Anda di halaman 1dari 21

BAB I

PENDAHULUAN

Perdarahan Uterus Disfungsional (PUD) atau Dysfunctional Uterine Bleeding


adalah perdarahan abnormal yang dapat terjadi di dalam siklus maupun di luar siklus
menstruasi, karena gangguan fungsi mekanisme pengaturan hormon (hipotalamus-
hipofisis-ovarium-endometrium), tanpa kelainan organ. Perdarahan ini juga
didefinisikan sebagai menstruasi yang banyak dan / atau tidak teratur tanpa adanya
patologi pelvik yang diketahui, kehamilan atau gangguan perdarahan umum.1,2,3,4
Diagnosa Dysfunctional Uterine Bleeding dapat ditegakkan bila tidak ditemukan
kelainan organ.3 Gangguan pola menstruasi adalah tampilan klinis yang umum. PUD
umum terjadi pada awal dan akhir usia reproduksi, dimana sering terjadi PUD
anovulatori. Selama periode ini, PUD terjadi sekunder akibat penurunan esterogen.
PUD dapat disebabkan oleh ketidakseimbangan endokrin atau dapat terjadi pada siklus
menstruasi normal (PUD ovulatori).
Perdarahan disfungsional dapat terjadi pada setiap umur antara menarche dan
menopause. Tetapi, kelainan ini lebih sering dijumpai sewaktu masa permulaan dan
masa akhir fungsi ovarium. Dua pertiga dari wanita-wanita yang dirawat di rumah sakit
untuk perdarahan disfungsional berumur di atas 40 tahun, dan 3 % di bawah 20 tahun.
Sebetulnya dalam praktek banyak dijumpai pula perdarahan disfungsional dalam masa
pubertas, akan tetapi keadaan ini dapat sembuh sendiri, sehingga jarang diperlukan
perawatan di rumah sakit.4
Pembagian endometrium dalam endometrium jenis nonsekresi dan endometrium
jenis sekresi penting artinya, karena dengan demikian dapat dibedakan perdarahan yang
anovulatoar dari yang ovulatoar. Klasifikasi ini mempunyai nilai klinis karena kedua
jenis perdarahan disfungsional ini mempunyai dasar etiologi yang berlainan dan
memerlukan penanganan yang berbeda. Pada perdarahan disfungsional yang ovulatoar
gangguan dianggap berasal dari factor-faktor neuromuscular, vasomotorik, atau
hematologik, yang mekanismenya belum seberapa dimengerti, sedangkan perdarahan
anovulatoar biasanya dianggap berasal pada gangguan endokrin.4
Karena diagnosis PUD didasarkan pada penyingkiran penyebab patologis, maka penting
untuk mengetahui diagnosis banding PUD. Hingga 40 persen wanita dengan PUD pada
akhirnya akan diperoleh diagnosis lain jika diselidiki secara intensif. Morbiditas
psikiatrik juga berhubungan dengan PUD. Penelitian komunitas menunjukkan bahwa
wanita yang memiliki skor tinggi pada skor psikiatrik lebih sering mengeluhkan
gangguan menstruasi.
PUD meliputi setiap kondisi perdarahan uterus abnormal tanpa adanya kehamilan,
neoplasma, infeksi, atau lesi intra uterin lainnya. Perdarahan ini paling sering sebagai
akibat disfungsi endokrinologis yang menghambat ovulasi normal.4
BAB 2

PEMBAHASAN

2.1. Definisi

Perdarahan Uterus Disfungsional (PUD) atau Dysfunctional Uterine Bleeding


adalah perdarahan abnormal yang dapat terjadi di dalam siklus maupun di luar siklus
menstruasi, karena gangguan fungsi mekanisme pengaturan hormon (hipotalamus-
hipofisis-ovarium-endometrium), tanpa kelainan organ. Perdarahan ini juga
didefinisikan sebagai menstruasi yang banyak dan / atau tidak teratur tanpa adanya
patologi pelvik yang diketahui, kehamilan atau gangguan perdarahan umum.1,2,3,4

2.2. Siklus Mentsruasi


Menstruasi normal terjadi akibat turunnya kadar progesteron dari endometrium
yang kaya esterogen. Siklus menstruasi yang menimbulkan ovulasi disebabkan interaksi
kompleks antara berbagai organ. Disfungsi pada tingkat manapun dapat mengganggu
ovulasi dan siklus menstruasi. Siklus menstruasi normal terjadi setiap 21-35 hari dan
berlangsung sekitar 2-7 hari. Pada saat menstruasi, jumlah darah yang hilang
diperkirakan 35-150 ml, biasanya berjumlah banyak hingga hari kedua dan selanjutnya
berkurang sampai menstruasi berakhir.1
Selama fase folikuler dari siklus ovarium normal (berkaitan dengan fase proliferatif
dari siklus endometrium), kadar estrogen meningkat, awalnya perlahan-lahan kemudian
lebih cepat, karena folikel ovarium yang dominan muncul, tumbuh, dan matang.
Sebagai respon terhadap estrogen tersebut, lapisan fungsional dari endometrium tumbuh
kembali, setelah luruh selama menstruasi sebelumnya. Setelah ovulasi, korpus luteum
yang berasal dari folikel ovulatorik terus menghasilkan estrogen, namun saat ini dan
yang lebih penting, juga progesteron. Selama fase luteal dari siklus ovarium (berkaitan
dengan fase sekretorik dari siklus endometrium), kadar estrogen dan progesteron
meningkat bersamaan saat korpus luteum tumbuh menjadi matang. Sebagai respon
terhadap kerja kombinasi dari estrogen dan progesteron, endometrium berubah dan
diatur untuk datangnya serta implantasi dari hasil konsepsi yang diharapkan. Jika
kehamilan dan peningkatan cepat dari kadar gonadotropin korionik manusia (hCG)
tidak menstimulasi dan ‘menyelamatkan’-nya, korpus luteum mengalami regresi
spontan dalam bentuk kematian sel yang telah diprogram sebelumnya. Begitu terjadi hal
tersebut, kadar estrogen dan progesteron turun secara konstan, akhirnya menarik
dukungan fungsional untuk endometrium. Menstruasi dimulai, menandai akhir dari satu
siklus endometrium dan dimulainya siklus lain.2,4

