Anda di halaman 1dari 13

Ustadz Yusuf Mansur

Sang Pelaku Sedekah

Rumus Matematika Sedekah kini banyak dibicarakan dalam majelis pengajian. Rumus ini memang
tak lazim dibahas dalam bangku pendidikan umum. Adalah Ustadz Yusuf Mansur yang
mengkampanyekan rumus tersebut. Inilah contohnya, 10-1 = 19. 10-2 = 28. 10-3 = 37. 10-4 = 46 dan
seterusnya. Bicara ilmu matematika, hitungan di atas, salah. Tapi tidak bagi Yusuf Mansur. ‘’Itulah
matematika sedekah. 10- 1= 19!’’ tegasnya.

Dari mana datangnya angka 19? Dengan penuh keyakinan, da’i muda itu menjelaskan, ‘’Sepuluh
dikurangi satu memang tinggal sembilan. Namun satu yang disedekahkan itu akan dibalas Allah 10,
sehingga kalau dijumlahkan 9+10=19. Begitu seterusnya,’’ tandas da’i yang selalu
mengkampanyekan shalat sedekah dan shalat Tahajjud itu. Apakah betul kalau kita bersedekah satu
dibalas 10 kali lipat? Ustadz kelahiran Jakarta, 19 Desember 1976 itu menegaskan. ‘’Saya sangat
yakin mengenai hal itu. Sebab Allah sendiri yang menyatakan hal tersebut di dalam Alquran.

Sedekah kita akan dibalas 10 kali, bahkan 700 kali lipat. Karena itu, saya tidak ragu sedikitpun,’’
tegasnya. Bagi da’i berpostur mungil dan baby face itu, jawaban atas berbagai persoalan hidup
adalah sedekah dan shalat Tahajjud. ‘’Kunci segala persoalan kita ada pada sepertiga malam. Ketika
itu Allah menurunkan malaikat-malaikat- Nya ke bumi untuk mendengarkan dan menyampaikan doa
hamba-hamba- Nya. Karena itu, bangunlah dan laksanakan shalat Tahajjud,’’ ujarnya.

Namun, kata Yusuf Mansur, shalat Tahajjud baru setengah penyelesaian persoalan. Lalu,
setengahnya lagi apa? ‘’Sedekah!’’ ujar cucu KH Muhammad Mansur, seorang ulama besar Betawi
yang tinggal di Jembatan Lima, Jakarta Barat. Ia mengkampanyekan dan menggerakkan jamaah
untuk sedekah tidak hanya di dalam negeri, melainkan juga hingga ke mancanegara, seperti
Singapura, Hongkong, Mesir, Australia dan Selandia Baru.

Setiap kali berceramah, ia selalu mampu menggerakkan para jamaahnya untuk sedekah. Tidak hanya
berupa uang cash, tapi juga HP, perhiasan, jam tangan mewah, bahkan kendaraan seperti sepeda
motor dan mobil. Panitia pembangunan masjid, yayasan yatim piatu, sekolah, dan majelis ta’lim
selalu senang mengundang Yusuf Mansur. Sebab dalam waktu hanya setengah jam mampu
menghasilkan sedekah jutaan bahkan puluhan juta rupiah. ‘’Hukum sedekah itu 5+1, yakni tahu,
yakin, ngamalin, buktiin, rasain, dan ceritain,’’ tegas Yusuf Mansur dengan logat Betawinya yang
kental.
Ia sering mengutip Surat Ali Imran: 92, yang artinya, ‘’Kamu belum berbuat kebaikan hingga kamu
menafkahkan apa yang kamu paling cintai. ‘’Jadi, untuk meraih kebaikan yang sempurna, harus mau
bersedekah yang terbaik,’’ tegasnya.

Pebisnis

Meskipun berasal dari keluarga besar ustadz/kiai, Yusuf Mansur muda tak mau menjadi ustadz atau
kiai. ‘’Saya enggak mau jadi ustadz. Habis, duitnya sedikit dan saudara-saudara saya yang jadi ustadz
hidupnya semuanya sederhana. Saya lebih suka jadi pengusaha,’’ kenangnya.

Di usia remaja Yusuf Mansur sudah menjadi seorang pebisnis. Saat usia 18 tahun, ia sudah naik mobil
mewah dan mempunyai pendapatan puluhan juta rupiah sebulan.

