Anda di halaman 1dari 56

19

BAB II LANDASAN TEORI

A.

Tinjauan Tentang Dajjal Dari Al Quran Dan Al Hadist 1. Tinjauan dari Al Quran Di dalam Al Quran sangat banyak kisah tentang Yahudi seperti dalam QS. Al Baqoroh:120 Artinya: Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu hingga kamu mengikuti agama mereka. Katakanlah: "Sesungguhnya petunjuk Allah Itulah petunjuk (yang benar)". dan Sesungguhnya jika kamu mengikuti kemauan mereka setelah pengetahuan datang kepadamu, Maka Allah tidak lagi menjadi pelindung dan penolong bagimu (Al Quran Depag RI). Dalam kasus ini menurut peneliti ada kaitannya pemakaian simbol yang ada di media massa adalah simbol Yahudi Israel sebagai salah satu cara untuk mempengaruhi umat muslim agar mau mengikuti agama mereka. Di sini simbol-simbol yang akan diteliti adalah Simbol Yahudi Israel yang sengaja diproduksi. Dalam QS. Al Baqoroh:120 tersebut menurut peneliti upaya Yahudi Israel dalam menggelincirkan keyakinan umat Islam agar mengikuti agama mereka, ditempuh melalui berbagai

20

cara agar kita masuk agama mereka, dalam hal ini mungkin saja yang sedang diamati oleh peneliti adalah salah satu cara mereka. Pada awalnya kaum Yahudi (Bani Israil) awalnya adalah kaum yang dikasihi Allah Swt sebagaimana umat manusia lainnya. Namun disebabkan kecenderungan mereka terhadap kesesatan dan kemusyrikan, dengan memilih mengikuti Samiri ketimbang Musa a.s., maka Allah Swt (dalam beberapa ayat dalam Al Quran) mengutuk mereka. Sejak itulah kaum Yahudi ditakdirkan Allah Swt sebagai kaum yang tidak memiliki tanah di bumi ini. Mereka akan terus menyebar, berdiaspora, di seluruh penjuru dunia hingga hari akhir. Terkait dengan takdir Allah Swt ini dan dengan hari akhir, kaum Yahudi terpecah menjadi dua golongan. Pertama, kaum Zionis dan Kedua, kaum Anti Zionis. Keduanya sepakat jika di hari akhir mereka akan kembali ke Yerusalem

(www.eramuslim.com). Kaum Zionis menganggap kaum Yahudi harus sesegera mungkin menguasai Yerusalem untuk menyambut turunnya kembali Messiah yang mereka tunggu-tunggu. Oleh sebab itu, dengan segenap kekuatan dan tipu daya mereka, kaum Zionis ini tanpa kenal lelah terus-menerus memerangi bangsa Palestina agar seluruh tanah Palestina bisa dikuasainya. Peperangan yang dilancarkan kaum Zionis ini adalah peperangan agama. Sedang kaum Yahudi yang menentang Zionisme menganggap jika mereka tidak boleh mendahului Mesiah. Mesiah, menurut keyakinan mereka, ditugaskan oleh Tuhan untuk kembali turun

21

ke bumi guna memimpin kaum Yahudi yang tersebar ke seluruh dunia untuk kembali lagi ke Yerusalem. Mesiahlah yang akan memimpin mereka untuk kembali ke Yerusalem. Kaum Yahudi yang seperti ini dikenal sebagai kaum Yahudi ortodoks (www.eramuslim.com). Dalam kepercayaan Zionis-Yahudi yang sesungguhnya berasal dari kepercayaan Paganisme kuno bernama Kabbalah, di mana Raja Iblis bernama Lucifer menjadi Tuhannya, simbol-simbol digunakan sebagai bagian dari ritual mereka. Mereka percaya, setiap simbol mengandung kekuatan magis yang mampu membawa kebaikan bagi yang

menggunakannya. Misalnya simbol Bintang David dipercaya memiliki kekuatan menyerap kekuatan semesta dari enam penjuru mata angin. Selain itu filosofi dari simbol ini sangat banyak dan menjadi salah satu simbol pagan paling digemari. Gerakan Zionis besemboyan: Satu bangsa adalah bangsa Yahudi dan satu tanah ialah tanah Yahudi. Tanah air Yahudi berpusatkan di Gunung Zion. Lambang Zionis adalah Bintang David. Bintang David terbentuk dari dua buah segitiga sebagai ilustrasi dari pyramid terbalik dan gunung Zion, jika digabungkan maka akan menjadi Bintang David seperti yang terlihat. (A.D. El Marzdedeq, 2005: 119-121). Sedangkan simbol Mata adalah simbol Mata Horus yang bisa dikatakan adalah mata yang mampu melihat segalanya, yaitu Simbol Tuhan yang selalu mengawasi mereka .

