Anda di halaman 1dari 7

Home Schooling, Pendidikan Alternatif Masa Depan Oleh : Kak Seto

Home Schooling (HS) sebuah sistem pendidikan atau pembelajaran yang diselenggarakan di rumah -- kini sedang ramai dibicarakan orang. Sejumlah media massa, elektronik maupun cetak, juga telah mempopulerkan sistem pendidikan alternatif yang bertumpu dalam suasana keluarga ini. HS semakin menjadi perhatian dalam dua tahun terakhir ini antara lain sejak begitu banyaknya orangtua merasakan bahwa suasana pembelajaran di banyak sekolah (baik negeri maupun swasta) sering kurang mengedepankan kepentingan terbaik bagi anak. Kemudian banyak anak mereka yang menjadi stres karena sekolah dan kemudian kehilangan kreativitasnya yang alamiah. Home Schooling Melihat gambaran penerapan pendidikan semacam di atas, maka muncullah berbagai ide dari para pendidik, bagaimana menciptakan sekolah yang menyenangkan sekaligus mencerdaskan anak. Lalu, muncullah berbagai sekolah alternatif. Misalnya, sekolah alam, yang mengajak anak-anaknya belajar lebih banyak dari alam. Anak tidak terlalu banyak belajar dalam ruangan yang serba kaku dan tertutup, namun lebih banyak berada di alam bebas. Sesekali mereka juga berkunjung ke berbagai tempat yang bisa menjadi obyek pelajaran seperti sawah, taman burung, pemandian air panas atau kebun binatang. Tujuannya adalah untuk belajar dan menyaksikan langsung obyek mata pelajarannya. Lalu, muncul sekolah alternatif lain yang membebaskan anak didiknya untuk belajar apa saja sesuai minatnya. Di sekolah ini, tidak ada kelas seperti halnya di sekolah formal. Guru fungsinya hanya membimbing dan mengarahkan minat anak-anak dalam mata pelajaran yang disukainya. Masih banyak sekolah alternatif lain yang masing-masing punya metode pelajaran sendiri. Tapi secara umum, sekolah alternatif ini menjadikan anak didik sebagai subyek kurikulum, bukan sekedar obyek kurikulum. Dengan kata lain, kurikulum itu untuk anak, bukan sebaliknya, anak untuk kurikulum! Dari berbagai alternatif sekolah itu, lalu muncullah home schooling. Secara etimologis, home schooling (HS) adalah sekolah yang diadakan di rumah. Tapi secara hakiki, HS adalah sebuah sekolah alternatif yang menempatkan anak-anak sebagai subyek dengan pendekatan pendidikan secara at home Dengan pendekatan at home inilah, anakanak merasa nyaman belajar karena mereka bisa belajar apa pun sesuai dengan keinginanya, kapan saja dan di mana saja seperti ia tengah berada di rumahnya. ______________________________________________________________________
Disampaikan dalam Seminar Pendidikan Launching HSKS Surabaya dengan tema Homeshooling : Pendidikan Alternatif Masa Depan yang diadakan pada tanggal 2 Juni 2011.