Namun, rupanya tak selamanya bisnis itu berlangsung mulus. Usahanya menghadapi masalah. Ia
terlibat utang dan dua kali masuk penjara. ‘’Namun ketika di penjara itulah, saya akhirnya bisa
menghafal Alquran. Di sana pun saya belajar ilmu sedekah kepada semut.

Di penjara itu pula buku serial Wisata Hati lahir,’’ kata Yusuf Mansur. Ia telah menulis naskah serial
Wisata Hati sebanyak lebih 40 judul, sebagian di antaranya sudah diterbitkan. Bukunya yang sangat
terkenal antara lain Wisata Hati Mencari Tuhan Yang Hilang dan Kun Fayakun.

Kini nama Yusuf Mansur terus berkibar sebagai salah seorang da’i muda yang selalu
mengkampanyekan sedekah dan shalat Tahajjud. Selain berceramah melalui televisi, radio, buku,
dan ceramah tatap muka, ia pun berdakwah melalui kaset dan CD. Bahkan ia pun merambah ke layar
lebar. Ia juga berdakwah melalui SMS, website/internet, dan majalah mobile ‘’Kun Fakayun’’.

Yusuf Mansur pun mengembangkan sayap di bidang pendidikan. Di Semarang, Yusuf Mansur
bersama Wisata Hati Jawa Tengah mengembangkan sekolah internasional Daqu Kids. Ia tengah
membangun kompleks sekolah Islam internasional terpadu di Kampung Ketapang, Tangerang, yang
dikhususkan buat anak-anak yatim melalui Program Pembibitan Penghapal Alquran (PPPA).
Namanya Darul Quran International, dan mulai efektif tahun ajaran 2008/2009. Itulah Yusuf Mansur,
sang pelaku sedekah!
Habiburrahman El Shirazy

Puncak Fenomena Fiksi Islami

Awalnya sebuah musibah. Pada 23 Mei 2003, sepulang dari Semarang untuk kembali mengajar di
MAN I Yogyakarta, Habiburrahman El Shirazy mengalami kecelakaan. Tulang kaki kanannya patah. Ia
pun harus lebih banyak di rumahnya di Semarang sambil berobat jalan.

Tak bisa ke mana-mana, rindunya pada Kairo, tempat ia menderas ilmu selama tujuh tahun,
menyergap. Tiba-tiba ia teringat sebuah cerpen yang pernah ditulisnya saat musim panas di Kairo.
Sebuah cerpen yang belum selesai. Saking asyiknya menulis, tulisannya pun bablas menjadi 23
halaman.

Akhirnya, muncul gagasan untuk menggabungkan cerpen dengan novel yang belum terselesaikan di
Kairo,’’ kenang Habiburrahman. Dan, lahirlah novel Ayat Ayat Cinta. Sebuah novel yang terinspirasi
dari hasil tadabur pada surat Az- Zuhruf ayat 67.

Novel yang sempat dimuat sebagai cerita bersambung di Harian Republika ini laris manis. Sejak
penerbitan pertama Desember 2004, kini novel ini masuk cetak ulang ke- 31 dengan tiras 400.00
eksemplar. Tak cuma itu. Novel ini pun berhasil meraih penghargaan sebagai karya novel terbaik
dalam Islamic Book Fair (IBF) 2006.

Sukses novel-novel berikutnya pun menyusul. Ketika Cinta Bertasbih I yang terbit pada Maret 2007
telah mengalami tiga kali cetak ulang, tiras total sebesar 80.000 eksemplar pada November lal,
kemudian Dalam Mihrab Cinta.

Kendati bukan novel Islami pertama di Tanah Air, Ayat Ayat Cinta dinilai pengamat sastra sebagai
puncak fenomena fiksi Islami yang diawali oleh penulis Helvy Tiana Rosa dan kawan-kawan. Sebab,
Ayat Ayat Cinta yang sejauh ini mencatat tiras tertinggi yang dicapai sebuah novel Islami. Selain itu,
ditinjau dari isinya, novel itu dianggap sebagai representasi idealisme visi Islam.

Habiburrahman El Shirazy lahir di Semarang, 30 September 1976. Kang Abik, begitu dia akrab disapa,
memulai pendidikan menengahnya di MTs Futuhiyyah I Mranggen sambil belajar kitab kuning di
Pondok Pesantren Al-Anwar, Mranggen, Demak. Mulai menulis sejak di bangku Madrasah Aliyah
Negeri (MAN) I Surakarta. Dan, ia pun terus mengasah kemampuan tulisnya.

