Anda di halaman 1dari 8

a.

Masa Khulafa’ Ar-Rasyidin


1. Abu Bakar As-Shiddiq 11-3 H/ 632-634 M
Sebagai kahlifah pertama, Abu Bakar dihadapkan pada keadaan masyarakat
sepeninggal Muhammad SAW. Meski terjadi perbedaan pendapat tentang tindakan yang akan
dilakukan dalam menghadapi kesulitan yang memuncak tersebut, kelihatan kebesaran jiwa
dan ketabahan batinnya. Seraya bersumpah dengan tegas ia menyatakan akan memerangi
semua golongan yang menyimpang dari kebenaran (orang-orang yang murtad, tidak mau
membayar zakat dan mengaku diri sebagai nabi).
Kekuasaan yang dijalankan pada massa khalifah Abu Bakar, sebagaimana pada masa
Rasululllah, bersifat sentral; kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif terpusat ditangan
Khalifah. Selain menjalankan roda pemerintahan, khalifah juga melaksanakan hukum,.
Meskipun demikian, seperti juga Nabi Muhammad SAW, Abu Bakar selalu mengajak
sahabat-sahabatnya bermusyawarah.

2. Umar Ibn Al-Khaththab 13-23 H/634-644 M


Umar Ibn Al-Khaththab diangkat dan dipilih oleh para pemuka masyarakat dan
disetujui oleh jama’ah kaum muslimin. Pada saat menderita sakit menjelang ajal tiba, Abu
Bakar melihat situasi negara masih labil dan pasukan yang sedang bertempur di medan
perang tidak boleh terpecah belah akibat perbedaan keinginan tentang siapa yang akan
menjadi calon penggantinya, ia memilih Umar Ibn Al-Khaththab. Pilihannya ini sudah
dimintakan pendapat dan persetujuan para pemuka masyarakat pada saat mereka menengok
dirinya sewaktu sakit.
Pada masa kepemimpinan Umar Ibn Al-Khaththab, wilayah islam sudah meliputi
jazirah Arabia, Palestina, Syria, sebagian besar wilayah Persia, dan Mesir. Karena perluasan
daerah terjadi dengan begitu cepat, Umar Ibn Al-Khaththab segera mengatur administrasi
negara dengan mencontoh administrasi pemerintahan, dengan diatur menjadi delapan
wialayah propinsi : Mekah, Madinah, Syria, Jazirah, Basrah, Kufah, Palestina, dan Mesir.
Beberapa departemen yang dipandang perlu didirikan pada masanya mulai diatur dan
ditertibkan sistem pembayaran gaji dan pajak tanah. Pengadilan didirikan dalam rangka
memisahkan lembaga Yudikatif dengan Eksekutif. Untuk menjaga keamanan dan ketertiban,
Jawatan kepolisian dibentuk. Demikian juga jawatan pekerjaan umum, Umar Ibn Al-
Khaththab juga mendirikan Bait al-Mall. Dalam menyelesaikan permasalahan yang
berkembang dimayarakat Umar selalu berkomunikasi dengan orang-orang yang memang
dianggap mampu dibidangnya.
3. Ustman Ibn Affan 23-35 H/644-656 M
Ustman Ibn Affan dipilih dan diangkat dari enam orang calon yang diangkat oleh
khalifah Umar saat menjelang wafatnya karena pembunuhan. Keenam orang tersebut adalah:
Ali bin Abu Thalib, Utsman bin Affan, Saad bin Abu Waqqash, Abd al-Rahman bin Auf,
Zubair bin Awwam, Thalhah bin Ubaidillah, serta Abdullah bin Umar, putranya, tetapi “tanpa
hak suara”.