Jadi, meski disebut home schoooling, tidak berarti anak akan terus menerus belajar di rumah, tapi anak-anak bisa belajar di mana saja dan kapan saja asal situasi dan kondisinya benar-benar nyaman dan menyenangkan seperti at home. Maka dalam sistem HS, jam pelajaran bersifat fleksibel: mulai dari bangun tidur sampai berangkat tidur kembali. Namun demikian, sebagaimana diungkapkan Karl M Bunday dalam tulisannya Learn in Freedom dalam home schooling tidak berarti anak-anak bisa belajar semaunya. Anak-anak pun dilatih untuk bertanggungjawab terhadap pilihan-pilihannya sendiri. Seorang anak yang suka belajar matematika dan fisika, misalnya, perlu diarahkan agar menguasai pelajaran tersebut sedalam mungkin dan kemudian diarahkan mempelajari ilmu-ilmu modern sesuai dengan teori-teori yang dikuasainya. Begitu pula anak yang menyukai pelajaran seni, olahraga, biologi, dan lain-lain. Itulah sebabnya di Amerika Serikat, sudah banyak dikembangkan kurikulum untuk HS agar sistem pendidikan tersebut memiliki konsep dan visi yang jelas. Orang tua atau guru privat di HS tinggal menyesuaikannya dengan minat masing-masing anak didiknya. Saat ini di AS ada sekitar 1,8 juta anak yang belajar dengan sistem HS. Pada tahun 2007, misalnya, diperkirakan sudah ada 2,5 juta anak-anak di sana belajar dengan system tersebut. Ini semua terjadi, kata Bunday, karena kecemasan orang tua terhadap masa depan anak-anaknya yang belajar di sekolah formal. Di HS, orang tua yang mengetahui bakat dan hobi anak-anaknya bisa mengarahkan pendidikan mereka dengan jalan mendidiknya sendiri atau menyewa guru-guru yang berkualitas. Dengan banyaknya anakanak yang belajar di HS, para orang tua pun membentuk network untuk membagi pengalamannya kepada orang tua lain yang mendidik anaknya di HS. Bahkan jika minat anak-anaknya sama, beberapa orang tua membentuk kelompok pendidikan dan mengajak anak-anaknya belajar bersama dengan anak-anak lain yang satu minat. Jadinya mirip seperti sekolah formal dengan beberapa murid namun esensinya tetap home schooling. Mereka belajar secara bebas, fleksibel, menyenangkan dan sesuai dengan minatnya. Jika lelah, mereka bisa beristirahat kapan pun. Begitu pula jika ingin belajar, mereka pun bisa belajar kembali dengan senang setiap saat. Tak ada ketentuan waktu untuk belajar. Barangkali, itulah sebabnya Everett Reimer seorang pakar pendidikan yang reformis menyatakan bahwa sistem sekolahan formal yang kaku kini telah mati. Kedatangan anak ke sekolah tidak identik dengan belajar, kata Reimer. Belajar bisa dilakukan di mana saja. Ruang sekolah bisa di kamar tidur, dapur, warung, lapangan olahraga, dan lain-lain, ungkap Reimer dalam tulisannya yang berjudul School is Dead. Home Schooling di Indonesia Bagaimana perkembangan HS di Indonesia? Belum ada data pasti tentang berapa jumlah anak-anak yang mengikuti HS di Indonesia. Yang jelas, kini makin banyak orang tua yang berminat menyekolahkan anaknya dengan sistem HS. Karena HS sebagai salah satu elemen pendidikan alternatif sudah terakomodasi salam sistem pendidikan nasional. Kita lihat saja bunyi UU Sisdiknas Pasal 27 ayat (1) yang mengatakan bahwa: Kegiatan pendidikan informal yang dilakukan oleh keluarga dan lingkungan berbentuk kegiatan

belajar secara mandiri. Lalu ayat (2) mengatakan bahwa : Hasil pendidikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diakui sama dengan pendidikan formal dan nonformal setelah peserta didik lulus ujian sesuai dengan standar nasional pendidikan. Karena itu HS bisa didaftarkan sebagai komunitas belajar pendidikan nonformal dan kemudian pesertanya bisa mengikuti Ujian Nasional Kesetaraan Paket A (setara SD), Paket B (setara SMP), dan Paket C (setara SMA). Sebetulnya bangsa Indonesia sudah lama mengenal HS. Sebelum sistem pendidikan Belanda datang, HS telah berkembang di Indonesia. Di pesantren-pesantren, misalnya, banyak para kyai, buya, dan tuan guru secara khusus mendidik anak-anaknya. Begitu pula para pendekar dan bangsawan zaman dahulu. Mereka lebih suka mendidik anakanaknya secara pribadi di rumah atau padepokannya ketimbang mempercayakan pendidikannya kepada orang lain. Mereka melakukan semua itu agar ilmunya bisa diturunkan kepada anaknya, bukan kepada orang lain. Itulah HS di zaman dahulu. Meski belum sempurna, namun para alumni HS cukup banyak yang menjadi tokoh pergerakan nasional. KH Agus Salim, Ki Hajar Dewantara dan Buya Hamka adalah tiga di antara tokoh-tokoh nasional yang belajar dengan sistem HS. Beliau dididik orang tuanya untuk belajar dan mencintai ilmu. Dengan sistem HS yang tepat, akhirnya beliaubeliau pun tumbuh menjadi orang-orang yang mencintai ilmu. Bukan sekedar agar lulus ujian namun kemudian tidak mencintai dan mengembangkan ilmu sama sekali! Sejak tanggal 4 Mei 2006 di Kantor Depdiknas Jakarta telah dideklarasikan berdirinya ASAH PENA (Asosiasi Sekolah Rumah dan Pendidikan Alternatif ) yang akan mengakomodasi berbagai kegiatan pendidikan alternatif di tanah-air oleh beberapa tokoh dan praktisi pendidikan. Duduknya beberapa pejabat Depdiknas sebagai Pelindung maupun Penasehat, seperti Dirjen Pendidikan Luar Sekolah, Kepala Balitbang maupun Direktur Pendidikan Kesetaraan, menunjukkan bahwa Pemerintah serius dan peduli terhadap bentuk pendidikan alternatif semacam Homeschooling ini. Alasan umum perlunya homeschooling Sebagai sebuah pendidikan yang bertujuan untuk mencerdaskan anak-anak yang nantinya akan berperan sebagai generasi penerus bangsa, homeschooling perlu diberikan karena: Fondasi agama dan berbasis nilai Pencapaian akademik Gaya belajar Pelayanan/perhatian individual dan fleksibilitas Pertimbangan terhadap lingkungan belajar Ketidaksesuaian dengan pendidikan yang ada