22

Yahudi Israel bergerak secara rahasia, lalu semakin lama semakin bergerak terus hingga secara terang-terangan. Pergerakan mereka tidaklah kita sadari. Mereka dengan cerdik memasukkan diri mereka ke dalam aktifitas umat manusia di berbagai Negara seluruh dunia. Untuk memahami hal tersebut dapat diperhatikan simbol-simbol organisasi mereka yang tersebar di seluruh dunia sebagai berikut:

2. Tinjauan dari Al Hadist Beberapa hadits di bawah ini menunjukkan informasi aktual, khususnya peringatan kepada umat Islam untuk bersatu padu dalam satu gerakan terpadu (ittihadul-ummah) untuk menghadapi al-Masih ad-Dajjal yang semakin tampak tanda-tandanya, sebagaimana dijelaskan dalam beberapa hadist berikut: Abd bin Humaid menceritakan kepada kami, Abdur Razzaq memberitahukan kepada kami dari Salim dari Ibnu Umar bahwa Rasulullah SAW bersabda: Golongan Yahudi memerangi kamu lalu kamu dapat menguasai mereka sehingga batu berkata: Hai orang muslim,ini orang Yahudi dibelakangku,bunuhlah dia.( (kitab Sunan At Tirmidzi juz III,1992: 727) Dari Hudzaifah r. a. bahwa Rasulullah saw bersabda: "Suatu saat Dajal akan muncul dengan membawa air dan api. Adapun yang terlihat oleh manusia sebagai air, pada hakikatnya adalah api yang mambakar. Sedangkan yang terlihat oleh manusia sebagai api, pada hakikatnya adalah air yang sejuk dan tawar. Barangsiapa yang mendapatinya diantara kalian, maka hendaknya ia memilih apa yang terlihat sebagai api karena pada hakihatnya ia adalah air tawar lagi baik." (Muttafaqun 'alaihi). Muhammad bin Abdul Ala Ash Shanani menceritakan kepada kami, Al Muttamir bin Sulaiman memberitahukan kepada kami dari Ubaidillah bin Umar dari Nafi dari Rasulullah saw bahwa Beliau ditanya tentang Dajjal lalu Beliau bersabda: Ingatlah

23

sesungguhnya Tuhanmu tidak buta(buta sebelah) dan sesungguhnya dia(Dajjal) itu buta matanya sebelah kanan seolaholah matanya itu buah anggur yang hilang cahanya.( (kitab Sunan At Tirmidzi juz III,1992: 737)

B. Telaah Pustaka Dalam penelitian terdahulu mengenai analisis semiologi yang sudah banyak dilakukan oleh peneliti sebelumnya diantaranya: Skripsi dari Titin Sri Rahayu, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UNS tahun 2004 dengan judul Menguak Pesan Moral Cover Album SLANK (Studi Pesan Cover Album 1-11 Group Musik Indonesia SLANK Dengan Analisis Semiologi Komunikasi). Dalam penelitian ini membahas dan menganalisis tentang pemaknaan pada tanda-tanda yang bersifat konotatif dengan cara proses semiologi, yakni bagaimana makna dibangun dari hubungan tanda, penanda, interpretant. Dalam hal ini peneliti sebagai penafsir yang bekerja dengan menggunakan kaidah-kaidah semiologi komunikasi. Hasil analisis menunjukkan bahwa pesan moral dan cover album SLANK, yang dilakukan lima kategorisasi yakni pada kategori pesan perdamaian, hasil kajian menunjukkan sikap pemberani, komunikator dalam mencapai kemenangan untuk menyuarakan perdamaian, berhentinya perang dan menunjukkan sikap kepedulian terhadap masalah yang terjadi di dunia, serta mengajak komunikan membaca pesan tersebut diharapkan menunjukkan sikap kepedulian atau simpatinya dan ikut menyuarakan anti perang.

24

Skripsi Imam Wahyudi, Jurusan Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sebelas Maret tahun 2006 dengan judul Islam dan terorisme dalam sinema Amerika (Studi semiotika tentang persepsi Amerika terhadap simbol-simbol terorisme umat Islam dalam film Syriana). Dalam penelitian ini membahas dan menganalisis tentang simbolsimbol terorisme yang dilakukan oleh umat Islam. Dengan menggunakan analisis semiotika Roland Barthes maka dipilih scene-scene yang

