Anda di halaman 1dari 8

A.

Menyampaikan Amanat dan Menghukum dengan Adil Allah SWT berfirman dalam surah al-Nis` ayat 58 sebagai berikut:


Terjemahan: Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha mendengar lagi Maha melihat. Sebuah riwayat yang menceritakan ayat tentang memberikan amanat dan hak kepada yang berhak serta menghukum dengan adil ini adalah sebuah kisah ketika terjadinya pembukaan kota Mekkah. Ketika itu, penjaga kabah adalah Utsmn bin Abd al-Dr. Beliau mengunci kabah. Maka Abbs mengambil dengan paksa kunci tersebut. Lalu Rasulullah mengutus Al RA untuk meminta Abbs mengembalikan kunci tersebut dan meminta maaf kepada Utsmn bin Abd al-Dr. Setelah itu, Al RA pun menceritakan pada Utsmn bin Abd alDr bahwa ayat ini diturunkan kepadanya. Maka Utsmn bin Abd al-Dr pun memeluk Islam. Walaupun ayat ini diturunkan oleh sebab yang tertentu, akan tetapi ayat ini tetap berlaku secara umum dan bukan hanya tertakluk pada sebab kisah ini. Ini dikarenakan oleh sebuah kaedah dalam ulm al-Qur`n yang berbunyi

Perintah awal dari ayat ini adalah supaya menjalani amanat dengan memberikannya kepada ahlinya bagi setiap muslimin. Sama ada hak bagi dirinya sendiri maupun hak bagi orang lain serta hak Allah secara umum. Contoh menjaga amanah dalam hak Allah adalah seperti mematuhi perintahnya dan menjauhi larangannya. Menjaga amanah bagi hak manusia itu sendiri adalah seperti tidak melakukan kecuali apa yang bermanfaat bagi dunia

dan akhirat. Sedangkan menjaga amanah bagi orang lain adalah seperti tidak menipu ketika bermuamalat, berjihad, dan nasihat. Setelah menetapkan amanah, maka datanglah giliran menghukumi dengan adil diantara manusia. Dalam firman Allah yang berbunyi

adalah

merupakan fiil mdli yang bertemu dengan dlamr muttashil .Ia memiliki arti yaitu menghukumi. Asal usulnya bermakna yaitu mencegah. Contohnya:


yang berarti: aku menghukum terhadapnya begini ketika akau menghalangnya dari melakukan sebaliknya, maka dia tidak mampu melakukan selain itu. Dan aku menghukum di antara kaum yaitu memutuskan di antara mereka maka aku adalah seorang hakim. Secara istilah, kata menghukumi atau dalam bahasa Arab yang lebih dikenali dengan kata itu adalah memisah pertengkarang/persengketaan dan menghilangkan perselisihan. Ia adalah dituntut dalam Islam berdasarkan firman Allah

.
Menurut Syaikh Wahbah al-Zuhayl, bahwa kata adil di dalam ayat ini adalah

yaitu

memberikan hak

kepada pemiliknya dengan jalan yang terdekat. Keadilan adalah merupkan asas kepimpinan. Ia adalah asal dari dasar-dasar hukum di dalam Islam. Wajib ada bagi masyarakat sosial agar yang lemah dapat mengambil haknya. Yang kuat tidak merampas dari yang lemah. Terlestarilah keamanan. Seluruh syariat yang datang dari Allah (seperti agama Yahudi dan Nasrani) itu mewajibkan mendirikan keadilan. Maka dari itu, wajib bagi hakim dan perangkat pemerintahan melestarikan keadilan sehingga hak-hak tersentuh ahlinya.

Dalam membahas tentang adil ini, Alquran menyebutkannya di lebih dari satu tempat. Seperti contoh Surah al-Nahl ayat 90 yang berbunyi:


Terjemahan: Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) Berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran. Kata adil menurut `Ibn Athiyyah: telah berkata al-Qdl `Ab Muhammad: Adil adalah melakukan segala perkara yang difardukan dari segi akidah dan syariat, kehidupan sesama manusia di dalam melaksanakan amanat dan meninggalkan kezaliman, memberikan sesuatu yang hak. B. Perlakuan Sama di Dalam Peradilan dan Persaksian Allah SWT berfirman dalam surah al-Nis` ayat 138 sebagai berikut:


Terjemahan: Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapa dan kaum kerabatmu. jika ia Kaya ataupun miskin, Maka Allah lebih tahu kemaslahatannya. Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. dan jika kamu memutar balikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, Maka Sesungguhnya Allah adalah Maha mengetahui segala apa yang kamu kerjakan. Sebab turunya ayat ini ditakhrj `Ibn Jarr dari al-Sadiyyi. Ketika ayat ini diturunkan, terdapat dua orang lelaki yang sedang bersengketa yaitu satu kaya dan satu fakir. Sedangkan Nabi Muhammad SAW menyebelahi yang fakir,

dengan pandangan orang fakir tidak mungkin menzalimi yang kaya. Maka Allah enggan menerimanya kecuali menegakkan keadilan dalam arti seimbang di antara yang kaya dan fakir. Dalam ayat ini, kata adil digunakan dengan kata yang secara bahasa memiliki arti adil, seimbang, tengah-tengah di dalam segala perkara. Ini sama seperti yang terdapat di dalam surah al-`Arf ayat 29:


Terjemahan: Katakanlah: "Tuhanku menyuruh menjalankan keadilan". dan (katakanlah): "Luruskanlah muka (diri)mu di Setiap sembahyang dan sembahlah Allah dengan mengikhlaskan ketaatanmu kepada-Nya. sebagaimana Dia telah menciptakan kamu pada permulaan (demikian pulalah kamu akan kembali kepadaNya)". Ayat ini menunjukkan bahwa Allah SWT memerintah hambanya yang mukmin agar menjadi orang yang benar-benar menegakkan keadilan. Dalam hal, keadilan yang dimaksud Allah SWT adalah seimbang dengan tidak condong ke kanan atau ke kiri. Menurut Wahbah al-Zuhayl, bahwa ayat ini menegaskan dua hal: 1. Penekanan untuk sangat-sangat di dalam menegakkan keadilan dan membantu, bukan menyulitkan atau berpaling di dalam peradilan. Dalam hal ini, keadilan dalam Islam tidak hanya diperuntukan bagi orang muslim, tapi juga non muslim. 2. Seumpama dalam peradilan hakim harus bersikap adil, maka persaksian juga harus dengan yang hak walau terhadap diri sendiri, orang tua atau kerabat. Ini dikarenakan hak itu unggul dan tidak diungguli oleh yang lain. Ulama fiqh menuturkan beberapa perkara yang berkaitan dengan syahadah bagi orang tua atau terhadap orang tua. Mereka berkata tidak ada khilaf di dalam persaksian seorang anak terhadap orang tua. Perkara ini jelas diperbolehkan (diterima). Walaupun persaksian itu merugikan orang tua, tidak lain ini demi kebaikan mereka. Ini senada dengan ayat

Sedangkan persaksian kedua orang tua terhadap anak, ini terjadi perbedaan pendapat. Menurut al-Zuhr, ulama salaf soleh memperkenan persaksian seperti ini. Ini berdasarkan ayat

Lalu jelaslah

dari manusia beberapa perkara yang memungkinkan terjadi penuduhan. Maka persaksian tuduhan itu harus ditinggal. Oleh karena itu tidak diperbolehkan untuk persaksian anak, kedua orang tua, saudara, suami-istri. Ini adalah mazhab al-Hasan, al-Nakha, al-Syab, Syuraih, Mlik, al-Tsaur, al-Syfi, `Ibn Hanbal, `Ab Hanfah, dan murid-muridnya. Sebagian kaum membenarkan persaksian setengah dari mereka terhadap setengah yang lain ketika mereka itu adil. Ini diriwayatkan oleh Umar bin alKhathb dam Umar bin Abd al-Azz, juga ditegaskan `Ishq dan al-Muzanni. Imam al-SyfiI membenarkan persaksian kedua mereka karena mereka berdua adalah orang lain (.) Terdapat sebuah hadis riwayat Ab Daud seperti berikut:

.
Hadis ini adalah hujjah bagi orang yang memperbolehkan kesaksiannya ayah pada anaknya karena dia menarik kemanfaatan dengan kesaksiannya. Ini dikarenakan sudah wataknya ayah cinta pada anaknya dan condong padanya. Selain dari surah al-Nis` ayat 138 ini, Surah al-M`idah ayat 8, Surah alHujjart ayat 9 juga memiliki tafsiran yang sama.