Ayat Ayat Cinta bukanlah novel pertama Kang Abik. Sebelumnya, ia telah menulis Pudarnya Pesona
Cleopatra dan Ketika Cinta Berbuah Surga Kentalnya nuansa Islam dalam karya Habiburrahman tak
lepas dari pengalaman hidupnya. Terutama saat nyantri. Betapa tidak. Di pesantren ia mengenal
kitabkitab klasik, dasar-dasar tata bahasa, gramatika bahasa Arab, dan sebagainya. Dari pondok
pesantren pula, dia bisa mendapatkan dan mengenal sikap-sikap moderat berupa sikap berislam
dengan warna moderat.

Lebih jauh lagi, ia belajar ilmu keislaman tak kurang dari tujuh tahun lamanya (1995-2002) di
Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir, sebuah universitas Islam terkemuka di dunia. Ia lalu melanjuti
pendidikan tingginya di The Institute for Islamic Studies di kota yang sama.

Lepas tangan sang penulis, Ayat Ayat Cinta seolah memiliki jalannya sendiri. Sutradara Hanung
Bramantyo mewujudkannya dalam layar lebar, siap menyapa penggemarnya pada tahun 2008.
Novel ini pun telah diterbitkan di Malaysia. Sementara itu, versi bahasa Inggrisnya tengah dalam
penggarapan untuk diterbitkan di Kanada dan Australia. ‘’Sebuah nikmat dari Allah yang sukar saya
lukiskan,’’ katanya. Dari novel-novel karyanya, Habiburrahman telah menangguk royalti.

‘’Cukup lumayan,’’ katanya. Sejak awal 2007, Habiburrahman menerima royalti dari Penerbit
Republika sekitar Rp 120 juta per bulan. Dari royalti yang diperolehnya, selepas Idul Fitri lalu ia
membeli sebuah rumah di kawasan Kukusan, Depok. ‘’Biar enak kalau berurusan di Jakarta,’’
katanya. Maklum, ia kini harus lebih sering mondar- mandir Salatiga-Jakarta.

Ia membangun sebuah Taman Kanak-Kanak Alquran di Salatiga. Tapi, yang lebih utama lagi bagi Kang
Abik, sebagian royaltinya itu dikucurkan untuk `proyek jangka panjang’. Bersama adiknya, Anif
Sirsaeba dan budayawan Prie GS, ia merintis sebuah pesantren mahasiswa di Ngaliyan, Semarang.
Pesantren Karya Basmallah, begitu namanya.
Andrea Hirata

Dari Belitung untuk Dunia

Andrea Hirata tak pernah membayangkan seorang pecandu narkoba bertekad menjalani terapi
penyembuhan dan tak ingin menyianyiakan lagi waktu sekolahnya. Ia pun tak membayangkan
seorang dokter bisa melepas harapannya menunggu-nunggu kesempatan jadi pegawai negeri,
memutuskan mulai buka praktik sendiri. Ia tak membayangkan mereka bisa terinspirasi dari
bukunya, Laskar Pelangi.

Laskar Pelangi merupakan kisah nyata Andrea dan kawan-kawan yang bersekolah di sebuah SD
Muhammadiyah yang bangunannya nyaris roboh di Manggar, Belitung Timur. Andrea lebih senang
menggunakan kata Belitong daripada Belitung. Sekolah itu sendiri nyaris ditutup karena muridnya
tidak sampai sepuluh sebagai persyaratan minimal. Murid sekolah yang cuma segelintir itu berada di
bawah bimbingan Ibu Muslimah.

Adalah Bu Mus yang memberikan julukan Laskar Pelangi pada 10 orang murid terakhirnya itu. Meski
hanya tamatan sekolah kepandaian putri (SKP), Bu Mus bisa mendidik anak-anak dengan kondisi dan
potensi yang beragam. Ia selalu membakar semangat muridmuridnya untuk mencapai cita-cita yang
tinggi.