mengandung simbol-simbol terorisme, selanjutnya simbol tersebut akan diteliti analisis Barthes. Dalam penelitian ini, pada dasarnya sebuah film terkandung simbol-simbol yang dapat dimaknai. Setelah sampai pada tahapan analisis, penelitian ini membuahkan hasil bahwa film syriana mengandung simbol-simbol terorisme yang dilakukan sebagian umat Islam yang terangkum dalam kategori pelaku tindak terorisme, sebab dan tujuan terorisme, ajaran Islam sebagai dasar terorisme, tokoh dan organisasi pro terorisme. Dalam ketegori pelaku tindak terorisme muncul gambarangambaran bahwa pelaku teror adalah sekelompok umat Islam. Sementara, terorisme juga digambarkan secara gamblang dengan melakukan praktek jual beli senjata gelap, peledakan kapal tanker, serta pesan pelaku tindak terorisme yang melakukan aksi bunuh diri. Skripsi Pandhu Winata Jurusan Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik, UNS tahun 2007 dengan judul Representasi Simbol Keagamaan Dalam Film Da Vinci Code. Dalam penelitian ini

mengemukakan dalam film Da Vinci Code memaparkan alur simbolik dari

25

peradaban Pagan, Yahudi dan Kristen. Penelitian ini memfokuskan permasalahan pada bagaimana sebuah simbol diinterpretasikan dalam film The Da Vinci Code karya Ron Howard, mengetahui alur-alur pemaknaannya serta fungsi mitos-mitos pembentuk makna sebuah simbol. Dalam penelitian ini sering sekali simbol dijadikan media kampanye tersembunyi untuk sebuah maksud pesan tertentu, paling tidak itulah yang terdapat dalam film-film Amerika yang mengusung tema kepahlawanan, nasionalisme, hingga kebebasan. Bila demikian, makna sebuah simbol mengalami perubahan

makna, timbul tenggelam hingga didekontruksi oleh pemegang kekuasaan atau wewenang melalui perubahan mitos-mitos penyusunnya. Maka akan terjadi beda pendapat dalam memaknai sebuah simbol yang sama. Di satu pihak mendapatkan keuntungan sedang yang lain sebaliknya, mengalami kekerasan simbolik seperti yang diungkapkan Barthes. Menurutnya pemaknaan simbol-simbol tersebut selalu dipengaruhi kebudayaan

masyarakat pembentuknya melalui mitos-mitos yang biasanya tidak bersifat empiris, melainkan lebih pada kesepakatan bersama.

C. 1.

Tinjauan Tentang Komunikasi Pengertian Komunikasi Istilah komunikasi atau dalam bahasa Inggris communication berasal dari kata Latin communicatio, dan bersumber dari kata communis yang berasal sama. Sama di sini maksudnya adalah sama makna. Jadi, kalau dua orang terlibat dalam komunikasi, misalnya dalam bentuk

26

percakapan, maka komunikasi akan terjadi atau berlangsung selama ada kesamaan makna mengenai apa yang dipercakapkan. Kesamaan bahasa yang dipergunakan dalam percakapan itu belum tentu menimbulkan kesamaan makna. Dengan kata lain, mengerti bahasanya saja belum tentu mengerti makna yang dibawakan oleh bahasa itu. Jelas bahwa percakapan kedua orang dapat dikatakan komunikatif apabila kedua-duanya, selain mengerti bahasa yang dipergunakan, juga mengerti makna dari bahan yang dipercakapkan (Effendy, 2006: 9). Akan tetapi, pengertian komunikasi di atas sifatnya dasariah, dalam arti kata bahwa komunikasi itu minimal harus mengandung kesamaan makna antara dua pihak yang terlibat. Dikatakan minimal karena kegiatan komunikasi tidak hanya informatif, yakni agar orang lain mengerti dan tahu, tetapi juga persuasif, yaitu agar orang lain bersedia menerima suatu paham keyakinan, melakukan sesuatu perbuatan atau kegiatan dan lainlain. Peneliti mengamati bahwa apa yang dilakukan oleh para pembuat simbol modifikasi ini sungguh dengan jeli menyisipkan simbol hasil design-nya dengan baik. Contoh simbol Bintang David dalam scene background lagu hikayat cinta yang di populerkan oleh Glenn Fredly featuring Dewi persik. Dalam scene background lagu hikayat cinta tersebut lebih mirip Bintang David daripada hexagonal air. Boy salah satu staff dari Sony BMG, si pembuat simbol tersebut mengatakan bahwa logo itu adalah

27

menggambarkan air. Sedangkan Glenn dan Dewi persik sendiri mengaku tidak tahu tentang simbol tersebut (www.detik.com, 2008) 2. Fungsi dan Tujuan Komunikasi Dalam (Widjaja, 1993: 9-11) fungsi komunikasi dipandang dari arti yang lebih luas, tidak hanya diartikan sebagai pertukaran berita dan pesan tetapi sebagai kegiatan individu dan kelompok mengenai tukar menukar data, fakta dan ide maka fungsinya dalam setiap sistem sosial adalah: a. Informasi: pengumpulan, penyimpanan, pemrosesan,

