Anda di halaman 1dari 7

PENEMUAN HUKUM DAN ETIKA PROFESI

oleh
Sudikno Mertokusumo

Apakah yang diharapkan dari Sarjana Hukum dengan pengetahuannya yang


diperolehnya dari Fakultas Hukum dan bekerja dalam profesi hukum? Setelah
menguasai pengetahuan itu apa yang dituntut dari seorang Sarjana Hukum?
Hafal semua peraturan dan teori-teori yang telah diajarkan di Fakultas? Kalau
sudah hafal lalu mau diapakan? Bagaimanakah mengoperasionalkan
pengetahuan yang diperolehnya itu? Itulah beberapa pertanyaan yang jarang
terpikirkan.
Di Fakultas Hukum diajarkan bidang-bidang hukum, seperti hukum tata negara,
hukum pidana, hukum perdata dan masih banyak bidang-bidang hukum lainnya.
Dari sekian banyak mata kuliah dapatlah dikatakan bahwa pada hakekatnya apa
yang diberikan di Fakultas Hukum atau apa sasaran studi hukum dan yang harus
dikuasai oleh Sarjana Hukum adalah pengetahuan tentang kaedah hukum,
sistem hukum dan penemuan hukum.
Kalau sudah menguasai segala pengetahuan yang diberikan di Fakultas Hukum
apa yang kemudian harus dilakukan oleh Sarjana Hukum dengan pengetahuan
yang telah diperolehnya itu? Bagaimanakah seorang Sarjana Hukum
mengoperasionalkan atau mempraktekkan pengetahuan yang telah
diperolehnya itu?
Seorang Sarjana Hukum selalu dihadapkan pada peristiwa atau konflik konkrit
(masalah hukum), yang harus dipecahkannya. la harus menguasai peristiwa atau
konflik itu dalam arti memahami dan mengerti duduk perkaranya dan kemudian
menerapkan hukumnya. Maka oleh karena itu dengan pengetahuan yang telah
diperolehnya itu Sarjana Hukum harus menguasai kemampuan untuk
memecahkan masalah-masalah hukum (the power of solving legal problems).
Pada hakekatnya tujuan setiap ilmu adalah pemecahan masalah (problem
solving). Kemampuan untuk memecahkan masalah-masalah hulum ini meliputi
kemampuan untuk a). memutuskan masalah-masalah hukum (legal problem
identification), b). memecahkan masalah-masalah hukum (legal problem
solving) dan), c. rnengambil keputusan (decision making). Disamping harus
rnenguasai kemampuan memecahkan masalah-masalah hukum Sarjana Hukurn
harus mampu pula mencari atau memberi pembenaran yuridis terhadap
perkembangan hukum di dalam masyarakat. lni menunjukkan kepedulian akan
perkembangan masyarakat atau perkembangan hukum.
Memecahkan masalah-masalah hukum bukanlah merupakan kegiatan yang
sederhana dan mudah. Di dalam masyarakat terdapat banyak masalah sosial
termasuk masalah hukum. Masalah hukm itu harus diseleksi dari masalah-
masalah sosial lainnya dan kemudian diidentifikasi atau dirumuskan. Kadang-
kadang masalah hukum itu tumpang tindih dengan masalah-masalah sosial
lainnya dan batasnya sering tidak dapat ditarik secara tajam (masalah agama
dan masalah hukum). Kalaupun masalah hukumnya berhasil diseleksi dan
dirumuskan, masih perlu diketahui dan ditetapkan lagi termasuk bidang hukum
apa (penggelapan – pencurian, ingkar janji - perbuatan melawan hukum).
Setelah masalah hukumnya dirumuskan -lebih tepatnya peristiwa konkretnya
dikonstatasi- maka (peristiwa) hukumnya harus diketemukan dan ditetapkan
serta kemudian hukumnya diterapkan terhadap peristiwa hukumnya dan
kemudian diambillah keputusan.