Tujuan Andrea menulis buku itu sebagai hadiah, ungkapan terima kasih, untuk ibu gurunya yang
bernama lengkap NA (Nyi Ayu) Muslimah itu. Telah lama ia memendam hasrat menulis buku tentang
gurunya yang gigih dan bersemangat juang tinggi itu. Hasrat itu tumbuh tepatnya pada suatu hari di
saat hujan lebat ketika Andrea masih duduk di kelas III SD. ‘’Kami menunggu kok ibu guru tidak
datang. Di tepi lapangan beliau melintas dengan payung daun pisang. Dalam hati, saya bilang suatu
hari setelah saya besar, saya akan menulis buku tentang beliau,’’ kata penggemar sains — fisika,
kimia, biologi, astronomi ini.

Buku setebal 600 halaman itu digarap dalam waktu singkat: Tiga pekan. Buku itu ditulis dua tahun
silam atas desakan teman-temannya yang tergabung dalam Laskar Pelangi. Pasalnya, Bu Mus sedang
sakit dan Andrea takut `tak keburu waktu’ menyampaikan kado itu. Hadiah pun jadi. Tapi, ternyata
naskah itu `dicuri’ teman kerjanya dan dikirim ke penerbit atas nama Andrea.

Langkah `jahil’ sang teman membawa Andrea ke babak baru dalam hidupnya: Menjadi penulis
sekaligus selebriti. Kini setiap pekannya Andrea sibuk meladeni undangan berbicara pada berbagai
forum. Untungnya, PT Telkom Pusat di Bandung, tempat Andrea bekerja sejak 1997/1998,
memungkinkan ia memenuhi undangan yang berdatangan dari berbagai kota itu. Sebab, pendidikan
adalah salah satu kepedulian yang sejalan dengan CSR perusahaan. Novel Laskar Pelangi meledak di
pasar. Andrea pun termotivasi untuk menulis tetralogi Sang Pemimpi, Edensor. Novel keempat,
Maryamah Karpov direncanakan bakal diluncurkan sekitar pertengahan 2008.

Best seller

Laskar Pelangi berhasil mencatat angka fantastis dengan cetak ulang 19 kali, terbit sebanyak 200 ribu
eksemplar, disusul Sang Pemimpi sebanyak 120 ribu eksemplar (16 kali cetak ulang), sementara
Edensor sebanyak 8 kali cetak ulang dalam empat bulan dengan total 25 ribu eksemplar. Andrea
cukup mengamati perkembangan bukunya di pasar. ‘’Laskar Pelangi menjadi best seller selama tiga
minggu di Kompas, Sang Pemimpi selama 10 hari, dan Edensor selama seminggu,’’ katanya. Yang
cukup menyenangkan hatinya, Edensor masuk lima nominasi untuk Khatulistiwa Literary Award
(KLA).

Maka Andrea pun menjadi selebriti di dunia pendidikan Indonesia. Tapi, ia tak lupa kampung
halamannya, terutama pendidikan anak-anak di sana. Belum lama ini ia menggelar workshop di
sekolah-sekolah untuk para murid dan guru. Ia mengajak para editor, fotografer, seniman untuk
berbagi ilmu dengan mereka.

Dari novel-novel dan pemfilman Laskar Pelangi, Andrea berhasil mengumpulkan royalti total lebih
dari Rp 1 miliar. Keseluruhannya ia anggarkan untuk sebuah program sosial: Laskar Pelangi in Action.

Novel Andrea Hirata

* Laskar Pelangi 19 kali cetak ulang 200.000 eksemplar tiga pekan (sejak September 2005)

* Sang Pemimpi 16 kali cetak ulang 120.000 eksemplar 10 hari (sejak Juli 2006)

* Edensor 8 kali cetak ulang 25.000 eksemplar satu pekan (dalam waktu empat bulan sejak Mei
2007)
Ali Muakhir, Tak Pernah Bosan Menulis untuk Anak-anak

Nurvita Indarini - detikNews

Ali Muakhir, Tak Pernah Bosan Menulis untuk Anak-anak

Jakarta - "Karena kau menulis. Suaramu takkan padam ditelan angin, akan abadi, sampai jauh, jauh
di kemudian hari." Agaknya kutipan dari penulis kenamaan Pramoedya Ananta Toer mengena benar
di sosok Ali Muakhir. Dia terus saja menulis dan ingin terus menulis sampai tak bisa lagi menulis.

Ali tidak pernah menyangka dirinya akan menjadi penulis ratusan buku hingga mendapat anugerah
dari Museum Rekor Indonesia (Muri) sebagai penulis paling produktif dengan 300 judul buku pada
2009. Kesukaannya mempublikasikan coretannya bermula saat dia masih duduk di bangku SMP.