Umar menempuh cara sendiri yang berbeda dengan cara Abu Abakar. Ia
menunjukkan enam orang calon pengganti yang menurutnya dan pengamatan mayoritas
kaum muslimin memang pantas menduduki jabatan Khalifah. Oleh sejarawan islam mereka
disebut Ahl al-Hall a al’aqd pertama dalam islam., merekalah yang bermusyawarah untuk
menentukan siapa yang menjadi khalifah. Dalam pemilihan lewat perwakilan tersebut
Ustman Ibn Affan mendapatkan suaran lebih banyak, yaitu 3 suara untuk Ali dan 4 suara
untuk Ustman Ibn Affan.
Pemerintah khalifah Ustman Ibn Affan mengalami masa kemakmuran dan berhasil
dalam beberapa tahun pertama pemerintahannya. Ia melanjutkan kebijakan-kebijakan
Khalifah Umar. Pada separuh terakhir masa pemerintahannya, muncul kekecewaaan dan
ketidakpuasaan dikalangan masyarakat karena ia mulai mengambil kebijakan yang berbeda
dari sebelumnya. Ustman Ibn Affan mengangkat keluarganya (Bani Ummayyah) pada
kedudukan yang tinggi. Ia mengadakan penyempurnaan pembagian kekuasaan pemerintahan,
Ustman Ibn Affan menekankan sistem kekuasaan pusat yang mengusaai seluruh pendapatan
propinsi dan menetapkan seorang juru hitung dari keluarganya sendiri.
4. Ali Ibn Abi Thalib 35-40 H/656-661 M
Ali Ibn Abi Thalib tampil memegang pucuk kepemimpinan negara di tengah-tengah
kericuhan dan huru-hara perpecahan akibat terbunuhnya Usman oleh kaum pemberontak. Ali
Ibn Abi Thalib dipilih dan diangkat oleh jamaah kaum muslimin di madinah dalam suasana
sangat kacau, dengan pertimbangan jika khalifah tidak segera dipilih dan di angkat, maka
ditakutkan keadaan semakin kacau. Ali Ibn Abi Thalib di angkat dengan dibaiat oleh
masyarakat.
Dalam masa pemerintahannya, Ali Ibn Abi Thalib mengahadapi pemberontakan
Thalhah, Zubair, dan Aisyah. Alasan mereka, Ali Ibn Abi Thalib tidak mau menghukum para
pembunuh Usman dan mereka menuntut bela’ terhadap daerah Usman yang telah
ditumpahkan secara dhalim. Perang ini dikenal dengan nama perang jamal.
Bersamaan dengan itu, kebijaksanaan-kebijaksanaan Ali Ibn Abi Thalib juga
mengakibatkan timbulnya perlawanan dari gubernur di Damaskus, Muawiyah. Yang
didukung oleh sejumlah bekas pejabat tinggi yang merasa kehilangan kedudukan dan
kejayaannya. Pertempuran yang terjadi dikenal dengan perang shiffin, perang ini diakhiri
dengan tahkim (arbitrase), tapi tahkim ternyata tidak menyelsaikan maslah, bahkan
menyebabkan timbulnya golongan ketiga Al-Khawarij (orang-orang yang keluar dari barisan
Ali).6
b. Masa Bani Umayyah
Masa ke-Khilafahan Bani Umayyah hanya berumur 90 tahun yaitu dimulai pada masa
kekuasaan Muawiyah bin Abu Sufyan, yaitu setelah terbunuhnya Ali bin Abi Thalib, dan
kemudian orang-orang Madinah membaiat Hasan bin Ali namun Hasan bin Ali menyerahkan
jabatan kekhalifahan ini kepada Mu’awiyah bin Abu Sufyan dalam rangka mendamaikan
kaum muslimin yang pada masa itu sedang dilanda bermacam fitnah yang dimulai sejak
terbunuhnya Utsman bin Affan, pertempuran Shiffin, perang Jamaldan penghianatan dari
orang-orang Khawarij dan Syi'ah, dan terakhir terbunuhnya Ali bin Abi Thalib.
