Anda di halaman 1dari 10

Karangan Narasi 200

Dalam Renung Tak Berujung


Lembayung berarak mengikuti langitnya yang kelam. Awanpun pekat
hitam pertanda hujan akan mengamuk di atas pijakannya. Hiruk pikuk kota tak
hentinya menantang hujan. Manusianya masih tetap berburu nafsu, entah apa
yang diinginkannya, tak akan pernah lekang oleh waktu. Allahu akbar … Allahu
akbar, adzan magrib pun berkumandang di seluruh penjuru kota.

***

Jam enam sore. Entah mengapa susana hari itu kelihatan lengang.
Biasanya selalu diisi dengan pertengkaran perempuan tua dengan suaminya
karena masalah celana dalam suaminya sering dipake oleh perempuan tua itu,
ditambah lagi kucing hitam yang selalu mengeong karena tenggorokannya
masih tertusuk tulang ikan yang kemudian sering dipukuli oleh anak kecil
dengan kaleng susu tempat ia menggulungkan benang layangan, hingga
bunyinya membuat berisik tetangga. Hari itu bukan hari yang selalu menghiasi
kampung pinggir kota.
Seorang laki paru baya, tetap terdiam dibalik jendela kayu yang terbuat
dari akasia yang mulai rapuh dimakan rayap. Tubuhnya tidak terlalu tinggi,
kulitnya kelam karena matahari terus memangganginya. Matanya bersinar
kecoklatan, namun ia tidak terlalu memikirkan keindahan matanya itu, seperti
orang lain yang slalu mengidentikkan mata coklat dengan bule. Sebenarnya
wajahnya tampan, karena tidak terurus, wajah itu makin hari makin kusam,
ditambah kagi rambutnya yang sedikit galing nampak kusut semrawut, seperti
hatinya yang lagi kisruh. Matanya terpusat pada sebuah benda, entah apa yang
sedang ia pikirkan. Dia bak patung yang menginginkan nyawanya kembali.

***

Krik…krik…krik… suara jangkrik terus memekakan telinga seolah malam


mengundangnya berpesta selepas hujan tadi. Dia masih terpaku melawan
angin yang terasa makin dingin merasuki kulit hingga menusuk ke tulang
belulangnya. “Aaaaaaaaaaaaaaaakkkkkkkkkkkkkkkkhhhhhhhhhh
hhh”, Rambutnya dijabakinya seakan galau memaksa untuk mengikuti
permainannya. Dia tak hiraukan orang lain yang melihatnya sekalipun itu
kelelawar. Mulutnya sedikit menganga, ia masih tetap diam. Malampun
merobek lembayung yang malu-malu mengundurkan diri. Entah apa yang
membuat ia tergugah dari lamunannya, mungkin bosan telah pergi dari ilusinya.
Ia melangkah sambil menutup jendela itu. Ruangan itu gelap. Sebentar ia
terdiam. Ah…, lampunya menyala setelah ia meng-on dan off-kannya berulang
kali. Ruangan itu menjadi terang. Di sudut kanannya, sebuah ranjang tua
bertengger di sana, tempat ia menghilangkan kepenatan dan mencurahkan
Karangan Narasi 200
7

kegundahan hatinya sampai bantalnya memperlihatkan jejak air mata yang


slalu ia linangkan. Di dekatnya, meja multi fungsi tempat ia belajar, berkarya,
bahkan mengupil sampai upilnya hampir memenuhi balik taplak meja itu.
Ruangan itu semakin sesak dan sesak saja. Dia berbaring dalam renungnya
akan hidup yang semakin menjalar diotaknya. Lampu kota pun padam, ada
pohon plamboyan yang tumbang menimpa gardu listrik.

***

Srek…srek…srek…, sandal bakiak perempuan tua mengorek kesunyian


rumah itu.
“Ndi, Lundi, sudahkah kamu magrib? Ayo lekas! Waktu magribnya ampir
abis “.seru perempuan itu pada anaknya dengan suaranya yang parau.
“Iya … iya”. Jawabnya malas. Anggukan itu hanyalah persetujuan
belaka. Dia tak menghiraukannya.

“Ya Rabb… dunia ini jungkir balik rasanya, mengapa pengorbanan tak lagi
menjadi tameng? Kehidupan hedonis seolah menjadi pigur perubahan
peradaban. Menyakitkan!!!”. Desahnya pelan.