Penemuan hukum
Mengapa harus dilakukan penemuan hukum? Mengapa hukumnya harus
diketemukan? Oleh karena hukumnya, terutama hukum tertulisnya, tidak jelas
atau tidak lengkap, maka hukumnya perlu dicari perlu diketemukan. Oleh
karena itu diperlukan penemuan hukum. Telah luas diketahui bahwa
(peraturan) hukum itu tidak jelas dan tidak lengkap. Tidak mungkin ada
peraturan hukum yang lengkap selengkap-Iengkapnya atau jelas sejelas-
jelasnya. Hal ini memang wajar oleh karena kepentingan manusia itu tidak
terhitung jumlah maupun jenisnya, sehingga tidak mungkin ada satu peraturan
hukum yang dapat mengatur kepentingan manusia itu secara tuntas, lengkap
dan jelas.
Telah diketengahkan di muka bahwa Sarjana Hukum selalu dihadapkan pada
peristiwa atau konflik (masalah hukum) konkret yang harus dipecahkannya dan
dicarikan hukumnya. Dalam menghadapi dan memecahkan konflik atau masalah
hukum, penemuan hukum itu selalu diperlukan oleh karena itu penemuan
hukum selalu berhubungan dengan peristiwa konkret.
Secara sederhana dapatlah dikatakan bahwa penemuan hukum adalah kegiatan
atau usaha menemukan hukumnya karena hukumnya tidak jelas atau tidak
lengkap. Pada umumnya penemuan hukum diartikan sebagai proses
pembentukan hukum oleh hakim, atau aparat hukum lainnya yang ditugaskan
untuk penerapan peraturan hukum umum pada peristiwa hukum. Lebih lanjut
dapat dikatakan bahwa penemuan hukum adalah proses konkretisasi atau
individualisasi peraturan hukum yang bersifat umum dengan mengingat akan
peristiwa konkret tertentu. Adapun penemuan hukum itu meliputi proses
perumusan masalah hukum, pemecahan masalah hukum dan pengambilan
keputusan.
Konkretisasi atau individualisasi hukum itu berhubung dengan adanya peristiwa
konkrit atau konflik. Kepada sarjana hukum yang bekerja dalam profesinya
selalu dihadapkan pada peristiwa konkret atau konflik yang harus
dipecahkannya atau diselesaikannya. Peristiwa konkret atau konflik itu harus
dipecahkan dan untuk memecahkannya harus dicarikan (kaedah) hukumnya.
Hukum atau das Sollen itu abstrak. Hukum yang abstrak itu tidak dapat secara
langsung diterapkan pada peristiwanya yang konkret. Oleh karena itu
hukumnya harus dikonkretkan lebih dulu dengan menghubungkan dan
menyesuaikan dengan peristiwa konkretnya untuk kemudian dicari peristiwa
hukumnya dan kemudian diterapkan hukumnya.
Dalam menemukan hukum ada beberapa hal yang harus diperhatikan dan
dikuasai. Yaitu: a. adanya tata urutan dalam sumber (penemuan) hukum
(hierarkhi), b. sistem hukum, dan c. metode penemuan hukum.
Perlu diketahui bahwa sumber (penemuan) hukum itu mengenal tata-urutan
atau kewerdaan (hierarkhi). Seperti yang telah diketahui sumber (penemuan)
hukum itu ialah peraturan perundang-undangan, hukum kebiasaan,
yurisprudensi, perjanjian internasional dan doktrin. Di samping itu perlu
mendapatkan perhatian juga bahwa perilaku merupakan sumber hukum juga,
oleh karena di dalam perilaku manusia itu terdapat hukumnya. Oleh karena
kepentingan manusia itu yang mendorong perilakunya maka kepentingan
merupakan sumber hukum juga. Undang-undang diprioritaskan atau
didahulukan dari sumber-sumber hukum lainnya. Kalau hendak mencari arti
sebuah istilah hukum misalnya maka haruslah dicari lebih dahulu di dalam
undang-undang. Kalau ternyata di dalam undang-undang tidak ada maka
barulah dicari dalam hukum kebiasaan, kemudian di dalam yurisprudensi. Kalau
di dalam yurisprudensipun tidak ada maka baru dicari di dalam doktrin dan
begitu selanjutnya. Kalau kita bicara tentang sumber hukum, maka hal itu tidak
akan lepas dari kaedah hukum serta asas-asas hukum. Oleh karena itu dalam
menemukan hukum harus pula dikuasai mengenai sifat dan ciri-ciri kaedah dan
asas-asas hukum.