Di Indonesia, ada beberapa alasan masyarakat untuk memilih homeschooling sebagai pendidikan alternatif, yaitu: o Menyediakan pendidikan moral atau keagamaan o Memberikan lingkungan sosial dan suasana belajar yang lebih baik o Menyediakan waktu belajar yang lebih fleksibel o Memberikan kehangatan dan proteksi dalam pembelajaran terutama bagi anak yang sakit atau cacat o Menghindari penyakit sosial yang dianggap orang tua dapat terjadi di sekolah seperti tawuran, kenakalan remaja (bullying), NAPZA dan pelecehan o Memberikan keterampilan khusus yang menuntut pembelajaran dalam waktu yang lama seperti pertanian, seni, olahraga, silat dan sejenisnya o Memberikan pembelajaran langsung yang kontekstual, tematik, nonscholastik yang tidak tersekat-sekat oleh batasan ilmu Penerapan homeschooling Dalam sistem pendidikan nasional kita, penyelenggaraan homeschooling didasarkan pada Undang-Undang Republik Indonesia No.20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas No.20/2003), Pasal 1 ayat (1) yang berbunyi: pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, ahklak mulia serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Selain itu, masyarakat juga menginginkan terwujudnya pembelajaran dan hasil belajar yang mengembangkan potensi, kebutuhan dan minat individu sesuai Undang-Undang Sisdiknas. Hal lain yang turut mendasari adalah pasal-pasal dalam UU Sisdiknas No.20/2003, terutama tentang hak terhadap pendidikan yang berkualitas dan adanya jalur pendidikan formal, nonformal dan informal. Hal-hal inilah yang semakin memacu minat masyarakat untuk menyelenggarakan homeschooling. Klasifikasi format homeschooling Ada beberapa klasifikasi format homeschooling, yaitu: 1. Homeschooling tunggal Dilaksanakan oleh orangtua dalam satu keluarga tanpa bergabung dengan lainnya karena hal tertentu atau karena lokasi yang berjauhan.

2. Homeschooling majemuk Dilaksanakan oleh dua atau lebih keluarga untuk kegiatan tertentu sementara kegiatan pokok tetap dilaksanakan oleh orangtua masing-masing. Alasannya: terdapat kebutuhan-kebutuhan yang dapat dikompromikan oleh beberapa keluarga untuk melakukan kegiatan bersama. Contohnya kurikulum dari Konsorsium, kegiatan olahraga (misalnya keluarga atlit tennis), keahlian musik/seni, kegiatan sosial dan kegiatan agama 3. Komunitas homeschooling Gabungan beberapa homeschooling majemuk yang menyusun dan menentukan silabus, bahan ajar, kegiatan pokok (olah raga, musik/seni dan bahasa), sarana/prasarana dan jadwal pembelajaran. Komitmen penyelenggaraan pembelajaran antara orang tua dan komunitasnya kurang lebih 50:50. Alasan memilih komunitas homeschooling antara lain: Terstruktur dan lebih lengkap untuk pendidikan akademik, pembangunan akhlak mulia dan pencapaian hasil belajar Tersedia fasilitas pembelajaran yang lebih baik misalnya: bengkel kerja, laboratorium alam, perpustakaan, laboratorium IPA/Bahasa, auditorium, fasilitas olah raga dan kesenian Ruang gerak sosialisasi peserta didik lebih luas tetapi dapat dikendalikan Dukungan lebih besar karena masing-masing bertanggung jawab untuk saling mengajar sesuai keahlian masing-masing Sesuai untuk anak usia di atas 10 tahun

Menggabungkan keluarga tinggal berjauhan melalui internet dan alat informasi lainnya untuk tolak banding (benchmarking) termasuk untuk standardisasi

