Anda di halaman 1dari 28

Infeksi Susunan Saraf

Infeksi ialah invasi dan multiplikasi kuman (mikro-organisme) di dalam jaringan tubuh. Jadi infeksi
susunan saraf pusat ialah invasi dan multiplikasi kuman (mikro-organisme) di dalam susunan saraf.

Klasifikasi infeksi susunan saraf menurut organ yang terkena peradangan, tidak memberikan
pegangan klinis yang berarti. Radang pada saraf tepi dinamakan neuritis, pada meninges disebit
meningitis, pada jaringan medulla spinalis dinamakan mielitis dan pada otak dikenal sebagai ensefalitis.
Sebaliknya pembagian menurut jenis kuman mencakup sekaligus diagnosis kausal. Maka dari itu,
pembahasan mekanisme infeksi susunan saraf akan dilakukan menurut klasifikasi :

1. Infeksi viral
2. Infeksi bakteri
3. Infeksi spiroketa
4. Infeksi fungus
5. Infeksi protozoa dan
6. Infeksi metazoa

1. Infeksi Viral
Kita dapat membedakan 2 macam virus yang menimbulkan manifestasi neurologic. Virus
yang tergolong pada virus neurotropik memang mempunyai sifat untuk ditangkap oleh sel saraf.
Jenis virus lain, yaituyang dinamakan viserotropik, mempunyai kecenderungan ditangkap oleh sel
mukosa traktus digestivus, tetapi pada kondisi-kondisi tertentu virus viserotropik mendapat
kesempatan untuk tiba di sel- sel saraf juga. Kondisi-kondisi tersebut adalah :
- Jumlah virus yang melakukan invasi besar sekali
- Daya ketahanan tubuh yang rendah, misalnya karena penyakit kronis, reaksi alergi,
gangguan imunologik, demam, obat-obatan, dan terapi radiologik
- Bantuan biokimia kepada susunan saraf berkurang, akibat kerusakan di ginjal, paru, hepar,
jantung dan susunan eritropoetik.
Setelah proses invasi, replikasi, dan penyebaran virus berhasil, timbulah manifestasi-
manifestasi toksemia yang kemudian disusul oleh manifestasi lokalisatorik. Gejala-gejala
toksemia terdiri dari sakit kepala, febrile convulsion, vertigo, parestesia, lemas-letih seluruh
tubuh, nyeri retrobulbar, dan tidak jarang organic brain syndrome.
Manifestasi lokasatorik dapat berupa sindrom meningitis, ensefalitis, meningoensefalitis,
atau ensefalomielitis. Enterovirus merupakan penyebab utama dari meningitis viral, sedangkan
sebagian dari enterovirus dan neurotropik virus lainnya membangkitkan ensefalitis. Pembauran
antara meningitis dan ensefalitis disatu pihak dan pembauran antara ensefalitis dan mielitis dilain
pihak menimbulkan sindrom meningoensefalitis dan ensefalomielitis.

A. Meningtis Viral
Meningitis viral yang benign tidak melibatkan jaringan otak pada proses radangnya.
Gejala-gejala dapat sedemikian ringannya sehingga diagnosis meningitis luput dibuat. Tetapi
pada pungsi lumbal ditemukan pleiositosis limfositer. Jika gejala-gejalanya agak berat, maka
gejala yang paling mengganggu adalah sakit kepala dan nyeri kuduk. Meningitis viral yang
paling berat selalu merupakan meningoensefalitis.
Meningitis viral adalah meningitis yang disebabkan oleh virus, dan ini merupakan jenis
terbanyak dari meningitis. Meningitis viral disebut juga meningitis aseptik karena tidak
ditemukan adanya bakteri dalam darah pasien. Meningitis jenis ini umumnya ringan dan
dapat sembuh dengan sendirinya dalam waktu 7-10 hari, dengan memperkuat daya tahan
tubuh. Gejala meningitis virus biasanya lebih ringan dibandingkan yang terkait dengan
meningitis bakteri dan dapat dimulai dengan gejala seperti flu. Gejala mungkin termasuk
sakit kepala, mual atau muntah, demam, malaise umum, leher kaku, fotofobia, sakit sendi
dan nyeri, nyeri otot, mengantuk atau kebingungan, dan juga mungkin termasuk ruam, sakit
tenggorokan, sakit perut dan diare. Gejala-gejala dapat terjadi dalam urutan apapun dan
mungkin tidak semua hadir pada waktu yang sama atau selama perjalanan penyakit. Namun
karena gejalanya mirip dengan meningitis bakterial, maka jika ada gejala-gejala serupa
seperti yang disebutkan di atas, segera saja dibawa ke dokter untuk pemeriksaan lebih lanjut.

Pemeriksaan CSF merupakan pemeriksaan yang penting dalam pemeriksaan penyebab


meningitis. CT Scan harus dilakukan pada kasus yang berkaitan dengan tanda neurologis
abnormal untuk menyingkirkan lesi intracranial atau hidrosefalus obstruktif sebelum pungsi
lumbal (LP). Kultur CSF tetap criteria standar pada pemeriksaan bakteri atau piogen dari
meningitis aseptic. Lagi-lagi, pasien yang tertangani sebagian dari meningitis bakteri dapat
timbul dengan pewarnaan gram negative dan maka timbul aseptic. Hal berikut ini merupakan
karakteristik CSF yang digunakan untuk mendukung diagnosis meningitis viral:

 Sel: Pleocytosis dengan hitung WBC pada kisaran 50 hingga >1000 x 109/L
darah telah dilaporkan pada meningitis virus, Sel mononuclear predominan
merupakan aturannya, tetapi PMN dapat merupakan sel utama pada 12-24 jam
pertama; hitung sel biasanya kemudian didominasi oleh limfosit pada pole CSF
klasik meningitis viral. Hal ini menolong untuk membedakan meningitis bacterial
dari viral, dimana mempunyai lebih tinggi hitung sel dan predominan PMN pada
sel pada perbedaan sel; hal ini merupakan bukan merupakan atran yang
absolute bagaimanapun.

 Protein: Kadar protein CSF biasanya sedikit meningkat, tetapi dapat bervariasi
dari normal hingga setinggi 200 mg/dL.

Ada beberapa jenis virus yang dapat menyebabkan meningitis viral, antara lain
enterovirus (meliputi enteroviruses, coxsackieviruses, dan echoviruses), virus cacar, herpes
virus (spt Epstein-Barr virus, virus herpes simplex, dan virus varicella-zoster ) virus campak,
dan juga virus influenza. Namun untuk mengetahui apakah meningitis disebabkan oleh virus
atau bakteri, tetap harus dilakukan uji kultur yang berasal dari cairan spinal pasien.

virus-virus ini bisa menyebar dengan cara yang berbeda-beda. Enterovirus, yang
merupakan virus penyebab meningitis terbanyak, paling sering tersebar melalui tinja
penderita. Selain itu, virus ini dan virus lainnya seperti virus campak dan varicella-zoster juga
dapat menyebar melalui kontak langsung maupun taklangsung dengan cairan pernafasan
(air liur, ingus, dahak) dari pasien yang terinfeksi. Waktu yang dibutuhkan dari mulai terinfeksi
virus sampai muncul gejala umumnya sekitar 3-7 hari.

Pasien dengan meningitis viral umumnya tidak perlu pengobatan khusus, dan disarankan
untuk istirahat total (bed rest), minum banyak cairan, dan pengobatan untuk mengatasi gejala
saja, seperti analgesik antipiretik untuk mengilangkan rasa sakit (sakit kepala), dan
menurunkan demam.
B. Ensefalitis Viral
Ensefalitis adalah infeksi jaringan otak oleh berbagai macam mikro-organisme (Anonim,
1985). Ensefalitis ditegakkan melalui pemeriksaan mikroskopis jaringan otak. Dalam
prakteknya di klinik, diagnosis sering dibuat berdasarkan manifestasi-manifestasi neurologis
dan temuan-temuan epidemiologis, tanpa bahan histologis. (Nelson, 1992).

Adapun etiologi dari ensefalitis ini bermacam-macam, seperti disebutkan sebagai


berikut :

I. Infeksi-infeksi Virus
A. Penyebaran hanya dari manusia ke manusia
1. Gondongan Sering, kadang-kadang bersifat ringan.
2. Campak Dapat memberikan sekuele berat.
3. Kelompok virus entero
Sering pada semua umur, keadaannya lebih berat pada neonatus.
4. Rubela Jarang; sekuele jarang, kecuali pada rubela congenital
5. Kelompok Virus Herpes
a. Herpes Simpleks (tipe 1 dan 2) : relatif sering; sekuele sering ditemukan pada neonatus
menimbulkan kematian.
b. Virus varicela-zoster; jarang; sekuele berat sering ditemukan.
c. Virus sitomegalo-kongenital atau akuista : dapat memberikan sekuele lambat pada
CMV congenital
d. Virus EB (mononukleosis infeksiosa) : jarang
e. Kelompok virus poks
Vaksinia dan variola ; jarang, tetapi dapat terjadi kerusakan SSP berat.
B. Agen-agen yang ditularkan oleh antropoda
- Virus arbo : menyebar ke manusia melalui nyamuk
- Caplak : epidemi musiman tergantung pada ekologi vektor serangga.
C. Penyebaran oleh mamalia berdarah panas.
- Rabies : saliva mamalia jinak dan liar
- Virus herpes Simiae (virus “B”) : saliva kera
- Keriomeningitis limfositik : tinja binatang pengerat

II. Parainfeksiosa-pascainfeksiosa, alergi


Penderita-penderita dimana agen-agen infeksi atau salah satu komponennya
berperan sebagai etiologi penyakit, tetapi agen-agen infeksinya tidak dapat diisolasi
secara utuh in vitro dari susunan syaraf. Diduga pada kelompok ini, kompleks antigen-
antibodi yang diperantarai oleh sel dan komplemen, terutama berperan penting dalam
menimbulkan kerusakan jaringan.
A. Berhubungan dengan penyakit-penyakit spesifik tertentu (Agen ini dapat pula secara
langsung menyebabkan kerusakan SSP).
- Campak
- Rubela
- Pertusis
- Gondongan
- Varisela-zoster
- Influenza
- Mycoplasma pneumonia
- Infeksi riketsia
- Hepatitis
B. Berhubungan dengan vaksin
- Rabies
- Campak
- Influenza
- Vaksinis
- Pertusis
- Yellow fever
- Typhoid
-
III. Penyakit-penyakit virus manusia yang lambat. Semakin banyak bukti yang menunjukkan
bahwa berbagai virus yang didapatkan pada awal masa kehidupan, yang tidak harus disertai
dengan penyakit akut, sedikit banyak ikut berperan sebagian pada penyakit neurologis kronis
di kemudian hari :
- Panensefalitis sklerosis sub akut (PESS); campak; rubella
- Penyakit Jakob-Crevtzfeldt (ensefalitis spongiformis)
- Leukoensefalopati multifokal progresif

IV. Kelompok kompleks yang tidak diketahui Contoh : Sindrom Reye, Ensefalitis Von
Economo, dan lain-lain (Nelson, 1992).

V. Infeksi-infeksi Non virus


A. Riketsia Komponen ensefalitik dari vaskulitis serebral.
B. Mycoplasma pneumonia Terdapat interval beberapa hari antara gejala
tuberculosis dan bakteri lain; sering mempunyai komponen ensefalitik.
C. Bakteri Tuberculosa dan meningitis bakteri lainnya; seringkali memiliki komponen-
komponen ensefalitis.
D. Spirochaeta Sifilis, kongenital atau akuisita; leptospirosis
E. Jamur
Penderita-penderita dengan gangguan imunologis mempunyai resiko khusus;
kriptokokosis; histoplasmosis;aspergilosis, mukor mikosis, moniliosis;
koksidioidomikosis
F. Protozoa Plasmaodium Sp; Tyypanosoma Sp; naegleria Sp; Acanthamoeba;
Toxoplasma gondii.
G. Metazoa Trikinosis; ekinokokosis; sistiserkosis; skistosomiasis.

Penyebab ensefalitis yang terpenting adalah virus. Infeksi dapat terjadi karena virus
langsung menyerang otak atau reaksi radang akut karena infeksi sistemik atau vaksinasi
terdahulu.
Sesuai dengan jenis virus, ensefalitis diklasifikasikan menjadi 3, yaitu :

1. Ensefalitis virus sporadic


Virus yangbersifat sporadik adalah virus rabies, Herpes Simpleks Virus (HSV),
Herpes Zoster, mumps, limfogranuloma dan limphocytic choriomeningitis yang
ditularkan melalui gigitan tupai dan tikus. (Bradley, 1991).
2. Ensefalitis virus epidemic
Golongan virus ini adalah virus entero seperti poliomyelitis, virus Coxsacki, virus
ECHO, serta golongan virus ARBO.
3. Ensefalitis pasca infeksi
Pasca morbili, pasca varisela, pasca rubella, pasca vaksinasi, dan jenis-jenis virus
yang mengikuti infeksi traktus respiratorius yang tidak spesifik (Anonim, 1985).
Karena terdapat banyak penyebab ensefalitis, maka tidak terdapat pola epidemiologi
yang sama. Tetapi sebagian besar kasus yang terjadi pada musim panas dan musim gugur,
mencerminkan adanya virus arbo dan virus entero sebagai etiologi. Ensefalitis yang
disebabkan karena virus arbo terjadi dalam bentuk epidemik, dengan batas wilayah yang
ditentukan oleh batas vektor nyamuk serta prevalensi binatang reservoar alamiah. Kasus-
kasus enesefalitis yang sporadis dapat terjadi setiap musim, pertimbangan epidemiologis
yang harus ditinjau ulang dalam usaha mencari agen penyebab meliputi wilayah geografis,
iklim, pemaparan oleh binatang, air, manusia, dan bahan makanan, tanah, manusia, dan
faktor-faktor hospes (Nelson, 1992).
Angka kematian untuk ensefalitis berkisar antara 35-50%. Dari penderita yang hidup, 20-
40% mempunyai komplikasi atau gejala sisa (Anonim, 1985).