Dari sudut pandang endometrium, gambaran endokrin dari siklus ovarium cukup
sederhana; jumlah hormon yang dihasilkan hampir tidak sepenting rangkaian dimana
mereka muncul: estrogen, diikuti dengan estrogen dan progesteron, diikuti dengan
withdrawal kedua hormon. Dari semua tipe hubungan hormon-endometrium yang
berbeda, stimulasi dan withdrawal estrogen-progesteron menghasilkan endometrium
yang paling stabil serta karakteristik menstruasi yang paling reproduksibel. Rangkaian
tersebut begitu mengendalikan sehingga kebanyakan wanita ovulatorik mempunyai
pola, volume, dan durasi aliran menstruasi yang dikenalinya sendiri dan diharapkan,
yang sangat sering disertai oleh pola molimina premenstruasi yang sama konsisten dan
dapat diprediksi (pembengkakan, perlunakan payudara, perubahan mood). Bahkan
sedikit penyimpangan dari pola biasa dalam hal waktu, jumlah atau lama aliran dapat
menyebabkan kekhawatiran. Perhatian teliti terhadap detil riwayat menstruasi dapat
sangat membantu dalam membedakan perdarahan anovulatorik dari penyebab-penyebab
lainnya.1,4
Variasi dalam aliran menstruasi dan panjang siklus biasa terjadi pada usia
reproduksi ekstrim, selama masa remaja awal dan sebelum menopause. Prevalensi dari
siklus-siklus anovulatorik paling tinggi pada wanita-wanita berusia kurang dari 20 dan
lebih dari 40. Menarche biasanya diikuti oleh siklus yang relatif panjang kira-kira 5-7
tahun, yang lamanya berkurang secara bertahap dan menjadi lebih teratur. Meskipun
karakteristik-karakteristik siklus menstruasi biasanya tidak berubah selama usia
reproduksi, panjang dan variabilitas siklus keseluruhan berkurang secara lambat.
Biasanya, nilai rata-rata dari panjang dan rentang siklus mencapai titik terendah pada
usia kira-kira 40-42. Selama 8-10 tahun berikutnya sebelum menopause, tren ini
terbalik; baik panjang maupun variabilitas siklus rata-rata meningkat secara tetap karena
ovulasi menjadi kurang teratur dan sering. Rata-rata panjang siklus lebih besar pada
wanita-wanita dengan massa dan komposisi tubuh ekstrim; indeks massa tubuh yang
tinggi dan rendah, massa tubuh yang gemuk dan massa tubuh yang kurus berkaitan
dengan peningkatan rata-rata panjang siklus.1,4
Secara umum, variasi dalam panjang siklus mencerminkan perbedaan dalam
panjang fase folikuler dari siklus ovarium. Wanita-wanita yang punya siklus 25 hari
mengalami ovulasi pada atau kira-kira pada hari 10-12, dan wanita-wanita yang punya
siklus 35 hari mengalami ovulasi kira-kira 10 hari kemudian. Dalam beberapa tahun
setelah menarke, fase luteal menjadi sangat konsisten (13-15 hari) dan tetap begitu
sampai perimenopause. Pada usia 25 tahun, lebih dari 40% siklus panjangnya antara 25
dan 28 hari; dari usia 25 hingga 35 adalah lebih dari 60%. Meskipun hal ini merupakan
interval antar menstruasi yang paling sering dilaporkan, hanya kira-kira 15% siklus
pada wanita usia reproduksi yang benar-benar panjangnya 28 hari. Kurang dari 1%
wanita punya siklus teratur yang berlangsung kurang dari 21 hari atau lebih dari 35 hari.
Kebanyakan wanita punya siklus yang berlangsung dari 24 hingga 35 hari, namun
paling tidak 20% wanita mengalami siklus ireguler.4
Durasi aliran menstruasi biasanya adalah 4-6 hari, namun untuk beberapa wanita
(kira-kira 3%) menstruasi dapat berlangsung 2 hari atau 7 hari. Volume rata-rata dari
kehilangan darah menstruasi kira-kira 30 mL; lebih dari 80 mL adalah abnormal. Aliran
dapat berlebihan tanpa menjadi lama secara abnormal karena kebanyakan kehilangan
darah menstruasi terjadi pada 3 hari pertama.4
Konsep klasik menstruasi normal utamanya berasal dari observasi langsung
terhadap perubahan-perubahan siklik dalam endometrium yang ditransplantasi dari
uterus ke kamera okuli anterior primata bukan manusia; peristiwa-peristiwa vaskuler
memainkan peran kunci dalam penjelasan mengenai bagaimana menstruasi dimulai dan
berakhir. Awalnya, menstruasi dibayangkan sebagai nekrosis iskemik dari endometrium
yang disebabkan oleh vasokonstriksi arteriol-arteriol spiral pada lapisan basal, yang
dicetuskan oleh withdrawal estrogen dan progesteron. Secara serupa, akhir dari
menstruasi dijelaskan dengan gelombang vasokonstriksi yang lebih lama dan lebih
intens dikombinasi dengan mekanisme-mekanisme koagulasi yang diaktifkan oleh stasis
vaskuler dan kolaps endometrium, dibantu oleh reepitelisasi cepat yang diperantarai
oleh estrogen yang berasal dari kohort folikuler baru yang muncul.4