Tantangan homeschooling Dalam perkembangannya, homeschooling juga menghadapi beberapa tantangan, yaitu: 1. Homeschooling tunggal Sulitnya memperoleh dukungan/tempat bertanya, berbagi dan berbanding keberhasilan Kurang tempat sosialisasi untuk mengekspresikan diri sebagai syarat pendewasaan Orang tua harus melakukan penilaian hasil pendidikan dan mengusahakan penyetaraannya 2. Homeschooling majemuk Perlu kompromi dan fleksibilitas jadwal, suasana, fasilitas dan kegiatan tertentu Perlu ahli dalam bidang tertentu walaupun kehadiran orang tua harus tetap ada Anak-anak dengan keahlian/kegiatan khusus harus menyesuaikan/menerima lingkungan lainnya dengan dan menerima perbedaan-perbedaan lainnya sebagai proses pembentukan jati diri

Orang tua masing-masing penyelenggara homeschooling harus menyelenggarakan


sendiri penyetaraannya

3. Komunitas homeschooling Perlunya kompromi dan fleksibilitas jadwal, suasana, fasilitas dan kegiatan tertentu yang dapat dilaksanakan bersama-sama Perlunya pengawasan yang professional sehingga diperlukan keahlian dalam bidang tertentu walaupun kehadiran orang tua harus tetap ada Anak-anak dengan keahlian atau kegiatan khusus harus juga bisa menyesuaikan dengan lingkungan lainnya dan menerima perbedaan-perbedaan lainnya sebagai proses pembentukan jati diri. Kekuatan homeschooling Sebagai sebuah pendidikan alternatif, homeschooling juga mempunyai beberapa kekuatan dan kelemahan. Kekuatan/kelebihan homeschooling adalah: Lebih memberikan kemandirian dan kreativitas individual bukan pembelajaran secara klasikal Memberikan peluang untuk mencapai kompetensi individual semaksimal mungkin sehingga tidak selalu harus terbatasi untuk membandingkan dengan kemampuan tertinggi, rata-rata atau bahkan terendah Terlindungi dari tawuran, kenakalan, NAPZA, pergaulan yang menyimpang, konsumerisme dan jajan makanan yang malnutrisi Lebih bergaul dengan orang dewasa sebagai panutan Lebih disiapkan untuk kehidupan nyata Lebih didorong untuk melakukan kegiatan keagamaan, rekreasi/olahraga keluarga Membantu anak lebih berkembang, memahami dirinya dan perannya dalam dunia nyata disertai kebebasan berpendapat, menolak atau menyepakati nilai-nlai tertentu tanpa harus merasa takut untuk mendapat celaan dari teman atau nilai kurang Membelajarkan anak-anak dengan berbagai situasi, kondisi dan lingkungan sosial Masih memberikan peluang berinteraksi dengan teman sebaya di luar jam belajarnya Sedangkan kelemahan homeschooling adalah:

Anak-anak

yang belajar di homeschooling kurang berinteraksi dengan teman sebaya dari berbagai status sosial yang dapat memberikan pengalaman berharga untuk belajar hidup di masyarakat Sekolah merupakan tempat belajar yang khas yang dapat melatih anak untuk bersaing dan mencapai keberhasilan setinggi-tingginya

Homeschooling dapat mengisolasi peserta didik dari kenyataan-kenyataan yang


kurang menyenangkan sehingga dapat berpengaruh pada perkembangan individu

Apabila anak hanya belajar di homeschooling, kemungkinan ia akan terisolasi dari


lingkungan sosial yang kurang menyenangkan sehingga ia akan kurang siap untuk menghadapi berbagai kesalahan atau ketidakpastian Prasyarat keberhasilan homeschooling Agar homeschooling dapat dilaksanakan dengan baik dan anak dapat merasa nyaman dalam belajar, maka ada beberapa prasyarat keberhasilan dalam menyelenggarakan homeschooling, yaitu: Kemauan dan tekad yang bulat Disiplin belajar-pembelajaran yang dipegang teguh Ketersediaan waktu yang cukup Keluwesan dalam pendekatan pembelajaran Kemampuan orang tua mengelola kegiatan Ketersediaan sumber belajar Dipenuhinya standar yang ditentukan Ditegakkannya ketentuan hukum Diselenggarakannya program sosialisasi agar anak-anak tidak terasing dari lingkungan masyarakat dan teman sebaya Dijalinnya kerjasama dengan lembaga pendidikan formal dan nonformal setempat sesuai dengan prinsip keterbukaan dan multimakna Terjalin komunikasi yang baik antar penyelenggara homeschooling Tersedianya perangkat penilaian belajar yang inovatif (misalnya dalam bentuk portofolio dan kolokium) Kiranya semakin memperkuat pula keyakinan kita bahwa HS bisa merupakan salah satu alternatif pendidikan di masa depan serta akan semakin mempercepat tercapainya masyarakat belajar yang merupakan salah satu ciri masyarakat madani. Semoga.

Surabaya, 2 Juni 2011

Anda mungkin juga menyukai