Hukum merupakan suatu sistem, yaitu suatu kesatuan yang tidak menghendaki
adanya konflik di dalamnya. Kalau sampai terjadi konflik maka konfllik itu tidak
akan dibiarkan berlangsung berlarut-Iarut. Oleh karena itu maka dalam
menemukan hukum ciri-ciri sistem hukum itu harns diketahui. Sistem hukum
mengenal klasifikasi. Di samping itu sistem hukum bersifat konsisten. Konsisten
dalam arti secara ajeg mengatasi konflik yang terjadi. Sering terjadi konflik
antara undang-undang dengan undang-undang, antara undang-undang dengan
putusan pengadilan, antara undang-undang dengan hukum kebiasaan. Untuk
mengatasi konflik-konflik itu tersedialah asas-asas yang secara konsisten
digunakan. Kalau peraturan perundang-undangannya tidak bersifat lengkap,
maka sistem hukumnyalah yang sifatnya lengkap. Ketidak-Iengkapan atau
ketidak-jelasan itu dilengkapi dengan penemuan hukum. Setiap sistem hukum
mempunyai konsep-konsep fundamental. Ciri-ciri sistem hukum seperti yang
telah dikemukakan di atas harus diperhatikan dalam menemukan hukum.
Untuk menemukan hukum ada cara atau metodenya. Metode penemuan hukum
ini telah banyak diketahui, akan tetapi sering tidak disadari. Metode penemuan
hukum itu adalah metode penafsiran (interpretasi), metode argumentasi dan
metode eksposisi atau konstruksi hukum. Kiranya bukan tempatnya untuk
menguraikan metode-metode tersebut di sini.
Bagaimanakah prosedur penemuan hukum itu? Untuk mudahnya diambil contoh
penemuan hukum oleh hakim perdata, karena penemuan hukum itu merupakan
kegiatan hakim setiap harinya yang dilakukan secara profesional. Mengapa
hakim perdata, karena peluang penemuan hukumnya lebih banyak
dibandingkan dengan hakim pidana yang dibatasi oleh pasal l ayat 1 KUHP.
Prosedur penemuan hukum itu meliputi jawab menjawab yang tujuannya agar
hakim mengetahui peristiwa konkret apa yang sekiranya menjadi sengketa
antara kedua belah pihak. Kalau sekiranya oleh hakim sudah diketahui
peristiwa konkretnya, maka peristiwa atau sengketa itu dibuktikan agar hakim
dapat mengkonstatasi kebenaran peristiwa konkret atau sengketa tersebut.
Hakim tidak akan mengkonstatasi suatu sengketa tanpa mengadakan
pembuktian lebih dulu. Setelah peristiwa konkretnya dirumuskan atau
dikonstatasi maka peristiwa konkret itu harus diterjemahkan dalam bahasa
hukum agar (peraturan) hukumnya dapat diterapkan, sebab (peraturan)
hukumnya tidak dapat diterapkan secara langsung terhadap peristiwa
konkretnya. Jadi peristiwa konkret yang telah dikonstatasi itu kemudian harus
dikonversi atau diterjemahkan menjadi peristiwa hukum. Setelah peristiwa
konkretnya dikonversi menjadi peristiwa hukum barulah hukumnya dapat
diterapkan. Kemudian diambillah keputusan.