2.3. Klasifikasi2,4

Perdarahan uterus disfungsional dapat berlatar belakang kelainan-kelainan ovulasi,


suklus haid, jumlah perdarahan dan anemia yang ditimbulkannya. Berdasarkan kelainan
tersebut maka perdarahan uterus disfungsional dapat dibagi seperti table dibawah ini:
Perdarahan uterus disfungsional biasanya berhubungan dengan satu dari tiga
keadaan ketidak seimbangan hormonal, berupa: estrogen breakthrough bleeding,
estrogen withdrawal bleeding dan progesterone breakthrough bleeding.
Pada perdarahan uterus disfungsional ovulatorik perdarahan abnormal terjadi pada
siklus ovulatorik dimana dasarnya adalah ketidakseimbangan hormonal akibat umur
korpus luteum yang memendek atau memanjang, insufisiensi atau persistensi korpus
luteum. Perdarahan uterus disfungsional pada wanita dengan siklus anovulatorik muncul
sebagai perdarahan reguler dan siklik.
Sedang pada perdarahan uterus disfungsional anovulatorik perdarahan abnormal
terjadi pada siklus anovulatorik dimana dasarnya adalah defisiensi progesterone dan
kelebihan progesterone akibat tidak terbentuknya korpus luteum aktif, karena tidak
terjadinya ovulasi. Dengan demikian khasiat estrogen terhadap endometrium tak ber
lawan. Hampir 80% siklus mens anovulatorik pada tahun pertama menars dan akan
menjadi ovulatorik mendekati 18-20 bulan setelah menarche.
Perdarahan uterus disfungsional dikatakan akut jika jumlah per darahan pada satu
saat lebih dari 80 ml, terjadi satu kali atau berulang dan memerlukan tindakan
penghentian perdarahan segera. Sedangkan perdarahan uterus disfungsional kronis jika
perdarahan pada satu saat kurang dari 30 ml terjadi terus menerus atau tidak tidak
hilang dalam 2 siklus berurutan atau dalam 3 siklus tak berurutan, hari perdarahan
setiap siklusnya lebih dari 8 hari, tidak memerlukan tindakan penghentian perdarahan
segera, dan dapat terjadi sebagai kelanjutan perdarahan uterus disfungsional akut.

2.4. Etiopatogenesis
Patologi PUD bervariasi. Gambaran penting salah satu kelompok PUD adalah
gangguan aksis hipotalamus–pituitari–ovarium sehingga menimbulkan siklus
anovulatorik. Kurangnya progesteron meningkatkan stimulasi esterogen terhadap
endometrium. Endometrium yang tebal berlebihan tanpa pengaruh progestogen, tidak
stabil dan terjadi pelepasan irreguler. Secara umum, semakin lama anovulasi maka
semakin besar resiko perdarahan yang berlebihan. Ini adalah bentuk PUD yang paling
sering ditemukan pada gadis remaja.1,4,5
Korpus luteum defektif yang terjadi setelah ovulasi dapat menimbulkan PUD
ovulatori. Hal ini menyebabkan stabilisasi endometrium yang tidak adekuat, yang
kemudian lepas secara irreguler. Pelepasan yang irreguler ini terjadi jika terdapat korpus
luteum persisten dimana dukungan progestogenik tidak menurun setelah 14 hari
sebagaimana normalnya, tetapi terus berlanjut diluar periode tersebut. Ini disebut PUD
ovulatori.1,2,3,4,5
Secara garis besar, kondisi di atas dapat terjadi pada siklus ovulasi (pengeluaran sel
telur/ovum dari indung telur), tanpa ovulasi maupun keadaan lain, misalnya pada wanita
premenopause (folikel persisten). Sekitar 90% perdarahan uterus difungsional
(perdarahan rahim) terjadi tanpa ovulasi (anovulation) dan 10% terjadi dalam siklus
ovulasi.1,2,4

Pada siklus ovulasi


Perdarahan rahim yang bisa terjadi pada pertengahan menstruasi maupun
bersamaan dengan waktu menstruasi. Perdarahan ini terjadi karena rendahnya kadar
hormon estrogen, sementara hormon progesteron tetap terbentuk.1,4
Ovulasi abnormal (PUD ovulatori) terjadi pada 15 – 20 % pasien PUD dan mereka
memiliki endometrium sekretori yang menunjukkan adanya ovulasi setidaknya
intermitten jika tidak reguler. Pasien ovulatori dengan perdarahan abnormal lebih sering
memiliki patologi organik yang mendasari, dengan demikian mereka bukan pasien PUD
sejati menurut definisi tersebut. Secara umum, PUD ovulatori sulit untuk diobati secara
medis.1,4