Diagnosis pasti untuk ensefalitis ialah berdasarkan pemeriksaan patologi anatomi


jaringan otak. Scara praktis diagnostik dibuat berdasarkan manifestasi neurologik dan
informasi epidemiologik (komite Medik RSUP Dr. Sadjito, 2000).
Hal-hal penting dalam menegakkan diagnosis ensefalitis adalah :
1. Panas tinggi, nyeri kepala hebat, kaku kuduk, stupor, koma, kejang dan gejala-gejala
kerusakan SSP.
2. Pada pemeriksaan cairan serebro spinal (CSS) terdapat pleocytosis dan sedikit
peningkatan protein (normal pada ESL).
3. Isolasi virus dari darah, CSS atau spesimen post mortem (otak dan darah)
4. Identifikasi serum antibodi dilakukan dengan 2 spesimen yang diperoleh dalam 3-4 minggu
secara terpisah (Kempe, 1982).
Sebaiknya diagnosis ensefalitis ditegakkan dengan :
a. Anamnesis yang cermat, tentang kemungkinan adanya infeksi akut atau kronis, keluhan,
kemungkinan adanya peningkatan tekanan intra kranial, adanya gejala, fokal
serebral/serebelar, adanya riwayat pemaparan selama 2-3 minggu terakhir terhadap
penyakit melalui kontak, pemaparan dengan nyamuk, riwayat bepergian ke daerah
endemik dan lain-lain (Nelson, 1992)
b. Pemeriksaan fisik/neurologik, perlu dikonfirmasikan dengan hasil anamnesis dan
sebaliknya anamnesis dapat diulang berdasarkan hasil pemeriksaan.
- Gangguan kesadaran
- Hemiparesis
- Tonus otot meninggi
- Reflek patologis positif
- Reflek fiisiologis meningkat
- Klonus
- Gangguan nervus kranialis
- Ataksia (Komite Medik RSUP Dr. Sarjito, 2000)
c. Pemeriksaan laboratorium
- Pungsi lumbal, untuk menyingkirkan gangguan-gangguan lain yang akan memberikan
respons terhadap pengobatan spesifik. Pada ensefalitis virus umumnya cairan
serebro spinal jernih, jumlah lekosit berkisar antara nol hingga beberapa ribu tiap mili
meter kubik, seringkali sel-sel polimorfonuklear mula-mula cukup bermakna (Nelson,
1992). Kadar protein meningkat sedang atau normal, kadar protein mencapai 360 mg
% pada ensefalitis yang disebabkan virus herpes simplek dan 55 mg% yang
disebabkan oleh toxocara canis . Kultur 70-80 % positif dan virus 80% positif (Komite
Medik RSUP Dr. Sardjito, 2000).

Penderita baru dengan kemungkinan ensefalitis harus dirawat inap sampai


menghilangnya gejala-gejala neurologik. Tujuan penatalaksanaan adalah mempertahankan
fungsi organ dengan mengusahakan jalan nafas tetap terbuka, pemberian makanan enteral
atau parenteral, menjaga keseimbangan cairan dan elektrolit dan koreksi gangguan asam
basa darah (Arif, 2000). Tata laksana yang dikerjakan sebagai berikut :

1. Mengatasi kejang adalah tindakan vital, karena kejang pada ensefalitis biasanya berat.
Pemberian Fenobarbital 5-8 mg/kgBB/24 jam. Jika kejang sering terjadi, perlu diberikan
Diazepam (0,1-0,2 mg/kgBB) IV, dalam bentuk infus selama 3 menit.
2. Memperbaiki homeostatis, dengan infus cairan D5 - 1/2 S atau D5 - 1/4 S (tergantung
umur) dan pemberian oksigen.
3. Mengurangi edema serebri serta mengurangi akibat yang ditimbulkan oleh anoksia serebri
dengan Deksametason 0,15-1,0 mg/kgBB/hari i.v dibagi dalam 3 dosis.
4. Menurunkan tekanan intrakranial yang meninggi dengan Manitol diberikan intravena
dengan dosis 1,5-2,0 g/kgBB selama 30-60 menit. Pemberian dapat diulang setiap 8-12
jam. Dapat juga dengan Gliserol, melalui pipa nasogastrik, 0,5-1,0 ml/kgbb diencerkan
dengan dua bagian sari jeruk. Bahan ini tidak toksik dan dapat diulangi setiap 6 jam
untuk waktu lama.
5. Pengobatan kausatif.
Sebelum berhasil menyingkirkan etilogi bakteri, terutama abses otak (ensefalitis
bakterial), maka harus diberikan pengobatan antibiotik parenteral. (Nelson, 1992)
Pengobatan untuk ensefalitis karena infeksi virus herpes simplek diberikan Acyclovir
intravena, 10 mg/kgbb sampai 30 mg/kgbb per hari selama 10 hari. Jika terjadi toleransi
maka diberikan Adenine arabinosa (vidarabin). Begitu juga ketika terjadi kekambuhan
setelah pengobatan dengan Acyclovir (Bradley, 1991). Dengan pengecualian
penggunaan Adenin arabinosid kepada penderita ensefalitis oleh herpes simplek, maka
pengobatan yang dilakukan bersifat non spesifik dan empiris yang bertujuan untuk
mempertahankan kehidupan serta menopang setiap sistem organ yang terserang.
Efektivitas berbagai cara pengobatan yang dianjurkan belum pernah dinilai secara
objektif (Nelson, 1992).
6. Fisioterapi dan upaya rehabilitatif setelah penderita sembuh
7. Makanan tinggi kalori protein sebagai terapi diet.
8. Lain-lain, perawatan yang baik, konsultan dini dengan ahli anestesi untuk mengantisipasi
kebutuhan pernapasan buatan

Gejala sisa maupun komplikasi karena ensefalitis dapat melibatkan susunan saraf pusat
dapat mengenai kecerdasan, motoris, psikiatris, epileptik, penglihatan dan pendengaran,
sistem kardiovaskuler, intraokuler, paru, hati dan sistem lain dapat terlibat secara menetap
(Nelson, 1992).
Gejala sisa berupa defisit neurologik (paresis/paralisis, pergerakan koreoatetoid),
hidrosefalus maupun gangguan mental sering terjadi (Harsono, 1996). Komplikasi pada bayi
biasanya berupa hidrosefalus, epilepsi, retardasi mental karena kerusakan SSP berat
(Kempe, 1982).
Prognosis bergantung pada kecepatan dan ketepatan pertolongan. Disamping itu perlu
dipertimbangkan pula mengenai kemungkinan penyulit yang dapat muncul selama
perawatan. Edema otak dapat sangat mengancam kehidupan penderita.
Prognosis jangka pendek dan panjang sedikit banyak bergantung pada etiologi penyakit
dan usia penderita. Bayi biasanya mengalami penyulit dan gejala sisa yang berat. Ensefalitis
yang disebabkan oleh VHS memberi prognosis yang lebih buruk daripada pognosis virus
entero (Nelson, 1992).
Kematian karena ensefalitis masih tinggi berkisar antara 35-50 %. Dari penderita yang hidup
20-40% mempunyai komplikasi atau gejala sisa. Penderita yang sembuh tanpa kelainan
neurologis yang nyata dalam perkembangan selanjutnya masih menderita retardasi mental,
epilepsi dan masalah tingkah laku (Anonim, 1985).

C. Rabies
Rabies disebabkan oleh virus neurotrop yang ditularkan kepada manusia melalui gigitan
anjing atau binatang apapun yang mengandung virus rabies. Setelah virus rabies melakukan
penetrasi kedalam sel tuan rumah, ia dapat menjalar melalui seranut saraf perifer ke susunan
saraf pusat. Sel-sel saraf (neuron) sangta peka terhadap virus tersebut. Dan sekali neuron
terkena infeksi virus rabies, proses infeksi itu tidak dapat dicegah lagi. Dan tahp viremia tidak
perlu dilewati untuk memperluas infeksi dan memperburuk keadaan. Neuron-neuron di
seluruh susunan saraf pusat dari mendula spinalis sampai di korteks tidak akan luput dari
daya destruksi virus rabies. Masa inkubasi rabies ialah beberapa minggu sampai beberapa
bulan. Jika dalam masa itu dapat diselenggarakan pencegahan supaya virus rabies tidak tiba
di neuron-neuron maka kematian dapat dihindarkan. Jika gejala-gejala prodromal sudah
bangkit tidak ada cara pengobatan yang dapat mengelakan progresivitas perjalanan penyakit
yang fatal ini.
Gejala-gejala prodromalnya terdiri dari lesu, dan letih badan, anoreksia, demam, cepat
marah-marah dan nyeri pada tempat yang telah digigit anjing. Suara berisik dan sinar terang
sangta menggagu penderita. Dalam 48 jam dapat bangkit gejala-gejala hipereksitasi.
Penderita menjadi gelisah, mengacau, berhalusinasi, meronta-ronta, kejang opistotonus, dan
hidrofobia. Tiap kali melihat air otot pernafasan dan larings berkejang, sehingga menjadi
sianotik dan apnoe. Air liur tertimbun didalam mulut oleh karena penderita tidak dapat
menelan. Angin juga mempunyai efek yang sama dengan air. Pada umumnya penderita
meninggal karena status epileptikus. Masa penyakit dari mula timbulnya prodom sampai mati
adalah 3-4 hari saja.

D. Poliomyelitis anterior akuta


Poliomyelitis atau polio, adalah penyakit paralisis atau lumpuh yang disebabkan oleh virus.
Polio telah disebut dengan banyak nama-nama yang berbeda, termasuk kelumpuhan anak-
anak, kelemahan dari anggota-anggota tubuh bagian bawah (kaki-kaki dan tangan-tangan),
dan spinal paralytic paralysis. Kita sekarang merujuk pada virus dan penyakit sebagai polio,
yang adalah kependekan untuk poliomyelitis dan mempunyai asal usul Yunani: polios (abu-
abu), myelos (sumsum), dan itis (peradangan).

Polio disebbkan oleh enterovirus, poliovirus (PV) yang sangat infeksius, yang terutama
mempengaruhi anak-anak muda dan disebarkan melalui kontak langsung orang ke orang,
dengan lendir, dahak, feces, yang terinfeksi atau oleh kontak dengan makanan dan air ang
terkontaminasi oleh feces dari individu lain yang terinfeksi. Virus berlipatganda dalam sistim
pencernaan dimana ia dapat juga menyerang sistim syaraf, menyebabkan kerusakan syaraf
yang permanen pada beberapa individu-individu.
Kabanyakan individu-individu yang terinfeksi dengan polio tetap asymptomatic atau
mengembangkan hanya gejala-gejala mirip flu yang ringan, termasuk kelelahan, malaise,
demam, sakit kepala, sakit tenggorokan, dan muntah. Faktanya, gejala-gejala, jika hadir,
mungkin hanya berlangsung 48-72 jam; bagaimanapun, individu-individu itu akan terus
menerus melepaskan virus dalam feces mereka untuk periode yang berkepanjangan,
melayani sebagai reservoir (gudang) untuk infeksi-infeksi berikut. Kira-kira 2%-5% dari
individu-individu yang terinfeksi terus mengembangkan gejala-geala yang lebih serius yang
mungkin termasuk persoalan-persoalan pernapasan dan kelumpuhan. Sekarang ini, tidak
ada penyembuhan untuk polio; hanya vaksinasi dapat mencegah penyebaran dari penyakit,
dan meskipun di dunia yang telah berkembang (negara maju) hampir tidak terdengar, secara
global, polio tetap penyakit yang cukup umum. Mulanya, organisasi-organisasi internasional
percaya mampu untuk membasmi polio pada tahun 2000, namun ini telah menjadi lebih sulit
daripada waktu awal diharapkan.

Gejala-gejala dari polio disebabkan oleh poliovirus, yang adalah virus RNA kecil yang
menyebar melalui kontak dengan lendir oral (mulut, hidung, dll). Paling umum, virus melekat
pada dan menginfeksi sel-sel usus, berlipatganda, dan dikeluarkan dalam feces dari individu
yang terinfeksi. Jarang, pada 2% dari kasus-kasus, virus menyebar dari sistim percernaan ke
sistim syaraf dan menyebabkan penyakit kelumpuhan.

Polio disebar dalam cara "oral-fecal". Infeksi dari orang ke orang terjadi dengan kontak
lendir, dahak, feces, yang terinfeksi atau dengan makanan dan air yang terkontaminasi oleh
feces dari individu lain yang terinfeksi.

Tanda-tanda dan gejala-gejala dari polio berbeda tergantung pada luas infeksi. Tanda-
tanda dan gejala-gejala dapat dibagi kedalam polio yang melumpuhkan (paralytic) dan polio
yang tidak melumpuhkan (non-paralytic).

Pada polio non-paralytic yang bertanggung jawab untuk kebanyakan individu-individu


yang terinfeksi dengan polio, pasien-pasien tetap asymptomatic atau mengembangkan hanya
gejala-gejala seperti flu yang ringan, termasuk kelelahan, malaise, demam, sakit kepala, sakit
tenggorokan, dan muntah. Gejala-gejala, jika hadir, mungkin hanya bertahan 48-72 jam,
meskipun biasanya mereka bertahan untuk satu sampai dua minggu.