"Waktu itu saya masih SMP, tahun 1989. Iseng-iseng saya mengirimkan puisi ke salah satu majalah di
Semarang. Puisinya waktu itu cuma satu bait. Ternyata dimuat dan mendapat honor beberapa ribu
rupiah," kisah Ali kepada detikcom akhir Februari 2011 lalu.

Ali remaja girang bukan main. Hanya dari merangkai huruf, dirinya bisa menghasilkan uang. Dia pun
semakin rajin mengirim karya-karyanya. Kala itu bukan saja puisi, tetapi juga cerita pendek. Dia
senang karyanya mendapat apresiasi.

"Dari cerpen saya dapat Rp 3.000. Itu bisa buat uang saku saya selama dua bulan," ucap alumnus
Fakultas Agama Islam Universitas Islam Nusantara, Bandung, ini sambil tertawa.

Ali mengaku tidak pernah mendapat pendidikan menulis secara khusus. Hanya saja dia sempat
mengikuti workshop menulis. Tidak seperti sekarang, workshop menulis di zaman dia tidak sebanyak
sekarang. Setelah mendapat ilmu dari workshop, dia pun segera mempraktikkan. Kemampuan
menulisnya diasah dengan menulis berbagai artikel maupun cerita.

Masa yang paling indah bagi Ali adalah masa anak-anak. Karena itu sebagian besar karyanya
didedikasikan untuk anak-anak. Setiap kali menggarap tulisan untuk anak-anak, dia memiliki
perasaan yang berbeda yang tidak terlukiskan.
Buku karya Ali diterbitkan pertama kali pada 1999. Karyanya berupa komik dengan judul 'Abdullah
Anak Beta'. Cerita komik adalah asli karya Ali, sedangkan gambarnya orang lain yang mengerjakan.
Kini, sudah ada 346 judul buku karya ayah dari 3 anak ini. Dari jumlah itu, dua persennya merupakan
karya yang ditargetkan untuk remaja.

"Kendala saya kalau mau menulis adalah bahan yang kurang. Itu akan membawa efek susuah
menulis. Jadi kalau orang menyalahkan mood saat enggan menulis, saya rasa itu salah. Karena pasti
ada penyebab kenapa begitu, apakah karena kurang bahan, kurang menguasai atau lelah," tutur Ali.

Bagi Ali dan kebanyakan penulis lainnya, tulisan yang ditulis sekarang belum tentu berasal dari ide
yang muncul sekarang. Biasanya ketika ide muncul, Ali tidak langsung menyelesaikan tulisannya
karena harus melengkapi bahannya terlebih dahulu.

"Kalau untuk menulisnya saja, bisa saja satu buku dengan 24 halaman diselesaikan dalam satu jam.
Itu tanpa proses mencari bahannya. Bisa jadi apa yang ditulis hari ini merupakan proses sejak 4 bulan
lalu," jelas pria yang senang aerobik, lari dan berenang ini.

Menurutnya, untuk menjadi seorang penulis tidak harus berbakat. Ali sepakat dengan ilmuwan
Thomas Alfa Edison, 1 persen bakat dan 99 persen kerja keras. Tanpa kerja keras dan hanya
mengandalkan bakat, tidak akan menghasilkan buah yang manis.

Ali menyarankan bagi kalangan yang berniat untuk menjadi penulis, jangan ragu untuk mengikuti
komunitas penulis. Karena efek dari komunitas itu luar biasa. Ketika ada anggota komunitas yang
menelorkan karya, maka bisa menjadi pemicu anggota yang lain untuk melakukan hal yang sama.
Selain itu, dalam komunitas akan mendapat banyak info pihak-pihak yang saat ini membutuhkan
naskah. Selain itu jika ada lomba penulisan akan saling berbagi pengalaman dan masukan.

Selain menjadi penulis cerita anak, Ali juga menjadi pengelola Rumah Produksi LineProduction. Dia
pun aktif mengisi pelatihan tulis-menulis. Tidak hanya orang dewasa saja yang mendapat pelatihan
dari Ali, bocah-bocah SD pun mendapatkannya. Untuk sementara baru beberapa SD di Bandung yang
mendapat 'sentuhan' Ali.
Bagi Ali, anak-anak sungguh luar biasa dan cerdas. Setelah diberikan arahan menulis dan diberi ide,
mereka bisa mengembangkannya dalam karya tulis yang menarik. Bahasa mereka logis dan struktur
kalimatnya baik.