Pada siklus tanpa ovulasi (anovulation)1,2,4


Perdarahan rahim yang sering terjadi pada masa pre-menopause dan masa
reproduksi. Hal ini karena tidak terjadi ovulasi, sehingga kadar hormon estrogen
berlebihan sedangkan hormon progesteron rendah. Akibatnya dinding rahim
(endometrium) mengalami penebalan berlebihan (hiperplasi) tanpa diikuti penyangga
(kaya pembuluh darah dan kelenjar) yang memadai. Kondisi inilah penyebab terjadinya
perdarahan rahim karena dinding rahim yang rapuh.
Anovulasi kronik adalah penyebab PUD yang paling sering. Keadaan anovulasi
kronik akibat stimulasi esterogen terhadap endometrium terus menerus yang
menimbulkna pelepasan irreguler dan perdarahan. Anovulasi sering terjadi pada gadis
perimenarche. Stimulasi esterogen yang lama dapat menimbulkan pertumbuhan
endometrium yang melebihi suplai darahnya dan terjadi perkembangan kelenjar, stroma,
dan pembuluh darah endometrium yang tidak sinkron. Setiap kegagalan produksi
progesteron juga dapat mempengaruhi kelenjar, stroma, dan pembuluh darah
endometrium. Kegagalan produksi progesteron disebabkan berbagai etiologi endokrin
seperti penyakit thiroid, hiperprolaktinemia, dan tumor ovarium yang menghasilkan
hormon, penyakit Cushing, dan yang paling penting adalah sindroma ovarium polikistik
atau sindroma Stein – Leventhal.

2.5. Gejala Klinis

Perdarahan rahim yang dapat terjadi tiap saat dalam siklus menstruasi. Jumlah
perdarahan bisa sedikit-sedikit dan terus menerus atau banyak dan berulang. Kejadian
tersering pada menarche (atau menarke: masa awal seorang wanita mengalami
menstruasi) atau masa pre-menopause.1,2

Pada siklus ovulasi1,2,4


Karakteristik PUD bervariasi, mulai dari perdarahan banyak tapi jarang, hingga spotting
atau perdarahan yang terus menerus. Perdarahan ini merupakan kurang lebih 10% dari
perdarahan disfungsional dengan siklus pendek (polimenorea) atau panjang
(oligomenorea). Untuk menegakan diagnosis perlu dilakukan kerokan pada masa
mendekati haid. Jika karena perdarahan yang lama dan tidak teratur sehingga siklus haid
tidal lagi dikenali maka kadang-kadang bentuk kurve suhu badan basal dapat menolong.
Jika sudah dipastikan bahwa perdarahan berasal dari endometrium tipe sekresi tanpa ada
sebab organik, maka harus dipikirkan sebagai etiologi :
1. korpus luteum persistens : dalam hal ini dijumpai perdarahan kadang kadang
bersamaan dengan ovarium membesar. Dapat juga menyebabkan pelepasan
endometrium tidak teratur.
2. Insufisiensi korpus luteum dapat menyebabkan premenstrual spotting, menoragia
atau polimenorea. Dasarnya ialah kurangnya produksi progesteron disebabkan oleh
gangguan LH releasing faktor. Diagnosis dibuat, apabila hasil biopsi endometrial
dalam fase luteal tidak cocok dengan gambaran endometrium yang seharusnya
didapat pada hari siklus yang bersangkutan.
3. Apopleksia uteri: pada wanita dengan hipertensi dapat terjadi pecahnya pembuluh
darah dalam uterus
4. Kelainan darah seperti anemia, purpura trombositopenik dan gangguan dalam
mekanisme pembekuan darah.
Pada siklus tanpa ovulasi (anovulation)1,2,4
Perdarahan tidak terjadi bersamaan. Permukaan dinding rahim di satu bagian baru
sembuh lantas diikuti perdarahan di permukaan lainnya. Jadilah perdarahan rahim
berkepanjangan.
Pada tipe ini berhubungan dengan fluktuasi kadar estrogen dan jumlah folikel yang
pada suatu waktu fungsional aktif. Folikel-folike ini mengeluarkan estrogen sebelum
mengalami atresia dan kemudian diganti oelh folikel-folikel baru . Endometrium
dibawah pengaruh estrogen akan tumbuh terus, dan dari endometrium yang mula-mula
proliperatif dapat terjadi endometrium hiperplastik kistik. Jika gambaran ini diperoleh
pada saat kerokan dapat diambil kesimpulan bahwa perdarahan bersifat anovulatoar.
Biasanya perdarahan disfungsional ini terjadi pada masa pubertas dan masa
pramenopause. Pada masa pubertas terjadi sesudah menarche, perdarahan tidak normal
disebabkan oleh gangguan atau terlambatnya proses maturasi pada hipotalamus, dengan
akibat bahwa pembuatan Releasing factor dan hormon gonadotropin tidak sempurna.
Pada wanita dalam masa pramenopause proses terhentinya fungsi ovarium tidak selalu
berjalan lancar.
Bila pada masa pubertas kemungkinan keganasan kecil sekali dan ada harapan
bahwa lambat laun keadaan menjadi normal dan siklus haid menjadi ovulatoar.
Sedangkan pada wanita dewasa dan terutama dalam masa pramenopause dengan
perdarahan tidak teratur mutlak diperlukan kerokan untuk menentukan ada tidaknya
tumor ganas.

