***
Jam enam sore. Entah mengapa susana hari itu kelihatan lengang.
Biasanya selalu diisi dengan pertengkaran perempuan tua dengan suaminya
karena masalah celana dalam suaminya sering dipake oleh perempuan tua itu,
ditambah lagi kucing hitam yang selalu mengeong karena tenggorokannya
masih tertusuk tulang ikan yang kemudian sering dipukuli oleh anak kecil
dengan kaleng susu tempat ia menggulungkan benang layangan, hingga
bunyinya membuat berisik tetangga. Hari itu bukan hari yang selalu menghiasi
kampung pinggir kota.
Seorang laki paru baya, tetap terdiam dibalik jendela kayu yang terbuat
dari akasia yang mulai rapuh dimakan rayap. Tubuhnya tidak terlalu tinggi,
kulitnya kelam karena matahari terus memangganginya. Matanya bersinar
kecoklatan, namun ia tidak terlalu memikirkan keindahan matanya itu, seperti
orang lain yang slalu mengidentikkan mata coklat dengan bule. Sebenarnya
wajahnya tampan, karena tidak terurus, wajah itu makin hari makin kusam,
ditambah kagi rambutnya yang sedikit galing nampak kusut semrawut, seperti
hatinya yang lagi kisruh. Matanya terpusat pada sebuah benda, entah apa yang
sedang ia pikirkan. Dia bak patung yang menginginkan nyawanya kembali.
***
***
“Ya Rabb… dunia ini jungkir balik rasanya, mengapa pengorbanan tak lagi
menjadi tameng? Kehidupan hedonis seolah menjadi pigur perubahan
peradaban. Menyakitkan!!!”. Desahnya pelan.
“Lundi!”
“ya”
“Dari tadi mama perhatikan kau masih mengurung di kamar. Ada apa
denganmu? Tidak sakitkah kau”. Ujar perempuan tua itu dengan logat bataknya
yang lebih didominasi oleh medok jawa.
“Kalau begitu lekaslah solat. Bukankah Allah membenci orang yang menunda-
nunda, apalagi melalaikannya.”
Teg! Dia tersentak lalu bangun seketika. Dirabanya tiap dinding penyekat
rumahnya karena lampu masih padam.
***
Dia tak lekas makan selepas magrib seperti biasanya. Dia masih duduk
berkainkan sarung yang melekat dipinggangnya. Dia bergumam sendiri sembari
memegang tasbih, sepertinya ia sedang berdzikir.
“Wahai Tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami bersalah. Wahai
Tuhan kami, janganlah engkau bebankan kepada kami beban yang berat,
sebagai mana Engkau bebankan kepada orang-orang sebelum kami. Wahai
Tuhan kami, janganlah Engkau pikulkan kepada kami, apa yang tak sanggup
kami memikulnya. Beri maaflah kami, ampunilah kami dan rahmatilah kami.
Engkau penolong kami terhadap kaum yang kafir”. Dia berdoa memohon
keringan dari beban yang berat sembari mengangkat kedua tangannya.
“Iya, dia rewel, kakinya masih sakit, malah semakin besar saja bengkaknya”
“Ya sudahlah. Tapi kalau kau lapar ambil nasinya di lemari makan”
Karangan Narasi 200
7
Dia beranjak dari tempatnya. Menengok keluar karena suara anjing terus
menggonggong di dekat rumahnya. Suara anjing itu semakin membuat orang-
orang tertidur, mungkin itu adalah nyanyian nina bobo yang mengantar mereka
tertidur, tapi bagi dia itu sebuah pergulatan antara otak, hati dan telinganya
yang tak singkron bagi dirinya. Dia terus mondar-mandir bagai strikaan yang
hampir menggosongkan baju yang menjadi alasnya beraksi. Wuh…
“Ada apa dengan kau! ceritalah pada mama, mama tau kau punya masalah,
Ayo ceritakanlah!!!”
“Jangan berbohonglah, mama bisa membedakan antara orang yang cape ama
orang yang lagi dirundung masalah”
“Ma, kini aku telah dewasa, beban berat kini mulai kurasakan, nonjok dihati
rasanya. Aku tak tahu kedepannya aku bakal jadi apa, apa jadi petani desa
seperti bapak dahulu atau menjadi insinyur seperti yang mama harapkan, biar
aku bisa seperti orang kebanyakan, Duh… Bapak telah tiada, dari mana aku
bisa melanjutkan ke perguruan tinggi, sedangkan Mba Anti bersusah pula
disana, kiriman Mba Anti hanya cukup buat kita makan ama beli susu buat Ayu.