Peraduannya adalah tempat ia mengakhiri segala keluh dan kesah. Air


matanya berlinang, gurat pipinya lebih jelas kelihatan oleh basahan air mata itu.

Tok… tok… tok…

“Lundi!”

“ya”

“Dari tadi mama perhatikan kau masih mengurung di kamar. Ada apa
denganmu? Tidak sakitkah kau”. Ujar perempuan tua itu dengan logat bataknya
yang lebih didominasi oleh medok jawa.

“Ah tidak Ma”. Dihapusnya air mata itu.

“Kalau begitu lekaslah solat. Bukankah Allah membenci orang yang menunda-
nunda, apalagi melalaikannya.”

Teg! Dia tersentak lalu bangun seketika. Dirabanya tiap dinding penyekat
rumahnya karena lampu masih padam.

***

Byur… byur… byur… air wudhu mengalir membersihkan tubuhnya.


Langkah kakinya membawanya ke ruangan kecil. Ruang yang hanya cukup
untuk satu orang berbaring ialah tempat ia menunaikan kewajibannya
Karangan Narasi 200
7

bergantian dengan ibunya. Dia magrib dengan setengah khusyu, pemikirannya


masih bertebaran dalam ilusinya.

“Assalamualaikum warahmatullah” ditolehkannya wajahnya ke kanan

“Assalamualaikum warahmatullah”dan ke kiri

Dia tak lekas makan selepas magrib seperti biasanya. Dia masih duduk
berkainkan sarung yang melekat dipinggangnya. Dia bergumam sendiri sembari
memegang tasbih, sepertinya ia sedang berdzikir.

“Wahai Tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami bersalah. Wahai
Tuhan kami, janganlah engkau bebankan kepada kami beban yang berat,
sebagai mana Engkau bebankan kepada orang-orang sebelum kami. Wahai
Tuhan kami, janganlah Engkau pikulkan kepada kami, apa yang tak sanggup
kami memikulnya. Beri maaflah kami, ampunilah kami dan rahmatilah kami.
Engkau penolong kami terhadap kaum yang kafir”. Dia berdoa memohon
keringan dari beban yang berat sembari mengangkat kedua tangannya.

Hari semakin cepat bergulir. Waktu tak hentinya berdetak memecahkan


kesunyian layaknya konser musik yang merajai panggung. Udara semakin
dingin. Sesekali gesekan pohon nyiur ikut meramaikan malam itu. Dia beranjak
dari tempatnya. Ditengoknya keponakannya yang tertidur dengan lelap. Ia
adalah anak kakaknya yang sekarang bekerja di Tanjung Betung bersama
suaminya karena suami kakaknya itu seorang pelaut. Sudah empat hari
keponakannya itu terserang penyakit dikakinya. Entah bisul ataukah daging
jadi.

“Ma tidakah Ayu nangis siang tadi”

“Iya, dia rewel, kakinya masih sakit, malah semakin besar saja bengkaknya”

“ Sudah dibawa ke dokter?”

“Besok siang Ma akan ke mantri Adi,”

Sesekali diliatnya yang membengkak dikaki keponakannya itu, terkadang pula


dielusnya.

“Ndi, sudahkah kamu makan? Segeralah! Walaupun hanya sepotong tempe


dan sambal terasi tapi itu rizki yang Allah berikan buat Kita ”

“Gak lapar Ma”

“Ya sudahlah. Tapi kalau kau lapar ambil nasinya di lemari makan”
Karangan Narasi 200
7

Dia beranjak dari tempatnya. Menengok keluar karena suara anjing terus
menggonggong di dekat rumahnya. Suara anjing itu semakin membuat orang-
orang tertidur, mungkin itu adalah nyanyian nina bobo yang mengantar mereka
tertidur, tapi bagi dia itu sebuah pergulatan antara otak, hati dan telinganya
yang tak singkron bagi dirinya. Dia terus mondar-mandir bagai strikaan yang
hampir menggosongkan baju yang menjadi alasnya beraksi. Wuh…

“Aaakkkkhhh”, desahnya agak keras disertai pukulan tangan kearah kepalanya


sendiri.

“Ada apa dengan kau! ceritalah pada mama, mama tau kau punya masalah,
Ayo ceritakanlah!!!”