Paralytic polio terjadi pada kira-kira 2% dari orang-orang yang terinfeksi dengan virus
polio dan adalah penyakit yang jauh lebih serius. Gejala-gejala terjadi sebagai akibat dari
sistim syaraf dan infeksi dan peradangan sumsum tulang belakang (spinal cord). Gejala-
gejala dapat termasuk:

 sensasi yang abnormal,


 kesulitan bernapas,
 kesulitan menelan,
 retensi urin,
 sembelit,
 mengeluarkan air liur (ileran),
 sakit kepala,
 turun naik suasana hati,
 nyeri dan kejang-kejang otot, dan
 kelumpuhan.

Kira-kira 5%-10% dari pasien-pasien yang mengembangkan polio yang melumpuhkan


seringkali meninggal dari kegagalan pernapasan, karena mereka tidak mampu untuk
bernapas sendiri. Itulah sebabya mengapa sangat mendesak bahwa pasien-pasien
menerima evaluasi dan perawatan medis yang tepat. Sebelum era vaksinasi dan
penggunaan dari ventilator-ventilator modern, pasien-pasien akan ditempatkan dalam "iron
lung" (ventilator bertekanan negatif, yang digunakan untuk mendukung pernapasan pada
pasien-pasien yang menderita polio yang melumpuhkan).

Diagnosis dari polio adalah secara klinik. Sejarah dari paparan dengan tidak ada sejarah
vaksinasi sebelumnya adalah petunjuk awal. Sering, penyadapan tulang belakang untuk
cairan CSF dilakukan untuk membantu membedakan polio dari penyakit-penyakit lain yang
awalnya mempunyai gejala-gejala yang serupa (contohnya, meningitis). Setelah itu,
pembiakan-pembiakan virus (diambil dari tenggorokan, feces, atau cairan CSF) dan
pengukuran dari antibodi-antibodi polio mendukung diagnosis.

Tidak ada penyembuhan untuk polio, jadi pencegahan adalah sangat penting. Pasien-
pasien dengan polio non-paralytic perlu dimonitor untuk kemajuan pada polio paralytic.
Pasien-pasien dengan polio paralytic perlu dimonitor untuk tanda-tanda dan gejala-gejala
dari kegagalan pernapasan, yang mungkin memerlukan terapi-terapi penyelamatan nyawa
seperti dukungan pernapasan. Sebagai tambahan, sejumlah perawatan-perawatan tersedia
untuk mengurangi beberapa dari gejala-gejala yang kurang parah. Ada obat-obat untuk
merawat infeksi-infeksi urin dan retensi urin dan rencana-rencana manajemen nyeri untuk
kejang-kejang otot. Sayangnya, hanya ada tindakan-tindakan pendukung yang tersedia untuk
merawat gejala-gejala dari polio paralytic. Pasien-pasien yang pulih dari polio mungkin
memerlukan terapi fisik, penunjang-penunjang tungkai, atau bahkan operasi orthopedic untuk
memperbaiki fungsi fisik.

Sejarah dari vaksin polio adalah benar-benar sejarah sukses kedokteran. Ia masih belum
selesai karena polio masih menyebabkan penyakit yang signifikan pada area-area yang
kurang berkembang dari dunia seperti di India and Afrika.

Selama paruh terakhir dari abad ke 19 dan kedalam paruh pertama dari abad ke 20,
polio adalah epidemik global. Bahkan presiden masa depan Amerika, Franklin D. Roosevelt,
mendapat polio paralytic pada tahun 1921. Presiden Franklin D. Roosevelt adalah cukup
berpengaruh dalam meningkatkan keduanya kesadaran publik dan penelitian ilmiah yang
berdedikasi pada pembasmian penyakit. Pada tahun 1938, setelah mendirikan National
Foundation for Infantile Paralysis (March of Dimes), ada usaha yang signifikan untuk
mengembangkan vaksin untuk mencegah polio. Ini membuahkan hasil pada tahun 1955
ketika Dr. Jonas Salk mengembangkan vaksin polio yang tidak diaktifkan yang dapat
disuntikan atau injectable inactivated polio vaccine (IVP) yang segera didistribusikan dan
disuntikan pada anak-anak diseluruh Amerika dan Kanada. Vaksin polio yang tidak diaktifkan
sekarang ini telah ditingkatkan melalui waktu, namun sejak tahun 1999, ia telah menjadi
bentuk dari vaksin polio yang direkomendasikan di negara-negara maju.

Pada tahun 1961, vaksin oral virus yang hidup terhadap polio (OVP) dikembangkan oleh
Albert Sabin yang menjadi tersedia dan digunakan secara luas dari tahun 1963 ke tahun
1999 di negara-negara maju dan pada saat ini di negara-negara berkembang. Vaksin oral
virus ini masih direkomendasikan untuk mengontrol pandemik polio diseluruh dunia
disebabkan oleh pemasukannya yang mudah (tidak ada jarum-jarum yang diperlukan).

Kedua vaksin-vaksin telah dikembangkan untuk anak-anak karena mereka adalah


kelompok yang umumnya nampak berada pada risiko yang paling tinggi. Bagaimanapun,
vaksin oral (OVP) harus tidak diberikan pada anak-anak yang adalah immunodepressed
karena mereka dapat mengembangkan vaccine-associated paralytic poliomyelitis (VAPP).

Vaksin yang disuntikan yang paling baru adalah vaksin polio yang tidak diaktifkan yang
ditingkatkan yang adalah lebih immunogenic (menghasilkan respon sistim imun yang kuat)
daripada IVP sebelumnya dan digunakan di Amerika; ia tidak menyebabkan VAPP. Original
OVP (juga diistilahkan tOVP) adalah vaksin oral trivalent (virus-virus polio tipe-tipe 1-3)
namun menyebabkan respon imun yang dapat diukur pada hanya kira-kira 40%-50% dari
rang-orang yang memperolehnya. Sayangnya, vaksin oral trivalent ini seringkali adalah tidak
cukup cepat immunogenic untuk menahan pelemahan atau pengeluaran dari sitim
pencernaan oleh diare kronis yang ada pada banyak pasien-pasien. OVP dimodifikasi pada
tahun 2005 ke monovalent (hanya virus polio tipe 1) yang diistilahkan mOVP1. Perubahan ini
menyebabkan vaksin menjadi tiga kali lebih immunogenic daripada original trivalent OVP dan
menghasilkan respon imun pada lebih dari 80% dari orang-orang yang memperoleh vaksin
oral ini. Vaksin oral yang lebih baru ini digunakan pada banyak negara-negara berkembang
dimana tidak ada jarum-jarum atau personal yang terlatih tersedia dan dimana diare kronis
lebih jauh mengurangi keefektifan dari original trivalent OVP. Monovalent OVP lain
(contohnya, mOVP3, yang digunakan untuk perjangkitan-perjangkitan yang jarang dari polio
tipe 3) adakalanya digunakan.

Sekarang ini, empat dosis-dosis dari vaksin polio yang tidak diaktifkan atau inactivated
polio vaccine (IPV) direkomendasikan untuk anak-anak ketika mereka berumur 2 bulan, 4
bulan, 6-18 bulan, dan akhirnya pada umur 4-6 tahun.

Karena program-program vaksinasi, telah ada sangat sedikit kasus-kasus dari polio di
negara-negara barat sejak tahun 1970an, dan meskipun program-program pembasmian
sekarang ini diseluruh dunia terus menerus sukses, masih ada pekerjaan yang harus
dilakukan untuk membasmi polio di negara-negara yang sedang berkembang.

2. Infeksi Bakteri
A. Meningitis Bakterial Akut
Meningitis bakterial adalah infeksi purulen ruang subarakhnoid. Biasanya akut,
fulminan, khas dengan demam, nyeri kepala, mual, muntah, dan kaku nukhal. Koma
terjadi pada 5-10 % kasus dan berakibat prognosis yang buruk. Kejang terjadi pada sekitar
20 % kasus, dan palsi saraf kranial pada 5 %. Meningitis bakterial yang tidak ditindak hampir
selalu fatal. CSS secara klasik memperlihatkan leukositosis polimorfonuklir, peninggian
protein, dan penurunan glukosa; pewarnaan Gram dari CSS memperlihatkan organisme
penyebab pada 75 % kasus. Kultur CSS memberi diagnosis pada 90 % kasus dan perlu
untuk melakukan tes sensitifitas antibiotika terhadap mikroba. Penurunan kesadaran,
terutama bila berhubungan dengan edema papil atau defisit neurologis fokal,
mengharuskan dilakukannya CT scan sebelum melakukan pungsi lumbar untuk
menyingkirkan lesi massa atau hidrosefalus. Hipertensi intrakranial difusa, tanpa adanya
lesi massa pada CT scan bukan kontraindikasi pungsi lumbar, tentunya dengan
pengetahuan yang baik tentang herniasi serta penanggulangannya. Pemeriksaan fisik
harus mencakup pemeriksaan teliti daerah inflamasi berdekatan seperti otitis dan
sinusitis dan mencari etiologi bakteremia seperti endokarditis. Kultur darah mungkin
positif.
Penelitian binatang memperlihatkan etiologi primer meningitis bakterial adalah invasi
leptomeningeal bakteri malalui darah yang berkoloni dimukosa naso-faring. Patogen
meningeal tersering adalah bakteria yang berkapsul. Setelah membentuk koloni
dinasofaring, bakteri berkapsul melintas epitel dan membuat jalan kealiran darah. Kapsul
menghambat fagositosis oleh neutrofil, jadi patogen meningeal memperlihatkan
kemampuan mempertahankan bakteremia transien. Mekanisme selanjutnya dimana bakteri
dalam darah mencapai lepto-mening dan ruang subarakhnoid belum begitu diketahui.
Sumber lain meningitis bakterial adalah perluasan langsung dari infeksi otorinologis,
walau kejadiannya jelas dikurangi oleh terapi dini antibiotic yang efektif terhadap otitis
atau sinusitis. Jarang, meningitis disebabkan inokulasi langsung pada cedera penetrating.
Tindakan terhadap meningitis akut, tergantung sumber primer, usia pasien, organism
penyebab, dan sensitifitas antibiotik. Tindakan harus diarahkan pada infeksi CSS maupun
sumber primer. Meningitis yang terjadi sekunder terhadap bakteremia dan perluasan
langsung otorinal cenderung disebabkan organisme yang biasa berkembang dinasofaring.
Terdapat pengaruh usia yang jelas pada meningitis oleh organism tersebut. Meningitis
setelah cedera otak traumatika serta fraktura tengkorak, dengan atau tanpa otorinorea CSS,
paling sering diakibatkan oleh S.pneumoniae. Meningitis yang terjadi setelah luka
penetrasi biasanya disebabkan stafolikokal, streptokokal, atau organism gram negatif.
Terapi empiris harus diperbaiki bila organism penyebab sudah dikenal. Penisilin G
dan ampisilin diketahui mempunyai manfaat yang sama pada kebanyakan infeksi
S.pneumoniae dan N.meningitidis. Dengan meningkatnya H.influenzae yang membentuk
beta-laktamase, saat ini (1993) sekitar 25 %, menyebabkan pemakaian ampisilin dan
kloramfenikol sebagai terapi empiris. Seftriakson atau sefotaksim memperlihatkan manfaat
dan sekarang dipakai sebagai terapi terpilih pada neonatus dan anak-anak. Walau
sefuroksim, sefalo-sporin generasi kedua, pernah umum digunakan untuk H.influenzae,
tidak lagi dianjurkan untuk infeksi SSP karena lambatnya sterilisasi CSS serta dilaporkan
terjadinya meningitis H. influenzae pada saat terapi sistemik. L. monocytogenes tidak
sensitive sefalosporin dan terapi yang dianjurkan adalah ampisilin atau penisilin G.
Pilihan lain adalah trimetoprim sulfa-metoksazol. Pasien dengan meningitis S. aureus
harus ditindak dengan nafsilin atau oksasilin, dengan vankomisin dicadangkan untuk
strain resisten metisilin dan S. epidermidis. Lamanya terapi meningitis, umumnya berdasar
empiris dan tradisi; biasanya 7-14 hari untuk patogen meningeal utama, dan 21 hari untuk
infeksi basil gram negatif. Tindakan terhadap meningitis basiler gram negative mengalami
revolusi dengan adanya sefalosporin generasi ketiga. Sefotaksim, seftazidim, dan
seftriakson dapat menembus CSS dan mecapai konsentrasi terapeutik hingga
memungkinkan terapi terhadap meningitis yang sebelumnya memerlukan terapi secara
intratekal; 78-94 % tingkat kesembuhan telah dilaporkan. Seftriakson, sefotaksim, dan
seftazidim terbukti bermanfaat. Sefalosporin generasi ketiga lainnya, seftizoksim dan
sefoperazon, belum dinilai dengan baik. Dianjurkan seftazidim dicadangkan untuk
pengobatan P.aeruginosa dalam kombinasi dengan aminoglikosida. Kegagalan regimen ini
mengharuskan pemberian aminoglikosida intratekal atau intraventrikuler untuk memperkuat
terapi.
Modifikasi inflamasi ruang subarachnoid dengan agen anti inflamatori mungkin
memperkecil akibat meningitis bakterial. Penelitian mutakhir terapi tambahan
deksametason pada bayi dan anak-anak dengan meningitis bakterial memperlihatkan
bahwa sekuele neurologis jangka panjang, terutama retardasi mental dan kehilangan
pendengaran, menurun pada pemberian deksametason 0.15 mg/kg IV setiap 6 jam pada
4 hari pertama terapi, dan tidak memperberat efek eradikasi infeksi. Saat ini penggunaan
deksametason dianjurkan pada pasien pediatrik berusia lebih dari 2 bulan.