penyebaran berita, data, gambar, fakta dan pesan opini serta komentar yang dibutuhkan agar dapat dimengerti dan beraksi secara jelas terhadap kondisi lingkungan dan orang lain agar dapat mengambil keputusan yang tepat. b. Sosialisasi (pemasyarakatan): penyediaan sumber ilmu pengetahuan yang memungkinkan orang bersikap dan bertindak sebagai anggota masyarakat yang efektif sehingga ia sadar akan fungsi sosialnya sehingga ia dapat aktif di dalam masyarakat. c. Motivasi: menjelaskan tujuan setiap masyarakat jangka pendek maupun jangka panjang, mendorong orang menentukan pilihannya dan keinginannya, mendorong kegiatan individu dan kelompok berdasarkan tujuan bersama yang akan dikejar. d. Perdebatan dan diskusi: menyediakan dan saling menukar fakta yang diperlukan untuk memungkinkan persetujuan atau

28

menyelesaikan perbedaan pendapat mengenai masalah publik, menyediakan bukti-bukti yang relevan yang diperlukan untuk kepentingan umum agar masyarakat lebih melibatkan diri dalam masalah yang menyangkut kepentingan bersama di tingkat nasional dan lokal. e. Pendidikan: mendorong pengalihan ilmu pengetahuan pembentuk sehingga dan

perkembangan

intelektual,

watak

pendidikan keterampilan dan kemahiran yang diperlukan pada semua bidang kehidupan. f. Memajukan kebudayaan; penyebaran hasil kebudayaan dan seni dengan maksud melestarikan warisan masa lalu, perkembangan kebudayaan yang memperluas horizon seseorang, membangun imajinasi dan mendorong kreativitas dan kebutuhan estetikanya. g. Hiburan: penyebarluasan sinyal, simbol, suara dan image dari drama, tari, kesenian, kesusasteraan, musik, olah raga, permainan dan lain-lain untuk rekreasi, kesenangan kelompok dan individu.
h.

Integrasi: menyediakan bagi bangsa, kelompok dan individu kesempatan untuk memperoleh berbagai pesan yang mereka perlukan agar mereka dapat saling kenal dan mengerti serta menghargai kondisi, pandangan dan keinginan orang lain (Widjaja, 1993: 9-11). Sedangkan ada empat tujuan atau motif komunikasi yang perlu

dikemukakan di sini. Tujuan komunikasi pada dasarnya tetap sama,

29

bagaimanapun hebatnya revolusi elektronika dan revolusi-revolusi lain yang akan datang (Arnold dan Bowers, 1984; Naisbit.1984 dalam Prof. Dr. Astrid S.Susanto-Sunarto: 1995) mengemukakan bahwa tujuan

komunikasi adalah sebagai berikut:

a. Menemukan Salah satu tujuan utama komunikasi menyangkut penemuan diri (personal discovery). Bila anda berkomunikasi dengan orang lain, anda belajar mengenai diri sendiri selain juga tentang orang lain. Kenyataannya, persepsi-diri anda sebagian besar dihasilkan dari apa yang telah anda pelajari tentang diri sendiri dari orang lain selama komunikasi, khususnya dalam perjumpaan-perjumpaan antarpribadi. Dengan berbicara tentang diri kita sendiri dengan orang lain kita memperoleh umpan balik yang berharga mengenai perasaan, pemikiran, dan perilaku kita. Dari perjumpaan seperti ini kita menyadari, misalnya bahwa perasaan kita ternyata tidak jauh berbeda dengan perasaan orang lain. Pengukuhan positif ini membantu kita merasa "normal." Cara lain di mana kita melakukan penemuan diri adalah melalui proses perbandingan sosial, melalui perbandingan kemampuan, prestasi, sikap, pendapat, nilai, dan kegagalan kita dengan orang lain. Artinya, kita mengevaluasi diri sendiri sebagian besar dengan cara

membandingkan diri kita dengan orang lain.

30

Dengan berkomunikasi kita dapat memahami secara lebih baik diri kita sendiri dan diri orang lain yang kita ajak bicara. Tetapi, komunikasi juga memungkinkan kita untuk menemukan dunia luar, dunia yang dipenuhi objek, peristiwa, dan manusia lain. Kita mendapatkan banyak informasi dari media, mendiskusikannya dengan orang lain, dan akhirnya mempelajari atau menyerap bahan-bahan tadi sebagai hasil interaksi. b. Untuk berhubungan Salah satu motivasi kita yang paling kuat adalah berhubungan dengan orang lain (membina dan memelihara hubungan dengan orang lain). Kita ingin merasa dicintai dan disukai, dan kemudian kita juga ingin mencintai dan menyukai orang lain. Kita menghabiskan banyak waktu dan energi komunikasi kita untuk membina dan memelihara hubungan sosial. c. Untuk meyakinkan Media masa ada sebagian besar untuk meyakinkan kita agar mengubah sikap dan perilaku kita. Tetapi kita juga menghabiskan banyak waktu untuk melakukan persuasi antarpribadi, baik sebagai sumber maupun sebagai penerima. Dalam perjumpaan antarpribadi sehari-hari kita berusaha mengubah sikap dan perilaku orang lain. Kita berusaha mengajak mereka melakukan sesuatu d. Untuk bermain