“Ah tidak ma mungkin sedikit cape aja tadi sehabis sekolah”

“Jangan berbohonglah, mama bisa membedakan antara orang yang cape ama
orang yang lagi dirundung masalah”

Dengan ragu-ragu dan suara yang tersendat-sendat dia menceritakan kepada


ibunya apa yang membuat ia terus bergundah gulana.

“Ma, mengapa hidup ini kian hari kian pelik saja.”

“Memangnya mengapa, sampe kau berkata demikian”

“Ingin rasanya kembali ke masa dahulu. Bermain kuda-kudaan dari pelepah


pisang yang dibuatkan bapak dan dimainkan bareng kawan-kawan. Andai saja
mesin waktu itu ada. Akh….”

“Mama ndak ngerti apa yang kau bicarakan”

“Ma, kini aku telah dewasa, beban berat kini mulai kurasakan, nonjok dihati
rasanya. Aku tak tahu kedepannya aku bakal jadi apa, apa jadi petani desa
seperti bapak dahulu atau menjadi insinyur seperti yang mama harapkan, biar
aku bisa seperti orang kebanyakan, Duh… Bapak telah tiada, dari mana aku
bisa melanjutkan ke perguruan tinggi, sedangkan Mba Anti bersusah pula
disana, kiriman Mba Anti hanya cukup buat kita makan ama beli susu buat Ayu.
Ma, kasian ya Ayu, umur tiga taun udah dikasih cobaan seperti itu, Kita aja
pasti merengek-rengek minta kesembuhan”

Tak terasa air mata menetes dari keduanya. Mereka tertegun disertai isak
tangis. Malah Ibunya teringat pada suaminya yang telah tiada. Ibunya mengelus
rambut dia yang dari tadi terus bercerita.
Karangan Narasi 200
7

“Ma, apa aku bisa seperti kebanyakan orang sukses dan punya rumah mewah
dengan kolam renang yang indah. Duh Rabb… kapan hambamu ini bisa
mengganti rumah tua ini yang jendelanya saja udah rapuh dimakan rayap,
ditambah lagi barang-barang yang semakin sesak memenuhi isi rumah. Ma,
adakah orang yang akan menolongku kelak. Tak sanggup lagi rasanya jalani
hidup”

“Jangan berkatalah seperti itu, Allah akan merubah suatu kaum jika kaum itu
merubah nasibnya. Ya… dengan usaha, ikhtiar dan berdoa kepada sang
Pencipta”

“Tapi ma, mengapa orang-orang kini acuh saja, pengorbanan tak lagi menjadi
tameng, hanya sebuah patamorgana. Tadi saja selepas sekolah ada kakek tua
yang terserempet mobil sedan. Eh… orang yang nyerempet itu malah kabur
begitu saja ”

“Lantas mengapa kau tak menolongnya”

“Aku sedang ada di bis ma, ingin rasanya ku tolong. Tapi aku tak punya uang
lagi tuk pulang. Semasa di bis ada seorang ibu sebaya mama sebis denganku,
beliau bawa barang banyak sekali ditambah lagi tiga orang anak, yang satu
digendong, yang duanya dituntun. Keliatan repot ibu itu. Kupersilakan saja
beliau duduk walau aku berada dekat jendela, ditambah lagi sesaknya bis itu.
Aku tak ngerti dengan hidup zaman sekarang. Kenapa orang tuh susah buat
nolong orang laen. Ingin enak sendiri saja mereka, tak hiraukan kiri-kanan”

Dia bangkit dari tempat duduknya. Merasa kesal dengan kehidupan dunia yang
hanya berdebat dengan nasfu, antara puas atau kecewa menyikapinya. Mereka
terdiam sejenak. Ruangan itu semakin gelap saja. Malam enggankan bulan tuk
bergantung padanya. Dia berusaha memejamkan matanya walau matanya tak
mengantuk, antara cape dan galau masih menyelimutinya. Tidur tapi mata tak
mau di ajak kompromi. Dipejamkan saja matanya olehnya sambil bola matanya
ditarik ke atas biar cepat mengantuk. Perempuan tua itu pergi kebelakang,
mengambil korek api dan menyalakan lampu minyak. Disinarinya rumahnya itu
yang hanya sepetak warisan dari suaminya, biar siluet ruangan itu terlihat jelas.