B. Meningitis Tuberkulosa
Penyakit ini merupakan meningitis yang sifatnya subakut atau kronis dengan angka
kematian dan kecacadan yang cukup tinggi. Menurut pengamatan, meningitis tuberkulosis
merupakan 38,5% dari seluruh penderita dengan infeksi susunan saraf pusat yang dirawat di
bagian Saraf RS Dr Soetomo.

Manifestasi klinis :
Penulis menemukan adanya panas (94%), nyeri kepala (92%), muntah muntah, kejang
dan pemeriksaan neurologik menunjukkan adanya kaku tengkuk, kelumpuhan saraf kranial
(terutama N III, IV, VI, VII) (30%), edema papil dan kelumpuhan ekstremitas (20%) serta
gangguan kesadaran.

Diagnosis :
Diagnosis Meningitis tuberkulosis ditegakkan atas dasar :
1. Adanya gejala rangsangan selaput otak seperti kaku tengkuk, tanda Kernig dan
Brudzinski.
2. Pemeriksaan CSS menunjukkan :
-- peningkatan sel darah putih terutama limfosit
-- peningkatan kadar protein
-- penurunan kadar glukosa
3. Ditambah 2 atau 3 dari kriteria dibawah ini :
-- ditemukannya kuman tuberkulosis pada pengecatan dan pembiakan CSS
-- kelainan foto toraks yang sesuai dengan tuberculosis
-- pada anamnesis kontak dengan penderita tuberkulosis aktif

Stadium : Pembagian klinis ke dalam 3 stadium :


-- Stadium I : kesadaran penderita baik disertai rangsangan selaput otak tanpa tanda
neurologik fokal atau tanda hidrosefalus.
-- Stadium II : didapatkan kebingungan dengan atau tanpa disertai tanda neurologis fokal
misalnya kelumpuhan otot mata bagian luar atau adanya hemiparesis.
-- Stadium III : penderita dengan stupor atau delirium dengan hemiparesis/ paraparesis.

Pengobatan :
Beberapa kombinasi obat pernah diberikan untuk menanggulangi penyakit ini namun
pada dasarnya obat tersebut harus dapat menembus barrier darah otak, berada dalam CSS
dengan kadar yang cukup efektif dan aktivitas anti tuberkulosis tinggi, resistensi dan kerja
samping obat yang minimal.
Di RS Dr Soetomo dipakai kombinasi :
-- Streptomisin 20 - 30 mg/kg/hari selama 2 minggu kemudian dijarangkan 3 kali/minggu
hingga klinis dan laboratorium baik (perlu waktu kira-kira 6 minggu).
-- INH 20 - 25 mg/kg/hari pada anak anak atau 400 mg/hari pada dewasa selama 18
bulan.
-- Etambutol 25 mg/kg/hari sampai sel cairan serebrospinal normal, kemudian diturunkan
15 mg/kg/hari selama 18 bulan.
-- Rifampisin 15 mg/kg/hari selama 6 - 8 minggu. Kortikosteroid hanya dianjurkan bila
ditemukan tanda edema otak.

C. Abses Serebri

Abses otak adalah koleksi infeksi purulen berbatas tegas didalam parenkhima otak.
Perjalanan waktu dan perubahan yang terjadi selama pembentukan abses pada anjing
dikemukan oleh Britt. Sel inflamatori akut tampak pada pusat meterial yang nekrotik,
dikelilingi zona serebritis. Dengan maturasi, timbul neovaskularisasi periferal dan lambat
laun terbentuk cincin fibroblas yang menimbun kolagen dan makrofag, berakhir sebagai
kapsul berbentuk tegas. Apakah serebritis menjadi abses yang berkapsul tergantung pada
interaksi pasien-organisme dan pengaruh terapi. Pada manusia dengan sitema imun
baik, proses sejak infiltrasi bakterial hingga abses berkapsul memerlukan sekitar 2
minggu. Daerah terlemah dari kapsul cenderung merupakan daerah yang kurang vaskuler
yang menghadap ventrikel; karenanya migrasi sentrifugal proses inflamatori dengan ruptur
ventrikuler dan kematian merupakan sekuele yang umum pada masa prabedah dahulu kala.
Tanda dan gejala abses otak umumnya berhubungan dengan efek massa. Nyeri
kepala, defisit neurologis fokal, dan gangguan mentasi sering tampak. Demam terjadi
pada 50 % dari waktu, namun mungkin tidak ada atau sedikit bukti infeksi sistemik. Kejang
terjadi pada 25-60 % pasien. Edema otak, efek massa, dan pergeseran garis tengah
umum terjadi; karenanya pungsi lumbar kontraindikasi dan mempunyai nilai klinis yang 10
% kasus.
Abses otak umumnya terjadi sekunder terhadap infeksi ditempat lain, dan
bakteriologi sering menunjukkan sumber primer. Seperti empiema subdural, perluasan
intrakranial langsung dari sinus paranasal atau infeksi telinga adalah etiologi tersering.
Lesi ini adalah khas soliter dan ditemukan dilobus frontal pada sinusitis frontoetmoid,
dilobus temporal pada sinusitis maksiler, dan serebelum atau lobus temporal pada infeksi
otologis. Abses otak multipel menunjukkan penyebaran hematogen dari sumber jauh dan
infeksi sistemik yang umum seperti endokarditis bakterial, kelainan jantung kongenital
sianotik, pneumonia, dan divertikulitis harus dicari. Penyebaran hematogen, terutama
dari endokarditis, mungkin berhubungan dengan aneurisma intrakranial piogenik.
Kontaminasi otak langsung melalui cedera otak penetrating adalah penyebab lain
dari abses. Fragmen tulang yang belum dibuang serta debris lainnya umum dijumpai
pada pasien dengan infeksi otak traumatika.
Pembentukan abses jarang terjadi selama perjalanan meningitis bakterial, namun
merupakan faktor predisposisi pada 25 % abses otak pediatrik yang biasanya berkaitan
dengan meningitis Sitrobakter atau Proteus neonatal. Sebaliknya abses otak sering
dijumpai pada pasien dengan immunitas yang terganggu sekunder atas penggunaan
steroid, kelainan limfoproliferatif, dan transplantasi organ, dan absesnya cenderung
multipel.
Organisme yang paling sering dijumpai pada abses otak adalah Streptokokus,
Stafilokokus, dan Bakteroides, dengan organisme multipel pada 10-20 % kasus. Terapi
antibiotik empiris berdasar lokasi lesi dan sumber infeksi yang sudah dikenal, namun
beratnya penyakit serta sering terjadinya infeksi yang tidak terduga menyebabkan
dianjurkannya antibiotik jangkauan luas atas gram positif, gram negatif, dan anaerob
sebagai terapi empiris pada semua kasus.
CT scan mempunyai akurasi tinggi dalam melacak abses otak. Karena memberikan
deteksi yang dini dan memberikan lokalisasi yang akurat, CT scan paling
bertanggungjawab atas penurunan angka kematian dari 30-50 % kasus menjadi kurang
dari 15 % dalam dua decade terakhir.
Tujuan terapi adalah memastikan segera mikroba yang bertanggung-jawab serta
sensitifitas antibiotik, pensterilan SSP dan infeksi primer, menyingkirkan efek massa
segera, dan mengurangi edema otak. Pemberian kortikosteroid kontroversial. Selama
serebritis dan tahap awal kapsulisasi, atau pada pasien dengan risiko bedah tinggi dengan
abses kecil dan organisme penyebab diketahui, terapi medikal dengan antibiotika parenteral
mungkin cukup. Diluar itu harus dilakukan drainasi bedah terhadap material purulen baik
dengan aspirasi maupun eksisi disertai antibiotika paling tidak 4 minggu. Operasi akan
mengurangi efek massa dan karenanya mengurangi aspek paling kritis dan berbahaya
jenis infeksi ini. Operasi juga akan menunjukan organisme penyebab pada 60-80 %
kasus, memungkinkan biakan dapat dilakukan dengan teliti baik untuk organisme
aerob maupun anaerob. Dianjurkan tidak memberikan antibiotik prabedah bila operasi
dapat dilakukan segera karena kultur steril bisa terjadi. Walau eksisi bedah
memperlihatkan penurunan angka rekurensi, sekarang banyak yang menganjurkan
aspirasi abses otak stereotaktik yang dituntun ultrasonografi atau CT scan, dan
mencadangkan eksisi untuk lesi soliter dan superfisial, lesi yang mengandung benda
asing, atau gagal dengan aspirasi.

D. Abses Epidural Kranial

Infeksi intrakranial terbatas diruang epidural adalah komplikasi yang jarang dari
kontaminasi jaringan epi dural baik traumatika atau operatif. Lebih sering diakibatkan
oleh perluasan osteomielitis berdekatan. Bila dura intak, infeksi jarang meluas secara
transdural. Tindakannya adalah drainasi, debridemen dan antibiotik sistemik.
Abses epidural tulang belakang lebih sering dan biasanya memerlukan bedah gawat
darurat. Khas dengan demam, nyeri tulang belakang lokal, dan progresi yang cepat dari
defisit neurologis. Nyeri radikuler serta mielopati sering terjadi dalam beberapa hari sejak
gejala awal. Kebanyakan abses epidural disebabkan perluasan lokal dari osteomielitis
tulang belakang dan jarang melalui penyebaran hematogen dari infeksi jauh. CSS
memperlihatkan peninggian kadar protein yang jelas dan pleositosis ringan. Mielogram atau
MRI menampilkan perluasan massa epidural. Organisme penyebab tersering adalah S.
aureus dan terkadang Streptococcus sp. Basil gram negatif sering diisolasi dari pecandu
obat intravena. Mycobacterium tuberculosis merupakan penyebab berupa laminektomi
segera serta drainasi abses diikuti terapi antibiotika spesifik jangka panjang. Pemulihan
fungsi neurologi langsung berhubungan dengan lama dan beratnya gangguan sebelum
operasi.
E. Abses Subdural Kranial

Empiema subdural, infeksi purulen ruang subdural, terjadi karena perluasan langsung
melalui mening saat meningitis pada neonatus dan bayi, atau sebagai komplikasi
sinusitis paranasal atau otitis pada anak dan dewasa muda. Jarang secara hematogen dari
infeksi jauh, dan kontaminasi langsung dari trauma pernah dilaporkan. Diagnosis
didasarkan pada temuan klinis dan radiografis. Nyeri kepala, demam, dan meningismus
merupakan keluhan yang umum dan dapat timbul sejak 1-8 minggu sebelumnya. Kejang dan
defisit fokal juga biasa terjadi. CT scan dan MRI memperlihatkan koleksi subdural; namun
massa mungkin isodens pada CT scan, hingga memerlukan penguatan zat kontras agar
jelas terlihat. Pencitraan juga berguna dalam mendiagnosis infeksi sinus atau mastoid
penyebab. Risiko pungsi lumbar pada penderita yang diduga memiliki massa intracranial
mengharuskan dibatalkankannya tindakan ini hingga CT scan memastikan tidak adanya
efek massa intrakranial. Analisis CSS jarang sebagai diagnostik, namun bisa
menampakkan perubahan inflamatori nonspesifik.
Sumber otorinologis empiema subdural biasanya disebabkan streptokoki, stafilokoki dan
koki anaerob. Kelainan sinus paranasal adalah faktor etiologi yang paling sering pada
literatur barat. Sekali ruang subdural terkena, infeksi akan menyebar diatas konveksitas otak
serta kefisura interhemisferik dan fisura Sylvian. Penyebaran infratentorial terjadi pada 3-10
% infeksi, selalu sekunder dari perluasan otitis. Akumulasi pus sering cukup untuk
menimbulkan massa intrakranial. Reaksi inflamasi hebat memacu pembengkakan dan
edema otak. Tampilan klinisnya adalah perburukan neurologis cepat, sering dengan defisit
fokal, koma dan mati.
Empiema subdural sekunder terhadap meningitis umumnya bilateral dan kurang
fulminan dibanding yang sekunder terhadap infeksi otorinologis. H.influenza adalah
organisme utama; namun empiema S.pneumonia juga sering dilaporkan. Hidrosefalus
komunikating bisa terjadi karena resorpsi diatas konveksitas otak terganggu oleh infeksi.
Sebelum ditemukan penisilin, empiema subdural selalu fatal. Dengan antibiotika
sistemik dan drainasi bedah, tingkat mortalitas 25 %, dengan outcome buruk sangat
tergantung pada tingkat kesadaran sebelum tindakan dan ketidakmampuan
mengetahui organism patogenik. Bannister menganjurkan kraniotomi primer dengan
bukaan luas, eksplorasi subdural agresif, dan debridemen yang baik dari material purulen
material dari permukaan otak. Laporan mutakhir memperlihatkan pengurangan outcome
yang buruk dan mortalitas secara bermakna pada tindakan kraniotomi dibanding dengan
drainasi bur hole.
Sumber infeksi harus ditindak agresif, drainasi sinus dan mastoid sering diperlukan.
Antikonvulsan profilaktik dianjurkan karena insidens yang tinggi dari kejang. Keberhasilan
tindakan nonbedah pernah dilaporkan dengan mencoba terapi antibiotik saja pada
pasien dengan status neurologis utuh; pemeriksaan neurologis normal; dan lesi tunggal
dan terbatas pada CT scan.
Empiema subdural tulang belakang jarang. Biasanya timbul dari ekstensi transdural
lokal dari osteomielitis tulang belakang, atau melalui arakhnoid pada meningitis. Kompresi
kord tulang belakang dan mielitis transversa mungkin terjadi. Tindakan berupa drainasi
emergensi melalui laminektomi serta pemberian antibiotik jangka lama.

