Anda di halaman 1dari 36

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Gagal jantung merupakan tahap akhir dari seluruh penyakit jantung dan penyebab
peningkatan morbiditas dan mortalitas pasien jantung. Insiden gagal jantung dalam setahun
diperkirakan 2,3-3,7 per 1000 penderita per tahun. Gagal jantung susah dikenali secara klinis,
karena beragamnya keadaan klinis, serta tidak spesifiknya tanda-tanda pada tahap awal
penyakit. Perkembangan diagnosis terkini memungkinkan untuk mengenali gagal jantung secara
dini, serta perkembangan pengobatan yang memperbaiki gejala klinis dan kualitas hidup akan
memperlambat progresifitas penyakit dan meningkatkan kualitas hidup.
Gagal jantung dapat disebabkan oleh berbagai penyebab. Salah satu dari penyebabnya
adalah penyakit jantung rematik.Pada beberapa negara, masih terdapat peningkatan dari
insidensi kasus ini. Sekitar 10-35 % dari penderita penyakit jantung adalah penderita demam
rematik dan penyakit jantung rematik dan diestimasi bahwa sekitar 15,6 juta anak-anak dan
dewasa menderita penyakit ini dan kurang lebih 233.000 pasien meninggal disebabkan oleh
penyakit ini.

1.2. Tujuan
Tujuan penulisan laporan kasus ini adalah untuk memahami mengenai gagal jantung dan
penyakit jantung rematik. Penulisan laporan kasus ini diharapkan dapat memberikan
pengetahuan mengenai pathogenesis, patofisiologi, kriteria diagnosis, dan pemeriksaan yang
akan membantu klinisi dalam menegakkan diagnosis gagal jantung dan penyakit jantung
rematik sehingga penatalaksanaannya akan lebih tepat dan terarah.

1
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Gagal Jantung


2.1.1. Definisi

Gagal jantung adalah keadaan dimana jantung tidak mampu untuk memompa darah
dalam jumlah yang dibutuhkan untuk metabolisme tubuh. Atau dalam arti lain, gagal jantung
adalah keadaan dimana jantung tidak lagi memompa darah ke jaringan untuk memenuhi
kebutuhan metabolism tubuh karena terdapatnya kelainan structural atau fungsional pada
jantung sehingga ejeksi ke seluruh jaringan terganggu. Gangguan fungsi jantung dapat berupa
gangguan fungsi diastolic, gangguan irama jantung, atau ketidaksesuaian preload dan afterload.

2.1.2. Etiologi
Gagal jantung adalah komplikasi yang paling sering dari semua jenis penyakit jantung
congenital maupun didapat. Di Negara maju, penyakit arteri koroner dan hipertensi merupakan
penyebab terbanyak, sedangkan di Negara berkembang yang menjadi penyebab terbanyak
adalah penyakit jantung katup dan penyakit jantung akibat malnutrisi. Mekanisme fisiologis
yang menyebabkan gagal jantung mencakup keadaan yang meningkatkan preload, afterload,
atau menurunkan kontraktilitas miokardium. Keadaan-keadaan yang meningkatkan beban awal
meliputi regurgitasi aorta dan cacat septum ventrikel, dan beban akhir meningkat pada keadaan
dimana terjadi stenosis aorta dan hipertensi sistemik. Kontraktilitas niokardium dapat menurun
pada infark iokardium dan kardiomiopati.

2.1.3. Klasifikasi
Klasifikasi gagal jantung menurut New York Heart Association (NYHA):

1. NYHA kelas I : Tidak terdapat pembatasan pada aktivitas fisik. Aktifitas fisik sehari-hari
tidak menimbulkan gejala-gejala seperti mudah lelah, palpitasi, dan dyspnoe.

2
2. NYHA kelas II : Terdapat sedikit pembatasan pada aktivitas fisik sehari-hari. Penderita tidak
mengalami keluhan apabila istirahat. Aktivitas fisik sehari-hari dapat mengakibatkan terjadinya
dyspnoe, angina, mudah lelah dan palpitasi.
3. NYHA kelas III : Terdapat pembatasan pada aktivitas fisik ringan yang jelas. Penderita tidak
mengalami keluhan apabila istirahat. Aktivitas fisik yang ringan dapat menimbulkan sesak
nafas, mudah lelah, angina, dan palpitasi.
4. NYHA kelas IV : Penderita mengalami keluhan sesak nafas, angina, dan palpitasi. Keluhan
dialami pasien saat pasien istirahat.

Klasifikasi stadium gangguan structural pada jantung berdasarkan American College of


Cardiology (ACC) dan The American Heart Association (AHA) :

1.Tahap A
Mempunyai resiko tinggi terhadap perkembangan gagal jantung tetapi tidak menunjukkan
struktur abnormal dari jantung.

2.Tahap B
Adanya struktur yang abnormal pada jantung pasien tetapi tidak dijumpai gejala.

3.Tahap C
Adanya struktur yang abnormal dari pasien dengan gejala awal gagal jantung.

4.Tahap D
Pasien dengan gejala tahap akhir gagal jantung sulit diterapi dengan pengobatan standar.

Klasifikasi gagal Jantung secara umum :


a) Gagal jantung Akut
Gagal jantung akut didefinisikan sebagai serangan cepat dari gejala atau tanda akibat
fungsi jantung yang abnormal. Dapat terjadi dengan atau tanpa adanya penyakit jantung
sebelumnya. Disfungsi jantung dapat berupa disfungsi sistolik atau disfungsi diastolic, keadaan
irama jantung yang abnormal atau ketidakseimbangan preload atau afterload. Gagal jantung

3
akut dapat berupa serangan baru tanpa ada kelainan jantung sebelumnya atau dekompensasi
akut dari gagal jantung kronis. Pada gagal jantung akut ini dapat pula diklasifikasikan lagi baik
dari gejala klinis dan foto thorax ( Killip), klinis dan karateristik hemodinamik (Forrester) atau
berdasarkan sirkulasi perifer dan auskultasi paru.
b) Gagal jantung Kronik
Gagal jantung kronik didefinisikan sebagai sindrom klinik yang kompleks yang disertai
keluhan gagal jantung berupa sesak, fatigue, baik dalam keadaan istirahat maupun beraktivitas,
edema, dan tanda objektif adanya disfungsi jantung dalam keadaan istirahat.

2.1.4. Patofisiologi
Pada disfungsi sistolik, kontraktilitas miokard mengalami gangguan dan dibandingkan
dengan keadaan normal, stroke volume berkurang dan timbullah gejala penurunan dari cardiac
output (CO) yang menyebabkan volume akhir sistolik meningkat. Akibat dari peningkatan
volume akhir sistolik, darah dari vena pulmonalis kembali ke jantung yang sedang payah,
volume ruangan jantung pada diastole meningkat lebih besar dibandingkan pada jantung
normal. Ini mengakibatkan tekanan dan volume akhir diastolik lebih tinggi dari normal.
Pada gagal jantung kiri juga terjadi kenaikan tekanan distolik diteruskan secara
retrograde ke atrium kiri kemudian ke vena dan kapiler paru. Kenaikan tekanan hidrostatik
kapiler paru melebihi 20 mmHg bisa menyebabkan ekstravasasi cairan ke intertisium paru, dan
menyebabkan keluhan kongesti paru. Bila ventrikel kanan gagal, kenaikan tekanan diastolik
diteruskan ke atrium kanan selanjutnya timbul bendungan pada vena sistemik dan tanda gagal
jantung kanan.
Kira-kira 40% dari penderita gagal jantung mempunyai fungsi kontraktilitas ventrikel
yang normal. Banyak dari penderita ini menunjukkan kelainan fungsi diastolik, berupa
gangguan diastolik dini, peningkatan kekakuan dinding ventrikel atau kedua-duanya.
Iskemia miokard akut adalah contoh suatu keadaan yang menghambat sementara
hantaran energi dan dapat menghambat relaksasi diastolik. Penderita dengan disfungsi diastolik
sering memperlihatkan tanda bendungan akibat peningkatan tekanan diastolik yang diteruskan
ke vena pulmonalis dan sistemik. Pada penderita ini dengan fungsi sistolik yang normal, gejala
penurunan cardiac output lebih jarang. Namun pada kebanyakan penderita gagal gantung sering
ditemukan disfungsi sistolik dan diastolik yang timbul bersamaan meski dapat timbul sendiri.