Glomppppppraaaaaannngggggg…………

Permpuan tua itu tak sengaja menyentuh asbak yang berada di bibir meja.

“Ne, auh, nyeri ”. cucunya meraung-raung menahan sakit.

Seketika perempuan tua itu berlari ke kamar dimana keponakannya tertidur.

“Ne, auh, nyeri” berulang kali.


Karangan Narasi 200
7

“Uuuh, sayang…sayang. Tahan ya. Besok kita obati sakitmu ”. ditiupnya kaki
anak itu oleh perempuan tua itu.

“Ga mau ditiup. Auh. Mo di elus-elus aja kakinya ama bang Lundi ”, rengeknya
lebih keras dari yang tadi.

Dijambakinya dan ditendang-tendang pula tubuh perempuan tua itu.

“Ndi, Lundi sudahkah kau tidur?Cepatlah kemari Ayu minta diusap kakinya oleh
kau”

Dia pun berlari tak hiraukan apa yang ada dihadapnya. Keponakannya lebih
penting darinya. Apa pun ia lakukan demi keponakannya itu. Ia rela. Itung-itung
balas budi dia ke kakaknya itu.

“Aduh… sayang sini abang usapin kakimu. Bersabarlah… ”

“Ayu tak mau dielus lagi… aduh auh…”

Ditendangnya ia oleh kaki satunya. Perempuan tua itu kemudian


menggendongnya hanya sekedar untuk menenangkan anak kecil itu. Ditimang,
dielus-elus, dikipas-kipas, namun anak kecil itu tetap merengek kesakitan.
Keheningan malampun terpecahkan oleh tangisannya.

Nyatalah anak kecil itu yang sakit. Jangankan anak kecil itu, orang dewasa pun
pasti meraung menahan sakitnya. Biarlah ia meraung menahan sakitnya.
Panas, perih, gatal, mencampur memenuhi rasa sakit pada kaki anak kecil itu
yang kian hari kian membengkak saja. Tak tahan melihat ibunya ditendang-
tendang dan keponakannya terus menangis, dia hanya terpaku. Sesekali
suasana itu sunyi namun riuh rendah oleh tangisan anak kecil itu.

“Duh Gusti, cobaan apalagi yang engkau berikan kepada kami. Sudah
cukuplah kami bersusah diri. Kasian mama yang udah tua, harusnya tenang
saat ini malah kisruh oleh ulah kami, tahankanlah rasa sakit pada Ayu, dia
masih kecil belum tau apa-apa. Ya Rabb… lindungilah keluarga kami. Kami
ikhlas ridho dunia wal akhirat terhadap apapun cobaan yang Engkau berikan,
asal kami bisa melaluinya. ”

Kesedihan yang dalam berlabuh dihatinya, entah berapa liter air mata ia
curahkan. Memang kehidupan ini penuh liku, sebentar suka dan duka pun
menjelma. Dibaringkannya tubuhnya ke kursi tua yang ada didekatnya. Dia
terdiam. Suasana hening, seolah alam terhanyut dan turut merasakan
kesedihannya.

***
Karangan Narasi 200
7

Hari makin larut…larut dan larut saja. Tak ada sedikitpun bunyi kehidupan
disekelilingnya. Hanya tetesan-tetesan air yang berada di bak mandi rumahnya.

“Sudahlah kau tidur, kelihatannya kau cape”

“Tidak ah ma, takut, takut tak bisa bangun lagi”

“Mengapa kau kata itu, jangan sembrono”

“Hanya ingin dekat Ma saja malam ini. Sebelum bulan mengundurkan dirinya
dan pagi pun tiba ”

“Tak baiklah serupa itu, besok kau harus bantu ma pergi ke mantri Adi,
kasiankah kau pada Ayu. Esok kau banyak kerjaan bantu ma, ya”

“Tidak ah ma”

“Lah… kau ini, lekaslah. Tak lupakan shalat isya berdoalah pada tuhan pemberi
kemudahan”

“Iya ma”

Dia pun mengundurkan diri, hendak tidur gapai esok yang mungkin lebih baik
dari sekarang.

Awan diluar sana berseri menebarkan pesona pada bintangnya yang kian
memancarkan cahaya menambah keromantisan bagi orang yang bercinta.
Pohon-pohon merontokan daunnya tak tahan akan dinginnya udara malam itu.
Tikus-tikus di atap rumah itu mulai melancarkan aksinya, serasanya tak ada
yang merhatikan lakunya.