F. Efusi Subdural
Transudat yang tertimbun dibawah dura dinamakan efusi subdural. Transudat ini
merupakan komplikasi dari meningitis, terutama meningitis H.Influenza. keadaan tersebut
harus dicurigai apabila demam dan kaku kuduk sudah mereda tetapi penderita tetap
memperlihatkan kesadaran dan keadaan umum yang belum membaik. Karena lokalisasinya,
korteks serebri dapat terangsang oleh efusi itu dan menimbulkan epilepsy fokal. Disamping
itu tentunya gejala-gejala tekanan intracranial yang mininggi dapat ditemukan juga.

G. Tromboflebitis Kranial
Tromboflebitis dapat merupakan komplikasi dari osteomielitis tulang tengkorak,
mastoiditis, sinusitis, abses subdural ataupun infeksi pada daerah wajah yang menggunakan
system venous intracranial untuk darah baliknya. Salah satu jenis tromboflebitis yang
memperlihatkan gambaran penyakit yang kompleks ialah tromboflebitis sinus kavernosus,
yang lebih sering dinamakan thrombosis sinus kavernosus. Infeksi primernya ialah sinusitis
frontalis atau sfenoiditis ataupun etmoiditis. Infeksi sinus tranversus atau vena jugularis dapat
juga menjalar ke sinus kavernosus melalui sinus petrosus. Kemungkinan lain, ialah emboli
septic dari bisul didahi, karena aliran venous darid ahi bermuara di sinus kavernosus. Infeksi
sinus kavernosus cepat membentuk thrombus, sehingga menyumbat aliran darah balik.
Gejala0gejala akibat penyumbatan timbul pada salah satu sisi, tetapi kemudian secara
bilateral. Pada tahap penyebaran kuman didapati gejala-gejala : demam, sakit kepala,
muntah dan mual. Obstruksi vena oftalmika yang menghantarkan darah ke sinus kavernosus
mengakibatkan timbulnya edema diruang orbita serta kelopak mata. Karena itu ptosis,
kemosis dan eksoftalmus dapat terlihat. Gerakan bola mata keseluruh jurusa terbatas karena
edema orbital juga. Tetapi kemudian saraf otak ke 3, 4, dan 6 mengalami gangguan akibat
distensi dinding sinus kavernosus. Pada tahap ini retina memperlihatkan hemoragi dan
papiledema dengan gangguan daya penglihatan.
Sebelum gejala-gejala sinus kavernosus timbul secara lengkap pada salah satu orbita,
pada sisi lain sudah berkembang juga manifestasi thrombosis sinus kavernosus yang
tunggal. Dengan pengobatan antibiotika penyakit terlukis diatas dapat disembuhkan, tetapi
sebelum zaman antibiotika selalu diakhiri dengan kematian.

H. Abses Epidural Spinal

Duramater tulang belakang terpisah dari arkus vertebra oleh jaringan pengikat yang longggar.
Jaringan tersebut seolah-olah menyediakan ruang untuk kuman yang dapat membentuk abses. Karena
itu, manifestasi abses epidural spinalis yang mencerminkan efek proses desak ruang dari sisi posterior.
Factor etiologi dan presipitasi yang penting bagi abses epidural yang akut ialah diabetes mellitus
dan infeksi Staphylococcus aureus yang berupa bisul di kulit atau osteomyelitis pada korpus, lamina
atau pedikel tulang belakang. Yang paling sering terkena adalah bagian torakal. Bagi jenis yang
kronik, spondilitis tuberkulosa merupakan penyakit primernya.
Tergantung pada lokasi abses epidural, maka paraplegi dengan deficit sensorik akan berkembang
secara berangsur-angsur. Kompresi medula spinalis mulai dengan nyeri tulang belakang, kemudian
nyeri radikuler, dan paraplegia akan tibul sedikit demi sedikit dengan gangguan perasaan getar, gerak,
dan posisi sebagai gejala dininya. Pemeriksaan penunjang untuk menentukan diagnosis yang penting
meliputi kultur darah dan MRI medulla spinalis. Bila MRI tidak memungkinkan maka bisa dilakukan
CT myelography. Lumbal punksi dikontraindikasikan pada pasien dengan kecurigaan abses epidiral
spinal ini karena dikhawatirkan dapat menyebarkan materi purulen kedalam ruang subarachnoid.
Penatalaksanaan penyakit ini meliputi pengobatan medis dan pengobatan bedah. Terapi medis
meliputi pemberian antibiotic yang adekuat dan harus diberikan sedini mungkin. Durasi dari
pengobatan ini biasanya mencapai 3-4 minggu. Karena agen yang biasa menginfeksi ialah S.aureus,
maka terapi yang diberikan ialah dari golongan penicillin, cephalosporin, atau vancomycin. Contoh-
contoh preparat yang digunakan ialah Ceftriaxone (Rocephin), Nafcillin (Unipen), Cefazolin (Ancef,
Kefzol, Zolicef), Vancomycin (Vancocin).
Terapi bedah yang biasa digunakan ialah dekompresi pada tulang belakang dan drainase abses,
indikasi terapi pembedahan ini ialah adanya peningkatan deficit neurologik, rasa sakit menjadi-jadi dan
demam yang menetap, serta leukositosis. Keberhasilan terapi dilaporkan dengan menggunakan
kombinasi antara aspirasi abses dan terapi antibiotic yang adekuat.
Komplikasi yang biasa terjadi pada cedera spinal meliputi disfungsi kandung kemih, decubiti,
supine hypertension, sepsis berulang, dan lain sebagainya. Prognosis pada pasien dengan penyakit ini
bervariasi, bergantung pada onset dan derajat penyakit pada saat pertama kali ditemukan.

I. Abses Subdural Spinal


Abses ini jarang dijumpai. Bila ada, gejala-gejalanya juga sukar dibedakan dari abses epidural
spinal. Orang-orang yang mendapatkannya biasanya juga penderita diabetes mellitus yang mempunyai
bisul atau infeksi fokal lainnya.

J. Tetanus

Tetanus adalah suatu toksemia akut yang disebabkan oleh neurotoksin yang dihasilkan
oleh Clostridium tetani ditandai dengan spasme otot yang periodik dan berat.
Tetanus ini biasanya akut dan menimbulkan paralitik spastik yang disebabkan
tetanospasmin. Tetanospamin merupakan neurotoksin yang diproduksi oleh Clostridium
tetani.
Tetanus disebut juga dengan "Seven day Disease ". Dan pada tahun 1890, diketemukan
toksin seperti strichnine, kemudian dikenal dengan tetanospasmin, yang diisolasi dari tanah
anaerob yang mengandung bakteri. lmunisasi dengan mengaktivasi derivat tersebut
menghasilkan pencegahan dari tetanus. ( Nicalaier 1884, Behring dan Kitasato 1890 ).
Spora Clostridium tetani biasanya masuk kedalam tubuh melalui luka pada kulit oleh
karena terpotong , tertusuk ataupun luka bakar serta pada infeksi tali pusat (Tetanus
Neonatorum).

Tetanospasmin adalah toksin yang menyebabkan spasme,bekerja pada beberapa level


dari susunan syaraf pusat, dengan cara :

a. Toksin menghalangi neuromuscular transmission dengan cara menghambat


pelepasan acethyl-choline dari terminal nerve di otot.

b. Kharekteristik spasme dari tetanus ( seperti strichmine ) terjadi karena toksin


mengganggu fungsi dari refleks synaptik di spinal cord.
c. Kejang pada tetanus, mungkin disebabkan pengikatan dari toksin oleh cerebral
ganglioside.
d. Beberapa penderita mengalami gangguan dari Autonomik Nervous System (ANS
) dengan gejala : berkeringat, hipertensi yang fluktuasi, periodisiti takikhardia,
aritmia jantung, peninggian cathecholamine dalam urine.
Kerja dari tetanospamin analog dengan strychninee, dimana ia mengintervensi fungsi
dari arcus refleks yaitu dengan cara menekan neuron spinal dan menginhibisi terhadap
batang otak.

Timbulnya kegagalan mekanisme inhibisi yang normal, yang menyebabkan


meningkatnya aktifitas dari neuron Yang mensarafi otot masetter sehingga terjadi trismus.
Oleh karena otot masetter adalah otot yang paling sensitif terhadap toksin tetanus tersebut.
Stimuli terhadap afferen tidak hanya menimbulkan kontraksi yang kuat, tetapi juga
dihilangkannya kontraksi agonis dan antagonis sehingga timbul spasme otot yang khas .

Ada dua hipotesis tentang cara bekerjanya toksin, yaitu:

1. Toksin diabsorbsi pada ujung syaraf motorik dari melalui sumbu silindrik dibawa
kekornu anterior susunan syaraf pusat
2. Toksin diabsorbsi oleh susunan limfatik, masuk kedalam sirkulasi darah arteri
kemudian masuk kedalam susunan syaraf pusat.
Toksin tetanospamin menyebar dari saraf perifer secara ascending bermigrasi secara
sentripetal atau secara retrogard mcncapai CNS. Penjalaran terjadi didalam axis silinder dari
sarung parineural. Teori terbaru berpendapat bahwa toksin juga menyebar secara luas
melalui darah (hematogen) dan jaringan/sistem lymphatic.

Masa inkubasi 5-14 hari, tetapi bisa lebih pendek (1 hari atau lebih lama 3 atau beberapa
minggu ).
Karekteristik dari tetanus
 Kejang bertambah berat selama 3 hari pertama, dan menetap selama 5 -7 hari.
 Setelah 10 hari kejang mulai berkurang frekwensinya
 Setelah 2 minggu kejang mulai hilang.
 Biasanya didahului dengan ketegangaan otot terutama pada rahang dari leher.
 Kemudian timbul kesukaran membuka mulut ( trismus, lockjaw ) karena spasme
otot masetter.
 Kejang otot berlanjut ke kaku kuduk ( opistotonus , nuchal rigidity )
 Risus sardonicus karena spasme otot muka dengan gambaran alis tertarik
keatas, sudut mulut tertarik keluar dan ke bawah, bibir tertekan kuat.
 Gambaran Umum yang khas berupa badan kaku dengan opistotonus, tungkai
dengan eksistensi, lengan kaku dengan mengepal, biasanya kesadaran tetap
baik.
 Karena kontraksi otot yang sangat kuat, dapat terjadi asfiksia dan sianosis,
retensi urin, bahkan dapat terjadi fraktur collumna vertebralis ( pada anak ).

Selama eksotosin masih diproduksi terapi untuk memberantas manifestasi tetanus tidak
bermanfaat. Maka eksisi tempat klostridium tetani masuk kedalam tubuh harus dilakukan,
supaya kumanya ikut terbuang dan produksi eksotoksin tidak ada lagi.

K. Lepra

Lepra (penyakit Hansen) adalah infeksi menahun yang terutama ditandai oleh adanya
kerusakan saraf perifer (saraf diluar otak dan medulla spinalis), kulit, selaput lendir hidung,
buah zakar (testis) dan mata. Penyebab bakteri Mycobacterium leprae.
Cara penularan lepra belum diketahui secara pasti. Jika seorang penderita lepra berat
dan tidak diobati bersin, maka bakteri akan menyebar ke udara. Sekitar 50% penderita
kemungkinan tertular karena berhubungan dekat dengan seseorang yang terinfeksi. Infeksi
juga mungkin ditularkan melalui tanah, armadillo, kutu busuk dan nyamuk.
Sekitar 95% orang yang terpapar oleh bakteri lepra tidak menderita lepra karena sistem
kekebalannya berhasil melawan infeksi. Penyakit yang terjadi bisa ringan (lepra tuberkuloid)
atau berat (lepra lepromatosa). Penderita lepra ringan tidak dapat menularkan penyakitnya
kepada orang lain.
Lebih dari 5 juta penduduk dunia yang terinfeksi oleh kuman ini. Lepra paling banyak
terdapat di Asia, Afrika, Amerika Latin dan kepulauan Samudra Pasifik. Infeksi dapat terjadi
pada semua umur, paling sering mulai dari usia 20an dan 30an. Bentuk lepromatosa 2 kali
lebih sering ditemukan pada pria.
Bakteri penyebab lepra berkembangbiak sangat lambat, sehingga gejalanya baru muncul
minimal 1 tahun setelah terinfeksi (rata-rata muncul pada tahun ke-5-7). Gejala dan tanda
yang muncul tergantung kepada respon kekebalan penderita.
Jenis lepra menentukan prognosis jangka panjang, komplikasi yang mungkin terjadi dan
kebutuhan akan antibiotik.
Lepra tuberkuloid ditandai dengan ruam kulit berupa 1 atau beberapa daerah putih
yang datar.
Daerah tersebut bebal terhadap sentuhan karena mikobakteri telah merusak saraf-sarafnya.
Pada lepra lepromatosa muncul benjolan kecil atau ruam menonjol yang lebih besar
dengan berbagai ukuran dan bentuk. Terjadi kerontokan rambut tubuh, termasuk alis dan
bulu mata.
Lepra perbatasan merupakan suatu keadaan yang tidak stabil, yang memiliki gambaran
kedua bentuk lepra. Jika keadaannya membaik, maka akan menyerupai lepra tuberkuloid;
jika kaeadaannya memburuk, maka akan menyerupai lepra lepromatosa.
Selama perjalanan penyakitnya, baik diobati maupun tidak diobati, bisa terjadi reaksi
kekebalan tertentu, yang kadang timbul sebagai demam dan peradangan kulit, saraf tepi dan
kelenjar getah bening, sendi, buah zakar, ginjal, hati dan mata. Pengobatan yang diberikan
tergantung kepada jenis dan beratnya reaksi, bisa diberikan kortikosteroid atau talidomid.
Mycobacterium leprae adalah satu-satunya bakteri yang menginfeksi saraf tepi dan
hampir semua komplikasinya merupakan akibat langsung dari masuknya bakteri ke dalam
saraf tepi. Bakteri ini tidak menyerang otak dan medulla spinalis. Kemampuan untuk
merasakan sentuhan, nyeri, panas dan dingin menurun, sehingga penderita yang mengalami
kerusakan saraf tepi tidak menyadari adanya luka bakar, luka sayat atau mereka melukai
dirinya sendiri. Kerusakan saraf tepi juga menyebabkan kelemahan otot yang menyebabkan
jari-jari tangan seperti sedang mencakar dan kaki terkulai. Karena itu penderita lepra menjadi
tampak mengerikan.
Penderita juga memiliki luka di telapak kakinya. Kerusakan pada saluran udara di hidung
bisa menyebabkan hidung tersumbat. Kerusakan mata dapat menyebabkan kebutaan.
Penderita lepra lepromatosa dapat menjadi impoten dan mandul, karena infeksi ini dapat
menurunkan kadar testosteron dan jumlah sperma yang dihasilkan oleh testis.
Selain serabut saraf sensorik, juga serabut saraf autonom ikut terkena, maka gejala
manifestasi lepra saraf tepi berupa neuritis, terutama neuritis trofosensorik, dimana deficit
sensorik dan gangguan trofik menonjol sekali.