2.7. Diagnosa4
Anamnesis dan pemeriksaan klinis yang lengkap harus dilakukan dalam pemeriksaan
pasien. Jika anamnesis dan pemeriksaan fisik menunjukkan adanya penyakit sistemik,
maka penyelidikan lebih jauh mungkin diperlukan.
Abnormalitas pada pemeriksaan pelvis harus diperiksa dengan USG dan
laparoskopi jika diperlukan. Perdarahan siklik (reguler) didahului oleh tanda
premenstruasi (mastalgia, kenaikan berat badan karena meningkatnya cairan tubuh,
perubahan mood, atau kram abdomen) lebih cenderung bersifat ovulatori. Sedangkan,
perdarahan lama yang terjadi dengan interval tidak teratur setelah mengalami amenore
berbulan – bulan, kemungkinan bersifat anovulatori. Peningkatan suhu basal tubuh
(0,3–0,60C), peningkatan kadar progesteron serum (> 3 ng/ml) dan atau perubahan
sekretorik pada endometrium yang terlihat pada biopsi yang dilakukan saat onset
perdarahan, semuannya merupakan bukti ovulasi.
Diagnosis PUD setelah eksklusi penyakit organik traktus genitalia, terkadang
menimbulkan kesulitan karena tergantung pada apa yang dianggap sebagai penyakit
organik, dan tergantung pada sejauh mana penyelidikan dilakukan untuk menyingkirkan
penyakit traktus genitalia. Pasien berusia dibawah 40 tahun memiliki resiko yang sangat
rendah mengalami karsinoma endometrium, jadi pemeriksaan patologi endometrium
tidaklah merupakan keharusan. Pengobatan medis dapat digunakan sebagai pengobatan
lini pertama dimana penyelidikan secara invasif dilakukan hanya jika simptom menetap.
Resiko karsinoma endometerium pada pasien PUD perimenopause adalah sekitar 1
persen. Jadi, pengambilan sampel endometrium penting dilakukan.

Pemeriksaan penunjang:
1. Pemeriksaan darah : Hemoglobin, uji fungsi thiroid , dan kadar HCG, FSH, LH,
Prolaktin dan androgen serum jika ada indikasi atau skrining gangguan perdarahan
jika ada tampilan yang mengarah kesana.
2. Deteksi patologi endometrium melalui (a) dilatasi dan kuretase dan (b) histeroskopi.
Wanita tua dengan gangguan menstruasi, wanita muda dengan perdarahan tidak
teratur atau wanita muda (< 40 tahun) yang gagal berespon terhadap pengobatan
harus menjalani sejumlah pemeriksaan endometrium. Penyakit organik traktus
genitalia mungkin terlewatkan bahkan saat kuretase. Maka penting untuk melakukan
kuretase ulang dan investigasi lain yang sesuai pada seluruh kasus perdarahan uterus
abnormal berulang atau berat. Pada wanita yang memerlukan investigasi,
histeroskopi lebih sensitif dibandingkan dilatasi dan kuretase dalam mendeteksi
abnormalitas endometrium.
3. Laparoskopi : Laparoskopi bermanfaat pada wanita yang tidak berhasil dalam uji
coba terapeutik.

2.8. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan perdarahan uterus disfungsional secara umum perlu memperhatikan
faktor-faktor berikut:1,4
a. Umur, status pernikahan, fertilitas
Hal ini dihubungkan dengan perbedaan penanganan pada tingkatan perimenars,
reproduksi dan perimenopause. Penanganan juga seringkali berbeda antara penderita
yang telah dan belum menikah atau yang tidak dan yang ingin anak.
b. Berat, jenis dan lama perdarahan.
Keadaan ini akan mempengaruhi keputusan pengambilan tindakan mendesak atau
tidak.
c. Kelainan dasar dan prognosisnya.
Pengobatan kausal dan tindakan yang lebih radikal sejak awal telah dipikirkan jika
dasar kelainan dan prognosis telah diketahui sejak dini.

Pada dasarnya tujuan penatalaksanaan perdarahan uterus disfungsional adalah:1,4


1. Memperbaiki keadaan umum
2. Menghentikan perdarahan
3. Mengembalikan fungsi hormon reproduksi
Yang meliputi: pengembalian siklus haid abnormal menjadi normal, pengubahan
siklus anovulatorik menjadi ovulatorik atau perbaikan suasana sehingga terpenuhi
persyaratan untuk pemicuan ovulasi.
4. Menghilangkan ancaman keganasan
Pada perdarahan uterus disfungsional langkah pertama yang harus dikerjakan adalah
memperbaiki keadaan umum, termasuk pengatasan anemia. Langkah kedua adalah
menghentikan perdarahan, baik secara hormonal maupun operatif. Setelah keadaan akut
teratasi, sebagai langkah ketiga, dilakukan upaya pengembalian fungsi normal siklus
haid dengan cara mengembalikan keseimbangan fungsi hormon reproduksi.2,5,6
Untuk ini dapat dilakukan pengobatan hormonal selama 3 siklus berturut-turut.
Bilamana upaya ini gagal, maka diperlukan tindakan untuk meniadakan patologi yang
ada guna mencegah berulangnya perdarahan uterus disfungsional.4

Secara singkat langkah-langkah tersebut dapat diuraikan sebagai berikut:1,2,3,4,6