Ma, kasian ya Ayu, umur tiga taun udah dikasih cobaan seperti itu, Kita aja
pasti merengek-rengek minta kesembuhan”
Tak terasa air mata menetes dari keduanya. Mereka tertegun disertai isak
tangis. Malah Ibunya teringat pada suaminya yang telah tiada. Ibunya mengelus
rambut dia yang dari tadi terus bercerita.
Karangan Narasi 200
7
“Ma, apa aku bisa seperti kebanyakan orang sukses dan punya rumah mewah
dengan kolam renang yang indah. Duh Rabb… kapan hambamu ini bisa
mengganti rumah tua ini yang jendelanya saja udah rapuh dimakan rayap,
ditambah lagi barang-barang yang semakin sesak memenuhi isi rumah. Ma,
adakah orang yang akan menolongku kelak. Tak sanggup lagi rasanya jalani
hidup”
“Jangan berkatalah seperti itu, Allah akan merubah suatu kaum jika kaum itu
merubah nasibnya. Ya… dengan usaha, ikhtiar dan berdoa kepada sang
Pencipta”
“Tapi ma, mengapa orang-orang kini acuh saja, pengorbanan tak lagi menjadi
tameng, hanya sebuah patamorgana. Tadi saja selepas sekolah ada kakek tua
yang terserempet mobil sedan. Eh… orang yang nyerempet itu malah kabur
begitu saja ”
“Aku sedang ada di bis ma, ingin rasanya ku tolong. Tapi aku tak punya uang
lagi tuk pulang. Semasa di bis ada seorang ibu sebaya mama sebis denganku,
beliau bawa barang banyak sekali ditambah lagi tiga orang anak, yang satu
digendong, yang duanya dituntun. Keliatan repot ibu itu. Kupersilakan saja
beliau duduk walau aku berada dekat jendela, ditambah lagi sesaknya bis itu.
Aku tak ngerti dengan hidup zaman sekarang. Kenapa orang tuh susah buat
nolong orang laen. Ingin enak sendiri saja mereka, tak hiraukan kiri-kanan”
Dia bangkit dari tempat duduknya. Merasa kesal dengan kehidupan dunia yang
hanya berdebat dengan nasfu, antara puas atau kecewa menyikapinya. Mereka
terdiam sejenak. Ruangan itu semakin gelap saja. Malam enggankan bulan tuk
bergantung padanya. Dia berusaha memejamkan matanya walau matanya tak
mengantuk, antara cape dan galau masih menyelimutinya. Tidur tapi mata tak
mau di ajak kompromi. Dipejamkan saja matanya olehnya sambil bola matanya
ditarik ke atas biar cepat mengantuk. Perempuan tua itu pergi kebelakang,
mengambil korek api dan menyalakan lampu minyak. Disinarinya rumahnya itu
yang hanya sepetak warisan dari suaminya, biar siluet ruangan itu terlihat jelas.
Glomppppppraaaaaannngggggg…………
Permpuan tua itu tak sengaja menyentuh asbak yang berada di bibir meja.
“Uuuh, sayang…sayang. Tahan ya. Besok kita obati sakitmu ”. ditiupnya kaki
anak itu oleh perempuan tua itu.
“Ga mau ditiup. Auh. Mo di elus-elus aja kakinya ama bang Lundi ”, rengeknya
lebih keras dari yang tadi.
“Ndi, Lundi sudahkah kau tidur?Cepatlah kemari Ayu minta diusap kakinya oleh
kau”
Dia pun berlari tak hiraukan apa yang ada dihadapnya. Keponakannya lebih
penting darinya. Apa pun ia lakukan demi keponakannya itu. Ia rela. Itung-itung
balas budi dia ke kakaknya itu.
Nyatalah anak kecil itu yang sakit. Jangankan anak kecil itu, orang dewasa pun
pasti meraung menahan sakitnya. Biarlah ia meraung menahan sakitnya.
Panas, perih, gatal, mencampur memenuhi rasa sakit pada kaki anak kecil itu
yang kian hari kian membengkak saja. Tak tahan melihat ibunya ditendang-
tendang dan keponakannya terus menangis, dia hanya terpaku. Sesekali
suasana itu sunyi namun riuh rendah oleh tangisan anak kecil itu.
