Anda di halaman 1dari 2

KIMCIL: DAUN MUDA YANG LAYU SEBELUM BERKEMBANG

Fenomena prostitusi bukanlah sebuah hal baru untuk diperbincangkan. Berbagai upaya razia dan
regulasi yang dilakukan pemerintah belum mampu mengurangi ‘jaringan bawah tanah’ yang justru
semakin subur. Jaringan ini terus beregenerasi dengan berbagai perkembangannya, termasuk mulai
merambah dunia pelajar yang notabene masih di bawah umur (kimcil).

Kimcil yang dalam bahasa Jawa merupakan singkatan dari ‘kimpet cilik’ atau ada yang mengartikan
‘kimpol cilik’ biasanya ditujukan pada remaja yang memiliki kematangan seksual tetapi belum matang
secara psikologis dengan rentang usia 9-19 tahun. Terungkapnya kimcil di salah satu SMA di Solo
(Solopos, 13 Desember 2010) hanyalah bagian dari sekian banyak kasus yang belum muncul di
permukaan, layaknya fenomena gunung es.

Remaja: istimewa sekaligus rentan


Remaja (pelajar) adalah obyek dagang yang dianggap sangat menguntungkan bagi mucikari. Status ‘daun
muda’ ini banyak dimanfaatkan mengingat mereka masih dalam tahap psikologis yang labil sehingga
relatif lebih mudah diprovokasi. Belum lagi minimnya pengetahuan tentang seks dan pengalaman
membuat mereka hanya dijadikan obyek kesenangan ‘om-om’ yang dihargai Rp 800.000 hingga Rp 2,5
juta (Solopos, 13 Desember 2010).

Dampak negatif teknologi dan kebebasan yang minim edukasi turut mempengaruhi gaya hidup remaja.
Budaya hedonis dan konsumerisme mudah melekat pada remaja yang filter internalnya cenderung
masih rapuh. Sementara di sisi lain, keterbatasan ekonomi menjadikan mereka bertindak nekat untuk
mendapatkan sebuah pengakuan dan kebanggaan materi.

Perubahan pola
Kemajuan teknologi dan kondisi psikologis remaja ini dimanfaatkan dengan baik oleh para sindikat kimcil
untuk membangun jaringan industri. Mulai dari iklan, website hingga akun jejaring social yang sangat
popular di kalangan remaja. Pola baru industri seks yang massif tapi tertutup ini membuatnya sulit
dilacak dan seolah-olah tidak memberikan dampak bagi tatanan social masyarakat secara langsung.

Dilihat dari segi korban, terjadi pergeseran paradigma dalam bisnis prostitusi ini. Bisnis trafficking yang
biasanya ada unsur penjebakan kini berbentuk smooth dengan mengatasnamakan ‘kesenangan seksual’
yang dilakukan atas kesepakatan dua belah pihak, sehingga dalam hal ini tidak ada pihak yang
dikorbankan (victim-less).

Tanggungjawab bersama
Tampaknya industri seks yang melibatkan para pelajar ini sulit dibersihkan bila tidak mengarah pada
akar permasalahannya. Kontribusi nyata yang bisa kita lakukan adalah mempersempit ruang
pertumbuhannya dalam kewenangan kita masing-masing.. Tentu saja tanggungjawab ini melibatkan
dukungan dari seluruh elemen masyarakat.

1
Pertama, keluarga. Keluarga yang notabene adalah madrasah pertama bagi pelajar diharapkan dapat
memberikan perlindungan dan penguatan moral spiritual bagi mereka. Berbagai kajian menyatakan
bahwa remaja yang hidup dalam rumah tangga yang retak (broken home) lebih berpotensi mengalami
problem yang bersifat emosional, moral, medis, dan social dibandingkan dengan remaja yang hidup
dalam rumah tangga harmonis (Mahfuzh, 2005).

Kedua, sekolah. Sekolah merupakan institusi pendidikan formal yang signifikan dalam pembentukan
karakter dan kepribadian pelajar, mengingat umumnya sebagian besar waktu seorang pelajar dihabiskan
di sekolah. Namun, arah pendidikan sekarang harus dievaluasi lagi agar tidak menghasilkan ’pelajar
parsial’ yang hanya kuat dalam akademis tetapi lemah moral dan spiritual.

Ketiga, lingkungan. Sebagian besar karakter pelajar dibangun dari lingkungan pergaulannya. Oleh karena
itu orang tua dan guru sebaiknya memantau pergaulan anaknya dengan proporsional. Memojokkan
mereka justru akan semakin membuat remaja menjauh dan cenderung menutupi pergaulannya.

Kontrol sosial yang tak kalah penting adalah peran LSM sebagai media sosialisasi dan pencerdasan
masyarakat agar tanggap dan peduli terhadap fenomena prostitusi pelajar di sekitarnya. Di samping itu,
formulasi pendidikan seks yang terpadu (prefentif - kuratif) untuk pelajar perlu segera dirumuskan
bersama, mengingat penidikan seks yang ada saat ini barulah menyentuh sisi medis belum kepada
tataran pembinaan moral.

Sumber:
Solopos, edisi 13 Desember 2010
Mahfuzh, 2005. Psikologi Anak dan Remaja Muslim. Pustaka Kautsar. Jakarta

28 Desember 2010

Venny Kurniana
Staff Departemen Pendidikan
Lembaga Peduli Remaja Kriya Mandiri
Surakarta

Anda mungkin juga menyukai