Anda di halaman 1dari 3

BEJANA III, APRIL-MEI

Buku “Serigala Mengerkah” telah menjadi BUKU PILIHAN ORANG PILIHAN, sudah dibaca oleh
KAUM PILIHAN. Melalui BEJANA, Komisi Spiritualitas akan menurunkan lima artikel disunting
dari buku tersebut. Semoga seringnya kita membaca dan merenungkan tulisan tentang Pater Pendiri
Societas JMJ, semangat kita pun terus menerus dibaharui. Kita sungguh menyadari, bahwa kita telah
bertolak menempuh perjalanan pertobatan tiada hentinya, bakti-diri cinta kasih yang eksklusif kepada
Allah dan kepada sesama, untuk memberi kesaksian yang kian cemerlang tentang rahmat yang
merombak hidup kristiani. Dunia dan Gereja menghendaki kesaksian yang otentik tentang Kristus.
Dan hidup bakti itu anugerah Allah yang dikurniakan, agar tiap orang dapat mengenal “satu-satunya
yang penting” (bdk Luk 10:42). Memberi kesaksian tentang Kristus melalui perihidup, karya-karya dan
kata-katanya, itulah misi khusus kita dalam Gereja dan di dunia. (VC 109)

KEHIDUPAN DAN PANGGILAN


PATER MATHIAS WOLFF S.J.
1779 – 1857

I
Serigala Mengerkah di Nijmegen

P ater Mathias Wolff adalah seorang Jesuit yang hidup dalam ordo Serikat Jesus yang telah dipulihkan
pada abad ke-19. Ia pun memegang peranan istimewa dalam sejarah pembangunan kembali Gereja
Katolik di Negeri Belanda pada abad itu. Tak kurang dari itu Pater Mathias Wolff sangat dihormati oleh
para Suster dari Kongregasi JMJ dan SPM karena ia mengambil peranan yang menentukan bagi lahirnya kedua
Kongregasi ini.

Di Negeri Belanda Wolff bekerja di dua kota kecil, Culemborg dan Nijmegen. Tentang karyanya di dua paroki
ini seorang Provinsial mengatakan: “Di Culemborg Pater Wolff telah bekerja banyak dengan hasil baik,
kecuali di Nijmegen.” Sedangkan Pater Provinsial lain, van Gülick, mempersaksikan: “Kerasulan Wolff
semakin subur. Iman Katolik di Nijmegen sekarang ini (1909) adalah buah kerasulan Wolff!” Pater Jenderal
Jan Roothaan mengatakan tentang dia: “Buah-buah karyanya sedemikian ranum hingga tiada seorang pun
dapat disejajarkan dengannya!”

Pater Cloos S.J. menulis dalam buku Serigala yang Mengerkah (Der reissende Wolff) demikian: “Pada
pertengahan Abad yang ke-19 orang suci di Nijmegen ini adalah pribadi unik dalam sejarah Gereja di Negeri
Belanda. Tentu saja ada orang-orang lain yang bekerja di sekitarnya, namun sedikitlah orang yang diberi gelar
‘rasul yang gagah perkasa’ seperti dia.”

Atas desakan Mgr. Zwijsen, Wolff datang ke Nijmegen pada 1848 untuk menyaksikan pemberkatan Gereja
Santo Ignatius di Molenstraat yang dibangun oleh Wolff pada 1842. Padahal pada 1845, tiga tahun sebelum
perayaan itu, terjadi konflik tajam antara Mgr. Zwijsen dan Wolff, dan konflik ini memaksa Wolff dipindahkan
dari Nijmegen kembali ke Culemborg. Tetapi upacara pemberkatan Gereja itu menjadi kesempatan bagi Mgr.
Zwijsen untuk memuji karya-karya Wolff di Nijmegen selama 13 tahun (1834-1846). Empat tahun kemudian,
sewaktu Wolff merayakan pesta emas imamatnya pada 25 April 1852, Mgr. Zwijsen datang lagi bersama
dengan Mgr. Belgrado, Nuntius, bersama dengan seluruh tarekat biara di Belanda, tak terkecuali umat Katolik
dari segala lapisan masyarakat. Mereka datang untuk bersyukur atas Wolff dengan segala jasanya bagi mereka
selama berkarya di situ.