"Setidaknya pelatihan penulisan tidak hanya membuat anak-anak lebih baik dalam menulis fiksi,
tulisan, tapi juga ketika mereka menulis SMS. Setidaknya mereka tidak menggunakan kata yang
bahasa sekarang alay-lah. Kalaupun disingkat ya singkatannya yang wajar," jelas Ali.

Selepas lulus kuliah, sebenarnya Ali pernah menjadi guru agama. Kala itu entah mengapa, anak
didiknya enggan memanggilnya 'Pak Guru'. Mereka malah lebih suka memanggil Ali dengan 'Om'.
Tidak lama mengajar, Ali lebih memilih menjadi guru bagi anak-anak dengan cara lain, bukan dengan
cara berdiri di depan kelas, tetapi melalui buku-buku karyanya.

Selama menjadi penulis, berbagai prestasi pernah diraih Ali. Misalnya saja dia mendapat juara II
Sayembara Menulis Cerita Futuristik Anak Majalah Bobo tahun 1999. Judul karyanya kali itu adalah
Formula Ajaib. Di tahun 2000, dia meraih juara II Sayembara Menulis Cerita Misteri Majalah Bobo
dengan cerpen berjudul Rahasia Sekeping Logam.

Penggemar sup kaki ini juga pernah mendapat juara I Sayembara Menulis Cerita Anak Majalah
Ayahbunda dengan cerpen Towet Mencari Tuhan pada 2004. Ali pernah pula menyabet juara I
Lomba Cipta Cerpen Remaja Majalah Anita tahun 2006. Cerpen yang dia tulis pada saat itu berjudul,
Sekeping Logam Cinta. Lalu pada 2007, Ali mendapat Anugerah Adikarya Ikapi sebagai penulis buku
anak-anak terbaik ke-2 dengan judul buku Si Towet.

Pria kelahiran Tegal 21 Januari ini selalu berusaha menulis dari hati. Sebab dengan menulis dari hati,
maka pesan penulis akan sampai kepada pembaca. Apalagi menulis untuk anak-anak, nilai-nilai
hidup sebagai pesan harus bisa tersampaikan dengan baik.

"Saya nggak tahu sampai kapan saya mau menulis. Selama masih bisa menulis, saya akan terus
menulis. Mungkin sampai tangan saya tidak bisa menulis dan mengetik lagi," cetus pria yang sering
dipanggil Matahari Kecil oleh rekan-rekan sesama penulis sembari tertawa.

Mungkin Ali ingin terus menulis bukan saja karena dirinya gemar merangkai abjad, tapi karena dia
tidak ingin hilang dari sejarah. Mengutip kalimat Pramoedya dalam buku 'Khotbah dari Jalanan' di
mana tertulis "Sepintar apapun kau, jika kau tak menulis kau akan hilang dari sejarah".
Senin, 28/02/2011 10:58 WIB

Karlina, Sang Guru Anak-anak Orang Rimba

Chaidir Anwar Tanjung - detikNews

Karlina, Sang Guru Anak-anak Orang Rimba

Jakarta - Dengan berbekal gelar sarjana, mungkin semua orang memiliki impian bekerja di tengah
kota. Jarang-jarang ada yang mau bekerja di tempat yang jauh dari segala akses. Namun Karlina (27),
alumnus Antropologi Universitas Gajah Mada (UGM) ini, lebih memilih menjadi guru bagi anak-anak
Orang Rimba nun jauh di tengah hutan belantara di Jambi sana.

Wanita lajang ini menjadi guru anak Orang Rimba bergabung dengan kelompok aktivis

LSM Lingkungan Warung Informasi (WARSI). Dia sudah bergabung sejak 2009 silam, setelah setahun
sebelumnya menggondol sarjana antropolog. Karlin, begitu sapaan akrabnya, memang tipe wanita
yang suka petualang. Dia rela meninggalkan jauh keluarganya di Yogyakarta. Pilihannya ingin
mengabdikan kemampuannya untuk anak Orang Rimba, suatu kelompok masyarakat pedalaman di
Kawasan Taman Nasional Bukit Dua Belas (TNBD) nan jauh dari hingar bingarnya hidup di perkotaan.