1. Perbaikan keadaan umum
Pada perdarahan yang banyak sering ditemukan keadaan umum yang buruk, pada
keadaan perdarahan uterus disfungsional akut anemia yang terjadi harus segera
diatasi dengan transfusi darah. Pada perdarahan uterus disfungsional kronis keadaan
anemia ringan seringkali dapat diatasi dengan diberikan sediaan besi, sedangkan
anemia berat membutuhkan transfusi darah.
2. Penghentian perdarahan
3. Mengembalikan keseimbangan fungsi hormon reproduksi
Usaha ini meliputi pengembalian siklus haid abnormal menjadi normal, pengubahan
siklus anovulatorik menjadi ovulatorik atau perbaikan suasana sehingga terpenuhi
persyaratan untuk pemicuan ovulasi.

Langkah-langkah upaya menghentikan perdarahan adalah sebagai berikut:

Kuret (curettage)3,6
Hanya untuk wanita yang sudah menikah. Tidak bagi gadis dan tidak bagi wanita
menikah tapi “belum sempat berhubungan intim”.

Pemakaian hormon steroid seks


a. Estrogen
Dipakai pada perdarahan uterus disfungsional untuk menghentikan perdarahan karena
memiliki berbagai khasiat yaitu:4,5
1. Penyembuhan luka (healing effect)
2. Pembentukan mukopolisakarida pada dinding pembuluh darah
3. Vasokonstriksi, karena merangsang pembentukan prostaglandin
4. Meningkatkan pembentukan trombin dan fibrin serta menghambat proses fibrinolisis.

Pada umumnya dipakai estrogen alamiah, misalnya: estradiol valerat (nama generik)
yang relatif menguntungkan karena tidak membebani kinerja liver dan tidak
menimbulkan gangguan pembekuan darah. Jenis lain, misalnya: etinil estradiol, tapi
obat ini dapat menimbulkan gangguan fungsi liver.5,6
Dosis dan cara pemberian:
• Estrogen konyugasi (estradiol valerat): 2,5 mg diminum selama 7-10 hari.
• Benzoas estradiol: 20 mg disuntikkan intramuskuler. (melalui bokong)
• Jika perdarahannya banyak, dianjurkan nginap di RS (opname), dan diberikan
Estrogen konyugasi (estradiol valerat): 25 mg secara intravenus (suntikan lewat
selang infus) perlahan-lahan (10-15 menit), dapat diulang tiap 3-4 jam. Tidak boleh
lebih 4 kali sehari.
Estrogen intravena dosis tinggi (estrogen konjugasi 25 mg setiap 4 jam sampai
perdarahan berhenti) akan mengontrol secara akut melalui perbaikan proliferatif
endometrium dan melalui efek langsung terhadap koagulasi, termasuk peningkatan
fibrinogen dan agregasi trombosit.4,5,6
Terapi estrogen bermanfaat menghentikan perdarahan khususnya pada kasus
endometerium atrofik atau inadekuat. Estrogen juga diindikasikan pada kasus PUD
sekunder akibat depot progestogen (Depo Provera). Keberatan terapi ini ialah bahwa
setelah suntikan dihentikan, perdarahan timbul lagi.6

b. Progestin
Berbagai jenis progestin sintetik telah dilaporkan dapat menghentikan perdarahan.
Beberapa sedian tersebut antara lain adalah noretisteron, MPA, megestrol asetat,
didrogesteron dan linestrenol.4,6
Noretisteron dapat menghentikan perdarahan setelah 24-48 jam dengan dosis 20-30
mg/hari, medroksiprogesteron asetat dengan dosis 10-20 mg/hari selama 10 hari,
megestrol asetat dengan didrogesteron dengan dosis 10-20 mg/hari selama 10 hari, serta
linestrenol dengan dosis 15 mg/hari selama 10 hari. Uraian lebih rinci terhadap
pemakaian progestin ini akan diberikan pada bagian tersendiri. 4,6