Penemuan hukum merupakan rangkaian kegiatan, sehingga pada hakekatnya
penemuan hukum itu dimulai sejak jawab menjawab. Akan tetapi momentum
dimulainya penemuan hukum adalah pada saat membuktikan dan kualifikasi
peristiwa konkretnya. Di sini dicarilah peristiwa konkret yang relevan; untuk
itu harus pula diketahui hukumnya. Langkah kedua adalah mengkualifikasi
peristiwa konkret: peristiwa konkret haus diterjemahkan dalam bahasa hukum.
Yang dikualifikasi adalah peristiwa konkret, untuk dijadikan peristiwa hukum
agar hukumnya dapat diterapkan. Langkah ketiga adalah mencari atau
menseleksi (peraturan) hukum dari sumber-sumber hukum: undang-undang,
hukum kebiasaan, yurisprudensi dan doktrin serta perilaku manusia. Langkah
keempat adalah menganalisis atau menginterpretasi (peraturan) hukum
tersebut. Langkah kelima adalah menerapkan peraturan hukumnya terhadap
peristiwa hukumnya dengan menggunakan silogisme. Langkah keenam adalah
mengevaluasi dan mempertimbangkan argumentasinya. Di sini harus
diperhatikan Idee des Rechts, yaitu unsur-unsur yang harus diperhatikan dalam
menjatuhkan putusan, yaitu putusan harus mengandung keadilan
(Gerechtigkeit), kemanfaatan (Zweckmassigkeit) dan kepastian hukum
(Rechtssicherheit).Tiga unsur itu ideaalnya harus diupayakan ada dalam setiap
putusan secara proporsional. Dalam prakteknya tidak mudah mengupayakan
hadirnya ketiga unsur itu secara proporsional, tetapi kalau salah satu unsur
ditinggalkan maka unsur lain dikorbankan: kalau yang diperhatikan itu hanyalah
keadilan saja maka kepastian hukumnya dikorbankan dan begitu selanjutnya.
Jadi paling tidak ketiga unsur itu harus ada sekalipun tidak secara proporsional.
Lain dari pada itu apa yang oleh Suto misalnya dianggap adil belum tentu
diarasakan adil oleh Noyo. Tidaklah mudah untuk memberi definisi tentang isi
keadilan. Yang lebih mudah ialah untuk memberi batasan tentang hakekat
keadilan. Permasalahan tentang keadilan baru muncul apabila terjadi konflik
antara dua orang yang mempermasalahkan tentang hak masing-masing.
Pada hakekatnya keadilan adalah pernilaian terhadap tindakan atau perlakuan
seseorang pada orang lain, yang pada umumnya dilihat dari pihak yang terkena
tindakan tersebut. Pada umumnya apa yang dinamakan adil itu mengandung
unsur pengorbanan.
Prosedur penemuan hukum bukanlah merupakan kegiatan yang terdiri dari
langkah-Iangkah yang berurutan dari langkah pertama, diikuti oleh langkah
kedua, ketiga dan selanjutnya sampai langkah terakhir. Kadang-kadang sampai
pada langkah ketiga harus kembali ke langkah pertama dan begitu selanjutnya.
Etika profesi
Etika adalah salah satu bagian dari filsafat yang mengadakan studi tentang
kehendak manusia. Secara lebih sederhana dapatlah dikatakan bahwa etika
adalah filsafat tingkah laku manusia, yang mencari pedoman tentang bagaimana
seharusnya manusia bertindak atau berbuat
Sasaran etika semata-mata adalah tingkah laku atau perbuatan manusia yang
dilakukan dengan sengaja. Baik tidaknya, tercela tidaknya suatu perbuatan itu
dinilai dengan ada tidaknya kesengajaan. Orang harus bertanggung jawab
terhadap perbuatannya yang dilakukan dengan sengaja. Perbuatan yang
dilakukan dengan sengaja harus sesuai dengan kesadaran etisnya. Kesadaran
etis bukan hanya berarti sadar akan adanya perbuatan yang baik dan buruk
saja, tetapi sadar pula bahwa orang wajib berbuat baik dan wajib
menghindarkan diri dari perbuatan tercela. Etika yang berasal dari kesadaran
manusia merupakan petunjuk tentang perbuatan mana yang baik dan mana
yang buruk dan sekaligus juga merupakan pemilaian atau kualifikasi terhadap
perbuatan seseorang. Dalam etika kita tidak hanya berbicara tentang kehendak
atau perilaku manusia melainkan juga tentang kaedah dan motivasi perilaku
manusia. Etika pada hakekatnya merupakan pandangan hidup dan pedoman
tentang bagaimana seyogyanya seseorang itu bertindak.