Jasa-jasanya selama bekerja di Culemborg (1816-1834) dan di Nijmegen (1834-1846) berupa perubahan
mental umat Katolik Belanda. Umat Katolik menjadi lebih bebas dalam mewujudkan iman, baik dalam tuturan
maupun tindakan. Dengan demikian, iman mereka pun semakin mendalam dan matang.

II
Umat Katolik Belanda pada Abad ke-19

Kebebasan
Selama tigaratus tahun umat Katolik di Negeri Belanda kehilangan kebebasan untuk menghayati iman. Setelah
sebelumnya diperintah oleh militer Spanyol yang Katolik, sejak Abad ke-16 Pemerintahan Belanda praktis
beragama Protestan. Penjajahan ini menyemaikan benih-benih perlawanan rakyat untuk membebaskan diri
dengan siasat mengikuti agama baru, aliran reformasi Protestan yang justru sangat dilawan oleh Pemerintahan
Spanyol. Kemerdekaan diraih melalui pertumpahan darah perang 80 tahun yang berakhir pada 1648. Tahun itu
Negara Belanda bebas seutuhnya dari Spanyol. Dan Pemerintahannya menjadi Protestan. Rakyat dipaksa
mengikuti agama pemerintahan, yaitu Reformasi Protestan.

Namun, rupanya tidak semua sudi mengikuti kemauan itu. Sebagian kecil tetap kekeuh pada iman Katolik.
Mereka tidak lagi boleh memakai Gereja untuk Misa, ibadat-ibadat di rumah keluarga Katolik pun dilarang.
Justru karena itu, para imam Katolik terus berupaya mengunjungi umat di seluruh Negeri. Karena rupanya
menyadari kenyataan ini, akhirnya Pemerintah membiarkan orang-orang Katolik mengadakan pertemuan-
pertemuan rahasia asal mereka mau membayar. Jabatan-jabatan publik dalam Negara dan Pemerintahan hanya
diberikan pada orang Protestan. Pendidikan tinggi pun hanya untuk orang Protestan. Dan karena itu, orang
Katolik menjadi pasif. Mereka terima saja penilaian bahwa orang Katolik di Negeri Belanda adalah warga
negara kelas dua yang tak punya hak dan tak mampu bersuara di muka umum. Mereka dianggap sebagai
kalangan bodoh. Celakanya, mereka merasa diri begitu!

Kemudian pecahlah Revolusi Perancis! Dampaknya menjamah seluruh Eropa, tak terkecuali Negeri Belanda.
Dentang Revolusi Perancis menggaung: Semua orang punya hak yang sama! Umat Katolik Belanda pelahan-
lahan mulai merasakannya. Namun pada saat yang sama mereka merasa tidak mampu menghayatinya dan
bahkan tidak berhak mengungkapkannya.

III
Kota Culemborg

1816. Datanglah di sebuah kota kecil Culemborg, Negeri Belanda, seorang imam Jesuit. Ia tidak bisa
berbahasa Belanda, namun sangat ingin berbicara karena ia merasa bahwa ia mempunyai hak. Mathias Wolff
namanya. Pada saat yang sama datang pula Mgr. Zwijsen, Uskup Belanda, seorang yang sangat fasih berbicara
dan mampu menggembalakan umat Katolik untuk memperoleh kembali kebebasan yang sirna selama tigaratus
tahun. Dalam diri Mathias Wolff kita merasakan debur hasratnya untuk mengungkapkan kebebasan bersuara.
Hasrat ini menjelma menjadi kekuatan dan kemampuan untuk membuat orang lain turut memahami dan
merasakan debur hasrat itu. Mathias Wolff ingin bisa mengungkapkan imannya bersama dengan umat.

IV
Masa Muda Pater Mathias Wolff

Lahir di lingkungan sangat Katolik di Luxemburg, Mathias Wolff adalah anak seorang petani sederhana dan
Katolik taat. Kelak Mathias Wolff berkisah: Waktu berumur sekitar enam tahun ia mengajak teman-teman
seusianya datang ke rumah dan masuk kamarnya. Telah ia susun tiga altar di kamar kecilnya seperti ia selalu
lihat di gereja. “Kami berdoa dan bernyanyi dan saya menerangkan katekismus dengan pertanyaan dan
jawaban, seperti Ibu mengajari saya,” begitu dikisahkannya. Namun, mimbar kotbah terlalu ringkih untuk
“pengkotbah cilik” yang bersemangat ini. Mimbar berderak-derak dan ambruk, dan teman-teman
pendengarnya berhambur keluar. Wolff sendiri terjengkang jatuh. Lengan tangannya patah!