Rumah itu kini sepi kembali. Tak ada tangis anak kecil lagi. Mungkin dia
kelelahan. Didekapnya anak kecil itu oleh perempuan tua, seakan tak pernah
lepas, erat sekali. Sesimpul senyumnya membawa kedamaian, indah sekali,
tubuhnya yang kurus kering ialah perjuangan hidupnya selama ini, perjuangan
yang tak akan pernah mati demi anak dan cucunya itu.

Wajah polos anak kecil itu menawarkan suasana. Perlahan dan pelan ia
menghela nafas, tenang sekali.

Lampu minyak itu pun hendak tertidur pula, belaian angin membawanya pergi
seakan minyak itu mendukungnya tuk lenyap. Habis dalam rongga-rongga,
habis perkara malam itu.

***
Karangan Narasi 200
7

Jam satu pagi. Suasana mulai riuh rendah. Rengekan motor mengawali
pagi itu. Pedagang-pedagang warung pergi ke pasar untuk memenuhi pesanan
pelanggannya. Masih terlalu pagi memang, tapi itulah kebiasaan mereka
mengawali harinya.

Sesekali terdengar ayam berkokok, Nampak malu-malu, membangunkan


majikannya dari lelapnya istirahat yang cukup panjang. Suara itu membuat dia
terbangun dari tidurnya yang tak nyenyak. Galau ini terus menghantuinya
kemanapun ia melangkah kecuali ia memohon kepada Allah. Lampu di
kampung itu kini benderang kembali. Pegawai PLN nampak kerja keras malam
ini. Ia melihat jam dinding yang ada didekat kamarnya, jam satu lewat sembilan
belas menit. Dia bergegas ke kamar mandi hendak mengambil air wudhu.
Dingin terasa membasahi tubuhnya air itu, namun kesegaran ada padanya.
Tetap berkainkan sarung ia menunaikan shalat isya. Tak hentinya memohon
perlindungan Allah, ia melanjutkan shalatnya dengan qiamul lail, menambah ke
istiqomahan ia dalam menjalani hidup.

Dibaringkannya tubuhnya, menatap langit-langit yang lembab berwarna


cokelat saking tuanya, namun ia tetap mengingat asma Allah. Sesekali
bergumam, diam terpaku, kadang isak tangis menghiasinya.

“Ya, Rabb malam ini teramat indah untukku bercumbu kepada-Mu. Engkaulah
penguasa langit dan bumi serta isi didalamnya. HambaMu hanyalah makhluk
papa yang tak dapat melawan kekuasaan-Mu,hanya segala pertolongan,
hamba yakin itu. Hidup yang terasa menyesakan adalah karuniaMu yang indah
bagiku, ku tahu Engkau sayang padaku, teramat berdosanya aku padaMu,
mungkin Engkau mengutukku seperti ini, hamba ikhlas, mudah-mudahan
diberikan kesejahteraan. Periharalah ibuku sampai aku setidaknya bisa
membalas jasanya selama ini sebagaimana aku dipelihara olehnya sewaktu
kecil, sembuhkanlah orang-orang yang sakit yang Engkau kasihi, lindungilah
orang-orang yang ingin Engkau lindungi. Bukakan jalan taubat orang-orang
yang terlalu sombong kepadaMu. Masa depanku ada ditanganMu, apapun
yang terjadi itulah aku karena kehendakMu, semoga ada orang yang menolong
hidupku, itu semua kehedakmu. Sejahtera dunia-akherat itu ku dambakan,
kabulkanlah doa hambamu ini”

Dia mengakhiri doanya dengan segala kekuatan yang tak bergeming


oleh pengaruh apapun, kegalauan yang ia rasakan selama ini terbayarlah
sudah. Permohonan… permohonan kepada Tuhannya ialah jalannya
melabuhkan kepenatan. Perlindungan kepada Tuhannya dari kehidupan yang
pelik terutama pengorbanan yang tak lagi menjadi tameng, hanya klise di oase
padang pasir menjadi sandaran selama hidupnya selama ini dan mungkin
seumur hidupnya.