4
Pengurangan cardiac output menyebabkan aktivasi mekanisme kompensasi
neurohormonal, system rennin – angiotensin – Aldosteron (system RAA) serta kadar
vasopressin dan natriuretic peptide yang bertujuan untuk memperbaiki lingkungan jantung
sehingga aktivasi jantung dapat terjaga. Stimulasi system RAA menyebabkan peningkatan
vasokonstriktor renal yang poten (arteriol eferen) dan sirkulasi sistemik yang merangsang
pelepasan noradrenalin dari pusat saraf simpatis, menghambat tonus vagal dan merangsang
pelepasan aldosteron. Aldosteron akan menyebabkan terensi natrium dan air serta meningkatkan
sekresi kalium. Kenaikan volume intravaskuler lalu meningkatkan beban cardiac output melalui
mekanisme Frank Starling.
Selain itu, sekresi hormone antidiuretik oleh kelenjar hipofisis posterior meningkat
volume intravaskuler karena ia meningkatkan retensi cairan dan dapat meningkatkan cardiac
output. Meskipun mekanisme kompensasi neurohormonal pada awalnya bermanfaat,
peningkatan volume sirkulasi dan aliran balik vena ke jantung dapat memperburuk bendungan
pada vaskuler paru sehingga memperberat keluhan kongesti paru. Peninggian tahanan arteriol
meningkatkan beban akhir dimana jantung yang sudah payah harus berkontraksi sehingga
akhirnya stroke valume dan cardiac output menjadi lebih menurun.

2.1.5. Gejala dan Tanda Klinis

Pada gagal jantung kiri dapat ditemukan :

Gejala klinis :

 Dyspnoe
 Orthopnoe
 Paroxysmal Nocturnal Dyspnoe (PND)
 Fatigue
Tanda klinis :

 Diaforesis
 Takikardi
 Takipnoe

5
 Ronki paru
 P2 mengeras
 S3 gallop
Pada gagal jantung kanan dapat ditemukan :
 Tekanan vena jugular meningkat
 Hepatomegali
 Edema perifer

2.1.6. Diagnosis dan Pemeriksaan Penunjang


Diagnosis gagal jantung dapat ditegakkan dengan menggunakan criteria Framingham.
Kriteria ini membutuhkan sekurang-kurangnya 2 kriteria mayor atau 1 kriteria mayor dengan 2
kriteria minor. Kriteria Framingham adalah seperti berikut :
Kriteria Mayor :
 Paroxysmal Nocturnal Dyspnoe (PND)
 Ronchi basah pada paru
 S3 Gallop
 Kardiomegali
 Peningkatan tekanan vena jugularis
 Penurunan berat badan > 4,5 kg dalam 5 hari dalam respon terapi
 Distensi vena leher
 Edema paru akut
 Hepatojugular refluks
Kriteria Minor :
 Edema ekstremitas
 Batuk atau sesak nafas pada malam hari
 Sesak nafas pada saat beraktivitas (DOE)
 Hepatomegali
 Asites
 Efusi Pleura
 Takikardia ( >120x/menit)
6
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk mendiagnosis adanya gagal jantung
adalah antara lain dengan foto thoraks, elektrokardiografi (EKG), ekokardiografi, pemeriksaan
darah, angiografi, dan tes fungsi paru. Pada pemeriksaan foto thoraks dapat ditemukan adanya
pembesaran sillouett jantung (cardiothoraxic ratio > 50 %), gambaran kongesti vena pulmonalis
terutama di zona atas pada tahap awal, bila tekanan vena pulmonal > 20 mmHg, dapat timbul
gambaran cairan pada fisura horizontal dan garis Kerley B pada sudut costophrenicus. Bila
tekanan > 25 mmHg, didapatkan gambaran batwing pada lapangan paru yang menunjukkan
adanya edema paru bermakna. Dapat pula tampak gambaran efusi pleura bilateral, tetapi bila
unilateral, yang lebih banyak terkena adalah bagian kanan.
Pada EKG 12 lead didapatkan gambaran abnormal pada hampir seluruh penderita gagal
jantung, meskipun gambaran normal dapat dijumpai pada 10 % kasus. Gambaran yang sering
didapatkan antara lain gelombang Q, abnormalitas ST-T, hipertrofi ventrikel kiri, bundle
branch block, dan fibrilasi atrium. Bila gambaran EKG dan foto thoraks menunjukkan
gambaran yang normal, kemungkinan gagal jantung sebagai penyebab dyspnoe pada pasien
sangat kecil kemungkinannya.
EKG merupakan pemeriksaan non invasive yang sangat berguna pada gagal jantung.
Ekg dapat menunjukkan gambaran objektif mengenai struktur dan fungsi jantung. Penderita
yang perlu dilakukan EKG adalah semua pasien dengan tanda gagal jantung, susah bernafas
yang berhubungan dengan murmur, sesak yang berhubungan dengan fibrilasi atrium, serta
penderita dengan resiko disfungsi ventrikel kiri (infark miokard anterior, hipertensi tidak
terkontrol atau aritmia). EKG dapat mengidentifikasi gangguan fungsi sistolik, fungsi diastolic,
mengetahui adanya gangguan katup, serta mengetahui resiko emboli.
Pemeriksaan darah perlu dikerjakan untuk menyeingkirkan anemia sebagai penyebab
susah bernafas, dan untuk mengetahui adanya penyekit dasar, serta komplikasi. Pemeriksaan
serum kreatinin perlu dikerjakan selain untuk mengetahui adanya gangguan ginjal, juga
mengetahui adanya stenosis arteri renalis apabila terjadi peningkatan serum kreatinin setelah
pemberian ACE-inhibitor, dan diuretic dosis tinggi. Pada gagal jantung berat dapat terjadi
proteinuria. Hipokalemia dapat terjadi pada pemberian diuretic tanpa suplementasi kalium dan
obat potassium sparring. Hiperkalemia timbul pada gagal jantung berat dengan penurunan
fungsi ginjal, penggunaan ACE-inhibitor serta obat potassium sparring. Pada gagal jantung

7
kongestif, tes fungsi hati (bilirubin,AST,LDH) gambarannya abnormal karena kongesti hati.
Pemeriksaan profil lipid, albumin serum, fungsi tiroid dianjurkan sesuai kebutuhan.
Pemeriksaan penanda BNP (B tipe natriuretik peptide) sebagai penanda biologis gagal
jantung dengan kadar BNP plasma 100 pg/ml dan plasma NT pro-BNP adalah 300 pg/ml.
Pemeriksaan radionuklir atau multigated ventrikulografi dapat mngetahu ejection faction , laju
pengisian sistolik, laju pengosongan diastolik, dan abnormalitas dari pergerakan dinding.
Troponin-I atau T harus diambil pada pasien yang diduga gagal jantung ketika klinis
menunjukkan sebuah sindrom koroner akut (ACS). Sebuah peningkatan troponin jantung
menunjukkan nekrosis miosit dan potensi revaskularisasi harus dipertimbangkan dan sesuai
diagnosis. Peningkatan troponin juga terjadi di miokarditis akut. Peningkatan troponin jantung
ringan sering terlihat pada gagal jantung parah atau selama episode gagal jantung dekompensasi
pada pasien tanpa bukti miokard skemia akibat ACS dan dalam situasi seperti sepsis.
Angiografi dikerjakan pada nyeri dada berulang akibat gagal jantung. Angiografi
ventrikel kiri dapat mengetahui gangguan fungsi yang global maupun segemental serta
mengetahui tekanan diastolik, sedangkan kateterisasi jantung kanan untuk mengetahui takanan
sebelah kanan (atrium kanan, vebtrikel kanan dan arteri pulmonalis) serta pulmonary artery
capillary wedge pressure.