Bagi etika, baik buruknya, tercela tidaknya perbuatan itu diukur dengan tujuan
hukum, yaitu ketertiban masyarakat.
Bagi hukum problematiknya adalah ditaati atau dilanggar tidaknya kaedah
hukum. Hukum menuntut legalitas, yang berarti bahwa yang dituntut adalah
pelaksanaan atau pentaatan kaedah hukum semata-mata. Sebaliknya etika lebih
mengandalkan iktikad baik dan kesadaran moral pada pelakunya. Oleh karena
itu etika menuntut moralitas, yang berarti bahwa yang dituntut adalah
perbuatan yang didorong oleh rasa wajib dan tanggung jawab. Itulah sebabnya
timbul kesulitan untuk menilai pelanggaran etika selama pelanggaran itu tidak
merupakan pelanggaran hukum. Etika seperti halnya juga dengan hukum
mengancam pelanggaran dengan sanksi. Hanya saja pelanggaran pada etik
sanksinya tidak dapat dipaksakan dengan sarana ekstrem.
Kata profesi dalam bahasa Indonesia yang tepat dan baku tidak atau belum ada.
Pada umumnya profesi dapat dilukiskan sebagai pekerjaan yang menyediakan
atau memberikan pelayanan yang "highly specialized intellectual". Menurut
Roscoe Pound kata profesi itu "refers to a group of men persuing a learned art
as a common calling in the spirit of a public service, no less a public service
because it may incidentally be a means of livelihood".
Jadi profesi adalah pekerjaan pelayanan yang dilandasi dengan persiapan atau
pendidikan khusus yang formil dan landasan kerja yang ideel serta didukung
oleh cita-cita etis masyarakat. Adapun ciri-ciri profesi ialah: merupakan
pekerjaan pelayanan, didahului dengan persiapan atau pendidikan khusus
formil, keanggotaannya tetap dan mempunyai cita-cita etis masyarakat. Profesi
berbeda dengan pekerjaan lain yang tujuannya adalah untuk memperoleh
keuntungan semata-mata, sedangkan profesi memusatkan perhatiannya pada
kegiatan yang bermotif pelayanan. Profesi tidak selalu dibedakan dengan tajam
dari pekerjaan-pekerjaan lain (vocation, occupation). Peraturan mengenai
profesi pada umumnya mengandung hak-hak yang fundamental dan mempunyai
peraturan-peraturan mengenai tingkah laku atau perbuatan dalam
melaksanakan profesinya yang dituangkan dalam kode etik.
Di dalam praktek pelaksanaan profesi (hukum) cenderung berkembang kearah
mencari keuntungan (dokter, pengacara, notaris), sehingga kesadaran hukum
dan kepedulian sosial menurun
Profesi hukum harus berlandaskan etik. Demi hukum itu sendiri profesi hukum
harus berlandaskan etik. Dapatlah kiranya profesi hukum itu dirumuskan
sebagai suatu kegiatan pelayanan dalam bidang hukum melalui pendidikan
tinggi hukum berdasarkan etik. Kode etik profesi hukum yang bersifat umum
tidak ada, karena profesi hukum sangat bervariasi. Hal ini tampak dari adanya
beberapa kelompok profesi hukum, yaitu antara lain hakim, jaksa, pengacara,
notaris, dosen hukum dan sebagainya. Mengingat bahwa secara teknis
fungsional dan operasional tugas masing-masing kelompok dalam profesi hukum
itu berbeda, maka masing-masing mempunyai kode etiknya sendiri sendiri.