31

Kita menggunakan banyak perilaku komunikasi kita untuk bermain dan menghibur diri. Kita mendengarkan pelawak, pembicaraan, musik, dan film sebagian besar untuk hiburan. Demikian pula banyak dari perilaku komunikasi kita dirancang untuk menghibur orang lain (menceritakan lelucon mengutarakan sesuatu yang baru, dan

mengaitkan cerita-cerita yang menarik). Adakalanya hiburan ini merupakan tujuan akhir, tetapi adakalanya ini merupakan cara untuk mengikat perhatian orang Iain sehingga kita dapat mencapai tujuantujuan lain. Tentu saja, tujuan komunikasi bukan hanya ini; masih banyak tujuan komunikasi yang lain. Tetapi keempat tujuan yang disebutkan di atas tampaknya merupakan tujuan-tujuan yang utama (Prof. Dr. Astrid S.Susanto-Sunarto: 1995). 3. Proses Komunikasi Proses komunikasi terbagi menjadi dua tahap, yakni secara primer dan secara sekunder (Effendy, 2006: 11-16). a. Proses komunikasi secara primer Proses komunikasi secara primer adalah proses penyampaian pikiran atau perasaan seseorang kepada orang lain dengan

menggunakan lambang (simbol) sebagai media. Lambang sebagai media primer dalam proses komunikasi adalah bahasa, kial, isyarat, gambar, warna dan lain sebagainya yang secara langsung mampu

32

menerjemahkan komunikan.

pikiran

dan

perasaan

komunikator

kepada

Gambar sebagai lambang yang banyak dipergunakan dalam komunikasi memang melebihi kial, isyarat dan warna dalam hal kemampuan menerjemahkan pikiran seseorang, tetapi tetap tidak melebihi bahasa. Buku-buku yang ditulis dengan bahasa sebagai lambang untuk menerjemahkan pemikiran tidak mungkin diganti oleh gambar, apalagi oleh lambang-lambang lainnya. Komunikasi berlangsung apabila terjadi kesamaan makna dalam pesan yang diterima oleh komunikan. b. Proses komunikasi secara sekunder Proses komunikasi secara sekunder adalah proses penyampaian pesan oleh seseorang kepada orang lain dengan menggunakan alat atau sarana sebagai media kedua setelah memakai lambang sebagai media pertama. Seorang komunikator menggunakan media kedua dalam melancarkan komunikasinya karena komunikan sebagai sasarannya berada di tempat yang relatih jauh atau jumlahnya banyak. Surat, telepon, teleks, surat kabar, majalah, radio, televisi, film dan banyak lagi adalah media kedua yang sering digunakan dalam komunikasi. Karena proses komunikasi sekunder ini merupakan sambungan dari komunikasi primer untuk menembus dimensi ruang dan waktu, maka dalam menata lambang-lambang untuk memformulasikan isi

33

pesan komunikasi, komunikator harus memperhitungkan cirri-ciri atau sifat-sifat media yang akan digunakan. Penentuan media yang dipergunakan sebagai hasil pilihan dari sekian banyak alternatif perlu didasari pertimbangan mengenai siapa komunikan yang akan dituju. Dengan demikian proses komunikasi secara sekunder itu menggunakan media yang diklasifikasikan sebagai media massa (massmedia) dan media nirmassa atau media nonmassa (non-mass media). Ada beberapa unsur dalam berkomunikasi diantaranya:
1) Sender:

komunikator

yang

menyampaikan

pesan

kepada

seseorang atau sejumlah orang.


2) Encoding: penyadian, yakni proses pengalihan pikiran ke dalam

bentuk lambang.
3) Message: Pesan yang merupakan seperangkat lambang bermakna

yang disampaikan oleh komunikator.


4) Media: Saluran komunikasi tempat berlalunya pesan dari

komunikator kepada komunikan.


5) Decoding: Pengawasandian, yaitu proses di mana komunikan

menetapkan makna pada lambang yang disampaikan oleh komunikator kepadanya.


6) Receiver: Komunikan yang menerima pesan dari komunikator. 7) Response: Tanggapan, seperangkat reaksi pada komunikan

setelah diterima pesan.

34

8) Feedback: Umpan balik, yakni tanggapan komunikan apabila

tersampaikan atau disampaikan kepada komunikator.


9) Noise: Gangguan tak terencana yang terjadi dalam proses

komunikasi

sebagai

akibat

diterimanya

pesan

lain

oleh

komunikan yang berbeda dengan pesan yang disampaikan oleh komunikator kepadanya.