Meskipun keberhasilan banyak dicapai daulah ini, namun tidak berarti bahwa politik
dalam negeri dapat dianggap stabil. Pada masa Muawiyah bin Abu Sufyan inilah suksesi
kekuasaan bersifat monarchiheridetis (kepemimpinan secara turun temurun) mulai
diperkenalkan, dimana ketika dia mewajibkan seluruh rakyatnya untuk menyatakan setia
terhadap anaknya, yaitu Yazid bin Muawiyah. Muawiyah bin Abu Sufyan dipengaruhi oleh
sistem monarki yang ada di Persia dan Bizantium, istilah khalifah tetap digunakan, namun
Muawiyah bin Abu Sufyan memberikan interprestasi sendiri dari kata-kata tersebut
dimana khalifah Allah dalam pengertian penguasa yang diangkat oleh Allah. Dan
kemudian Muawiyah bin Abu Sufyan dianggap tidak mentaati isi perjanjiannya
dengan Hasan bin Ali ketika dia naik tahta, yang menyebutkan bahwa persoalan penggantian
kepemimpinan diserahkan kepada pemilihan umat Islam. Deklarasi pengangkatan
anaknyaYazid bin Muawiyah sebagai putera mahkota menyebabkan munculnya gerakan-
gerakan oposisi di kalangan rakyat yang mengakibatkan terjadinya perang saudara beberapa
kali dan berkelanjutan.
Ketika Yazid bin Muawiyah naik tahta, sejumlah tokoh terkemuka di Madinah tidak
mau menyatakan setia kepadanya. Yazid bin Muawiyah kemudian mengirim surat kepada
gubernur Madinah, memintanya untuk memaksa penduduk mengambil sumpah setia
kepadanya. Dengan cara ini, semua orang terpaksa tunduk, kecuali Husain bin Ali Ibnul Abu
Thalib dan Abdullah bin Zubair Ibnul Awwam. Bersamaan dengan itu,
kaum Syi'ah (pengikut Abdullah bin Saba’ al-Yahudi) melakukan konsolidasi
(penggabungan) kekuatan kembali, dan menghasut Husain bin Ali melakukan perlawanan.
Husain bin Ali sendiri juga dibait sebagai khalifah di Madinah, Pada tahun 680 M,
Yazid bin Muawiyah mengirim pasukan untuk memaksa Husain bin Ali untuk menyatakan
setia, Namun terjadi pertempuran yang tidak seimbang yang kemudian hari dikenal
dengan Pertempuran Karbala[1], Husain bin Ali terbunuh, kepalanya dipenggal dan dikirim
ke Damaskus, sedang tubuhnya dikubur di Karbala sebuah daerah di dekat Kufah.
Kelompok Syi'ah sendiri bahkan terus melakukan perlawanan dengan lebih gigih dan
diantaranya adalah yang dipimpin oleh Al-Mukhtar diKufah pada 685-687 M. Al-Mukhtar
(yang pada akhirnya mengaku sebagai nabi) mendapat banyak pengikut dari kalangan kaum
Mawali (yaitu umat Islam bukan Arab, berasal dari Persia, Armenia dan lain-lain) yang pada
masa Bani Umayyah dianggap sebagai warga negara kelas dua. Namun perlawanan Al-
Mukhtar sendiri ditumpas oleh Abdullah bin Zubair yang menyatakan dirinya secara terbuka
sebagai khalifah setelah Husain bin Ali terbunuh. Walaupun dia juga tidak berhasil
menghentikan gerakan Syi'ah secara keseluruhan.