Hakim misalnya yang tergabung dalam lKAHI mempunyai kode etiknya sendiri
sebagai hasil Keputusan Musyawarah Nasional ke IX Ikatan Hakim Indonesia
tahun 1988 yang dikenal dengan Panca Brata, pengacara yang tergabung dalam
IKADIN mempunyai kode etiknya sendiri, notaris yang tergabung dalam INI
mempunyai kode etiknya yang ditetapkan oleh Kongres Ikatan Notaris Indonesia
ke IX tahun 1974. Universitas Gadjah Mada sejak tahun 1997 mempunyai Kode
Etik Dosen. Mereka semua itu bergerak di bidang hukum, tetapi ada perbedaan
tugas. Pada hakekatnya kegiatan mereka bersifat ilmiah yang membutuhkan
dasar pendidikan tinggi hukum. Mereka harus mampu merumuskan masalah-
masalah hukum, memecahkannya, menerapkannya dan memberi putusan. Yang
diperlukan adalah kemampuan untuk "solving legal problems". Baik hakim, jaksa
dan sebagainya harus menguasai "the power of solving legal problems".
Meskipun secara teknis operasional kegiatan mereka berbeda namun di
lapangan mereka selalu dihadapkan pada peristiwa atau konflik yang harus
dipecahkannya, oleh karena itu harus menguasai dan mampu
mengoperasionalkan bekal yang diperolehnya dari pendidikan tinggi hukum.
Profesi hukum tidak dapat disamakan dengan profesi-profesi lainnya seperti
profesi dokter misalnya. Profesi dokter merupakan profesi dengan kegiatan
tunggal yang tidak bervariasi dibandingkan dengan profesi hukum, sehingga
ikatan antara para anggotanya erat dan pelaksanaan kode etiknya lebih mudah
dan mantap.
Tujuan dirumuskannya kode etik adalah untuk mencegah terjadinya perilaku
yang tidak etis dari anggotanya dan memberikan arah serta menjamin mutu
moral anggotanya. Pemegang profesi dituntut mengutamakan profesinya secara
bertanggung jawab. Sekalipun kode etik itu dimaksudkan untuk mencegah
adanya campur tangan dari pihak luar profesi, namun berfungsi juga sebagai
kontrol sosial. Pelanggaran kode etik tidak menimbulkan sanksi formil bagi
pelakunya, sehingga terhadap kasus pelanggaran umumnya hanya dilakukan
teguran.
Kode etik memerlukan adanya Dewan Kehormatan untuk mengawasi
pelaksanaan profesi dan pelaksanaan kode etik (Universitas Gadjah Mada sejak
tahun 1997 telah memiliki Dewan Kehormatan Kode Etik Dosen).
Penemuan hukum dan etika profesi
Apakah hubungannya penemuan hukum dengan etika profesi?
Dari apa yang telah diuraikan di atas maka penemuan hukum merupakan
kegiatan pokok dan penting dalam profesi hukum pada umumnya Dikatakan
pada umumnya karena profesi hukum itu bervariasi dan meliputi beberapa
kelompok, yaitu seperti yang dikemukakan di atas antara lain hakim,
pengacara, notaris, dosen dan sebagainya. Sekalipun secara teknis fungsional
dan operasional tugas mereka itu berbeda dan masing-masing kelompok
mempunyi kode etiknya masing-masing, namun mereka itu pada hakekatnya
dihadapkan pada peristiwa atau konflik yang harus diselesaikan atau
dipecahkannya. Untuk itu mereka tanpa kecuali harus melakukan penemuan
hukum. Adapun sifat atau sikap yang diharapkan dari setiap penemu hukum
adalah seperti berikut.