4.

Prinsip Komunikasi Untuk dapat memahami hakikat suatu komunikasi perlu diketahui prinsip dasar dari komunikasi tersebut. Menurut Seiler (1988), ada empat prinsip dasar dari komunikasi yaitu (Arni, 2001: 19-22): a. Komunikasi adalah suatu proses Komunikasi adalah suatu proses karena merupakan suatu seri kegiatan yang terus-menerus, yang tidak mempunyai permulaan atau akhir dan selalu berubah-ubah. Komunikasi juga bukanlah suatu barang yang dapat ditangkap dengan tangan untuk diteliti. Komunikasi menurut Seiler (1988) lebih merupakan cuaca yang terjadi dari bermacam-macam variabel yang kompleks dan terus berubah. Kadang-kadang cuaca hangat, matahari bersinar, pada waktu yang lain cuaca dingin, berawan dan lembap. Keadaan cuaca merefleksikan satu variasi saling berhubungan yang kompleks yang tidak pernah ada duplikatnya.

35

Komunikasi juga melibatkan suatu variasi saling berhubungan yang kompleks yang tidak pernah ada duplikat dalam cara yang persis sama yaitu: saling hubungan diantara orang, lingkungan,

keterampilan, sikap, status, pengalaman dan perasaan, semuanya menentukan komunikasi yang terjadi pada suatu waktu tertentu. b. Komunikasi adalah sistem Komunikasi terdiri dari beberapa komponen, dan masingmasing komponen mempunyai tugas masing-masing. Tugas dari masing komponen berhubungan satu sama lain untuk menghasilkan suatu komunikasi. Misalnya pengirim mempunyai peranan untuk menentukan apa informasi atau apa arti yang akan dikomunikasikan. Setelah tahu apa arti atau informasi yang akan dikirimkan, informasi tersebut perlu diubah ke dalam kode atau sandi-sandi tertentu sesuai dengan aturannya sehingga berupa suatu pesan. Jadi komponen pesan ada kaitannya dengan komponen pengirim. Bila pengirim tidak benar menyandikan arti yang akan dikirim maka terjadilah pesan itu kurang tepat. Kurang tepatnya pesan yang dikirimkan akan mempengaruhi komponen penerima dalam menginterpretasikan isi pesan sehingga si penerima mungkin juga akan salah dalam menginterpretasikannya. Kaitan komponen pesan dengan saluran misalnya bila pesan disampaikan dengan lisan maka gelombang suara adalah sebagai saluran dan ini juga akan berkaitan dengan si penerima dalam mengikuti pesan yang harus menggunakan

36

pendengarannya dalam menerima pesan tersebut. Begitulah, antara satu komponen dengan komponen yang lain saling berkaitan dan bila terdapat gangguan pada satu komponen akan berpengaruh pada proses komunikasi secara keseluruhan. c. Komunikasi bersifat interaksi dan transaksi Yang dimakud dengan istilah interaksi adalah saling bertukar komunikasi. Misalnya seseorang berbicara kepada temannya

mengenai sesuatu, kemudian temannya yang mendengar memberikan reaksi atau komentar terhadap apa yang sedang dibicarakan itu. Begitu selanjutnya berlangsung secara teratir ibarat orang yang bermain melempar bola. Seorang melemparkan yang lainnya menangkap kemudian yang menangkap melemparkan kembali kepada si pelempar pertama. Dalam kehidupan sehari-hari komunikasi yang kita lakukan tidak seteratur itu prosesnya. Banyak dalam percakapan tatap muka kita terlibat dalam proses pengiriman pesan secara simultan tidak terpisah seperti pada contoh diatas. Dalam keadaan demikian komunikasi tersebut bersifat transaksi. Sambil menyandikan pesan kita juga menginterpresentasikan pesan yang kita terima. d. disengaja Komunikasi yang disengaja terjadi apabila pesan yang mempunyai maksud tertentu dikirimkan kepada penerima yang Komunikasi dapat terjadi disengaja maupun tidak