L. Botulisme

Botulism adalah jarang terjadi, racun yang mengancam nyawa disebabkan oleh racun-racun
yang dihasilkan oleh bakteri clostridium botulinum.

 Racun botulism, biasanya dikonsumsi dalam makanan, bisa melemahkan atau


melumpuhkan otot.
 Botulism bisa mulai dengan mulut kering, penglihatan ganda, dan ketidakmampuan
untuk fokus pada mata atau dengan gangguan lambung.
 Dokter meneliti contoh darah, kotoran, atau jaringan luka, dan electromyography
kemungkinan dilakukan.
 Penyiapan dan penyimpanan makanan dengan hati-hati membantu mencegah
botulism.
 Antitoksin digunakan untuk mencegah atau memperlambat efek racun.

Botulism biasanya merupakan jenis makanan beracun.

Racun yang menyebabkan botulism, yang sangat berpotensi racun, bisa sangat merusak
fungsi syaraf. Karena racun ini merusak syaraf, mereka disebut neurotoxin. Racun botulism
melumpuhkan otot dengan menghambat pelepasan pada neurotransmitter acetycholine dari
syaraf. Pada dosis yang sangat kecil, racun bisa digunakan untuk menghilangkan kejang otot dan
untuk mengurangi kerutan.

Bakteri clostridium botulinum membentuk sel reproduksi yang disebut spora. Seperti biji,
spora bisa hidup di bagian yang tidak aktif untuk beberapa tahun, dan mereka sangat bersifat
melawan terhadap kerusakan. Ketika kelembaban dan bahan bergizi ada dan oksigen tidak ada
(seperti pada usus atau botol atau kaleng bersegel), spora tersebut mulai bertumbuh dan
menghasilkan racun. Beberapa racun dihasilkan oleh clostridium botulinum tidak dihancurkan
oleh enzim pelindung usus.

Clostridium botulinum adalah banyak di lingkungan sekitar, dan spora bisa ditransportasikan
oleh udara. Kebanyakan kasus pada botulism dihasilkan dari pencernaan atau penghisapan pada
kotoran dan debu dalam jumlah kecil. Spora bisa juga memasuki tubuh melalui mata atau luka di
kulit.

Terdapat beberapa bentuk berbeda pada botulism.

Foodborne botulism terjadi ketika makanan terkontaminasi dengan racun dimakan. Sumber
yang paling umum pada foodborne botulism adalah makanan kaleng rumahan, terutama
makanan berisi asam rendah, seperti asparagus, kacang hijau, bit, dan jagung. Sumber lainnya
termasuk irisan bawang putih dalam minyak, lada cabe rawit, tomat, kentang bakar dibungkus
kertas perak yang tengah dibiarkan pada suhu ruangan terlalu lama, ikan kaleng rumahan dan
fermentasi. Meskipun begitu, sekitar 10% penguraian terjadi dari makan makanan cepat saji,
sangat sering terjadi, sayuran, ikan, buah-buahan, dan rempah-rempah (seperti salsa). Jarang
terjadi, daging, produk susu, daging babi, unggas, dan makanan lain yang menyebabkan
botulism.

Luka botulism terjadi ketika clostridium botulinum mengkontaminasi luka atau masuk ke
dalam jaringan lain. Di dalam luka, bakteri menghasilkan racun yang diserap ke dalam aliran
darah. Obat-obatan suntik dengan jarum yang tidak disterilisasi bisa menyebabkan botulism jenis
ini, sebagaimana bisa disuntikkan mengandung heroin ke dalam otot atau di bawah kulit (kulit
melepuh).

Botulism bayi terjadi pada bayi yang makan makanan mengandung spora pada bakteri
dibanding racun. Spora tersebut kemudian berkembang di dalam usus bayi, dimana mereka
menghasilkan racun, penyebab pada kebanyakan kasus tidak diketahui, tetapi beberapa kasus
telah dihubungkan dengan pencernaan pada madu. Botulism bayi terjadi paling umum diantara
bayi yang lebih muda dari usia 6 bulan.

Gejala-gejala pada foodborne botulism terjadi tiba-tiba, biasanya 18 sampai 36 jam setelah
racun memasuki tubuh, meskipun gejala-gejala bisa mulai lebih cepat selama 4 jam atau
selambat-lambatnya 8 hari setelah mencerna racun. Racun yang lebih banyak diserap, lebih
cepat orang menjadi sakit. Biasanya, orang menjadi sakit dalam waktu 24 jam makan makanan
terkontaminasi adalah yang sangat parah terkena.

Gejala-gejala pertama pada foodborne atau luka botulism biasanya termasuk mulut kering,
penglihatan ganda, kelopak mata layu, dan ketidakmampuan untuk fokus pada benda di
sekitarnya. Pupil pada mata tidak mengkerut dengan normal ketika terkena sinar selama
pemeriksaan mata. Bagaimanapun, pada foodborne botulism, gejala-gejala pertama seringkali
mual, muntah, kram perut, dan diare. Orang yang memiliki luka botulism tidak mengalami gejala-
gejala pencernaan apapun.

Kerusakan syaraf oleh racun mempengaruhi kekuatan otot tetapi bukan indra perasa. Nada
otot pada wajah kemungkinan hilang. Berbicara dan menelan menjadi sulit. Karena kesulitan
menelan maka, makanan atau ludah seringkali terhisap (asoirated) ke dalam paru-paru,
menyebabkan cekikan atau sumbatan dan meningkatkan resiko pneumonia. Beberapa orang
menjadi sembelit. Otot pada lengan dan kaki dan otot yang berhubungan dalam pernafasan
menjadi lemah secara progresif sebagaimana gejala-gejala secara bertahap menurunkan tubuh.
Masalah pernafasan kemungkinan mengancam nyawa. Pikiran biasanya tetap jernih.

Pada sekitar 90% bayi dengan infant botulism, sembelit adalah gejala awal. Kemudian otot
menjadi lumpuh, dimulai dari wajah dan kepala dan segera menuju lengan, kaki dan otot yang
berhubungan dengan pernafasan. Kelopak mata layu, menangis lemah, bayi tidak bisa
menghisap, dan wajah mereka kehilangan ekspresi. Kisaran masalah dari menjadi lemah dan
lambat makan sampai kehilangan nada otot dalam jumlah besar dan mengalami kesulitan
bernafas. Ketika bayi kehilangan nada otot, mereka bisa merasa timpang yang abnormal.

3. Infeksi Spiroketa
A. Leptospirosis

Leptospirosis adalah penyakit manusia dan hewan dari kuman dan disebabkan kuman
Leptospira yang ditemukan dalam air seni dan sel-sel hewan yang terkena.

Penularan leptospirosis melalui air minum yang terkontaminasi dengan kencing host
leptospira seperti tikus, kelinci, marmot. Penularan antar manusia tidak pernah terjadi karena
leptospira tidak dapat hidup dalam urine manusia yang keasamannya rendah.

Kuman masuk kedalam traktus digestivus menyebar melalui pembuluh darah ke organ-
organ tubuh terutama ke hati dan ginjal kemudian menimbulkan reaksi peradangan, oedema
akhirnya terjadi hepatic failure dengan ikterus obstruktif, renal failure.

Gejala dini Leptospirosis umumnya adalah demam, sakit kepala parah, nyeri otot, merah,
muntah dan mata merah. Aneka gejala ini bisa meniru gejala penyakit lain seperti selesma,
jadi menyulitkan diagnosa. Malah ada penderita yang tidak mendapat semua gejala itu.

Gejala lain yang menyertainya : myalgia, konjunctivitis perikorneal, uveitis, hemorhagi,


meningitis leptospirosis (paling sering ± 50%), hemorhagi serebri. Meningitis leptospirosis
menyerupai meningitis serosa / meningitis aseptic.

Ada penderita Leptospirosis yang lebih lanjut mendapat penyakit parah, termasuk
penyakit Weil yakni kegagalan ginjal, sakit kuning (menguningnya kulit yang menandakan
penyakit hati) dan perdarahan masuk ke kulit dan selaput lendir. Pembengkakan selaput otak
atau Meningitis dan perdarahan di paru-paru pun dapat terjadi. Kebanyakan penderita yang
sakit parah memerlukan rawat inap dan Leptospirosis yang parah malah ada kalanya
merenggut nyawa.

B. Sifilis

Sifilis adalah penyakit menular seksual yang disebabkan oleh Treponema pallidum.
Bakteri ini masuk kedalam tubuh manusia melalui selaput lendir (misalnya di vagina atau mulut)
atau melalui kulit. Dalam beberapa jam, bakteri akan sampai ke kelenjar getah bening terdekat,
kemudian menyebar ke seluruh tubuh melalui aliran darah. Sifilis juga bisa menginfeksi janin
selama dalam kandungan dan menyebabkan cacat bawaan.

Seseorang yang pernah terinfeksi oleh sifilis tidak akan menjadi kebal dan bisa terinfeksi
kembali. Gejala biasanya mulai timbul dalam waktu 1-13 minggu setelah terinfeksi; rata-rara 3-4
minggu. Infeksi bisa menetap selama bertahun-tahun dan jarang menyebabkan kerusakan
jantung, kerusakan otak maupun kematian.
Infeksi oleh Treponema pallidum berkembang melalui 4 tahapan:

1. Fase Primer.

Terbentuk luka atau ulkus yang tidak nyeri (cangker) pada tempat yang terinfeksi; yang
tersering adalah pada penis, vulva atau vagina. Cangker juga bisa ditemukan di anus, rektum,
bibir, lidah, tenggorokan, leher rahim, jari-jari tangan atau bagian tubuh lainnya. Biasanya
penderita hanya memiliki1 ulkus, tetapi kadang-kadang terbentuk beberapa ulkus. Cangker
berawal sebagai suatu daerah penonjolan kecil yang dengan segera akan berubah menjadi suatu
ulkus (luka terbuka), tanpa disertai nyeri. Luka tersebut tidak mengeluarkan darah, tetapi jika
digaruk akan mengeluarkan cairan jernih yang sangat menular. Kelenjar getah bening terdekat
biasanya akan membesar, juga tanpa disertai nyeri.

Luka tersebut hanya menyebabkan sedikit gejala sehingga seringkali tidak dihiraukan.
Luka biasanya membaik dalam waktu 3-12 minggu dan sesudahnya penderita tampak sehat
secara keseluruhan.

2. Fase Sekunder.

Fase sekunder biasanya dimulai dengan suatu ruam kulit, yang muncul dalam waktu 6-12
minggu setelah terinfeksi. Ruam ini bisa berlangsung hanya sebentar atau selama beberapa
bulan. Meskipun tidak diobati, ruam ini akan menghilang. Tetapi beberapa minggu atau bulan
kemudian akan muncul ruam yang baru.

Pada fase sekunder sering ditemukan luka di mulut. Sekitar 50% penderita memiliki pembesaran
kelenjar getah bening di seluruh tubuhnya dan sekitar 10% menderita peradangan mata.
Peradangan mata biasanya tidak menimbulkan gejala, tetapi kadang terjadi pembengkakan saraf
mata sehingga penglihatan menjadi kabur. Sekitar 10% penderita mengalami peradangan pada
tulang dan sendi yang disertai nyeri. Peradangan ginjal bisa menyebabkan bocornya protein ke
dalam air kemih. Peradangan hati bisa menyebabkan sakit kuning (jaundice). Sejumlah kecil
penderita mengalami peradangan pada selaput otak (meningitis sifilitik akut), yang menyebabkan
sakit kepala, kaku kuduk dan ketulian.

Di daerah perbatasan kulit dan selaput lendir serta di daerah kulit yang lembab, bisa terbentuk
daerah yang menonjol (kondiloma lata). Daerah ini sangat infeksius (menular) dan bisa kembali
mendatar serta berubah menjadi pink kusam atau abu-abu. Rambut mengalami kerontokan
dengan pola tertentu, sehingga pada kulit kepala tampak gambaran seperti digigit ngengat.
Gejala lainnya adalah merasa tidak enak badan (malaise), kehilangan nafsu makan, mual, lelah,
demam dan anemia.