"Ketika awalnya memilih pekerjaan seperti ini, sempat ada teguran dari orangtua. Ya mungkin semua
orang juga berpikiran ingin hidup dan bekerja di tempat yang bersih, tidak seperti saya hidup di
tengah hutan belantara," kata Karlin dalam perbincangan dengan detikcom beberapa waktu lalu.

Tapi yang namanya hidup, merupakan pilihan dan kesenangan. Karlin bisa meyakinkan

pada keluarganya, bahwa alternatif yang dipilihnya sebagai bentuk tantangan tersendiri dalam
hidupnya. Hatinya terpanggil ingin mengabdi tanpa pamrih pada anak Orang Rimba ini, ketikanya di
bangku kuliah sempat melihat sebuah iklan di TV. Di mana sosok wanita tangguh yang dikenal
dengan nama Butet -kala itu bekerja di Warsi- menjadi guru anak Rimba.

Dari sana, Karlin yang juga hobi panjat gunung ini merasa terpanggil. Dia ingin setelah meraih
sarjana, kelak bisa bergabung bersama Warsi. Kelompok aktivis Warsi sendiri sejak tahun 1998 silam
sudah membuat kelompok belajar alternatif untuk anak-anak Rimba itu.
Kebetulan ketika itu Warsi membuka lowongan buat tenaga pengajar bagi anak Orang Rimba.
Setelah bergabung, tahap awal Karlin harus beradaptasi dengan situasi dan suasana di lingkungan
hutan belantara itu. Untuk menempuh jalur ke kawasan hutan, cewek bertubuh mungil ini, harus
berjalan kaki menelusuri perbukitan. Di kawasan penyanggah TNBD, memang disana ada Posko
Warsi. Dari sana, Karin harus beranjak kembali menuju perkampungan Orang Rimba. Paling dekat
dari Posko Warsi, dia berjalan minimal satu jam. Namun demikian masih ada kelompok Orang Rimba
lainnya yang jauh di tengah kawasan hutan yang harus ditempuh berjalan kaki selama 9 jam.

"Kita tidur di Posko Warsi yang ada di pinggir taman. Orang Rimba baik-baik, bila mereka berhasil
berburu, saya pasti diberi dagingnya," kata Karlin.

Awalnya, Karlin tidak membayangkan kondisi Orang Rimba yang sesungguhnya. Fakta di

lapangan, ketika pertama kali menginjakkan kaki di pemukiman Orang Rimba, dia terkejut ternyata
masih ada rumah beratapkan terpal tanpa dinding. Kaum wanitanya hanya mengenakan kemben
dan masih banyak anak-anak tanpa busana.

"Walau sudah banyak baca buku tentang suku-suku di Indonesia, namun masih sulit dipercaya kalau
zaman sekarang masih ada komunitas marginal seperti Orang Rimba," kata Karlin yang sebelum
masuk UGM merupakan tamatan dari SMK Cipta Karya, Medan

itu.

Tidak terlalu sulit memang baginya beradaptasi dengan lingkungan Orang Rimba. Ini dimungkinkan,
karena aktivitas Warsi selama ini sudah cukup dekat dengan masyarakat

Rimba. Sehingga dengan membawa nama Warsi, kelompok masyarakat Rimba bisa menerima
dengan terbuka.

"Senangnya mereka selalu terbuka dengan saya, mungkin karena mereka sudah percaya

sama Warsi, jadi begitu saya masuk boleh dikata tidak ada halangan yang berarti dalam bergaul
dengan mereka," lanjut gadis asal Yogyakarta ini.

Tugas mengajar menulis dan berhitung dijalankannya dengan senang hati. Ada sekitar 30-an anak
Rimba yang membutuhkan tegananya. Dari jumlah itu, mereka tidak satu lokasi. Mereka terdiri dari
kelompok yang berbeda dan lokasi yang berbeda.
"Kebetulan anak-anak rimba sangat cepat menangkap, dan mereka sangat antusias setiap kali
belajar," ujar Karlin.

Proses belajarnya, Karlin harus berdiam diri selama dua pekan di dalam hutan dua pekan lainnya
beristirahat di Kota Jambi. Papan tulis dan kapur serta sejumlah buku, pena dan pensil selalu
menyertainya, dalam setiap kunjungan ke komunitas Orang Rimba.

