Anda di halaman 1dari 13

TUGAS TERSTRUKTUR USHUL FIQIH

DOSEN PENGASUH MUHAMMAD NADHIR

(AL-AMM DAN AL-KHASH)

Anggota Kelompok: : 0801269330 : 08012893 : 0801269322 : 0801289356 : 0801269335 : 0801289362

alhi Azmi auziah auzan Rahmani ida Khairiah ora Sunarya Putri ti Aminah

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI ANTASARI FAKULTAS TARBIYAH JURUSAN KI BANJARMASIN

2009

BAB I PENDAHULUAN
Ushul Fiqh merupakan suatu disiplin ilmu yang mempelajari tentang kaidahkaidah dalam menetapkan hukum atau syariat Islam. Pokok pembahasan Ushul Fiqh bermacam-macam, di antaranya pembahasan tentang Al-Amm dan Al-Khash. Dalam Al-Quran maupun hadits kita sering menemukan lafaz am dan lafaz khash. Yang lafaz am tersebut kalau tidak di-takhsish maka tidak bisa diambil atau dijadikan istinbat hukum dalam syariat Islam. Karena itu penting sekali mengetahui serta mempelajari am maupun khosh.

BAB II PEMBAHASAN
A. Amm 1. Pengertian Lafazh Amm Pembahasan lafazh amm dalam ilmu Ushul Fiqh mempunyai kedudukan tersendiri, karena lafazh amm mempunyai tingkat yang luas serta menjadi ajang perdebatan pendapat ulama dalam menetapkan hukum. Di pihak lain, sumber hukum Islam pun, Al-Quran dan Sunnah, dalam banyak hal memakai lafazh umum yang bersifat universal. Lafazh amm ialah suatu lafazh yang menunjukkan satu makna yang mencakup seluruh satuan yang tidak terbatas dalam jumlah tertentu. Para ulama Ushul Fiqh memberikan definisi amm antara lain sebagai berikut: 1. Menurut ulama Hanafiyah


Artinya: Setiap lafazh yang mencakup banyak, baik secara lafazh maupun makna. 2. Menurut ulama Syafiiyah, di antaranya Al-Ghazali:


Artinya: Satu lafazh yang dari satu segi menunjukkan dua makna atau lebih. 2. Dilalah Lafazh Amm Para ulama sepakat bahwa lafazh amm yang disertai dengan qarinah (indikasi) yang menunjukkan penolakan adanya takhsish adalah qathi dilalah. Mereka pun sepakat bahwa lafazh amm yang disertai yang menunjukkan bahwa yang dimaksudnya itu khusus, mempunyai dilalah yang 4

khusus pula. Yang menjadi perdebatan pendapat di sini ialah lafazh amm yang muthlaq tanpa disertai suatu qarinah yang menolak kemungkinan adanya takhsish, atau tetap berlaku umum yang mencakup satuan-satuannya. Menurut Hanafiyah dilalah amm itu qathi, yang dimaksud qathi, menurut Hanafiyah ialah:


Artinya: Tidak mencakup suatu kandungan, yang menimbulkan suatui dalil. Namun, bukan berarti tidak ada kemungkinan takhsish sama sekali. Oleh karena itu, untuk menetapkan ke-qathi-an lafazh amm, pada mulanya tidak boleh di-takhsish sebab apabila pada awalnya sudah dimasuki takhsish, maka dilalah-nya zhanni. Mereka beralasan, Sesungguhnya suatu lafazh apabila dipasangkan (di-wadha-kan) pada suatu makna, maka makna itu berketetapan yang pasti, sampai ada dalil yang mengubahnya, lebih tegas lagi mereka mengatakan:

, .
Artinya: Sesungguhnya lafazh amm merupakan suatu hakikat, karena kosong dari segala yang menunjukkan satu (makna khusus). Dan suatu lafazh, jika dalam keadaan mutlak, maka menunjukkan pada maknanya yang hakiki, yakni mutlak. Begitu pula lafazh amm yang mutlak dari suatui indikasi tentang

kekhususannya menunjukkan pada makna umum, dan tidaklah berubah dari maknanya yang hakiki, kecuali dengan dalil. Menurut Jumhur Ulama, (Malikiyah, Syafiiyah, dan Hanabilah), dilalah amm adalah zhanni. Mereka beralasan, dilalah amm itu termasuk bagian dilalah zahir, yang mempunyai kemungkinan di-takhsish. Dan kemungkinan ini pada lafazh amm banyak sekali. Selama kemungkinan tetap ada, maka tidak dapat dibenarkan menyatakan bahwa dilalah-nya qathi. Sehubungan dengan hal itu, Ibnu Abbas berkata:

. :
Artinya: Dalam Al-Quran semua lafazh umum itu ada takhsishnya, kecuali firman Allah SWT., Dan Allah Maha mengetahui atas segala sesuatu. 3. Contoh Amm


Artinya:

Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, Maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus dali dera. (Q. S. An-Nur : 2) B. Khash 1. Pengertian Khash Para ulama ushul berbeda pendapat dalam memberikan definisi khash. Namun, pada hakikatnya definisi tersebut mempunyai pengertian yang sama. Definisi yang dapat dikemukakan di sini, antara lain:


Artinya: 6

Suatu lafazh yang dipasangkan pada satu arti yang sudah diketahui (malum) dan manunggal.