c. Androgen
Merupakan pilihan lain bagi penderita yang tak cocok dengan estrogen dan
progesterone. Sediaan yang dapat dipakai antara lain adalah isoksasol (danazol) dan
metil testosteron (danazol merupakan suatu turunan 17-α-etinil-testosteron). Dosis yang
diberikan adalah 200 mg/hari selama 12 minggu. Perlu diingat bahwa pemakaian jangka
panjang sediaan androgen akan berakibat maskulinisasi. 4,6
d. Obat Kombinasi
Terapi siklik merupakan terapi yang paling banyak digunakan dan paling efektif.
Pengobatan medis ditujukan pada pasien dengan perdarahan yang banyak atau
perdarahan yang terjadi setelah beberapa bulan amenore. Cara terbaik adalah
memberikan kontrasepsi oral; obat ini dapat dihentikan setelah 3 – 6 bulan dan
dilakukan observasi untuk melihat apakah telah timbul pola menstruasi yang normal.
Banyak pasien yang mengalami anovulasi kronik dan pengobatan berkelanjutan
diperlukan. 4,6
Paparan estrogen kronik dapat menimbulkan endometrium yang berdarah banyak
selama penarikan progestin . Pengobatan dengan menggunakan kombinasi kontrasepsi
oral dengan regimen menurun secara bertahap. Dua hingga empat pil diberikan setiap
hari setiap enam hingga duabelas jam , selama 5 sampai 7 hari untuk mengontrol
perdarahan akut. Formula ini biasanya mengontrol perdarahan akut dalam 24 hingga 48
jam; penghentian obat akan menimbulkan perdarahan berat. Pada hari ke 5 perdarahan
ini, mulai diberikan kontrasepsi oral siklik dosis rendah dan diulangi selama 3 siklus
agar terjadi regresi teratur endometrium yang berproliferasi berlebihan. 4,5,6
Cara lain, dosis pil kombinasi dapat diturunkan bertahap (4 kali sehari, kemudian 3
kali sehari, kemudian 2 kali sehari) selama 3 hingga 6 hari, dan kemudian dilanjutkan
sekali setiap hari. Kombinasi kontrasepsi oral menginduksi atrofi endometrium, karena
paparan estrogen progestin kronik akan menekan gonadotropin pituitari dan
menghambat steroidogenesis endogen. Kombinasi ini berguna untuk tatalaksana PUD
jangka panjang pada pasien tanpa kontraindikasi dengan manfaat tambahan yaitu
mencegah kehamilan.4,6
Khususnya untuk pasien perimenarche, perdarahan berat yang lama dapat
mengelupaskan endometrium basal, sehingga tidak responsif terhadap progestin.
Kuretase untuk mengontrol perdarahan dikontraindikasikan karena tingginya resiko
terjadinya sinekia intrauterin (sindroma Asherman ) jika endometrium basal dikuret. OC
aman pada wanita hingga usia 40 dan diatasnya yang tidak obes, tidak merokok, dan
tidak hipertensi. 4,6
Pemakaian penghambat sintesis prostaglandin
Pada peristiwa perdarahan, prostaglandin penting peranannya pada vaskularisasi
endometrium. Dalam hal ini PgE2 dan PgE2α meningkat secara bermakna. Dengan dasar
itu, penghambat sintesis prostaglandin atau obat anti inflamasi non steroid telah dipakai
untuk pengobatan perdarahan uterus disfungsional, terutama perdarahan uterus
disfungsional anovulatorik. Untuk itu asam mefenamat dan naproksen seringkali
dipakai dosis 3 x 500 mg/hari selama 3-5 hari terbukti mampu mengurangi
perdarahan.4,6

Pemakaian antifibrinolitik
Sistem pembekuan darah juga ikut berperan secara local pada perdarahan uterus
disfungsional. Peran ini tampil melalui aktivitas fibrinolitik yang diakibatkan oleh kerja
enzimatik. Proses ini berfungsi sebagai mekanisme pertahanan dasar untuk mengatasi
penumpukan fibrin. Unsur utama pada system fibrinolitik itu adalah plasminogen, yang
bila diaktifkan akan mengeluarkan protease palsmin. 4,6
Enzim tersebut akan menghambat aktivasi palsminogen menjadi plasmin, sehingga
proses fibrinolisis akhirnya akan terhambat pula. Sediaan yang ada untuk keperluan ini
adalah asam amino kaproat (dosis yang diberikan adalah 4 x 1-1,5 gr/hari selama 4-7
hari). 4,6

Pengobatan operatif
Jenis pengobatan ini mencakup: dilatasi dan kuretase, ablasi laser dan
histerektomi.3,6,13
Dilatasi dan kuretase merupakan tahap yang ringan dari jenis pengobatan operatif pada
perdarahan uterus disfungsional. Tujuan pokok dari kuretase pada perdarahan uterus
disfungsional adalah untuk diagnostik, terutama pada umur diatas 35 tahun atau
perimenopause. Hal ini berhubungan dengan meningkatnya frekuensi keganasan pada
usia tersebut. Tindakan ini dapat menghentikan perdarahan karena menghilangkan
daerah nekrotik pada endometrium. Ternyata dengan cara tersebut perdarahan akut
berhasil dihentikan pada 40-60% kasus. 3,4,6
Namun demikian tindakan kuretase pada perdarahan uterus disfungsional masih
diperdebatkan, karena yang diselesaikan hanyalah masalah pada organ sasaran tanpa
menghilangkan kausa. Oleh karena itu kemungkinan kambuhnya cukup tinggi (30-40%
sehingga acapkali diperlukan kuretase berulang. Beberapa ahli bahkan tidak
menganjurkan kuretase sebagai pilihan utama untuk menghentikan perdarahan pada
perdarahan uterus disfungsional, kecuali jika pengobatan hormonal gagal menghentikan
perdarahan. 3,4,6
Pada ablasi endometrium dengan laser ketiga lapisan endometrium diablasikan
dengan cara vaporasi neodymium YAG laser. Endometrium akan hilang permanen,
sehingga penderita akan mengalami henti haid yang permanen pula. Cara ini dipilih
untuk penderita yang punya kontrindikasi pembedahan dan tampak cukup efektif
sebagai pilihan lain dari histerektomi, tetapi bukan sebagai pengganti histerektomi. 3,4,6
Tindakan histerektomi pada penderita perdarahan uterus disfungsional harus
memperhatikan usia dan paritas penderita. Pada penderita muda tindakan ini merupakan
pilihan terakhir. Sebaliknya pada penderita perimenopause atau menopause,
histerektomi harus dipertimbangkan bagi semua kasus perdarahan yang menetap atau
berulang. Selain itu histerketomi juga dilakukan untuk perdarahan uterus disfungsional
dengan gambaran histologis endometrium hiperflasia atipik dan kegagalan pengobatan
hormonal maupun dilatasi dan kuretase.