Pada umumnya pasca Khulafaur Rasyidin, pemerintahan Islam seringkali dipandang
tidak sesuai lagi dengan syariat Islam. Peristiwa pemberontakan (bughat) Wali Syam
Mu’awiyah bin Abi Sufyan kepada Khalifah Ali bin Abi Thalib yang diperangi dalam Perang
Siffin, kemudian berlanjut dengan kekisruhan negara pada masa kekhalifahan Ali yang
diakhiri dengan terbunuhnya sang Khalifah oleh Kaum Khawarij, menunjukkan betapa jauh
tuntunan Rasul saw dalam hal perpolitikan pada masa itu, bahkan masih di masa adanya para
Sahabat. Inilah fakta sejarah yang terjadi. Namun apakah benar, tuntunan Islam dalam
perpolitikan (sistem negara dan pemerintahan) sudah tidak sesuai lagi dengan syariat Islam
setelah masa itu? Terutama dalam masalah pergantian elit politik (khalifah). Tulisan ini
secara khusus akan mengulas sejauhmana penyimpangan terhadap syariat Islam tersebut, bila
ada. Dan umumnya akan melihat lebih jauh kiprah perpolitikan masa 14 Khalifah pasca
Khulafaur Rasyiddin atau yang dikenal dengan masa Kekhalifahan Umayyah
Walaupun agak enggan menyebut dengan nama keluarga Umayyah, dalam masa ini,
namun fakta yang terjadi adalah pada masa ini Khalifah-khalifah yang dibai’at kebanyakan
berasal dari keluarga tersebut. Diawali oleh Khalifah Mu’awiyah yang pernah membantu
Rasulullah saw untuk menjadi sekretaris negara di masanya (Ensiklopedi Umum, 1984),
kemudian pada masa Khalifah Umar bin Khattab, karena kecakapannya diamanahi menjadi
Wali di daerah Syam, yang terus berlanjut sampai Kekhalifahan Ali bin Abi Thalib, sampai
akhirnya dengan terbunuhnya Ali, Mu’awiyah karena pengaruhnya yang besar kemudian
diba’iat menjadi khalifah berikutnya pada tahun 41H/661M. Penguasaan keluarga ini
berakhir pada tahun 132H/750M, dengan terbunuhnya Khalifah keempat belas Marwan bin
Muhammad Al Ja’di oleh pemberontakan yang dilakukan Abu Muslim Khurasai.
Kehidupan perpolitikan masa kekhalifahan Umayyah tidak begitu jauh berbeda
dengan masa Rasulullah dan Khulafaur Rasyiddin. Dengan landasan Al Qur’an serta Sunnah
Rasulullah, kehidupan bermasyarakat dibangun dengan empat pilar pemerintahan, antara
lain:
1. kedaulatan di tangan syara’
2. kekuasaan milik ummat
3. mengangkat Khalifah hukumnya fardhu bagi seluruh kaum muslimin
4. hanya khalifah yang berhak mentabanni (melakukan adopsi) terhadap hukum-hukum
syara’
(Sistem Pemerintahan Islam, 1997)
Dengan keempat pilar ini pemerintahan ditegakkan atas wilayah-wilayah yang
menjadi bagian negara Islam yang semakin meluas. Dengan adanya daulah Islam dengan
keempat pilarnya tersebut kepentingan Islam, yaitu tegaknya hukum Islam di muka bumi
dapat dilaksanakan. Setiap takluknya suatu wilayah menjadi negeri Islam, maka syariat Islam
langsung ditegakkan di sana.
Sistem putera mahkota memang merupakan sistem yang mungkar dalam pandangan
Islam, serta bertentangan dengan sistem Islam. Karena sesuai dengan pilar pemerintahan
Islam, kekuasaan adalah milik ummat, bukan milik khalifah. Walau khalifah hanya
merupakan wakil ummat untuk memegang kekuasaan sementara statusnya tetap wakil, maka
bagaimana mungkin khalifah bisa menghadiahkan kekuasaannya kepada orang lain.
kesalahan Mu’awiyah dalam melakukan pergantian Khalifah telah membelokkan
pemahaman sebagian umat Islam saat itu mengenai mekanisme pergantian elit. Dari yang
dilakukan dengan pemilihan secara bebas menjadi pemilihan terbatas (keluarga) atau
penunjukkan orang tertentu. Inilah yang menyimpang. Namun mengenai proses bai’at
sebagai thariqah pengangkatan khalifah tetap dilakukan, dan tetap dilakukan dengan
prosedur yang sama sebagaimana masa Khulafaur Rasyiddin.