37

dimaksudkan. Komunikasi yang ideal terjadi apabila seseorang bermaksud mengirim pesan tertentu terhadap orang lain yang ia inginkan untuk menerimanya. Tetapi itu belumlah merupakan jaminan bahwa pesan itu akan efektif, karena tergantung kepada faktor lain yang juga ikut berpengaruh kepada proses komunikasi. Kadangkadang ada juga pesan yang sengaja dikirimkan kepada orang yang dimaksudkan tetapi sengaja tidak diterima oleh orang itu. Misalnya orang tua yang sengaja berbicara kepada anaknya tetapi anaknya tidak mau mendengarnya. Ada juga situasi komunikasi yang tidak sengaja tetapi diterima oleh orang lain dengan sengaja. Misalnya dalam situasi kelas yang hening tiba-tiba seorang murid berdiri maju ke depan mengambil kapur untuk mengisap tinta penanya. Gerakan murid yang tidak disengaja sebagai pesan itu diterima murid-murid lainnya sebagai pesan karena tiba-tiba temannya yang lain memperhatikan geraknya yang menimbulkan bermacam-macam interpretasi bagi mereka. Dari berbagai macam-macam contoh di atas jelaslah, bahwa komunikasi itu dapat terjadi disengaja maupun tidak dengan sengaja. 5. Etika Komunikasi Norma dan nilai dalam masyarakat adalah fundamen dalam manusia berkomunikasi. Mereka melakukan komunikasi dengan aturan dan norma yang berlaku, yang mengatur apakah sesuatu boleh dilakukan atau tidak boleh dilakukan. Kalau dilanggar hanya sangsi yang diperolehnya. Nilai

38

lebih bersifat apa yang baik dan apa yang buruk dilakukan oleh seseorang. Keduanya dibatasi oleh kebiasaan dari masyarakatnya atau komunitasnya sendiri-sendiri. Dalam profesi dan dalam hubungan sehari-hari, terutama dalam berkomunikasi antar-persona, pelanggaran etika kerap dilakukan. Tentu bukan saja kuatnya etnosentrisme dan stereotype, juga adanya kedudukan social-ekonomi, posisi penguasa dan yang dikuasai, sering menjadi perbendaharaan setiap tindakan seseorang. Bagi mereka yang mempunyai kedudukan yang tinggi biasanya mempunyai harapan (expectation) kepada pihak lain yang dianggap berlebihan. Anggapan tersebut bukan karena sulit dipahami, tetapi karena mereka mempunyai penyandian yang berbeda terhadap simbol-simbol yang dibangun oleh lingkungan sosialnya. Maka dari itu, untuk mengatasi alasan etika dan hambatan budaya tersebut, beberapa cara dapat ditempuh, antara lain dengan cara kedua belah pihak supaya lebih terbuka dalam mengemukakan harapan dan nilai yang dianutnya. Sikap familiarity tersebut mampu memberi peluang lebih terbuka untuk saling mengerti. Selanjutnya, masing-masing pihak harus berusaha untuk bersedia mendekatkan diri (proximite) dengan cara memperkenalkan dunia masingmasing secara lebih intensif. Terakhir, membangun secara sinergis dalam bentuk komunikasi dan kerjasama yang lebih egaliter dan saling menguntungkan misalnya untuk suatu liputan yang sama (Purwasito, 2003: 336)

39

D. 1.

Tinjauan Tentang Semiologi Pengertian Semiologi Semiologi berasal dari kata semion berarti tanda dan kata logos artinya ilmu. Jadi semiologi juga disebut dengan semiotika adalah ilmu tentang tanda dan segala hal yang berhubungan dengan tanda-tanda. Secara historis, semiologi merupakan buah dari kemajuan ilmu pengetahuan Barat, dari rasionalisme, empirisme, matematika dan linguistik yang menjadi ibu kandung semiotika (Purwasito, 2001: 1). Dalam penelitian ini menggunakan analisis semiologi berarti menafsirkan simbol-simbol tersebut tidak saja karena penafsiran signifikasinya tetapi juga bagaimana tanda-tanda yang diciptakan tersebut mempunyai maksud-maksud atau tujuan tertentu yang lebih pragmatis. Baik ditujukan kepada dirinya sendiri maupun kepada komunikannya. Penafsiran Tanda-tanda dalam pesan sebagai upaya kritis mengetahui tujuan berkomunikasi inilah yang disebut Andrik Purwasito sebagai semiologi. Sedangkan semiotika adalah suatu ilmu atau metode analisis untuk mengkaji tanda. Tanda-tanda adalah perangkat yang kita pakai dalam upaya berusaha mencari jalan di dunia ini, di tengah-tengah manusia dan bersama-sama manusia. Semiotika, atau dalam istilah Barthes, semiologi, pada dasarnya hendak mempelajari bagaimana kemanusiaan (humanity) memaknai hal-hal (thing). Memaknai (to sinify) dalam hal ini tidak dapat

40

dicampuradukkan

dengan

mengkomunikasikan

(to

communicate).