2.10. Prognosis4

Hasil pengobatan bergantung kepada proses perjalanan penyakit (patofisiologi)


• Penegakan diagnosa yang tepat dan regulasi hormonal secara dini dapat memberikan
angka kesembuhan hingga 90 %.
• Pada wanita muda, yang sebagian besar terjadi dalam siklus anovulasi, dapat diobati
dengan hasil baik.
BAB 3
KESIMPULAN

Perdarahan uterus disfungsional (PUD) atau Dysfunctional Uterine Bleeding adalah


perdarahan abnormal yang dapat terjadi di dalam siklus maupun di luar siklus
menstruasi, karena gangguan fungsi mekanisme pengaturan hormon (hipotalamus-
hipofisis-ovarium-endometrium), tanpa kelainan organ. Perdarahan ini juga
didefinisikan sebagai menstruasi yang banyak dan / atau tidak teratur tanpa adanya
patologi pelvik yang diketahui, kehamilan atau gangguan perdarahan umum.
Diagnosis dibuat setelah diagnosis lainnya disingkirkan (diagnosis eksklusi).
Pemeriksaan abdomen dan pelvis serta kuretase uterus yang adekuat, histeroskopi atau
setidaknya biopsi endometrium sangat penting untuk menyingkirkan penyakit organik
pada uterus. Perdarahan uterus disfungsional paling sering terjadi pada awal dan akhir
masa menstruasi, tetapi dapat terjadi pada usia manapun.
Tujuan pengobatan adalah untuk mengendalikan perdarahan akut, episode
perdarahan dimasa datang, dan mencegah dampak anovulasi yang serius pada jangka
panjang yaitu kanker endometrium. Pengobatan utama adalah terapi medis meskipun
intervensi bedah dibutuhkan pada sebagian kasus. Jika perdarahan berat, dan / atau
berulang, atau pengobatan medis gagal, maka diperlukan evaluasi ulang.
PUD pada remaja disebabkan oleh immaturitas hipothalamus dan pituitary, dan
siklus menstruasi mungkin anovulatorik. Pada gadis remaja, penyakit organik jarang
terjadi dan PUD biasanya membaik secara spontan. Itulah sebabnya mengapa
ditatalaksana secara konservatif dan kuretase sering ditunda.
Pada pertengahan usia reproduksi (20 – 39 tahun), penyakit organik jinak sering
terjadi, dan kuretase biasanya dilakukan untuk menyingkirkan penyulit kehamilan dan
penyakit lainnya. Terapi konservatif biasanya diindikasikan, meskipun histerektomi
dapat dilakukan jika perdarahan berat atau berulang dan pasien tidak ingin memiliki
keturunan lagi.
PUD perimenopause disebabkan oleh menurunnya jumlah folikel ovarium dan
meningkatnya resistensi folikel ovarium terhadap stimulasi gonadotropin. Terdapat
kemungkinan keganasan. Jadi, wanita perimenopause dengan PUD harus selalu
diperiksa dengan kuretase atau histeroskopi tanpa penundaan. Meskipun terapi
konservatif dapat dicoba sebagai tatalaksana sementara, seringkali diperlukna
histerektomi.
Perdarahan uterus disfungsional merupakan salah satu alasan tersering bagi wanita
untuk mencari pengobatan medis. Pemeriksaan pasien secara rinci diperlukan untuk
menegakkan diagnosis dengan menyingkirkan penyakit organik. Saat ini, diagnosis
PUD tidak adekuat. Tersedia berbagai modalitas pengobatan untuk PUD. Pengobatan
utama yakni terapi medis dapat menghasilkan pemulihan simptomatik tetapi keluaran
jangka panjangnya tidak menggembirakan. Oleh karena itu, ahli ginekologi harus selalu
memberitahu pasien mengenai seluruh aspek penatalaksanaan PUD.
DAFTAR PUSTAKA

1. Prawirohardjo, Sarwono. 2008. Gangguan Haid dan Siklusnya dalam Ilmu


kandungan. Jakarta: PT. Bina Pustaka Sarwono Prawiroharjdo; 223-228

2. Behera, Millie. A., Thomas, M. P., 2010. Dysfuctional Uterine Bleeding.


Available from: http://emedicine.medscape.com/article/257007 [Accessed 27
March 2011]

3. Estephan, Amir., Amir, Richard., 2010. Dysfunctional Uterine Bleeding.


Available from: http://emedicine.medscape.com/article/795587 [Accessed 27
March 2011]

4. Setiawan, Y., 2008. Perdarahan Uterus disfungsional. Available


from:
http://www.scribd.com/doc/17693423/PUD [Accessed 28 March 2011]

5. Dangal, Ganesh. 2006. Dysfunctional Uterine Bleeding And Its Management


Strategy. The Internet Journal of Gynecology and Obstetrics. Available from:
http://www.ispub.com/journal/the_internet_journal_of_gynecology_and_obstetrics/
volume_4_number_1_19/article/dysfunctional_uterine_bleeding_and_its_managem
ent_strategy.html [Accessed 28 march 2011]

6. Chen. B. H., Linda. C. G. 1998. Dysfunctional Uterine Bleeding. Available


from:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC1305317/pdf/westjmed00326-
0026.pdf [Accessed 27 March 2011]

Anda mungkin juga menyukai