c. Bani Abbasiyah
Kekhalifahan ini berkuasa setelah merebutnya dari Bani Umayyah dan menundukan
semua wilayahnya kecuali Andalusia. Bani Abbasiyah dirujuk kepada keturunan dari
paman Nabi Muhammad yang termuda, yaitu Abbas bin Abdul-Muththalib (566-652), oleh
karena itu mereka juga termasuk ke dalam Bani Hasyim. Berkuasa mulai tahun 750 dan
memindahkan ibukota dari Damaskus ke Baghdad. Berkembang selama dua abad, tetapi
pelan-pelan meredup setelah naiknya bangsaTurki yang sebelumnya merupakan bahagian
dari tentara kekhalifahan yang mereka bentuk, dan dikenal dengan nama Mamluk. Selama
150 tahun mengambil kekuasaan memintas Iran, kekhalifahan dipaksa untuk menyerahkan
kekuasaan kepada dinasti-dinasti setempat, yang sering disebut amir atau sultan.
Meskipun begitu, kekhalifahan tetap bertahan sebagai simbol yang menyatukan
umat Islam. Pada masa pemerintahannya, Bani Abbasiyah mengklaim bahwa dinasti mereka
tak dapat disaingi. Namun kemudian, Said bin Husain, seorang muslim Syiah dari
dinasti Fatimiyyahmengaku dari keturunan anak perempuannya Nabi Muhammad,
mengklaim dirinya sebagai Khalifah pada tahun 909, sehingga timbul kekuasaan ganda di
daerah Afrika Utara. Pada awalnya ia hanya menguasai Maroko, Aljazair, Tunisia dan Libya.
Pada periode pertama pemerintahan Bani Abbas mencapai masa keemasannya. Secara
politis, para khalifah betul-betul tokoh yang kuat dan merupakan pusat kekuasaan politik dan
agama sekaligus. Di sisi lain, kemakmuran masyarakat mencapai tingkat tertinggi. Periode ini
juga berhasil menyiapkan landasan bagi perkembangan filsafat dan ilmu pengetahuan
dalam Islam. Namun setelah periode ini berakhir, pemerintahan Bani Abbas mulai menurun
dalam bidang politik, meskipun filsafat dan ilmu pengetahuan terus berkembang.

5. Dilema Politik Islam


Dalam penghadapan dengan kekuasaan dan negara, politik Islam di Indonesia sering
berada pada posisi delematis. Dilema yang dihadapi menyangkut tarik-menarik antara
tuntutan untuk aktualisasi diri secara deferminan sebagai kelompok mayoritas dan kenyataan
kehidupan politik yang tidak selalu kondusif bagi aktualisasi diri tersebut. Sebagai akibatnya,
politik Islam dihadapkan pada beberapa pilihan strategis yang masing-masing mengandung
konsekuensi dalam dirinya.
Pertama, strategi akomodatif justifikatif terhadap kekuasaan negara yang sering tidak
mencerminkan idealisme Islam dengan konsekuensi menerima penghujatan dari kalangan
"garis keras" umat Islam.
Kedua, strategi isolatif-oposisional, yaitu menolak dan memisahkan diri dari kekuasaan
negara untuk membangun kekuatn sendiri, dengan konsekuensi kehilangan faktor
pendukungnya, yaitu kekuatan negara itu sendiri, yang kemudian dikuasai dan dimanfaatkan
oleh pihak lain.
Ketiga, strategi integratif-kritis, yaitu mengintegrasikan diri ke dalam kekuasaan negara,
tetapi tetap kritis terhadap penyelewengan kekuasaan dalam suatu perjuangan dari dalam.
Namun, strategi ini sering berhadapan dengan hegemoni negara itu sendiri, sehingga
efektifitas perjuangannya dipertanyakan.