Pertama, harus mendapat perhatian bahwa dalam kita melakukan penemuan
hukum harus disadari bahwa problematik hukum itu berpusat pada tiga hal,
yaitu: a. terlindungi tidaknya kepentingan subyek hukum bersangkutan, b.
terjamin tidaknya kepastian hukum dan c. tercipta tidaknya keseimbangan
tatanan dalam masyarakat.
Kemudian kita harus bersikap terbuka, mau mendengarkan pendapat orang lain
atau kritik. Dengan demikian kita akan memperoleh masukan. Kita tidak boleh
menutup mata dan telinga untuk pandangan-pandangan baru dan hanya
bersikukuh pada pandangan atau pendapatnya sendiri yang sudah kuno atau
ketinggalan zaman tanpa mau mengikuti perkembangan ilmu hukum atau
masyarakat.
Selanjutnya dalam penemuan hukum kita tidak boleh bersikap á priori, tidak
boleh mempunyai praduga terhadap kebenaran suatu peristiwa. Tidak boleh
ada prasangka mengenai suatu peristiwa konkret sebelum peristiwa konkretnya
itu dibuktikan. Tidak jarang terjadi ada hakim yang sudah mempunyai rumusan
putusan mengenai suatu perkara, sedangkan peristiwanya belum dibuktikan
karena hanya mendasarkan pada dugaan pada waktu proses pembuktian sedang
berlangsung.
Bersikap sabar, tekun dan tidak emosional diperlukan dalam menemukan
hukum. Orang yang emosional sudah tidak jemih lagi pikirannya.
Walaupun putusan hakim itu bukan produk ilmu, akan tetapi proses penemuan
hukum itu bersifat ilmiah. Oleh karena itu sikap objektif dan tidak memihak
harus ada dalam kita menemukan hukum. Demikian pula sikap jujur, terutama
jujur dalam mencari kebenaran dan jujur mengakui kesalahan sendiri
merupakan sikap ilmiah yang perlu dimiliki dalam kita menemukan hukum.
Penemu hukum harus mempunyai kepedulian akan perkembangan dan
masyarakat dan jeli menangkapnya. Oleh karena itu harus mampu mencari atau
memberi pembenaran yuridis terhadap perkembangan hukum dan masyarakat.
Tidak sekedar hanya membenarkan, tetapi membenarkan dengan memberi
landasan yuridis. Jadi kegiatan penemuan hukum tidak lepas dari etika profesi.
Untuk menutup uraian ini saya kutipkan kata-kata mutiara dari Sidney Smith:
"Nations fall when judges are injust, because there is nothing which the
multitude think worth defending".

DAFTAR ACUAN
Solomon, Robert C.-,1987, Etika, suatu pengantar, Penerbit Erlangga
Sumaryono, E.-, 1996, Etika Profesi Hukum, Penerbit Kanisius
Bos, MLDL., AM.-, tanpa tahun, Methods for the formation of legal concepts and
for legal research, AE.E.Kluwer, Deventer
Kraan, K.J.-, 1981, Sylabus Rechtssysteem, Universiteit van Amsterdam
Sudikno Mertokusumo, 1986, Profesi dan pendididkan hukum, makalah
disajikan pada Temu Ilmiah Mahasiswa Notariat Indonesia di Kaliurang
Sudikno Mertokusumo, dan A.Pitlo, 1993, Bab-bab tentang penemuan hukum,
PT Citra Aditya Bakti
van Eikema Hommes,.H.J.-, roneografi, tanpa tahun, Logica en rechtsvinding,
Vrije Universiteit Amsterdam
Veronica Komalawati, 1989, Etika Praktek Kedokteran, Pustaka Sinar Harapan
Wiarda, Mr.G.J.-, 1988, 3 Typen van rechtsvinding, W.E.J.Tjeenk
Willink,Zwolle
Yogyakarta, 23 Mei 1996
Diposkan oleh Prof. Dr. RM. Sudikno Mertokusumo, SH.

Anda mungkin juga menyukai