3. Fase Laten.

Setelah penderita sembuh dari fase sekunder, penyakit akan memasuki fase laten
dimana tidak nampak gejala sama sekali. Fase ini bisa berlangsung bertahun-tahun atau
berpuluh-puluh tahun atau bahkan sepanjang hidup penderita. Pada awal fase laten kadang luka
yang infeksius kembali muncul . dan apabila penyebab manifestasi sifilis tahap kedua itu tidak
dikenal maka infeksi treponema palidum akan terus berjalan tanpa halangan, sehingga susunan
saraf pusat juga akan mengalami invasi kuman tersebut. Dalam hal ini kuman akan tersebar
secara difus dikorteks serebri dan bagian-bagian susunan safar pusat lainnya. Gambaran
penyakit berupa organic brain syndrome. Prodromnya bersifat umum seperti sakit kepala,
insomnia, cepat lupa, daya konsentrasi mengurang dan letih badan. Tetapi selanjutnya akan
timbul demensia dengan perubahan watak bahkan psikosis.

4. Fase Tersier.
Pada fase tersier penderita tidak lagi menularkan penyakitnya. Gejala bervariasi mulai
ringan sampai sangat parah. Gejala ini terbagi menjadi 3 kelompok utama :

- Sifilis tersier jinak. Pada saat ini jarang ditemukan. Benjolan yang disebut gumma
muncul di berbagai organ; tumbuhnya perlahan, menyembuh secara bertahap dan meninggalkan
jaringan parut. Benjolan ini bias ditemukan di hampir semua bagian tubuh, tetapi yang paling
sering adalah pada kaki dibawah lutut, batang tubuh bagian atas, wajah dan kulit kepala. Tulang
juga bisa terkena, menyebabkan nyeri menusuk yang sangat dalam yang biasanya semakin
memburuk di malam hari.
- Sifilis kardiovaskuler. Biasanya muncul 10-25 tahun setelah infeksi awal. Bisa terjadi
aneurisma aorta atau kebocoran katup aorta. Hal ini bias menyebabkan nyeri dada, gagal
jantung atau kematian.
- Neurosifilis. Sifilis pada sistem saraf terjadi pada sekitar 5% penderita yang tidak
diobati. 3 jenis utama dari neurosifilis adalah neurosifilis meningovaskuler, neurosifilis paretik dan
neurosifilis tabetik.

Neurosifilis meningovaskuler. Merupakan suatu bentuk meningitis kronis. Gejala yang


terjadi tergantung kepada bagian yang terkena, apakah otak saja atau otak dengan medulla
spinalis:

 Jika hanya otak yang terkena akan timbul sakit kepala, pusing, konsentrasi yang buruk, kelelahan
dan kurang tenaga, sulit tidur, kaku kuduk, pandangan kabur, kelainan mental, kejang,
pembengkakan saraf mata (papiledema), kelainan pupil, gangguan berbicara (afasia) dan
kelumpuhan anggota gerak pada separuh badan.
 Jika menyerang otak dan medulla spinalis gejala berupa kesulitan dalam mengunyah, menelan
dan berbicara; kelemahan dan penciutan otot bahu dan lengan; kelumpuhan disertai kejang otot
(paralisa spastis); ketidakmampuan untuk mengosongkan kandung kemih dan peradangan
sebagian dari medulla spinalis yang menyebabkan hilangnya pengendalian terhadap kandung
kemih serta kelumpuhan mendadak yang terjadi ketika otot dalam keadaan kendur (paralisa
flasid).

Neurosifilis paretik. Juga disebut kelumpuhan menyeluruh pada orang gila. Berawal
secara bertahap sebagai perubahan perilaku pada usia 40-50 tahun. Secara perlahan mereka
mulai mengalami demensia. Gejalanya berupa kejang, kesulitan dalam berbicara, kelumpuhan
separuh badan yang bersifat sementara, mudah tersinggung, kesulitan dalam berkonsentrasi,
kehilangan ingatan, sakit kepala, sulit tidur, lelah, letargi, kemunduran dalam kebersihan diri dan
kebiasaan berpakaian, perubahan suasana hati, lemah dan kurang tenaga, depresi, khayalan
akan kebesaran dan penurunan persepsi.

Neurosifilis tabetik. Disebut juga tabes dorsalis. Merupakan suatu penyakit medulla
spinalis yang progresif, yang timbul secara bertahap. Gejala awalnya berupa nyeri menusuk yang
sangat hebat pada tungkai yang hilang-timbul secara tidak teratur. Penderita berjalan dengan
goyah, terutama dalam keadaan gelap dan berjalan dengan kedua tungkai yang terpisah jauh,
kadang sambil mengentakkan kakinya. Penderita tidak dapat merasa ketika kandung kemihnya
penuh sehingga pengendalian terhadap kandung kemih hilang dan sering mengalami infeksi
saluran kemih. Bisa terjadi impotensi. Bibir, lidah, tangan dan seluruh tubuh penderita gemetaran.
Tulisan tangannya miring dan tidak terbaca. Sebagian besar penderita berperawakan kurus
dengan wajah yang memelas. Mereka mengalami kejang disertai nyeri di berbagai bagian tubuh,
terutama lambung. Kejang lambung bisa menyebabkan muntah. Kejang yang sama juga terjadi
pada rektum, kandung kemih dan pita suara. Rasa di kaki penderita berkurang, sehingga bisa
terbentuk luka di telapak kakinya. Luka ini bisa menembus sangat dalam dan pada akhirnya
sampai ke tulang di bawahnya. Karena rasa nyeri sudah hilang, maka sendi penderita bisa
mengalami cedera.

Kini sifilis sudah dapat diberantas dengan sempurna oleh antibiotika, sehingga kasus
neurosifilis atau sifilis tahap ketiga jarang dijumpai.

4. Infeksi Fungus

Fungi adalah organisme yang terdapat dimana-mana dengan virulensi rendah yang
menjadi patogenik pada lingkungan tertentu seperti depresi immunitas bermedia sel,
neutropenia, dan terapi antibiotika sistemik jangka lama. Tidak jarang menginvasi otak.
Infeksi fungal kini didiagnosis lebih sering karena bertambahnya kewaspadaan atas
setiap infeksi, biopsy dan tehnik diagnostik lebih baik, bertambahnya pasien yang
mendapat antibiotika jangka lama, dan bertambahnya perjalanan ke, dan immigrasi dari,
daerah infeksi endemic. Misdiagnosis dan terlambatnya diagnosis umum dilakukan. Masalah
ini secara umum berperan atas kegagalan mengejar diagnosis laboratori dan jaringan.
Kompetensi sistema immun adalah faktor yang penting dalam preseleksi patogen fungal
spesifik: Cryptococcus, Coccidioides, Histoplasma, dan Blastomyces dapat menginfeksi
orang sehat, sedang infeksi fungal lain terjadi hampir selalu pada pasien dengan immunitas
seluler yang terganggu. Terkenanya SSP mungkin disseminate, menyebabkan meningitis
atau meningoensefalitis atau fokal, menyebabkan abses granulomatosa.
Berbeda dengan infeksi bakterial, meningitis fungal cenderung dimulai ringan dengan
perburukan bertahap. Nyeri kepala, kaku kuduk, demam, letargi, status mental depresi,
dan palsi saraf kranial mungkin tampak. Cryptococcus, Coccidioides, Candida, dan
Aspergillus umum tampil sebagai meningitis atau meningoensefalitis. Tanda dan gejala klinis
tak bias dibedakan dari semua bentuk meningitis kronik lain. Pleositosis CSS adalah
limfositik, protein CSS sedikit meninggi, dan glukosa CSS biasanya berkurang. Umumnya
fungi sulit dibiak dari darah dan CSS, serta tes serologis kurang sensitif, sebagian
karena terganggunya immunitas seluler umum terjadi pada pasien ini. CT scan tidak selalu
membantu pada meningitis fungal, tapi mungkin memperlihatkan hidrosefalus, komplikasi
dari meningitis kronik. MRI dapat efektif memperlihatkan penguatan basiler dan inflamasi.
Abses otak tunggal atau multipel mungkin tampil dengan kejang, nyeri kepala, status
mental depresi, atau defisit neurologis fokal, sering bersamaan dengan pneumonia.
Patogen yang umum adalah Cryptococcus, Aspergillus, Nocardia, Blastomyces,
Actinomyces, dan Histoplasma.

5. Infeksi Protozoa
A. Tripanosomiasis
Penyakit tidur atau tripanosomiasis afrika disebabkan oleh parasit protozoa berflagela
yang tergolong ke dalam kompleks Trypanosoma brucei yang ditularkan kepada manusia
melalui lalat tsetse. Pada pasien yaang tidak diobati, tripanosoma tersebut pertama-tama
menyebabkan penyakit demam yangsetelah beberapa bulan atau tahun kemudian diikuti
oleh gangguan neurologi yang progresif dan kematian.
Bentuk penyakit tidur di afrika timur (rhodesiense) dan afrika barat (gambiense) masing-
masing Disebabkan oleh dua subspesies tripanosoma, yaitu T. Brucei rhodesiense dan T.
Brucei gambiense. Kedua subspesies ini Secara morfotologis tidak dapat dibedakan tetapi
menyebabkan dua macam penyakit yang secara epidemiologis dan klinis berlainan. Parasit
ditularkan oleh lalat tse-tse penghisap darah dan genus Glossina. Serangga tersebut
mendapatkan infeksi ketika menghisap darah dari pejamu mamalia yang terinfeksi.setelah
melalui sejumlah Siklus multiplikasi di dalam usus tengah (midgut) vektor, parasit bermigrasi
ke glandula salivarius dan penularan terjadi ketika parasit tersebut diinokulasukan pada saat
menghisap darah berikutnya.tripanosoma yang terinjeksi akan Memperbanyak diri di dalam
darah pejamu serta rongga ekstrasel lainnya dan menghancurkan sistem kekebalan tubuh
mamalia untuk waktu yang lama dengan menjalani variasi antigenik, yaitu suatu proses saat
stuktur antigenik selubung permukaan parasit yang berupa glikoprotein mengalami
perubahan berkala.
Lesi inflamasi (panosomal) dapat terlihat 1 minggu atau lebih setelah gigitan lalat tse-tse
yang terinfeksi. Keadaan demam yang sistematik kemudian terjadi pada saat parasit
menyebar lewat sistem limfatik dan aliran darah. Tripanosomiasis sistemik afrika tanpa
kelainan pada sistem saraf pusat umumnya disebut sebagai penyakit stadium I. dalam
stadium ini terjadi limfadenopati yang menyebar luas dan splenomegali, yang mencerminkan
adanya proliferasi limfositik serta histiositik yang mencolok dan invasi sel-sel morula yang
merupakan plasmasit yang mungkin terlibat dalam produksi igM. Endarteritis dengan infiltrasi
perivaskuler baik oleh parasit maupun oleh limfosit dapat terjadi didalam kelenjar limfe dan
lien. Miokarditis sering dijumpai pada pasien yang menderita penyakit stadium I, khususnya
pada infeksi T. Brucei rhodesiense.
Manifestasi hematologi yang menyertai tripanomiasis stadium I mencakup leukositosis
sedang, trombositopenia, dan anemia. Kadar imunoglobulin yang tinggi dan terutama terdiri
atas igM poliklonal merupakan gambaran konstan, dan anti bodi heterofil, antibodi anti-DNA,
serta faktor rematoid sering ditemukan. Kadar komplek antigen-antibodi yang tinggi dapat
memainkan peranan dalam perusakan jaringan dan peningkatan permeabilitas vaskuler yang
mempercepat penyebarluasan parasit.
Tripanosomiasis stadium II meliputi invasi ke sistem saraf pusat. Keberadaan
tripanosoma dalam daerah perivaskuler disertai dengan infiltrasi intensif sel mononuklear.
Abnormalitas pada cairan serebrospinal mencakup peningkatan tekanan, kenaikan
konsentrasi total protein, dan pleositositosis. Tripanosoma sering ditemukan pula dalam
cairan serebrospinal.

B. Malaria

Malaria dalah penyakit infeksi parasit yang disebabkan oleh plasmodium yang
menyerang eritrosit dan ditandai dengan ditemukannya bentuk aseksual didalam darah.
Infeksi malaria memberikan gejala berupa demam, menggigil, anemia dan splenomegali.
Dapat berlangsung akut maupun kronik. Infeksi malaria dapat berlangsung tanpa komplikasi
ataupun mengalami komplikasi sistemik yang dikenal sebagai malaria berat.

Malaria serebral adalah suatu akut ensefalopati yang menurut WHO definisi malaria
serebral memenuhi 3 kriteria yaitu koma yang tidak dapat dibangunkan atau koma yang
menetap >30 menit setelah kejang disertai adanya P. Falsiparum yang dapat ditunjukkan dan
penyebab lain dari akut ensefalopati telah disingkirkan.

Malaria merupakan salah satu penyakit infeksi yang tersebar di seluruh dunia. Kira-kira
lebih dua milyar atau lebih 40 % penduduk dunia hidup di daerah bayang-bayang malaria.
Jumlah kasus malaria di Indonesia kira-kira 30 juta/tahun, angka kematian 100.000/ tahun.

Di Pakistan, selama 5 tahun dari tahun 1991-1995 terdapat 1620 pasien koma, 505
pasien dengan malaria serebral. Dimana didapatkan, kasus malaria serebral pada anak 64 %
dan orang dewasa 36 %. Mortalitas pada anak 41 % dan orang dewasa 25 %.6 Di Nigeria,
didapati 78 anak yang menderita malaria serebral, 16 penderita (20,5 %) meninggal dan 62
penderita (79,5 %) sembuh.