Sang paman, Josef Wolff, adalah pastor. Ia mengajak Mathias Wolff kecil untuk tinggal di pastoran dan
bersekolah. Mathias kecil sangat bergairah belajar. Setiap akhir tahun pelajaran ia mendapat banyak buku
sebagai hadiah atas hasil belajarnya. Ia bersemangat belajar karena ingin menjadi imam seperti sang paman.
Rupanya, itulah didikan iman dari keluarga dan masyarakatnya.

Pada usia remajanya Wolff memperlihatkan bakat alami sebagai pendidik. Ia mampu mengomunikasikan isi
hati dan benaknya pada teman dan orang lain. Barangkali karena itulah ia diminta menjadi mengajar secara
privat anak-anak sebuah keluarga bangsawan. Cita-cita menjadi pendidik itu menjadi semakin kuat; pada saat
bersamaan ia menjadi ragu akan panggilan menjadi imam. Padahal waktu itu ia berada pada jenjang terakhir di
Gymnasium, setara dengan sekolah menengah.

V
Imam Muda di Luxemburg
 

P anggilan menjadi imam bermula dari hasratnya untuk menjadi “raksasa”, yaitu menjadi orang
besar, orang hebat, pejuang, orator kenamaan, dsb. Dan ia merasakan hasrat itu menggebu-gebu
dalam dirinya untuk menjadi Jesuit. Rupanya hasrat ini memercikkan sensasi dalam dirinya,
bahwa suatu ketika kelak ia akan berhasil mewujudkan cita-cita dan harapannya; bahwa ia dapat
mengatasi krisis-krisis; bahwa hasrat dan harapan itu memantikkan nyala kreativitas yang besar
yang membuatnya senantiasa hidup. Bila terjerembab dalam kegagalan, ia toh dapat
menerimanya dengan humor. Putus asa bukanlah lema dalam kamus hidupnya. Ia merasakan
bahwa ia dapat memperbaiki diri. Tumbuh pula dalam dirinya sebuah keyakinan bahwa hal-hal
baik dalam dirinya tak pernah akan hilang. Dan karena itu, daya ingatnya menjadi kuat sekali.
Sekali mendengar sebuah kotbah bagus, ia segera dapat menyampaikannya kepada orang lain,
hampir secara harafiah.
 
Sikap dasar dan nyala harapan dalam diri Mathias Wolff inilah yang rupanya membuat banyak
orang berdosa merasa aman bertemu dengannya. Semakin banyak saja orang datang mengakukan
dosa. Menurut catatan Gereja di Nijmegen, pada 1835 sewaktu paroki diambil alih oleh Mathias
Wolff, ada 8.000 pengakuan dalam satu tahun; lima tahun kemudian, pada 1840, tercatat jumlah
pengakuan dosa bertambah menjadi 22.390; dan pada 1846, tahun ketika Wolff meninggalkan
Nijmegen, jumlah pengakuan menjadi 50.651. Angka statistik pengakuan dosa ini memunculkan
pertanyaan: berapa jam ia berikan tiap hari untuk mendengarkan pengakuan? Padahal setiap hari
ia masih berkotbah di Culemborg dan Nijmegen, mengajar anak-anak muda dan dewasa yang
mau menjadi Katolik. Tiap Minggu ia berkotbah dua atau tiga kali. Pada hari-hari biasa ia
semula juga memberikan ibadat-malam dengan berkotbah tiga kali seminggu untuk umat Katolik
dan tiga kali seminggu untuk umat yang bukan Katolik yang datang dengan jumlah yang besar.
Mungkin secara singkat kita bisa menyebutnya: Ia bekerja sebagai seorang raksasa!
 
Sebagai imam muda Mathias Wolff ditugaskan di beberapa paroki di Luxemburg, yang berada di
wilayah yurisdiksi Keuskupan Metz, Perancis. Ia mengajar kaum muda di sekolah-sekolah.
Namun tugas di paroki ini tidak berlangsung lama. Sebab, Uskup segera menariknya untuk
mengajar di sebuah seminari.

Bersambung...

Anda mungkin juga menyukai