Menurut catatan Imam Fakhr al-Dn al-Rz; Imam al-Syafii berkata tentang persamaan hak dalam peradilan:

:
Terjemahan: Sebaiknya bagi hakim itu memberi persamaan di antara kedua orang yang berperkara dalam lima hal, yaitu dalam masuk ke hadapannya, duduk di hadapannya, menerima keduanya, mendengar dari keduanya, dan menghukumi keduanya. C. Keadilan Tidak Hanya Bagi Orang Islam Allah SWT berfirman dalam Surah al-M`idah ayat 42 sebagai berikut:


Terjemahan: Mereka itu adalah orang-orang yang suka mendengar berita bohong, banyak memakan yang haram. jika mereka (orang Yahudi) datang kepadamu (untuk meminta putusan), Maka putuskanlah (perkara itu) diantara mereka, atau berpalinglah dari mereka; jika kamu berpaling dari mereka Maka mereka tidak akan memberi mudharat kepadamu sedikitpun. dan jika kamu memutuskan perkara mereka, Maka putuskanlah (perkara itu) diantara mereka dengan adil, Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang adil. Sebab turunnya ayat ini adalah terhadap orang Yahudi. Adanya hakim dari kalangan Yahudi ketika didatangi orang yang batil di dalam dakwaannya disebabkan suap maka hakim itu tetap mendengarkan ucapan orang tersebut, dan percaya terhadapnya. Hakim itu tidak berpaling dari pertikaiannya. Maka hakim ini memakan barang haram dan mendengarkan sebuah penipuan. Dan adanya ahli fakir dari orang Yahudi itu mengambil dari orang kaya Yahudi harta supaya

menegakkan pada apa yang mereka mau bagi golongan Yahudi. Mereka mendengarkan dari orang kaya Yahudi itu penipuan-penipuan demi melariskan pemahaman Yahudi dan mencacatkan Islam. Ahli fakir itu memakan uang haram yang mereka ambil dari mereka. Mereka mendengarkan penipuan. Inilah yang ditunjukkan dengan firman Allah

Ada suatu pendapat bahwa ia dinisbatkan kepada mereka yang berpegangan pada Taurat yang membuat mereka memakan riba sebagaimana firman Allah SWT:

Menurut Syaikh Wahbah al-Zuhayl; ayat ini menunjukkan kaum Yahudi menghukumi Nabi Muhammad SAW, kemudian Nabi menghukumi mereka dengan apa yang ada di dalam kitab Taurat. Maka ketika ada mengangkat permasalahan kepada imam, maka jika yang mereka angkat itu berupa kezaliman seperti membunuh dan lain-lain yang berhubungan dengan tindak pidana, maka imam harus menghukumi di antara mereka dan melarang mereka menghukumi sendiri tanpa ada perbedaan pendapat ulama. Seumpama bukan berupa tindak pidana, maka imam diperkenankan memilih sama ada menghukumi atau tidak menurut Imam Malik dan Imam al-Syafii. ini berdasarkan ayat

Menurut

Imam al-SyafiI tidak boleh menghukumi mereka bagi masalah hudud. Sedangkan menurut Ab Hanfah tetap menghukumi mereka dalam keadaan apa pun itu. ini berdasarkan ayat

Ayat ini juga menegaskan bolehnya proses abritase (tahkm) di dalam Islam. Menurut Imam al-SyafiI, abritase itu boleh, akan tetapi ia tidak tetap. Hanya saja ia adalah fatwa. Ini dikarenakan orang yang abritase tidak mengajukan perkara mereka ke pemimpin atau para hakim. Mereka juga tidak mengambil kekuasaan hukum. Selain dari itu, ayat

ini

menunjukkan

banyaknya orang Yahudi mendengarkan kebohongan, dan banyaknya mereka

makan harta haram seperti suap dalam peradilan, mendengar ahli dukun, dan lain-lain yang telah disebutkan. Suap diharamkan dalam hal apapun. Suap kadang terjadi di dalam menghukum dan peradilan. Ia diharamkan bagi yang menyuap juga yang disuap. Nabi Muhammad SAW bersabda:

.
Apabila hakim yang disuap seumpama menghukum terhadap penyuap dengan apa yang hak, maka ia adalah fasiq, karena menerima suap untuk menghukumi sesuai yang diingini. Seumpama dia sampai menghukum dengan kebatilan, maka ia adalah fasiq juga, dikarenakan dia mengambil suap dan menghukum dengan kebatilan. Suap juga kadangkala terjadi pada selain menghukumi dan peradilan, semisal seseorang menyuap hakim agar dia menghilangkan kezaliman yang terjadi terhadapnya. Maka suap ini adalah yang diharamkan terhadap penerimanya dan tidak diharamkan terhadap pemberinya, seperti apa yang dikatakan hasan:

Ketika adanya `Ibn Masd berada di Etopia, beliau menyuap dengan dua dinar lalu berkata: dosa hanya terhadap penerima bukan pemberi.

Anda mungkin juga menyukai