“Duh Gusti, cobaan apalagi yang engkau berikan kepada kami. Sudah
cukuplah kami bersusah diri. Kasian mama yang udah tua, harusnya tenang
saat ini malah kisruh oleh ulah kami, tahankanlah rasa sakit pada Ayu, dia
masih kecil belum tau apa-apa. Ya Rabb… lindungilah keluarga kami. Kami
ikhlas ridho dunia wal akhirat terhadap apapun cobaan yang Engkau berikan,
asal kami bisa melaluinya. ”
Kesedihan yang dalam berlabuh dihatinya, entah berapa liter air mata ia
curahkan. Memang kehidupan ini penuh liku, sebentar suka dan duka pun
menjelma. Dibaringkannya tubuhnya ke kursi tua yang ada didekatnya. Dia
terdiam. Suasana hening, seolah alam terhanyut dan turut merasakan
kesedihannya.
***
Karangan Narasi 200
7
Hari makin larut…larut dan larut saja. Tak ada sedikitpun bunyi kehidupan
disekelilingnya. Hanya tetesan-tetesan air yang berada di bak mandi rumahnya.
“Hanya ingin dekat Ma saja malam ini. Sebelum bulan mengundurkan dirinya
dan pagi pun tiba ”
“Tak baiklah serupa itu, besok kau harus bantu ma pergi ke mantri Adi,
kasiankah kau pada Ayu. Esok kau banyak kerjaan bantu ma, ya”
“Tidak ah ma”
“Lah… kau ini, lekaslah. Tak lupakan shalat isya berdoalah pada tuhan pemberi
kemudahan”
“Iya ma”
Dia pun mengundurkan diri, hendak tidur gapai esok yang mungkin lebih baik
dari sekarang.
Awan diluar sana berseri menebarkan pesona pada bintangnya yang kian
memancarkan cahaya menambah keromantisan bagi orang yang bercinta.
Pohon-pohon merontokan daunnya tak tahan akan dinginnya udara malam itu.
Tikus-tikus di atap rumah itu mulai melancarkan aksinya, serasanya tak ada
yang merhatikan lakunya.
Rumah itu kini sepi kembali. Tak ada tangis anak kecil lagi. Mungkin dia
kelelahan. Didekapnya anak kecil itu oleh perempuan tua, seakan tak pernah
lepas, erat sekali. Sesimpul senyumnya membawa kedamaian, indah sekali,
tubuhnya yang kurus kering ialah perjuangan hidupnya selama ini, perjuangan
yang tak akan pernah mati demi anak dan cucunya itu.
Wajah polos anak kecil itu menawarkan suasana. Perlahan dan pelan ia
menghela nafas, tenang sekali.
Lampu minyak itu pun hendak tertidur pula, belaian angin membawanya pergi
seakan minyak itu mendukungnya tuk lenyap. Habis dalam rongga-rongga,
habis perkara malam itu.
***
Karangan Narasi 200
7
Jam satu pagi. Suasana mulai riuh rendah. Rengekan motor mengawali
pagi itu. Pedagang-pedagang warung pergi ke pasar untuk memenuhi pesanan
pelanggannya. Masih terlalu pagi memang, tapi itulah kebiasaan mereka
mengawali harinya.
“Ya, Rabb malam ini teramat indah untukku bercumbu kepada-Mu. Engkaulah
penguasa langit dan bumi serta isi didalamnya. HambaMu hanyalah makhluk
papa yang tak dapat melawan kekuasaan-Mu,hanya segala pertolongan,
hamba yakin itu. Hidup yang terasa menyesakan adalah karuniaMu yang indah
bagiku, ku tahu Engkau sayang padaku, teramat berdosanya aku padaMu,
mungkin Engkau mengutukku seperti ini, hamba ikhlas, mudah-mudahan
diberikan kesejahteraan. Periharalah ibuku sampai aku setidaknya bisa
membalas jasanya selama ini sebagaimana aku dipelihara olehnya sewaktu
kecil, sembuhkanlah orang-orang yang sakit yang Engkau kasihi, lindungilah
orang-orang yang ingin Engkau lindungi. Bukakan jalan taubat orang-orang
yang terlalu sombong kepadaMu. Masa depanku ada ditanganMu, apapun
yang terjadi itulah aku karena kehendakMu, semoga ada orang yang menolong
hidupku, itu semua kehedakmu. Sejahtera dunia-akherat itu ku dambakan,
kabulkanlah doa hambamu ini”
***
Karangan Narasi 200
7
***
***
“Ma, tadi tu darah apa nanah yang dikeluarkan dari kaki Ayu”
“Haaahhh”
Mereka memulai hidupnya yang baru, tanpa resah, sakit dan gejolak
yang ada dijiwanya. Renungnya kini menemui ujungnya. Dia menjalani
kehidupannya dengan perjuangan tanpa kekecewaan.
SELESAI