Dan menurut Al-Bazdawi, definisi khash adalah:

.
Artinya: Setiap lafazh yang dipasangkan pada satu arti yang menyendiri, dan terhindar dari makna lain yang (musytarak). Dengan definisi di atas, ia mengeluarkan lafazh mutlaq dan musytarak dari bagian dari bagian lafazh khash, dan bukan pula bagian dari lafazh amm. Pendapat ini dipegang pula oleh ulama syafiiyah. Cara penunjukan lafazh atas satu arti ini bisa dalam berbagai bentuk, yaitu bentuk genius, seperti lafazh insanun dipasangkan pada hewan yang berfikir, atau berbentuk spesies (nauun), seperti kata laki-laki dan wanita, atau berbentuk individual yang berbeda-beda tetapi terbatas, seperti bilangan angka-angka (3, 5, 100 dan seterusnya). 2. Hukum Lafazh Khash Lafazh yang terdapat pada nash syara menunjukkan satu makna tertentu dengan pasti selama tidak ada dalil yang mengubah maknanya itu. Dengan demikian, apabila ada suatu kemungkinan arti lain yang tidak berdasar dalil, maka ke-qathi-an dilalah-nya tidak terpengaruhi. Oleh karena itu, apabila lafazh khash dikemukakan dalam bentuk mutlaq, tanpa batasan apapun, maka lafazh itu memberi faedah ketetapan hukum secara mutlaq, selama tidak ada dalil yang membatasinya. Dan bila lafazh itu dikemukakan dalam bentuk perintah, maka ia memberikan faedah berupa hukum wajib bagi yang diperintahkan (mamur bih), selama tidak ada dalil

yang memalingkannya pada makna yang lain. Demikian juga apabila lafazh itu dikemukakan dalam bentuk larangan (nahy), ia memberikan faedah berupa hukum haram terhadap hal yang dilarang itu, selama tidak ada qarinah (indikasi) yang memalingkannya dari hal itu. Atas dasar itu, maka kata salasatin pada firman Allah SWT. yang berbunyi:


Artinya: ...tetapi jika ia tidak menemukan (binatang korban atau tidak mampu), Maka wajib berpuasa tiga hari... (Q. S. Al-Baqarah : 196) mengandung pengertian khash, yang tidak mungkin mengandung arti kurang atau lebih dari makna yang dikehendaki oleh lafazh itu sendiri, yaitu tiga. Oleh karena itu, dilalah maknanya adalah qathiyah. Demikian juga kata nishfu pada firman Allah yang berbunyi...

...
mengandung arti khash yang kandungannya tidak mungkin berarti selain arti tertentu yang ditunjukkan lafazhnya itu sendiri, yaitu setengah. Kedua contoh di atas, termasuk lafazh-ladazh khash, sehingga

kehujjahannya terdapat pada arti yang diperuntukkan baginya yang bersifat qathiyah, karena tidak ada dalil yang memalingkan dari masalah haqiqinya (al-wad al-Haqiqi). Selain itu, juga lafazh dalam firman Allah SWT. yang berbunyi:

...
adalah lafazh khash yang sudah dikenal yang berarti api (an-nar) yang sebenarnya, dan mengandaikan bahwa makna yang dimaksud bukanlah makna itu, tanpa adanya dalil, maka yang demikian itu tidak berpengaruh sedikit pun terhadap keqathian makna yang termaksud dalam lafazh tersebut.

Terhadap kemungkinan adanya takwil dalam lafazh khash, para pengikut mazhab mazhab Hanafi memalingkan arti lafazh khash tersebut dari maknanya yang haqiqi dalam beberapa nash karena adanya qarinah yang mengharuskan pemalingan artinya yang haqiqi, dan karena adanya maksud untuk memberi makna yang lain melalui maksud yang terkandung dalam dalil tersebut. Lafazh syat, dalam sabda Rasulullah SAW. yang berbunyi:


merupakan lafazh khash. Para ulama hanafiyah menakwilkannya dengan arti yang lebih umum yang mencakup arti syat itu sendiri berikut harganya. Berdasarkan itu, maka hadits tersebut memberikan arti khusus dalam menentukan nishab yang dikenai zakat dari empat puluh kambing, yaitu satu ekor kambing, tidak kurang dan tidak lebih. (Salam Madkur, 1976 : 203). 3. Perbedaan Pendapat Akibat ke-qathi-an Dilalah khash Para ulama sepakat bahwa dilalah lafazh khash adalah qathi. Namun, mereka berbeda pendapat dalam sifat ke-qathi-annya itu, apakah lafazh khash yang dipandang qathi dilalahnya itu sudah jelas dengan sendirinya,sehingga tidak mempunyai kemungkinan penjelasan lain atau perubahan makna, ataukah sekalipun lafazh itu qathi dilalah-nya, tetapi kemungkinan mempunyai perubahan dan penjelasan lain. Golongan Hanafiyah mengambil pendapat pertama. Mereka menyatakan, Sesungguhnya lafazh khash sepanjang telah memiliki arti secara tersendiri, berarti sudah jelas dan tegas dengan ketentuan lafazh-lafazh itu sendiri. Seandainya lafazh khash itu masih mempunyai kemungkinan perubahan dengan penjelasan yang lain, pasti keadaan penjelasannya itu menetapkan yang sudah tetap atau menolak yang sudah tertolak. Sedangkan keduanya ini tidak bisa diterima. (Al-Bazdawi, 1308 : I, 9). Dari sikapnya ini dapat ditarik kesimpulan pokok, yaitu: a. Mereka menetapkan bahwa lafazh khash itu tidak memerlukan penjelasan lain, sehingga dalam mengambil hukum

dari satu dilalah khash, mereka tidak mengambil hadits-hadits yang berhubungan dengan penjelasan lafazh khash sebagai pembantu untuk penjelasannya. Karena menurut mereka, dilalah khashash itu tidak memerlukan penjelasan lain. (M. Abu Zahrah, tt.; Abu Hanifah; 261) b. Karena mereka menyatakan bahwa bahwa lafazh khash Al-Quran itu qathi dilalah-nya dan tidak memerlukan penjelasan (bayan), maka setiap perubahan hukum dengan nash yang lain dipandang sebagai penghapusan hukum, bukan penjelasan. Oleh sebab itu, nasikh (penghapus hukum) harus sama kekuatan dilalah-nya dengan nash yang dihapus dilalah-nya (mansukh). Dengan demikian, apabila tidak sama kekuatan dilalah-nya, maka tidak bisa diterima. Konsekuensinya lafazh khash yang qathi itu tidak bisa dihapus (dinasakh) dengan hadits ahad. Golongan Jumhur Ulama, antara lain, Syafiiyah dan Malikiyah mengambil pendapat yang menyatakan bahwa sekalipun lafazh khash itu dilalah-nya qathi, namun tetap mempunyai kemungkinan perubahan makna soal wadha-nya (asal pemasangannya); sehingga apabila terdapat nash yang mengubah dilalah khash itu, maka ia dipandang sebagai penjelasan terhadap lafazh khash itu. Dari sikap ini terdapat dua kesimpulan yang berbeda dengan pendapat pertama, yaitu: a. Nash Khash menerima penjelasan dan perubahan (gol : 11) b. Lafazh Khash Al-Quran menurut pandangannya tetap menerima penjelasan dan perubahan. Maka ia dipandang sebagai lafazh mujmal. Oleh sebab itu, lafazh khash mungkin saja berubah melalui penjelasan; sungguhpun penjelasan itu kekuatan dilalah-nya dari segi tsubut lebih rendah dari kekuatan khash itu sendiri, seperti hadits ahad. 4. Macam-macam lafazh khash Lafazh khash itu bentuknya banyak, sesuai dengan keadaan dan sifat yang dipakai pada lafazh itu sendiri. Ia kadang-kadang berbentuk mutlaq tanpa dibatasi oleh suatu syarat atau qayyid apapun, kadang-kadang berbentuk amr (perintah), dan kadang-kadang berbentuk nahy (larangan). 10

Dengan demikian, macam-macam lafazh khash mencakup: mutlaq, muqayyad, amr, dan nahyi.1 5. Contoh Khash

:
Artinya: Diwajibkan bagi semua orang untuk melaksanakan haji bagi siapa yang mampu.2

1 2

Syafei, Rachmat. Ilmu Ushul Fiqih. Bandung. 2007, hal. 192. DEPAG. Mudzakkarah Ushul Fikih. Jakarta. 2000, hal. 24.

11

BAB III PENUTUP


Kesimpulan 1) 2) 3) 4) Amm adalah suatu lafazh yang menunjukkan satu makna Menurut Jumhur Ulama dilalah adalah zhanni. Khas adalah suatu lafazh yang sudah diketahui maknanya. Hukum lafazh khash ialah apabila lafazh khash itu yang mencakup seluruh satuan yang tidak terbatas dalam jumlah tertentu.

dikemukakan dalam bentuk mutlaq tanpa batasan apapun maka itu memberikan ketetapan hukum secara mutlaq.

12

DAFTAR PUSTAKA
1. 2. Bandung. Pustaka Setia. 3. Jakarta. s DEPAG. 2000. Mudzakkarah Ushul Fikih. Al-Quran dan Terjemahnya. Syafei, Rachmat. 2007. Ilmu Ushul Fiqih.

13

Anda mungkin juga menyukai