2.1.7. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan non-farmakologis yang dapat dikerjakan antara lain adalah dengan
menjelaskan kepada pasien mengenai penyakitnya, pengobatan serta pertolongan yang dapat
dilakukan sendiri. Perubahan gaya hidup seperti pngaturan nutrisi dan penurunan berat badan
pada penderita dengan obesitas. Pembatasan asupan garam, konsumsi alcohol, serta pembatasan
asupan cairan perlu dianjurkan pada penderita terutama pada kasus gagal jantung kongestif
berat. Penderita juga dianjurkan untuk berolahraga karena mempunyai efek yang positif
terhadap otot skeletal, fungsi otonom, endotel serta neurohormonal dan juga terhadap
sensitivitas terhadap insulin meskipun efek terhadap kelangsungan hidup belum dapat
dibuktikan.

Farmakologis
ACE inhibitor

8
Indikasi :
LVEF ≤ 40 %, tidak berpengaruh pada gejala
Kontraindikasi :
 Riwayat angioedema
 Stenosis bilateral arteri ginjal
 Konsentrasi kalium serum > 5 mmol/l
 Serum kreatini > 220 µmol
 Stenosis aorta berat

β Blocker
Indikasi :
 LVEF ≤ 40 %
 Gejala ringan sampai berat (NYHA fungsional kelas II-IV), pasien dengan disfungsi LV
sistolik tanpa gejala setelah MI juga memiliku inidikasi untuk β blocker.
 Untuk meningkatkan dosis optimal suatu ACE-I atau ARB (dan aldosteron antagonis
juga diindikasikan)
 Pasien garus secara klinis stabil (misalnya tidak ada perubahan terbaru dalam dosis
diuretic).
Kontraindikasi :

 Penyakit Asma
 Second or third degree heart block, sindrom sinus sakit, sinus bradikardia.

Antagonis Aldosteron
Indikasi :
 LVEF ≤ 35%
 Gejala sedang sampai parah (fungsional NYHA kelas III-IV)
 Dosis optimal β-Blocker dan ACE-I atau ARB

Kontraindikasi :
 Serum kalium > 5.0 mmol/L

9
 Serum keratin > 0,220 µmol/L
 Bersamaan dengan suplemen kalium atau diuretik hemat kalium

Angiotensin Reseptor Blocker


Indikasi :
 LVEF ≤ 40%
 Sebagai alternative pada pasien dengan gejala ringan sampai berat (fungsional NYHA
kelas II-IV) tidak toleran ACE-I
 Atau pada pasien dengan gejala persisten (NYHA kelas fungsional II-IV) meskipun
perawatan dengan ACE-I dan β-Blocker.
 ARB dapat menyebabkan perburukan fungsi ginjal, hiperkalemia, dan gejala hipotensi
dengan kejadian yang mirip dengan ACE-I. Mereka tidak menyebabkan batuk.

Kontraindikasi :
 Seperti ACE-I, dengan pengecualian angiodema
 Pasien yang diobati dengan ACE-I dan antagonis aldosteron
 Sebuah ARB hanya boleh digunakan pada pasien dengan fungsi ginjal dan konsentrasi
kalium serum normal, serial pemantauan elektrolit serum dan fungsi ginjal adalah wajib,
terutama jika suatu ARB digunakan bersama dengan ACE-I.

Hydralazine dan Isosorbide Dinitrate


Indikasi :
 Alternatif ke ACE-I /ARB ketika kedua yang disebut terakhir tidak ditoleransi.
 Seperti add-on terapi ke ACE-I jika antagonis ARB atau aldosteron tidak ditoleransi.
 Bukti yang kuat pada pasien keturunan Afrika-Amerika.
Kontraindikasi :
 Gejala hipotensi
 Sindrom Lupus.
 Gagal ginjal (pengurangan dosis mungkin diperlukan)

10
Digoxin
Digoxin biasanya tidak diperlukan pada pasien stabil dengan ritme sinus. Sebuah
perawatan harian dosis tunggal 0,25 mg umumnya digunakan pada orang dewasa dengan fungsi
ginjal normal. Pada orang tua dan pada mereka dengan kerusakan ginjal, mengurangi dosis
0,125 atau 0,0625 mg harus dilakukan. Konsentrasi digoksin harus diperiksa awal selama terapi
pada orang-orang dengan fungsi ginjal normal. Tidak ada bukti bahwa konsentrasi digoksin
regular memberikan hasil yang lebih baik. Konsentrasi serum harus berada di antara 0,6 dan 1,2
mg / ml, lebih rendah dari yang direkomendasikan sebelumnya. Obat tertentu dapat
meningkatan kadar digoksin.

Diuretik
Diuretik digunakan untuk mengeliminasi natrium dan air melalui ginjal dan menurunkan
volume intravascular dan venous return pada jantung. Dengan itu, preload dari ventrikel kiri
akan berkurang. Jenis-jenis diuretik yang sering digunakan bagi pasien gagal jantung adalah
yang bekerja di lengkung Henle ginjal contohnya furosemide. Diuretik jenis Thiazide contohnya
hydrochlorothiazide juga dapat digunakan namun kurang efektif.
Efek samping dari diuretik yang digunakan adalah penurunan dari cardiac output yang
berkepanjangan dan gangguan elektrolit tubuh (paling sering hipokalemia dan
hipomagnesemia).

Terapi sinkronisasi jantung (CRT)


CRT dianjurkan untuk mengurangi morbiditas dan kematian di pasien kelas III-IV
NYHA yang gejala tetap meskipun terapi medis yang optimal, dan yang memiliki EF berkurang
(LVEF ≤ 35%) dan perpanjangan QRS (QRS lebar ≥ 120 ms).

Transplantasi jantung
Transplantasi jantung adalah pengobatan yang diterima untuk gagal jantung stadium
akhir. Meskipun percobaan terkontrol belum pernah dilakukan, ada consensus bahwa
transplantasi, asalkan criteria seleksi yang tepat diterapkan, secara signifikan meningkatkan
kelangsungan hidup, kapasitas latihan, kembali bekerja, dan kualitas hidup dibandingkan

11
dengan pengobatan konvensional. Pasien dengan gejala gagal jantung berat, prognosis yang
buruk dan tanpa bentuk alternative pengobatan harus dipertimbangkan untuk transplantasi
jantung. Transplantasi jantung harus dipertimbangkan dalam pasien dengan gagal jantung tahap
akhir, gejala-gejala berat, co morbiditas yang serius, dan tidak ada pemilihan pengobatan
alternative.

2.1.8. Prognosis
Gagal jantung merupakan tahap akhir penyakit jantung yang dapat menyebabkan
meningkatnya mortalitas dan morbiditas penderita penyakit jantung. Prognosis individu pasien
dengan gagal jantung seringkali sulit diprediksi.

2.2. Penyakit Jantung Reumatik

2.2.1. Definisi
Penyakit jantung reumatik adalah sebuah kondisi dimana terjadi kerusakan permanen
dari katup-katup jantung yang disebabkan oleh demam reumatik. Penyakit jantung reumatik
(PJR) merupakan komplikasi yang membahayakan dari demam reumatik (DR). Katup-katup
jantung tersebut rusak karena proses perjalanan penyakit yang dimulai dengan infeksi
tenggorokan yang disebabkan oleh bakteri Streptococcus β hemoliticus tipe A (contoh:
Streptococcus pyogenes), yang bisa menyebabkan demam reumatik. Kurang lebih 39 % pasien
dengan demam reumatik akut bisa terjadi kelainan pada jantung mulai dari insufisiensi katup,
gagal jantung, perikarditis bahkan kematian. Dengan penyakit jantung reumatik yang kronik,
pada pasien bisa terjadi stenosis katup dengan derajat regurgitasi yang berbeda-beda, dilatasi
atrium, aritmia dan disfungsi ventrikel.

2.2.2 Patogenesis

Hubungan antara infeksi infeksi Streptokokus β hemolitik grup A dengan terjadinya DR


telah lama diketahui. Demam reumatik merupakan respons auto immune terhadap infeksi
Streptokokus β hemolitik grup A pada tenggorokan. Respons manifestasi klinis dan derajat
penyakit yang timbul ditentukan oleh kepekaaan genetic host, keganasan organisme dan
lingkungan yang kondusif. Mekanisme patogenesis yang pasti sampai saatini tidak diketahui,
tetapi peran antigen histokompatibility mayor, antigenjaringan spesifik potensial dan antibody

12
yang berkembang segera setelahinfeksi streptokokkus telah diteliti sebagai faktor resiko yang
potensialdalam patogenesis penyakit ini. Terbukti sel limfosit T memegang peranandalam
patogenesis penyakit ini dan ternyata tipe M dari Streptokkokus grupA mempunyai potensi
rheumatogenik. Beberapa serotype biasanya mempunyai kapsul, berbentuk besar, koloni
mukoid yang kaya dengan Mprotein.M-protein adalah salah satu determinan virulensi
bakteri,strukturnya homolog dengan myosin kardiak dan molecul alpha-helicalcoiled coil,
seperti tropomyosin, keratin dan laminin. Laminin adalah matriksprotein ekstraseluler yang
disekresikan oleh sel endothelial katup jantungdan bagian integral dari struktur katup jantung.
Lebih dari 130 M protein sudah teridentifikasi dan tipe 1, 3, 5, 6, 14, 18, 19 dan 24 berhubungan
dengan terjadinya DR. Superantigen streptokokal adalah glikoprotein unik yang disintesa oleh
bakteri dan virus yang dapat berikatan dengan major histocompatibility complex molecules
dengan nonpolymorphic V b-chains dari T-cell receptors. Pada kasus streptokokus banyak
penelitian yang difokuskan pada peranan superantigen-like activity dari fragmen M protein dan
juga streptococcal pyrogenic exotoxin, dalam patogenesis DR. Terdapat bukti kuat bahwa
respons autoimmune terhadap antigen streptokokkus memegang peranan dalam terjadinya DR
dan PJR pada orang yang rentan. Sekitar 0,3 – 3 persen individu yang rentan terhadap infeksi
faringitis streptokokkus berlanjut menjadi DR. Data terakhir menunjukkan bahwa gen yang
mengontrol low level respons antigen streptokokkus berhubungan dengan Class II human
leukocyte antigen, HLA. Infeksi streptokokkus dimulai dengan ikatan permukaan bakteri
dengan reseptor spesifik sel host dan melibatkan proses spesifik seperti pelekatan, kolonisasi
dan invasi. Ikatan permukaan bakteri dengan permukaan reseptor host adalah kejadian yang
penting dalam kolonisasi dan dimulai oleh fibronektin dan oleh streptococcal fibronectin-
binding proteins. Faktor lingkungan seperti kondisi kehidupan yang jelek, kondisi tinggal yang
berdesakan dan akses kesehatan yang kurang merupakan determinan yang signifikan dalam
distribusi penyakit ini. Variasi cuaca juga mempunyai peran yang besar dalam terjadinya infeksi
streptokokkus untuk terjadi DR.

13
2.2.3 Manifestasi Klinis

DR/ PJR merupakan kumpulan gejala terpisah-pisah dan kemudian menjadi suatu
penyakit DR/PJR. Adapun gejala-gajala itu adalah:
1. Artritis
Artritis adalah gejala major yang paling sering ditemukan pada DR akut. Sendi yang
dikenai berpindah-pindah tanpa cacat yang biasanya sendi besar seperti lutut, pergelangan kaki,
paha, lengan, panggul, siku, dan bahu. Munculnya tiba-tiba dengan rasa nyeri meningkat 12-24
jam yang diikuti dengan reaksi radang. Nyeri ini akan hilang secara perlahan-lahan.
Radang sendi ini jarang yang menetap lebih dari satu minngu sehingga terlihat sembuh
sempurna. Proses migrasi sendi ini membutuhkan waktu 3-6 minggu. Sendi-sendi jari tangan
dan kaki juga dapat dikenai.
2. Karditis
Karditis merupakan manifestasi klinis yang penting dengan insidensi 40-50%, atau
berlanjut dengan gejala yang lebih berat yaitu gagal jantung. Kadang-kadang karditis itu
asimptomatis dan terdeteksi saat adanya nyeri sendi. Karditis ini bisa hanya mengenai
endokardium saja. Endokarditis terdeteksi saat adanya bising jantung. Katup mitral yang
terbanyak dikenai dan dapat bersamaan dengan katup aorta. Adanya regurgitasi mitral

14
ditemukan dengan bising sistolik yang menjalar ke aksila, dan kadang-kadang juga disertai
bising mid-diastolik. Dengan dua dimensi ekokardiografi dapat mengevaluasi kelainan anatomi
jantung sedangkan dengan Doopler dapat menentukan fungsi dari jantung.
3. Chorea
Chorea ini didapatkan 10% dari DR yang dapat merupakan manifestasi klinis atau
bersamaan dengan karditis. Masa laten infeksi SGA dengan chorea cukup lama yaitu 2-6 bulan
atau lebih. Penderita dengan chorea ini datang dengan
gerakan-gerakan yang tidak terkoordinasi dan tidak bertujuan dan emosi labil.
Manifestasi ini lebih nyata bila penderita bangun dan dalam keadaan stres.
Penderita tampak selalu gugup dan seringkali menyeringai. Bicaranya tertahan-
tahan dan meledak-ledak. Koordinasi otot-otot halus sukar.

4. Eritema Marginatum

Eritema marginatum ini ditemukan kira-kira 5% dari pasien DR. Merupakan ruam yang
khas untuk demam reumatik dan jarang ditemukan pada penyakit lain. Karena kekhasannya
tanda ini dimasukkan dalam manifestasi minor. Keadaan ini paling sering ditemukan pada
batang tubuh dan tungkai yang jauh dari badan, tidak melibatkan muka. Ruam makin tampak
jelas bila ditutup dengan handuk basah hangat atau mandi air hangat, sementara pada penderita
berkulit hitam sukar ditemukan.

5. Nodul Subkutan

Besarnya kira-kira 0,5-2 cm, bundar, terbatas, dan tidak nyeri tekan. Nodulus ini
biasanya terletak pada permukaan ekstensor sendi, terutamaruas jari, lutut, dan persendian kaki.
Kadang-kadang nodulus ini ditemukan pada kulit kepala dan di atas kolumna vertebralis.

15
2.2.4 Diagnosa

Untuk menegakkan diagnosa pada tahun 1994 Jones menetapkan kriteria diagnosis atas
dasar beberapa sifat dan gejala saja, yaitu sebagai berikut :

Gejala major Gejala minor


- Poliartritis Klinis:
- Karditis - Atrlagia
- Chorea - Demam
- Nodul Subkutan - Riwayat pernah menderita DR/PJR
- Eritema marginatum Laboratorium :
- Peninggian reaksi fase akut
(LED meningkat dan atau C reactive protein)
- Interval PR memanjang
Ditambah : bukti-bukti adanya suatu infeksi Streptokokus sebelumnya yaitu hapusan
tenggorokan yang positif atau kenaikan titer tes serologi ASTO dan anti DNA-se B. terutama
pada anak/dewasa muda aloanmanesa pada orang tua dan keluarga sangat diperlukan.

Bila terdapat adanya infeksi streptokokus sebelumnya maka diagnosis DR/PJR


didasarkan adanya:

1. Dua gejala mayor


2. Satu gejala mayor dengan dua minor.

Pada 2002–2003 WHO mengajukan kriteria untuk diagnosis DR dan PJR (berdasarkan
kriteria Jones yang telah direvisi).
Revisi kriteria WHO ini memfasilitasi diagnosis untuk:
1. a primary episode of RF
2. — recurrent attacks of RF in patients without RHD
3. — recurrent attacks of RF in patients with RHD
4. — rheumatic chorea
5. — insidious onset rheumatic carditis
6. — chronic RHD

16
Kriteria Dignosis

Kategori Diagnostik Kriteria


Episode demam reumatik Manifestasi 2 mayor atau 1 mayor + 2 minor
Ditambah dengan bukti adaya infeksi
streptokokus grup A
Demam reumatik yang berulang pada pasien Manifestasi 2 mayor atau 1 mayor + 2 minor
tanpa penyakit jantung reumatik Ditambah dengan bukti adaya infeksi
streptokokus grup A
Demam reumatik yang berulang pada pasien 2 Mayor ditambah dengan adanya infeksi
dengan penyakit jantung reumatik streptokokus grup A
Reumatik Chorea Manifestasi mayor lainnya atau bukti adanya
Reumatik Karditis infeksi sterptokokus grup A tidak diperlukan

2.2.5 Penatalaksanaan

Pengobatan terhadap DR ditujukan pada 3 hal yaitu 1). Pencegahan primer pada saat
serangan DR, 2). Pencegahan sekunder DR, 3). Menghilangkan gejala yang menyertainya,
seperti tirah baring, penggunaan anti inflamasi,penatalaksanaan gagal jantung dan korea.
Pencegahan primer bertujuan untuk eradikasi kuman streptokokus pada saat serangan DR dan
diberikan fase awal serangan. Pencegahan sekunder DR bertujuan untuk mencegah serangan
ulangan DR, karena serangan ulangan dapat memperberat kerusakan katup katup jantung dan
dapat menyebabkan kecacatan dan kerusakan katup jantung. Pada serangan DR sering didapati
gejala yang menyertainya seperti gagal jantung atau korea. Penderita gagal jantung memerlukan
tirah baring dan anti inflamasi perlu diberikan pada penderita DR dengan manifestasi mayor
karditis dan artritis.

1. Pencegahan Primer dan Sekunder Demam Reumatik

17
Cara pemberian Jenis Antibiotik Dosis Frekuensi
Pencegahan primer: pengobatan terhadap faringitis streptokokus untuk mencegah serangan
primer demam reumatik
Intramuskuler Benzatin PNC G 1,2 juta unit Satu kali
(600.000 unit
untuk BB
< 27 kg)

Oral Penisilin V 250 mg/400.000 4 kali sehari


unit selama 10 hari

Eritromisin 40 mg/kg BB/hari 3-4 kali sehari


(jangan lebih
dari 1 gr/hari)
selama 10 hari
Pencegahan sekunder : pencegahan berulangnya demam reumatik
Intramuskuler Benzatin PNC G 1,2 juta unit Setiap 3-4
minggu
Oral Penisilin V 250 mg 2 kali sehari
Sulfadiazin 500 mg
Eritromisin 250 mg Sekali sehari

2 kali
sehari

2. Petunjuk Tirah Baring dan Ambulansi

Hanya Karditis Karditis sedang Karditis


Karditis minimal berat
Tirah 2 minggu 2-3 minggu 4-6 minggu 2-4 bulan
baring
Ambulansi 1-2 minggu 2-3 minggu 4-6 minggu 2-3 bulan
dalam
rumah
Ambulansi 2 minggu 2-4 minggu 1-3 bulan 2-3 bulan

18
luar
(sekolah)
Aktivitas Setelah 4-6 Setelah 6-10 Setelah 3-6 bulan Bervariasi
penuh minggu minggu

3. Rekomendasi Penggunaan Anti Inflamasi


Hanya Karditis Karditis minimal Karditis Karditis
sedang berat
Prednison 0 0 2-4 minggu 2-4
minggu
Aspirin 1-2 minggu 2-4 minggu 6-8 minggu 2-4 bulan

Dosis: Prednison 2 mg/kg BB/hari dibagi 4 dosis


Aspirin 100 mg/kg BB/hari dibagi 6 dosis
* Dosis prednison ditappering dan aspirin dimulai selama minggu akhir
+ Aspirin dapat dikurangi menjadi 60 mg/kg BB/hari setelah 2 minggu pengobatan

2.3 Stenosis Mitral

2.3.1 Definisi

Merupakan suatu keadaan di mana terjadi gangguan aliran darah dari atrium kiri melalui
katup mitral oleh karena obstruksi pada level katup mitral. Kelainan struktur mitral ini
menyebabkan gangguan pembukaan sehingga timbul gannguan pengisian ventrikel kiri pada
saat diastole.

2.3.2 Epidemiologi

Berdasarkan penelitian yang dilakukan di berbagai tempat di Indonesia, penyakit


jantung katup menduduki urutan kedua setelah penyakit jantung koroner dari seluruh penyebab
penyakit jantung. Angka pasti kejadian stenosis mitral tidak diketahui, namun pola etiologi
penyakit jantung di Poliklinik Rumah Sakit Moehammad Hoesin Palembang selama 5 tahun
(1990-1994) didapatkan angka 13,94 % dengan penyakit jantung katup.

19
Dari hasil penelitian lain, didapati dua pertiga penderita stenosis mitral adalah wanita
dan onset terjadi pada umur 30an hingga 40an.

2.3.3 Etiologi

Penyebab tersering dari stenosis mitral adalah endokarditis reumatika, akibat reaksi yang
progresif dari demam rematik oleh infeksi Streptococcus. Hampir 50% dari pasien dengan
manifestasi klinis stenosis mitral memiliki riwayat demam rematik 20 tahun sebelum timbulnya
gejala.

Penyebab lainnya walaupun jarang yaitu stenosis mitral kongenital, vegetasi dari
systemic lupus eritematosus (SLE), deposit amiloid, mucopolysaccharhidosis, rheumatoid
arthritis (RA), Wipple’s disease, Fabry disease, akibat obat fenfluramin/phentermin, serta
kalsifikasi annulus maupun daun katup pada usia lanjut akibat proses degeneratif.

2.3.4 Patologi

Pada stenosis mitral akibat demam reumatik akan terjadi proses peradangan (valvulitis)
dan pembentukan nodul tipis di sepanjang garis penutupan katup. Proses ini akan menimbulkan
fibrosis dan penebalan katup, kalsifikasi, fusi komisura, serta pemendekan kora atau kombinasi
dari proses tersebut. Keadaan ini akan menimbulkan distorsi dari apparatus mitral yang normal,
mengecilnya area katup mitral menjadi seperti bentuk mulut ikan (“fish mouth”) atau lubang
kancing (button hole).

Fusi dari komisura akan menimbulkan penyempitan dari orifisium primer, sedangkan
fusi korda mengakibatkan penyempitan fusi sekunder. Pada endokarditis reumatika, daun katup
dan khorda akan mengalami sikatrik dan kontraktur yang bersamaan dengan pemendekan korda
sehingga menimbulkan penarikan daun katup menjadi bentuk funnel shape. Proses perubahan
patologi sampai terjadinya gejala kliis (periode laten) biasanya memakan waktu bertahun-tahun
(10-20 tahun).

2.3.5 Patofisiologi

Pada keadaan normal area katup mitral mempunyai ukuran 4-6 cm². Bila area orifisium
katup ini berkurang samapi 2 cm², maka diperlukan upaya aktf atrium kiri berupa peningkatan
tekanan atrium kiri agar aliran transmitral yang normal tetap terjadi. Stenosis mitral kritis terjadi
20
apabila pembukaan katup berkurang hingga menjadi 1 cm². Pada tahap ini, dibutuhkan suatu
tekanan atrium kiri sebesar 25 mmHg untuk mempertahankan cardic output yang normal.
Gradien transmitral merupakan hall mark stenosis mitral selain luasnya area katup
mitral. Derajat berat ringannya stenosis miral, selain berdasarkan gradient transmitral, dapat
juga ditentukan oleh luasnya area katup mitral, serta hubungan antara lamanya waktu antara
penutupan katup aorta dan kejadian opening snap.berdasarkan luasnya area katup mitral derajat
stenosis mitral adalah sebagai berikut:
1. Minimal : bila area > 2.5 cm²
2. Ringan : bila are 1,4-2,5 cm²
3. Sedang : bila area 1-1,4 cm²
4. Berat : bila area< 1,0 cm²
5. Reaktif : bila area < 1,0 cm²

Keluhan dan gejala stenosis mitral mulai akan muncul bila luas area kapup mitral
menurun sampai seperdua normal (<2-2,5 cm²). Hubungan antara gradien dan luasnya area
katup serta waktu pembukaan katup.

Derajat stenosis A2-Os interval Area Gradien


Ringan >110 msec >1,5 cm² <5 mmHg
Sedang 80-110 msec >1 dan <1,5 cm² 5-10 mmHg
Berat <80 msec <1 cm² >10 mmHg

Pada stenosis mitral ringan symptom yang muncul biasanya dicetuskan oleh factor yang
meningkatkan kevepatan aliran darah atau curah jantung, atau menurunkan periode pengisian
diastole yang akan meningkatkan tekanan atrium kiri secara dramatis. Beberapa keadaan antara
lain: 1) latihan, 2) stress emosi, 3) infeksi, 4) kehamilan, dan 5) fibrilasi atrium dengan respn
ventrikel cepat. Dengan bertambah sempitnya area mitral maka tekana atrium kiri akan
meningkat bersamaan yang berupa stenosis mitral berat maka akan terjadi limitasi dalam
aktivitas.

2.3.6 Manifestasi Klinis

Riwayat

21
Kebanyakan pasien dengan stenosis mitral bebas keluhan, dan biasanya keluhan utama
berupa sesak napas, dan dapat juga fatique. pada stenosis mitral yang bermakna dapat
mengalami sesak pada aktivitas sehari-hari, paroksismal nocturnal dispnea, ortopnea atau edema
paru yang tegas. Hal ini dicetuskan oleh berbagai keadaan meningkanya aliran darah melalui
mitral atau menurunnya waktu pengisian diastole, termasuk latihan, emosi, infeksi respirokal,
demam, aktivitas seksual, kehamilan serta fibrilasi atrium dengan respon ventrikel cepat.

Aritmia atrial berupa fibrilasi atrium juga merupakan kejadian yang sering terjadi pada
stenosis mitral yaitu 30-40%. Kejadian ini sering terjadi pada umur yang lebih lanjut atau
distensi atrium yang menyolok akan merubah sifat elekrofisiologi dari atrium kiri. Hal ini tidak
berhubungan dengan derajat stenosis. Fibrilasi atrium yang tidak terkontrol akan menimbulkan
sesak napas atau kongesti yang lebih berat, karena hilangnya peran kontraksi atrium dalam
pengisian ventrikel serta memendeknya waktu pengisian diastole. Dan seterusnya akan
menimbulkan gradient transmitral dan kenaikan tekanan atrium kiri.

Kadang-kadang pasien mengeluh terjadinya hemoptisis yang dapat terjadi karena: 1)


apopleksi pulmonal akibat rupturnya vena bronchial yang melebar 2) sputum dengan bercak
darah pada saat serangan paroksismal nocturnal dispnea, 3) sputum seperti karat, 4) infrak paru,
5) bronchitis kronis oleh karena edema mukosa bronkus. Manifestasi kilinis dapat juga berupa
komplikasi stenosis mitral, seperti tromboemboli, infektif endokarditis, atau symptom karena
kompresi akibatnya besarnya atrium kiri seperti disfagia atau suara serak.

2.3.7 Diagnosis

1. Pemeriksaan Fisik

Temuan klasik pada stenoisi mitral adalah ‘opening snap’ dan bising diastole kasar
(‘diastolic rumble’) pada daerah mitral. Pada stenosis mitral ringan terdengar S1 mengeras oleh
karena pengisian yang lama membuat tekanan ventrikel kiri meningkat dan menutup katup
sebelum katup itu kembali ke posisinya. Di apeks rumble diastolic ini dapat diraba sebagai
thrill. Derajat bising diastole tidak menggambarkan beratnya stenosis tetapi waktu atau lamanya

22
bising dapat menggambarkan derajat stenosis. Pada stenosis ringan bising halus dan pendek,
sedangkan pada yang berat halodiastol dan aksentuasi presistolik.

2. Pemeriksaan Foto Toraks

Gambaran klasik dari foto toraks adalah pembesaran atrium kiri serta arteri pulmonalis
(terdapat hubungan yang bermakna antara besarnya ukuran pembuluh darah dan resistensi
vascular pulmonary). Edema intertisial berupa garis Kerley terdapat pada 30% dengan tekanan
atrium kiri < 20 mmHg, pada 70% bila atrium kiri >20mmHg. Temuan ini dapat berupa garis
Kerley serta kalsifikasi pada daerah katup mitral.

3.Elekokardiografi Doopler

Dengan ekokardiografi dapat dlakukan evaluasi struktur dari katup jantung, pliabilitas
dari daun katup, ukuran dari area katup dengan planimetri (‘mitral valve area’), struktur dari
apparatus subvalvular juga dapat ditentukan fungsi ventrikel. Derajat berat ringannya stenosis
mitral berdasarkan eko doopler ditentukan antara lain oleh gradient ransmitral, area katup
mitral, serta besarnya tekanan pulmonal. Selain itu dapat ditentukan perubahan hemodinamik
pada latihan atau pemberian beban dengan dobutamin, sehingga dapat ditentukan derajat
stenosis pada kelompok pasien yang tidak menunjukkan beratnya stenosis saat istirahat.

2.3.8 Terapi
A. Pendekatan medis

Stenosis mitral merupakan kelainan mekanis, oleh karena itu obat-obatan hanya bersifat
suportif atau simtomatis terhadap gangguan fungsional jantung, atau pencegahan terhadap
infeksi. Beberapa obat-obatan seperti antibiotik golongan penisilin, eritromisin, sefalosporin
sering digunakan untuk demam rematik atau pencegahan endokarditis. Obat-obatan inotropik
negatif seperti ß-blocker atau Ca-blocker, dapat memberi manfaat pada pasien dengan irama
sinus yang memberi keluhan pada saat frekuensi jantung meningkat seperti pada latihan.

Pada stenosis mitral dapat terjadi atrial fibrilasi yang muncul akibat hemodinamik yang
bermakna akibat hilangnya kontribusi atrium terhadap pengisian ventrikel serta frekuensi
ventrikel yang cepat. Pada kasus ini dapat diberikan digitalis yang bisa dikombinasi dengan ß-
blocker atau Ca-blocker. ß-blocker juga dapat digunakan untuk mengontrol frekuensi jantung.

23
Antikoagulan warfarin sebaiknya digunakan pada stenosis mitral dengan fibrilasi atrium
atau irama sinus dengan kecenderungan pembentukan thrombus untuk mencegah fenomena
tromboemboli.

B. Intervensi

Pada pasien mitral stenosis simptomatik (area katup < 1,5 cm 2 atau 1,7-1,8 cm2 pada kasus
khusus) diindikasikan tindakan intervensi.adapaun jenis - jenis tindakan intervensi adalah:
a. Intervensi non bedah yaitu Percutaneus Mitral Balloon Valvulotomy (PMBV)
Indikasi dilakukannya PMBV adalah :
Indikasi Klas
1. Pasien simptomatik klasifikasi NYHA II-IV, stenosis mitral sedang I
atau berat dengan area < 1,5 cm2, morfologi katup memenuhi syarat
untuk valvotomi balon, tanpa adanya thrombus atrium kiri atau
regurgitasi mitral sedang-berat.
2. Pasien asimptomatik dengan gradasi sedang-berat (area < 1,5 cm 2), II a
morfologi katup memenuhi syarat dengan hipertensi pulmonal, tanpa
adanya thrombus atrium kiri atau regurgitasi mitral sedang-berat.
3. Pasien dengan klasifikasi NYHA II-IV, stenosis mitral sedang atau II a
berat dengan area < 1,5 cm2, katup tidak pliable disertai kalsifikasi
dengan resiko tinggi operasi, tanpa adanya thrombus atrium kiri atau
regurgitasi mitral sedang-berat.
4. Pasien asimptomatik dengan gradasi sedang-berat (area < 1,5 cm 2), II b
morfologi katup memenuhi syarat untuk valvotomi balon, disertai
onset atrial fibrilasi yang baru, , tanpa adanya thrombus atrium kiri
atau regurgitasi mitral sedang-berat.
5. Klasifikasi NYHA III-IV, gradasi sedang berat area < 1,5 cm 2, katup II b
kaku disertai kalsifikasi dan resiko rendah untuk operasi.
6. Pasien dengan stenosis mitral ringan III

Prosedur dari PMBV adalah dengan memasukkan balon kateter melalui vena femoralis
kanan menuju atrium kiri melalui atrial septum, kemudian sesampainya di orifisium katup
mitral, balon dikembangkan sehingga katup mitral melebar dan aliran darah kembali lancar.

24
Kontraindikasi PMBV :
Area katup mitral > 1,5 cm2, trombus di atrial kiri, regurgitasi mitral derajat sedang atau
lebih, kalsifikasi berat bikomisura, tanpa ada fusi komisura, bersamaan dengan kelainan katup
aorta berat, kombinasi stenosis/regurgitasi berat tricuspid, PJK yang memerlukan bedah pintas
koroner

2. Intervensi bedah
a. Tindakan bedah perbaikan (repair) katup mitral.
Indikasi intervensi repair katup mitral menurut guideline ACC/AHA adalah sebagai berikut:
Indikasi Klas
1. Pasien dengan NYHA fungsional III-IV, stenosis mitral sedang-berat, I
dengan resiko operasi yang dapat diterima ketika PMBV tidak
tersedia, kontraindikasi PMBV karena thrombus di atrium kiri (setelah
sebelumnya diberikan terapi antikoagulan), atau karena morfologi
katup tidak memenuhi syarat untuk PMBV.
2. Pasien asimptomatik dengan stenosis mitral sedang-berat dan II b
morfologi katup memungkinkan untuk dilakukan repair, yang
memiliki riwayat emboli berulang meskipun mendapat terapi
antikoagulan yang adekuat.
3. Repair katup mitral tidak diindikasikan pada stenosis mitral yang III
ringan

b. Tindakan bedah penggantian (replacement) katup mitral.


Indikasi intervensi repair katup mitral menurut guideline ACC/AHA adalah sebagai
berikut:

Indikasi Klas
a. Pasien simptomatik dengan stenosis mitral sedang-berat yang juga I
disertai dengan regurgitasi mitral sedang –berat, harus menjalani
penggantian (replacement) katup mitral.
b. Pasien dengan stenosis mitral berat dan hipertensi pulmonal berat II a

25
(tekanan sistolik PA >60 - 80 mm Hg) dengan fungsi jantung sesuai
NYHA kelas I-II, dan morfologi katup tidak memungkinkan untuk
dilakukan repair atau PMBV.

2.3.9 Prognosis
Angka 10 tahun survival pada stenosis mitral yang tidak diobati berkisar 50-60%, bila
tidak disertai keluhan atau minimal, angka meningkat 80%. Pada kelompok pasien dengan kelas
III-IV prognosis jelek dimana angka hidup dalam 10 tahun <15%.
Apabila timbul atrium fibrilasi prognosisnya kurang baik (25% angka harapan hidup 10
tahun) dibandingkan pada kelompok irama sinus (46% angka harapan hidup 10 tahun). Resiko
terjadinya emboli arterial secara bermakna meningkat pada fibrilasi atrium.

BAB 3
LAPORAN KASUS
CATATAN MEDIS PASIEN
Nama pasien : Nn. N
Umur : 22 Tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Pekerjaan : Mahasiswi
Alamat : Tanjung pura
Agama : Islam
26
Tanggal Masuk : 8 Februari 2011
___________________________________________________________________________
Keluhan Utama : Sesak nafas
Anamnese :
- Hal ini dialami os sejak 6 bulan sebelum masuk rumah sakit dan memberat 1 hari ini.
Sesak nafas dirasakan bertambah berat bila os beraktivitas fisik ringan seperti berjalan
ke kamar mandi ± 100 meter. Sesak tidak disertai suara nafas berbunyi. Selama sesak os
tidur menggunakan batal sebanyak 2-3 bantal. Os mengeluh sering terbangun dari tidur
karena sesak nafas, PND(+). Keluhan bengkak pada kedua tungkai dan perut(-), Nyeri
dada (-), Jantung berdebar-debar (-).
- Untuk keluhan diatas, os telah berobat ke kardilogis, tetapi os lupa nama obatnya. Os
minum obat secara teratur, dan kontrol teratur setiap minggunya.
- Riwayat batuk darah (+) pada tanggal 9 Desember 2010, dan os telah berobat ke rumah
sakit dan dirawat inap, namun os tidak ingat nama obat yang diberikan.
- Riwayat demam (+),nyeri tenggorokan (+),nyeri sendi berpindah-pindah (+) pada saat os
kelas 2 SMP. Pada saat itu,os berobat ke RS Pekan Baru dan didiagnosa penyakit
jantung rematik

Saat tiba di emergensi.sesak nafas (+)

Os merupakan pasien baru di RS HAM

Faktor resiko PJK :-


Riwayat Penyakit Terdahulu : Penyakit jantung reumatik
Riwayat Pemakaian Obat : Tidak jelas

PEMERIKSAAN FISIK
Keadaan Umum : Sedang Sianosis : (-)
Status presen : Compos Mentis Orthopnoe : (+)
Tekanan darah : 90/70 mmHg Dispnoe : (+)
HR : 100 x/i Ikterus : (-)
RR : 28x/i Oedema : (-)

27
Temp : 36,5ºC Anemia : (-)

Kepala : mata : anemis (-/-), sclera ikterik (-/-)

Leher : JVP R+2 cmH2O

Thorax : Inspeksi : Simetris fusiformis


Palpasi : SF ka = ki, kesan normal
Perkusi : sonor di kedua lapangan paru
Auskultasi : vesikuler

Jantung : Batas atas : ICR III


Batas kanan :Linea parasternal dextra
Batas kiri :LMCS 1cm lateral ICR V
: S1 (N), S2 (N), S3 (-), S4 (-) Regulitas: reguler
Murmur (+), Tipe: MDM, Grade: 3/4
Punctum maximum : apeks Radiasi (axilla kiri)

Paru : SP : vesikuler
ST : ronkhi basah basal di kedua lapangan paru bawah

Abdomen : Palpasi : soepel H/L/R : tidak teraba


Asites : (-)

Ekstremitas : Superior : sianosis (-), clubbing finger (-)

Inferior : oedema pretibial (-), pulsasi arteri (+/+), akral hangat

GAMBARAN EKG

28
INTERPRETASI EKG
Sinus takikardia, QRS rate: 115x/i, QRS axis= RAD, P wave: P defleksi negative di V1, V2,
QRS duration : 0,04”, PR interval : 0,16”, ST-T change : (-), r/s di V1, S persisten di V4-V6,
LVH (-), LV strain (-), VES (-).
KESAN : Sinus Takikardia +RAD+LAE+RVH

FOTO THORAX

29
INTERPRETASI FOTO THORAX

CTR: 57,9%, Segemen Aorta : Normal, Segmen Pulmonal : Menonjol, Pinggang Jantung : (-),
Apex downward, Kongesti (+), Infiltrat (-).

KESAN : Kardiomegali + Kongesti

HASIL LABORATORIUM

Darah Lengkap :

- Hb : 10,6 g %
- WBC : 12,8 x 10³/mm3
- Ht : 30,7 %
- MCV : 76,6 fL

30
- MCHC : 34,6 g %

AGDA :

- pH : 7,362
- pCO2 : 38,4 mmHg
- pO2 : 121,7 mmHg
- HCO3 : 21,3 mmol/L
- Total CO2 : 22,5 mmol/L
- BE : -3,7 mmol/L

- SaO2 : 98,4 %

Faal Hati

- SGOT : 40 U/L
- SGPT : 20 U/L

Glukosa darah sewaktu : 98 mg/dL

Ginjal

- Ureum : 33 mg/dL
- Kreatinin : 0,5 mg/dL
-

Elektrolit serum

- Natrium (Na) : 134 mEq/L


- Kalium (K) : 4,8 mEq/L
- Klorida (Cl) : 100 mEq/L

DIAGNOSA

Diagnosis kerja : CHF fc II / III ec MS ec RHD

31
Fungsional : CHF fc II / III ec MS ec RHD

Anatomi : Katup mitral

Etiologi : RHD

PENGOBATAN

 Bedrest semifowler

 O2 2-4 L/I

 IVFD asering 6 gtt/I

 Inj.Furosemide 20 g/12 jam

 KSR 1x600 mg

 Digoxin 1x0,25 mg

 Aspilet 1x80 mg

RENCANA PEMERIKSAAN SELANJUTNYA

• ASTO,CRP,LED

• Echocardiografi

EKOKARDIOGRAM

32
 Katub Mitral : MS Severe

 Katub Aorta : AR mild

 Katub trikuspid :TR severe

 Katub pulmonal:normal

 Penemuan : PH (+)

Kesimpulan : MS Severe

33
TR severe

AR mild

PH (+)

PROGNOSIS

 Vitam : dubia ad malam

 Functionam : dubia ad malam

 Sanactionam : dubia ad malam

FOLLOW UP

Follow up 9-10 Feb 2011


S: Sesak nafas
O: Sens : CM, TD : 90/60 mmHg, HR :82x/i, RR: 22x/i, Temp: 36.3 oC
Kepala : anemis (-/-), ikterik (-/-)
Leher : TVJ 5 + 2 cmH2O
Cor : S1(N) , S2 (N), Murmur (+), tipe murmur : MDM Grade: 3/4
Pulmo : SP :vesikuler, ST : ronkhi basah basal (+/+)
Abd : Soepel, Hepar/ lien = ttb
Eks : Edema pretibial (-), akral hangat
A: CHF fc II / III ec MS ec RHD
P: -Tirah baring semifowler - Aspilet 1x80 mg
-02 4-6 l/I -Alprazolam 1x0,5 mg
-IVFD NaCL 0.9 % 10 gtt/i/ micro - Ciprofloxacin 2x500 mg
-Inj Furosemid 20mg/12 jam
-KSR 1x 600 mg
-Digoxin 1x0,25

Follow up 11 februari 2011


S: Sesak nafas
O Sens : CM, TD : 110/90 mmHg, HR :72x/i, RR: 18x/i, Temp: 36.4 oC
: Kepala : anemis (-/-), ikterik (-/-)
34
Leher : TVJ 5 + 2 cmH2O
Cor : S1(+) , S2 (+), Murmur (-)
Pulmo : SP :vesikuler, ST : ronkhi basah basal (+/+)
Abd : Soepel, Hepar/ lien = ttb
Eks : Edema pretibial (-), akral hangat
A CHF Fc II/III ec. MS ec RHD
:
P: -Tirah baring semifowler - Aspilet 1x80 mg
-02 4-6 l/I - Alprazolam 1x0,5 mg
-IVFD NaCL 0.9 % 10 gtt/i/ micro - Ciprofloxacin 2x500 mg
-Inj Furosemid 20mg/12 jam
-KSR 1x 600 mg
-Digoxin 1x0,25

DAFTAR PUSTAKA
1. Shah, Fifer, 2007. Heart Failure. Dalam: Leonard S. Liily, ed. Pathofisiology of Heart
Disease. 4th ed. USA. The Point, 225-252
2. Edward, O’Gara, Liilly, 2007. Dalam: Leonard S. Lilly, ed. Pathofisiology of Hearth
Disease. 4th ed.USA. The Point, 199-203
3. Marulam Panggabean, 2007. Gagal Jantung, Dalam: Sudoyo, Setiyohadi, Alwi, Simadi,
Setiati, ed. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, jilid II, ed. IV. Jakarta: Departemen Ilmu
Peyakit Dalam FK UI, 1503-1504.

35
4. Saharman Leman, 2007. Demam Reumatik dan Penyakit Jantung Reumatik, Dalam:
Sudoyo, Setiyohadi, Alwi, Simadi, Setiati, ed. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, jilid II,
ed. IV. Jakarta: Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK UI, 1560-1565
5. Indrajaya, Ghanie, 2007. Stenosis Mitral, Dalam: Sudoyo, Setiyohadi, Alwi, Simadi,
Setiati, ed. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, jilid II, ed. IV. Jakarta: Departemen Ilmu
Penyakit Dalam FK UI, 1566-1577
6. European Society of Cardiology. ESC Guidelines for diagnosis and treatment of acute
and chronic heart failure. 2008. Norway: European Heart Journal
7. Sitompul B, Sugeng,2001, Gagal Jantung. Dalam: Rilantono, et al (editor). Buku Ajar
Kardiologi Jakarta: Balai Penerbit FK UI, 115-128
8. Ganesja Harimurti,2001, Demam Rematik. Dalam: Rilantono, et al (editor). Buku Ajar
Kardiologi Jakarta: Balai Penerbit FK UI, 129-134
9. Hadi Purnomo,2001,Stenosis Mitral. Dalam: Rilantono, et al (editor). Buku Ajar
Kardiologi Jakarta: Balai Penerbit FK UI, 135-149

36

Anda mungkin juga menyukai