Plasmodium falsiparum adalah infeksi yang paling serius dan yang sering memberi
komplikasi malaria berat antara lain malaria serebral dengan angka kematian tinggi.
Penyebab paling sering dari kematian khususnya pada anak-anak dan orang dewasa yang
non-imun adalah malaria serebral

Malaria serebral disebabkan oleh infeksi plasmodium falsiparum. Penularannya


dilakukan oleh nyamuk anopheles. Plasmodium falsiparum berbeda dengan jenis lain
protozoa malaria dalam hal – hal berikut :
a. Multiplikasi plasmodium falsiparum tidak dapat dihambat karena kebanyakan berada
di dalam eritrosit.
b. Eritrosit inang mempunyai kecenderungan untuk melekat pada intima pembuluh
kapiler sehingga menimbulkan penyumbatan aliran darah kapiler.
Simptom neurologik dari infeksi ini adalah efek sumbatan atau oklusi dari kapiler dan
venula karena adanya kumpulan eritrosit yang mengandung p. Falciparum. Hal ini
menimbulkan gejala anoxia. Tidak hanya sumbatan, simptom juga muncul akibat adanya
pendarahan di jaringan. Hal ini menimbulkan reaksi inflamasi dari limfosit, mononuclear
perivascular cell, dan mikroglia. Kalo otak inflamasi akibatnya permeabilitas BBB meningkat
sehingga menimbulkan cerebral edema. Akan tetapi dua hal tersebut (oklusi dan cerebral
edema) jarang ditemui. Hal ini dapat disimpulkan bahwa perubahan patologik pada sistem
saraf akibat infeksi ini bersifat reversible.

Patogenesis dari malaria serebral masih belum memuaskan dan belum dimengerti
dengan baik Patogenesis dari malaria serebral berdasar pada kelainan histologis. Eritrosit
yang mengandung parasit (EP) muda (bentuk cincin) bersirkulasi dalam darah perifer tetapi
EP matang menghilang dalam sirkulasi dan terlokalisasi pada pembuluh darah organ disebut
sekuester. Eritrosit matang lengket pada sel endotel vaskular melalui knob yang terdapat
pada permukaan eritrosit sehingga EP matang melekat pada endotel venula/ kapiler yang
disebut sitoadherens. Kira-kira sepuluh atau lebih eritrosit yang tidak terinfeksi menyelubungi
1 EP matang membentuk roset. Adanya sitoadherens, roset, sekuester dalam organ otak
dan menurunnya deformabilitas EP menyebabkan obstruksi mikrosirkulasi akibatnya hipolsia
jaringan.

Penderita malaria falsiparum yang non imun bila diagnosa terlambat, penundaan terapi,
absorbsi gagal karena muntah-muntah, resisten OAM, dalam 3-7 hari setelah panas, dapat
menuntun cepat masuk dalam koma. Keadaan akan memburuk cepat dengan nyeri kepala
yang bertambah dan penurunan derajat kesadaran dari letargi, sopor sampai koma.
Kesadaran menurun dinilai dengan GCS yang dimodifikasi 8 senilai dengan sopor dan anak-
anak dinilai skor dari Balantere <>somnolen atau delir disertai disfungsi serebral.
Pada dewasa kesadaran menurun setelah beberapa hari klinis malaria dan anak-anak
lebih pendek dibawah 2 hari. Lama koma pada dewasa umumnya 2-3 hari sedangkan anak-
anak pulih kesadaran lebih cepat setelah mendapat pengobatan.

Pada kesadaran memburuk atau koma lebih dalam disertai dekortikasi, deserebrasi,
opistotonus, tekanan intrakranial meningkat, perdarahan retina, angka kematian tinggi. Pada
penurunan kesadaran penderita malaria serebral harus disingkirkan kemungkinan
hipoglikemik syok, asidosis metabolik berat, gagal ginjal, sepsis gram negatif atau radang
otak yang dapat terjadi bersamaan. Pada anak sering dijumpai tekanan intrakranial
meningkat tetapi pada orang dewasa jarang.

Gejala motorik seperti tremor, myoclonus, chorea, athetosis dapat dijumpai, tapi
hemiparesa, cortical blindness dan ataxia cerebelar jarang. Gejala rangsangan meningeal
jarang. Kejang biasanya kejang umum juga kejang fokal terutama pada anak. Hipoglikemi
sering terjadi pada anak, wanita hamil, hiperparasitemia, malaria sangat berat dan sementara
dalam pengobatan kina. Hipoglikemi dapat terjadi pada penderita mulai pulih walaupun
sementara infus dxtrose 5 %. Hipoglikemi disebabkan konsumsi glukosa oleh parasit dalam
jumlah besar untuk kebutuhan metabolismenya dan sementara pengobatan kina. Kina
menstimulasi sekresi insulin.

Malaria serebral sering sisertai dengan bentuk lain malaria berat. Pada anak sering
terjadi hipoglikemi, kejang, dan anemi berat. Pada orang dewasa sering terjadi gagal ginjal
akut, ikterus, dan udema paru. Biasanya suatu pertanda buruk, perdarahan kulit dan
intestinal jarang. Sepsis dapat terjadi akibat infeksi karena kateter, infeksi nosokomial atau
kemungkinan bakteremia. Bila terjadi hipotensi berat, kemungkinan disebabkan : sepsis gram
negatif, udema paru, metabolik asidosis, perdarahn gastrointestinal, hipovolemi dan ruptur
limpa.

C. Toksoplasmosis
Infeksi yang disebabkan oleh protozoa jenis toksoplasma dapat timbul karena
memperoleh sendiri atau keran penularan ibu-fetus. Yang pertama dinamakan infeksi
akuisital dan yang kedua kongenital. Mekanisme infeksi akuisital belum diketahui. Pada
binatang telah ditemukan cara transmisinya, yaitu melalui makan daging binatang yang
mengandung toksoplasma. Mungkin juga manusia mendapat toksoplasma karena makan
daging yang tidak matang. Toksoplasmosis akuisital pada umumnya asimptomatik, tetapi
toksoplasma congenital selalusimptomatik. Didalam tubuh manusia parasit ini dapat bertahan
dalam bentuk kista, terutama otot dan jaringan susunan saraf. Sebagaimana halnya dengan
infeksi tuberculosis yang dapat berlalu asimptomatik, demikian pula infeksi toksoplasmosis
pada orang dewasa sering tidak menimbulkan manifestasi yang mengganggu. Jika terlalu
simptomatik, maka gejala-gejala lokalisatorik dapat timbul, seperti pneumonia, eksantema,
polimiositis, hepatitis, limfadenopati, korioretinitis, miokarditis, bahkan meningitis, ensefalitis,
dan mielitis.
Pada fetus yang mendapat toksoplasma dalam tubuhnya melalui penularan ibu-fetus,
dapat timbul bernagai manifestasi serebral akibat gangguan pertumbuhan otak, ginjal dan
berbagai organ lainnya. Hal itu dapat dimengerti mengingat saat penularannya dapat terjadi
pada tahp dini dari pertumbuhan mudigah sampai fetus. Maka dari itu manifestasi
toksoplamosis congenital dapat berupa :
1. Fetus meninggal dalam kandungan
2. Neonates menunjukan kelainan congenital yang nyata
3. Neonates tampaknya sehat, tetapi kemudian menunjukan disfungsi atau perkembangan
yang tidak normal
Pada umumnya manifestasi neurologic dari toksoplasmosis pada neonates yang tampak
sehat ialah ensefalomielitis subakut atau kronik. Kelainan congenital yang sudah jelas pada
weaktu partus berupa mikrosefalus, mikroftalmia, dan endoftalmia. Pada masa
perkembangan selanjutnya dapat timbul hidrosefalus, konvulsi, tremor, opistotonus,
hemiplegia, paraplegia, dan nistagmus. Disamping itu terdapat gangguan-gangguan non-
neurologik yang dapat berupa miokarditis, pneumonia interstitialis, poliomiositis, ikterus,
hepatosplenomegali, trombositopenia “arenal failure” dan eksantema.

D. Abses Serebri Amebiasis

Sebenarnya dahulu diketahui bahwa hanya entamoeba histolytica yang dapat


menginvasi otak dan mengakibatkan abses serebri. Tetapi, ternyata penelitian baru-baru ini
menemukan bahwa free living amebae adalah spesies utama yang menyebabkan
meningoensefalitis.

Naegleria fowleri menyebabkan acute meningoencephalitis, primary amebic


meningoencephalitis, sedangkan Acanthamoeba species bisa menyebabkan baik acute
maupun granulomatous amebic meningoencephalitis. Spesies lainnya, Leptomyxid amoeba,
hanya ditemukan pada beberapa kasus meningoensefalitis.

6. Infeksi Metazoa
Metazoa yang patogen bagi manusia dapat dibagi : nematoda, trematoda, dan cestoda.
Walaupun ukuran cacing-cacing itu besar sehingga tidak mungkin aliran darah dapat
menyebarluaskan mereka ke organ-organ, tetapi karena mereka mempunyai siklus kehidupan
yang dimana terdapat tahap mereka berukuran kecil. Hal ini mengakibatkan mereka dapat masuk
ke organ termasuk susunan saraf.

A. Infeksi Nematodal (trichinella spiralis)


Patogenesis invasi ke dalam susunan saraf adalah sebagai berikut. Kista trichinella
spiralis masuk ke traktus gastrointestinal. Di situ ia berkembang menjadi dewasa dan dapat
menyebar secara hematogen. Terutama otot skeletal menjadi sasaran penyebaran tersebut.
Kadang miokardium dan otak juga mendapat kista tersebut. Otak memperlihatkan
mikrogranulatom yang mengandung kista. Otak dan meninges bengkak dan pendarahan
kecil tersebar di seluruh otak. Lesi – lesi vaskular di otak disebabkan oleh vaskulitis kapiler.
Gejala – gejala neurologik perifer disebabkan juga oleh adanya granulom kecil yang
menimubulkan infiltrasi terhadap bekas saraf perifer.

B. Infeksi Trematodal
Golongan cacing yang dapat menyebabkan komplikasi neurologik ialah skistosoma dan
paragonimus. Pada sikstomiasis perjalanannya sebagai berikut. Serkaria dikandung oleh
jenis siput tertentu. Melalui minum dari kali yang banyak mengandung siput tersebut, atau
mandi di kali itu maka serkaria dapat menembus permukaan tubuh luar dan dalam, lalu tiba
di venula. Melalui vena , serkaria menuju ke paru-paru. Yang disebar mmelalui peredaran
darah ke organ-organ lain berikut susunan saraf ialah telur cacing yang berkembang biak di
paru-paru. Lesi yang ditemukan di susunan saraf pusat berupa granuloma yang mengandung
telur cacing, abses, fibrosis, dan gliosis.

C. Infeksi Sestodal (Sistiserkosis)


Pada sistiserkosis terdapat dua sindrom yang berbeda oleh sebab siklus kehidupan
cacing pita memungkinkan dua macam perkembangan yang berbeda.

a. Bilamana sistiserkus tiba di traktus digestivus manusia misalnya karena makin babi
kurang matang yang mengandung sistiserkus. Di dalam usus ia dapat tumbuh menjadi
dewasa dan menetap di situ.

b. bilamana manusia makan telur tania sollium lalu mudigahnya dapat menembus
mukosa traktus digestivus dan tiba di saluran darah melalui penyebaran hematogen sehingga
berbagai organ dapat menerima nya.

Setibanya di otak, tempayak lalu hidup di situ sebagai sistiserkus. Lesi – lesi otak berupa
kista-kista di ventrikel, ganglia basal, atau batang otak. Manifestasi yang timbul ialah akibat
kompresi, desak ruang, edema, dan reaksi peradangan karena adanya kista-kista tersebut.

D. Penyakit Hidatidosis
Kambing dan anjing merupakan sumber cacing ekinokokus. Telur cacing yang keluar dengan
tinja anjing dapat mengotori air minum atau makanan. Jika manusia menelan telur itu,
didalam duodenum telur itu menetas dan mudigah menembus mukosa untuk tiba didalam
vena. Setalah itu terjadilah penyebaran hematogen. Hepar dan paru-paru merupakan tempat
tujuan utama. Banyak diantara mudigahyang tiba dihepar dan paru-paru mati, tetapi sedikit
yang dapat melanjutkan penghidupannya dengan membentuk kista. 5% dari orang-orang
yang menjadi tuan rumah ekinokokus, dapat memperoleh kista didalm otak. Biasanya
terdapat hanya satu kista, tetapi dapat juga berkembang beberapa kista. Hamper semua
kista terletak subkortikal dan biasanya didaerah oksipital dan parietal. Ukuran kista itu
berkisar antara bola pingpong sampai bola tenis. Maka dari itu manifestasinya terdiri dari
gejala-gejala proses desak ruang intracranial yang berlangsung lambat. Kebanyakan
penderita adalah anak-anak dan orang dewasa muda.

Daftar Pustaka

1. Ngoerah, Prof.dr.I Gst. Ng. Gd, 1990, penyakit infeksi susunan saraf, Dasar-
dasar Ilmu Penyakit Saraf, hal 259-274, Jakarta
2. Mardjiono, Prof.dr. Mahar dan Sidharta, Prof.dr. Priguna, 1966, mekanisme
infeksi susunan saraf, hal 303-334, Dian Rakyat, Jakarta.
3. www.fk.uwks.ac.id/.../IlmuPenyakitSaraf/iNFEKSICEREBRA.pdf
4. http://mikrobia.wordpress.com/2008/05/17/infeksi-jamur-pada-susunan-saraf-
pusat/

Anda mungkin juga menyukai