Salah satu isu politik yang sering menempatkan kelompok Islam pada posisi dilematis
yang sering dihadapi politik Islam adalah pemosisian Islam vis a vis negara yang berdasarkan
Pancasila. Walaupun umat Islam mempunyai andil yang sangat besar dalam menegakkan
negara melalui perjuangan yang panjang dalam melawan penjajahan dan menegakkan
kemerdekaan, namun untuk mengisi negara merdeka kelompok Islam tidak selalu pada posisi
yang menentukan.
Sekarang pada era reformasi. Peran kelompok Islam, baik tokoh Islam maupun
mahasiswa Islam dalam mendorong gerakan reformasi sangat besar. Namun, pada
perkembangan selanjutnya, gerakan reformasi tidak selalu berada dalam pengendalian
kelompok Islam.
Situasi dilematis politik Islam sering diperburuk oleh ketidakmampuan untuk keluar
dari dilema itu sendiri. Hal ini antara lain disebabkan oleh kurang adanya pemaduan antara
semangat politik dan pengetahuan politik. Semangat politik yang tinggi yang tidak disertai
oleh pengetahuan yang luas dan mendalam tentang perkembangan politik sering
mengakibatkan terabainya penguatan taktik dan strategi politik. Dua hal yang sangat
diperlukan dalam politik praktis dan permainan politik.
Dilema politik Islam berpangkal pada masih adanya problem mendasar dalam
kehidupan politik umat Islam. Problema tersebut ada yang bersifat teologis, seperti
menyangkut hubungan agama dan politik dalam Islam. Tetapi, ada yang bersifat murni
politik, yaitu menyangkut strategi perjuangan politik itu sendiri dalam latar kehidupan politik
Indonesia yang kompleks dengan kelompok-kelompok kepentingan politik majemuk.
BAB IV
KESIMPULAN

Berarti secara ringkas Politik Islam memberikan pengurusan atas urusan seluruh umat
Muslim.Namun, realitas politik demikian menjadi pudar saat terjadi kebiasaan umum
masyarakat dewasa ini baik perkataan maupun perbuatannya menyimpang dari kebenaran
Islam yang dilakukan oleh mereka yang beraqidahkan sekularisme, baik dari kalangan non
muslim atau dari kalangan umat Islam. Jadilah politik disifati dengan kedustaan, tipu daya,
dan penyesatan yang dilakukan oleh para politisi maupun penguasa. Penyelewengan para
politisi dari kebenaran Islam, kezhaliman mereka kepada masyarakat, sikap dan tindakan
sembrono mereka dalam mengurusi masyarakat memalingkan makna lurus politik tadi.
Bahkan, dengan pandangan seperti itu jadilah penguasa memusuhi rakyatnya bukan sebagai
pemerintahan yang shalih dan berbuat baik. Hal ini memicu propaganda kaum sekularis
bahwa politik itu harus dijauhkan dari agama (Islam). Sebab, orang yang paham akan agama
itu takut kepada Allah SWT sehingga tidak cocok berkecimpung dalam politik yang
merupakan dusta, kezhaliman, pengkhianatan, dan tipu daya. Cara pandang demikian,
sayangnya, sadar atau tidak mempengaruhi sebagian kaum muslimin yang juga sebenarnya
ikhlas dalam memperjuangkan Islam. Padahal propaganda tadi merupakan kebenaran yang
digunakan untuk kebathilan (Samih ‘Athief Az Zain, As Siyasah wa As Siyasah Ad
Dauliyyah, hal. 31-33). Jadi secara ringkas Islam tidak bisa dipisahkan dari politik
Tidak dipungkiri lagi politik Islam adalah suatu keharusan dalam sebuah komuniatas
Islam yang majemuk. Tetapi, di sisi lain, ia pun tidak lepas dari dilema-dilema dan problema-
problema yang merupakan konsekuensi dalam dirinya. Untuk mengatasi hal-hal tersebut,
maka diperlukan strategi dan taktik jitu perjuangan politik dalam latar kehidupan politik
Indonesia yang kompleks dengan kelompok-kelompok kepentingan politik majemuk.

Anda mungkin juga menyukai