"Kalau kertasnya habis, ya kami pakai apa yang bisa untuk ditulis, kadang pakai kertas bekas bungkus
rokok juga pernah," sebutnya.

Proses belajarnya pun tidak sama dengan dunia pendidikan normal yang memiliki ruangan kelas
yang bagus. Anak-anak Orang Rimba ini belajar di alam terbuka. Mereka duduk bersama di bawah
pohon rindang, kadangkala mereka belajar di tepi sungai. Tidak ada juga jam pelajaran sebagaimana
umumnya. Perlu kesabaran ekstra agar dapat

mengumpulkan anak-anak Rimba itu.

"Kapan mereka kumpul, baru kita belajar. Jadi bisa saja belajarnya pagi, siang atau sore. Kalau
malam jelas tidak bisa, karena tidak ada listrik," kata Karlin.

Dalam bertugas, tidak hanya sekadar mengajar baca dan tulis saja. Lembaga tempat dia bekerja juga
melakukan advokasi untuk pendidikan anak-anak Orang Rimba. Sebagaimana misi Warsi yang juga
menghubungkan Orang Rimba dengan jalur pendidikan formal, terutama untuk Orang Rimba yang
berada dekat dengan fasilitas pendidikan.

"Ada juga Orang Rimba yang sudah dekat dengan pemukiman, seperti Orang Rimba di Desa
Kedudung muda, mereka sekitar 2 jam perjalanan keluar rimba sudah ketemu sekolah formal. Untuk
anak-anak di kelompok ini, kami usahakan mereka untuk bisa mengikuti pendidikan sekolah formal,"
jelas wanita berkulit kuning langsat ini.

Bagi anak-anak yang dekat dengan sekolah formal ini, rata-rata mereka telah mengikuti sekolah
alternatif yang diselenggarakan Warsi. Mereka sudah bisa membaca, menulis dan berhitung serta
sedikit pengetahuan umum. Kemudian mereka didaftarkan ke sekolah terdekat untuk mengikuti
sekolah kelas jauh.
"Mereka kita daftarkan di sekolah formal, walau bukan langsung sekolah setiap

harinya, namun diatur jadwalnya dengan guru sekolah bersangkutan. Kemudian dipilih

tempat untuk pertemuan, biasanya dilakukan di kantor lapangan kita," tambah Karlin.

Hasilnya lumayan, dalam beberapa tahun ini anak-anak rimba sudah ada yang mengikuti

ujian persamaan UAN. "Walau belum terlalu banyak, tapi tahun kemarin sudah ada 3 orang yang
lulus UN, namun sayang mereka belum lanjut ke jenjang berikutnya, lagi-lagi terkedala jarak yang
jauh dengan SMP terdekat," kata Karlin.

Tidak hanya itu, sebaran Orang Rimba yang cukup luas, yang terbagi dalam tiga kelompok besar,
yaitu di TNBD, selatan Taman Nasional Bukit Tigapuluh (TNBT) dan sepanjang jalan lintas Sumatera
mulai dari batas Jambi-Sumatera Selatan sampai Batas Jambi-Sumbar. Di beberapa tempat di Jalan
Lintas, Warsi juga mengadvokasikan pendidikan formal untuk anak-anak rimba. Selain langsung
menghubungkan dengan pihak sekolah, staf pendidikan juga melakukan advokasi ke pemerintah.

"Bagaimana pun pendidikan hak semua orang, dan negaralah yang berkewajiban untuk memenuhi
hak tersebut, kami dari Warsi mendorong supaya negara lebih tanggap dan lebih berkomitmen
untuk pendidikan Orang Rimba," ucap Karlin.

Apalagi sebagian besar Orang Rimba di jalan lintas sudah berintegrasi dengan kelompok masyarakat
Melayu maupun masyarakat transmigrasi. "Sarana pendidikan sebenarnya sudah sangat dekat
dengan mereka, hanya stigma yang dilekatkan kelompok masyarakat lain pada Orang Rimba
seringkali menyebabkan mereka tidak diterima bersekolah di sekolah formal. Ini yang terus kami
upayakan supaya negara dapat mengambil peran untuk memenuhi hak-hak masyarakat adat seperti
halnya Orang Rimba," harap Karlin.

(cha/vit)

Tetap update informasi di manapun dengan http://m.detik.com dari browser ponsel anda!

Anda mungkin juga menyukai