Anda di halaman 1dari 2

Analisis Ekonomi

Benarkah Terjadi Deindustrialisasi?


Oleh: Prof Hendrawan Supratikno

ADA dua teori besar tentang industrialisasi di negara berkembang yang banyak diajarkan
di bangku kuliah. Teori pertama dikemukakan oleh Prof Raymond Vernon (1966),
sedangkan teori kedua dikemukakan oleh Prof Michael Porter (1990).

Keduanya dari Universitas Harvard, Amerika Serikat. Raymond Vernon mengemukakan


teori daur hidup produk internasional (international product life cycle theory). Bertolak
dari keyakinan bahwa inovasi membutuhkan biaya besar dan hanya konsumen
berpendapatan tinggi yang mampu membayarnya,maka terobosan industrial cenderung
terjadi di negara maju (negara kaya).Dengan berjalannya waktu dan hasil inovasi menjadi
baku (terstandardisasi), aspek biaya produksi menjadi semakin menentukan daya saing.
Mengingat rata-rata upah di negara berkembang jauh lebih rendah dibanding negara
maju, maka tanpa diminta pun para pengusaha dari negara maju akan memindahkan
usahanya ke negara berkembang.

Para pengusaha negara maju tersebut terus berkonsentrasi untuk menciptakan inovasi
baru dan masuk pada industriindustri dengan nilai tambah yang lebih tinggi. Jadi, negara
berkembang sepantasnya memiliki ilmu ”tahu diri”dalam program industrialisasi.
Industri-industri padat karya,padat sumber daya alam, dan memiliki potensi polusi yang
tinggi, biasanya yang akan lebih dulu digeser ke negara berkembang. Negara maju hanya
akan mengimpor produk jadi dari industri-industri tersebut.Dengan demikian, negara
maju tetap dapat menikmati produk tersebut dengan harga lebih murah, tetapi
konsekuensi negatifnya dapat dihindari.

Prof Michael Porter membagi tahapan industrialisasi menjadi tiga, yaitu tahap factor
driven (digerakkan oleh ketersediaan faktor produksi), tahap investment driven (didorong
oleh kekuatan investasi) dan tahap innovation driven (dimotori kemampuan inovasi).
Pada awalnya,industrialisasi lebih mengandalkan pada upah buruh rendah dan
ketersediaan sumber daya yang berlimpah. Setelah itu laju industrialisasi lebih ditentukan
oleh faktor investasi. Sebagian besar negara berkembang seperti Indonesia, Malaysia dan
Thailand sedang dalam tahap transisi dari factor driven menuju investment driven.
Sejumlah negara berkembang lain seperti Korea Selatan dan Taiwan telah masuk ke
tahap innovation driven.

Itu sebabnya, persaingan antarnegara berkembang yang paling menonjol saat ini adalah
persaingan untuk menciptakan iklim investasi yang kondusif agar para investor dapat
bergerak leluasa di negara-negara tersebut. Bermacam cara dilakukan, dari deregulasi
sampai pemberian insentif besar-besaran.Tak ada negara yang mau ketinggalan dalam
perlombaan memberi kemudahan dan kenyamanan untuk investasi ini. Negara yang
peraturannya berbelit- belit, birokrasinya ruwet, korupsinya meluas, kualitas sumber daya
manusianya rendah, dan infrastruktur bisnisnya parah, tak akan banyak menarik investor.
Yang akan terjadi adalah lingkaran setan (vicious circle) ekonomi biaya tinggi.Investor
akan memilih negara lain sebagai basis produksinya.
Bila suatu negara gagal memotong siklus ekonomi biaya tinggi,maka sesungguhnya
negara tersebut terancam bahaya deindustrialisasi. Pertanyaannya, adakah gejala
deindustrialisasi telah kita rasakan? Membanjirnya produk impor di pasar, cukup
banyaknya perusahaan yang melakukan relokasi pabrik atau pindah ke luar negeri,
semakin menurunnya pertumbuhan industri manufaktur dan pembentukan nilai tambah
sektor industri, semakin menurunnya pekerja formal di sektor industri, adalah beberapa
indikator untuk menilai terjadi atau tidaknya proses deindustrialisasi. Kita harus bertanya,
mengapa harga produk kayu dari Malaysia lebih rendah, padahal bahan baku kayu
didatangkan dari Indonesia?

Mengapa data statistik mencatat Singapura sebagai eksportir minyak dan timah, padahal
kita tahu negara tersebut tidak memiliki ladang minyak dan tambang timah? Mengapa
para pengusaha sekarang cenderung membuat pabrik di China atau Vietnam dan
memenuhi permintaan pasar dalam negeri dengan mengimpor saja? Sejak Orde Baru, kita
telah melihat bahwa daya saing industri kita rendah karena struktur industrinya yang
dangkal (shallow). Kandungan lokal dari sebagian besar industri kita sangat rendah. Para
ekonom menyebut struktur ini sebagai bentuk segitiga terbalik atau struktur kosong di
tengah (the hollow middle). Perusahaan yang merakit produk akhir (assembler) tumbuh
tanpa didukung gugus usaha penghasil komponen yang memadai.

Tak ada negara yang dapat menjadi pemain utama untuk semua jenis industri.Pilihan-
pilihan harus dilakukan.Atas dasar analisis yang akurat, kita harus memilih sejumlah
industri andalan dan tuntas (allout) untuk mengembangkannya. Realisasi strategi yang
demikian harus dikawal oleh peran dan regulasi pemerintah secara konsisten. Memang
ada pihak yang berpendapat, dalam konteks Indonesia dengan sebagian besar pelaku
usahanya bermental pedagang (trading mentality) yang cenderung memiliki horizon
jangka pendek dalam keputusan investasinya, kita tidak bisa berharap banyak.

Kita tak perlu berkecil hati, meski hanya terlibat dalam tahap kegiatan industrial bernilai
tambah rendah. Tetapi perasaan kita terusik, apakah peran demikian cukup untuk sebuah
negara dengan pasar domestik besar seperti yang kita miliki? Tidakkah kita dianggap
kurang cerdas bila memiliki kekayaan sumber daya alam besar, tetapi tidak mampu
berperan dalam pembagian kerja regional,atau tidak memiliki kontribusi spesialisasi
dalam pertumbuhan industri kawasan? Kalau dalam ekonomi regional di tingkat ASEAN
kita tak berperan, masih layakkah kita bermimpi besar untuk suatu saat menjadi salah
satu kekuatan ekonomi dunia seperti yang digembargemborkan itu? (*)

URL Source: http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/berita-utama/analisis-


benarkah-

PROF HENDRAWAN SUPRATIKNO PHD* *Penulis, Direktur Program Pascasarjana


dan Program Doktor IBII, Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai