Saya tidak tahu persis apakah tadhliliyyah sebagaimana terma takfiriyyah (mengkafirkan) yang telah sering kita dengan sudah populer penggunaannya atau tidak. Namun, yang jelas dalam praktiknya tadhliliyyah sudah sering dijumpai di kalangan masyarakt. Tadhlililiyyah yang merupakan derivasi dari kata “dhalla” sebagai lawan dari kata “ihtada” dalam bahasa Indonesia berarti sesat atau jika merujuk kepada kamus bahasa Arab salah satunya berarti berjalan tidak di jalan haqq (kebenaran) atau tidak mendapatkan petunjuk. Abu Ishaq al-Syatibi, seorang ulama dari kalangan Malikiyyah di mana bukunya terutama, “Al-Muwafaqat”, dan “Al-I’tisham” banyak menjadi rujukan dalam soal ini, sulit menentukan definisi sehingga dari dua ungkapan yang dilontarkannya terkesan kontradiksi. Akan tetapi, jika masalah itu dibandingkan dengan kitab, “Al-I’tisham” di aliran Hambali (kalau tidak salah tulisan Ibn Taimiyyyah) perbedaan luar biasa akan terlihat. Sebab, dalam “Al-I’tisham” terakhir semua dilibas habis. Asal dianggap tidak ada dalil semua bid’ah. Dan, setiap bid’ah masuk neraka. Pandangan itulah yang kemudian melahirkan ‘ideologi” tadhliliyyah di mana sasarannya adalah orang-orang yang masih menerima terutama aspek lokalitas di nusantara ini. Alasannya, bid’ah itu sehingga orang-orang yang ‘ramah’ kepada lokalitas dilabeli sesat jika tidak kemudian agar lebih keras dilabeli kafir. Kecuali jika merujuk kepada “Al-I’tisham” karya ulama Hambali, terma yang dijadikan dasar untuk melabeli orang lain sesat sesungguhnya ada dalam ranah perdebatan yang sampai sekarang tidak ada kata akhir. Sehingga, semestinya masalah itu tidak lantas dianggap sebagai ‘hakim’ atau kata akhir mengingat apa yang masuk dalam ranah itu masuk kategori dzanni (relatif). Bahkan, yang lebih mengenaskan lagi, pengikut aliran ini sangat menentang apa yang disebut dzikir bersama dengan alasan Nabi tidak pernah melakukan itu. Katanya, tausiyyah saja. Apa tausiyyah tidak termasuk dzikir dalam bentuk lain. Ini sungguh ironi menurut saya. Dan, keironian itu terjadi lantaran tidak bisa membedakan mana nilai dan mana ibadah yang harus sesuai pakem dan tidak boleh dirubah. Dzikir pada malam tahun baru atau pada momen tertentu adalah pemberian nilai bukan ibadah pokoknya. Masalah tidak harus tahun baru memang benar, karena setiap muslim memang harus berdzikir kapan saja. Namun, jika itu dilakukan dengan partisipasi massa; apakah sesat? Ya, kalau dianggap sesat jangan ikut saja. Namun, bagi saya jauh lebih menimbulkan persoalan orang-orang yang menilai orang lain sesat apalagi dengan kata-kata dengan penuh nyinyiran. Bukankah sikap itu berlawanan dengan asas hikmah (bijak)? Oleh sebab itu, setiap pendakwah, harus mencermati betul bahwa dirinya sebagaimana banyak didengunkan orang, “Nahnu du`at la qudhat!” (kami pendakwah bukan pemberi kata akhir). Siapa yang dimaksud pemberi kata akhir itu tidak lain adalah Allah. Jadi, semestinya, masalah yang sesat dan tidak apalagi sampai seperti memonopli surga bukan ranah manusia termasuk Nabi sekalipun. Ranahnya hanya sebatas menunjukkan mana yang benar sesuai pemahamannya. Pemahaman pun tergantung seberapa banyak referensi yang dibaca, seberapa varian, dan seberapa paham. Makin banyak referensi kemungkinan akan semakin toleran. Namun, jika ingin berpandangan hitam putih, tidak perlu membaca referensi terutama dari aliran lain. Kalau perlu al- Quran dan buku Sunnah saja. Dan, akan lebih ‘afdhal’ lagi jika hanya berdasarkan terjemahan semata. Diakui atau tidak, salah satu sebabk kenapa bagi sekelompok orang bahwa Idul Adha harus ikut Saudi, menurut saya, akibat terjemahan yang kurang akurat terhadap sebuah dalil. Sikap itu sungguh disayangkan mengingat apa yang dinilai kebenaran mutlak itu sebenarnya juga tidak telepas dari aspek ‘menurut’; menurut guru, menurut ustaz, menurut Sunnah, dan jenis ‘menurut’ lainnya. Dan, ironinya, ketika memberikan pendapat kata ‘menurut’ itu tidak mau disebutkan sehingga yang keluar seakan putusan Allah dan Rasul-Nya. Jika sudah demikian, bukan lagi du’at, tapi hakim sudah. Berkaitan dengan hal itu, semestinya, para penganut ‘idelogi’ tadhliliyyah itu mencermati firman Allah dalam surah Al ‘Imran ayat 64 yang artinya, “Katakanlah: Wahai Ahli Kitab (Yahudi dan Nashrani), marilah (berpegang) kepada suatu kalimat yang tidak ada perselisihan antara kami (muslimun) dan kamu bahwa kita tidak menyembah kecuali Allah dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu pun dan tidak juga sebagian kita menjadikan yang lain sebagai Tuhan selain Allah". jika mereka berpaling maka katakanlah kepada mereka: “Saksikanlah, bahwa Kami adalah orang- orang yang berserah diri (kepada Allah)”. Atas dasar itu, Olaf Schumann, menegaskan bahwa tidak ada masalah antara Islam dan terutama dengan Yahudi dan Nashrani, karena semua dipersatukan dalam satu asas, yaitu tunduk (islam) kepada Tuhan. Itulah sebabnya, ketika terjadi saling klaim; apakah Ibrahim seorang Yahud atau Nashrani, Allah menegaskan bahwa ia bukan keduanya melain seorang ‘muslim’ yang lurus (hanif). Apabila, terhadap Yahudi dan Nashrani Allah menegaskan demikian, kenapa itu tidak dijadikan dasar dalam melihat keberagaman di internal umat Islam sendiri? Toh andaikata memang pasti sesat juga, Ia Maha Pengampun, dan setiap hamba-Nya berkesempatan masuk surga meskipun bekal kebajikannya sebesar biji yang sangat kecil sekalipun. Jadi, janganlah seperti Mpok Rodiyah dalam sinetron Islam KTP yang merasa seperti pemegang ‘kunci’ surga!. ------------------- DIMUAT DI WAWASAN PADA RABU TANGGAL 25 MEI 2011