***
Karangan Narasi 200
7

Jam setengah empat. Dia beranjak dari tempat itu, melangkah ke


kamarnya yang serasa lebih longgar dari biasanya, mungkin lebih segar karena
penghuninya lebih tersimpul oleh senyum. Walau galaunya menghilang dari
pikirannya, namun ia terus memikirkan pola manusia yang acuh, egois, dan
entah sebutan apalagi yang pantas untuk orang yang seperti itu. Untuk
mengobati kekesalannya ia goreskan lewat puisi

Solidaritas dalam nyawa tak berbingkai

Mata waktu kini tak tentu


Bumi berkelana dalam bejana tak nyata
Mengapa malam enggankan bulan tuk bergantung padanya?
Tak mungkin Tuhan bermain dadu dalam ciptaanNya
Apalah artinya hidup tanpa bicara

Separuh hati luangkan kasih dalam biduk cinta


Embun bak cermin dalam nuansa
Perlahan dan pelan menyelam malam
Tapi kini bintangnya terjebak dalam langit penuh duri
Bukankah asa harus terasa dalam dada?
Ah… musnahlah semua
Aku tak peduli padanya

Dalam Cinta penuh luka bagi para pujangga


Purnama bersorak karena langitnya kelam
Tapi mengapa malam enggankan bulan tuk bergantung padanya?
Tak mungkin Tuhan bermain dadu dalam ciptaanNya
Berarti hidup walau tanpa menyapa

Suara yang parau dalam danau tak bermuara


Lebah bergantung di sarangnya memastikan.. apakah dunia ini ada?

Dinamika hidup yang berputar tak pasti


Kepedulian yang tergambar fatamorgana
Hanya sebuah klise di oase padang pasir

Aku lelah dalam peluh yang meluluh di tubuh


Kini rimbamu tak pasti adanya
Perjuangan…
Kuarungi semua tanpa kekecewaan

***

Mentari pagi memancarkan keelokan warnanya, memberikan sumber


kehidupan bagi siapa saja yang membutuhkannya. Entah mengapa hari itu
berbeda dari hari biasanya. Ayam jago berkokok lebih keras.Langit nampak
lebih berseri dari biasanya. Dedaunan beradu sapa seolah memberikan kabar
gembira. hiruk pikuk kota menjeritkan kebahagiannya kembali yang telah
hilang di telan rembulan malam tadi.
Karangan Narasi 200
7

Kini, alampun serasa lebih bersahabat. Merpati akhirnya membawa


tangkai zaitun simbol kedamaian hati. Janda tua yang selalu berebut celana
dalam dengan suaminya kini tak terjadi lagi, mereka telah membelinya malam
tadi. Dan kucing hitampun tak mengeong lagi meraung-raung, tulang ikan yang
menusuk ditenggorokannya telah bercampur dilambungnya. Anak kecil yang
suka memukuli kucing hitam itu bisa bermain layangan dengan bebasnya. Tak
ada lagi marah tetangga yang slalu menceramahi anak kecil itu. Ah … damai
sekali. Hari yang berbeda dari hari biasanya.
Lelaki itu kini nampak lega. Tersimpul senyumnya menantang masa
depan yang gemilang, tanpa kecewa, tanpa gundah gulana. Kulitnya lebih
bersih, rambutnya ditata dengan rapi, hendak mengantarkan keponakannya ke
dokter.

***

“Ga sakit kan, sekarang gimana lebih baikan?”

“Iya, ndak sakit, aku bisa bermain kejar-kejaran lagi dong”

“Boleh tapi tunggu kamu sembuh dulu”

Anak kecil itu menyunggingkan bibirnya, seolah tak setuju dengan


perkataannya itu. Perempuan tua itu hanya tersenyum melihat ulah kedua
malaikat kecilnya itu. Senyum yang penuh harapan.

“Ma, tadi tu darah apa nanah yang dikeluarkan dari kaki Ayu”

“Nanah yang bercampur darah kotor”

“Oh gitu, jadi penyakit apa namanya”

“Tanya saja ama mantra Adi”

“Haaahhh”

Mereka memulai hidupnya yang baru, tanpa resah, sakit dan gejolak
yang ada dijiwanya. Renungnya kini menemui ujungnya. Dia menjalani
kehidupannya dengan perjuangan tanpa kekecewaan.

SELESAI

Anda mungkin juga menyukai