-65
Eggesbo M, Botten G, Halvoren R, Magnus P, 2001. The prevalence of CMA/CMPI in young children: the validity of
parentally perceived reactions in population-based study. Allergy 56:393-402
Harjono K, 2008. Recent Treatment Of Atopic Dermatitis In Children. Pertemuan Simposium; One Day Simposium,
Children’s Allergy in Clinical Perspective. Surakarta.
Hegar B, 2007. Cow’s Milk Protein Allergy and Clinical Aspect of Gastrointestinal. Seminar Alergi Anak, Semarang.
Host A, 1997. Cow’s milk allergy. Journal of The Royal Society of Medicine. Sup No 30, vol 90 p: 3436
Iskandar Z, 2008. Diagnosis dan tatalaksana asma pada anak. Pertemuan Simposium; One Day Simposium,
Children’s Allergy in Clinical Perspective. Surakarta.
Leung D.Y.M, 2004. Anaphylaxis in In Nelson Textbook of Paediatrics. Saunders 17th Ed. p; 781-782
Mc Bean L, 2006. Cow’s milk allergy versus lactose intolerance. Dairy Council. Digest; 77,3
Pitono S, Subijanto MS, Suhartono TP, FM Judajana, 2003. Gangguan Sistem Imun Mukosa Intestinal. Graha Masyarakat
Ilmiah Kedokteran. Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga. RSUD Dr.Soetomo-Surabaya. Hal 336-353
Rance F, Juchet A, Breman F, et al, 1997. Comparison between skin prick tests with commercial extracts and fresh foods
specific IgE and food challenges. 52: 1031-5
Rengganis I, 2007. Immunotherapy In Allergy. Pertemuan Simposium; One Day Simposium, Children’s Allergy in
Clinical Perspective. Surakarta.
Saarinen KM, Juntunen-Backman K, Jarvenpaa AL,1999. Supplementary feeding in maternity hospitals and the risk of
cow’s milk allergy: a prospective study of 6209 infants. J Allergy Clin Immunol; 104:457-461
Sampson HA and Leung DYM, 2004. Adverse Reaction to Foods. In Nelson Textbook of Paediatrics. Saunders 17th
Ed. p; 789-790
Santosa H, 1989. Masalah alergi makanan pada anak. Disampaikan pada Simposium Alergi Makanan. Denpasar, 7
Februari.
Schoetzau A, Filipiak-Pittrof B, Frank K et al, 2002. German Infant Nutritional Intervention Study Group. Effect of axclusive
breast-feeding and early solid food avoidance on the incidence of atopic dermatitis inhigh-risk
infants at 1 year of age. Pediatr Allergy Immunol. 13:234-42
Siregar S, 2007. Cow’sMilk Allergy: Pathopdysiology, diagnosis and therapy. Simposium, 14-12
Siti Boedina Kresno, 1996. Diagnosis dan Prosedur Laboratorium. Fakultas Kedokteran Indonesia. Ed 3: hal 80-87
Snijders B.E.P, Thijs C, Ree R, and Brandt P, 2008. Age at First Introduction of Cow Milk Products and Other Food
Products in Relation to Infant Atopic Manifestation in the First 2 years of Life: The KOALA Birt Cohort Study. American
Academic of Pediatr. Diunduh dari http://www.pediatrics.org/cgi/ conten/full/ 122/1/e115 pada jam 20 12.12.2008
Vandenplas Y, 2007. Universitair Ziekenhuis Brussel, Brussels, Belgium. Effect of external enviroment on mucosal immune
response.
Vance GH, Lewis SA, Grimshaw KE et al, 2005. Exposure the fetus and infant ti hens’s egg albumin via
placenta and breast milk in relation to maternal intake of diatary egg. Clin.Exp Allergy. 35:1318-20
Vandenplas Y, Brueton M, Dupont C, Hill D, Isolauri E et al, 2007. Guideline for diagnosis and management of cow’s
milk protein allergy in infant. Arch Dis Chil. 902:902-908. (Downloaded from adc-bmj.com on 4 November
2007)
Wido. Diet dapat mempengaruhi perilaku anak. Children Allergy Center.
http://childrenallergycenter.jouser.com/article/ 134676