Memaknai berarti bahwa objek-objek tidak hanya membawa informasi, dalam hal mana objek-objek itu hendak berkomunikasi, tetapi juga mengkonstitusi system terstruktur dari tanda (Sobur, 2006: 15). Jadi dalam penelitian ini mencoba mengkaji sebuah tanda, dengan menggunakan sebuah metode yaitu semiotika atau semiologi. Semiotika adalah ilmu tentang tanda-tanda. Studi tentang tanda dan segala yang berhubungan dengannya, cara berfungsinya, hubungannya dengan tanda-tanda lain, pengirimannya dan penerimaannya oleh mereka yang menggunakannya. Semiotik mempelajari sistem-sistem, aturanaturan, konvensi-konvensi yang memungkinkan tanda-tanda tersebut mempunyai arti (Kriyantono, 2006: 261). Pada pengertian semiologi di atas, maka dapat diambil suatu kesimpulan bahwa semiologi adalah ilmu tentang tafsir tanda, termasuk sistem tanda. Definisi ini membuat aplikasi semiologi sangat luas, bisa digunakan berbagai bidang keilmuan, karena semiologi adalah metode tafsir untuk seluruh tanda yang diproduksi oleh manusia. Semiologi berkembang menjadi ilmu untuk menafsirkan berbagai hal berhubungan dengan tanda-tanda, termasuk berguna bagi analisis kritik ideologi, seperti yang diungkapkan Roland Barthes "semiologi sebagai metode dasar kritik ideologi," (semiologie comme la methode fundamentale de la critique ideologique) 2. Semiotika dan Teori Informasi

41

Bagaimana hubungan antara semiotika dan teori informasi? Doede Nauta menjelaskan kerangka kerja untuk pembicaraan ihwal perbedaan konsep dan ukuran-ukuran informasi. Nauta menganggap semiotika (bersama-sama dengan cybernetics dan teori sistem) sebagai disiplin yang paling tepat untuk merealisasikan tujuan ini. Ia melihat semiotika sebagai satu jenis fisiologi pemindahan informasi: Peralatan teoritik semiotikan akan ditunjukkan guna melengkapi kerangka kerja yang paling penting bagi klasifikasi informasi dalam semua keanekaragamannya dan untuk memahami gejala yang relevan. Nauta menganggap sistem konseptual signal-sign-symbol di satu pihak, dan syntactics-semantics-pragmatics dilain pihak, sebagai hal yang sangat penting bagi proses informasi, karena kedua system ini berasal dari semiotika. Mulanya, nauta mencoba suatu pengkajian yang ekstensif pada semiotika lalu berlanjut pada penyelidikan teori informasi (Sobur, 2006: 14). 3. Pendekatan Terhadap Tanda-Tanda Dalam sebuah pengkajian tanda/ simbol, perlu memahami tanda/ simbol dengan cara pendekatan terhadap tanda/ simbol itu sendiri. Ada dua pendekatan penting terhadap tanda-tanda. Pertama, adalah pendekatan yang didasarkan pada pandangan Ferdinand de Saussure yang mengatakan bahwa tanda-tanda disusun dari dua elemen, yaitu aspek citra tentang bunyi (semacam kata atau representasi visual) dan sebuah konsep di mana citra bunyi disandarkan. Tanda itu sendiri, dalam pandangan Saussure,

42

merupakan manifestasi konkret dari citra bunyi dan sering diidentifikasi dengan citra bunyi itu sebagai penanda. Jadi, penanda dan petanda merupakan unsur-unsur mentalistik. Dengan kata lain, di dalam tanda terungkap citra bunyi ataupun konsep sebagai dua komponen yang tak terpisahkan. Kedua, adalah pendekatan tanda yang didasarkan pada pandangan seorang filsuf dan pemikir Amerika yang cerdas, Charles Sanders Peirce. Bahwa tanda-tanda berkaitan dengan objek-objek yang menyerupainya, keberadaannya memiliki hubungan sebab-akibat dengan tanda-tanda atau karena ikatan konvensional dengan tanda-tanda tersebut. Peirce menggunakan istilah ikon untuk kesamaannya, indeks untuk hubungan sebab-akibat, dan simbol untuk asosiasi konvensional (Sobur, 2006: 31). Yang dimaksud tanda ini sangat luas. Peirce (Fiske, 1990: 50 dalam Kriyantono, 2006: 262) membedakan tanda atau lambang (symbol), ikon (icon), dan indeks (index). Dapat dijelaskan sebagai berikut:
a.

Lambang yaitu suatu tanda di mana hubungan antara tanda dan acuannya merupakan hubungan yang sudah terbentuk secara konvensional. Lambang ini adalah tanda yang dibentuk karena adanya konsensus dari para pengguna tanda. Warna merah bagi masyarakat Indonesia adalah berani, mungkin di Amerika bukan.

b.

Ikon yaitu suatu tanda di mana hubungan antara tanda dan acuannya berupa hubungan, berupa kemiripan. Jadi, ikon adalah

43

bentuk tanda yang dalam berbagai bentuk menyerupai objek dari tanda tersebut. Patung kuda adalah ikon dari seekor kuda.
c.

Indeks yaitu suatu tanda di mana hubungan antara tanda dan acuannya timbul karena ada kedekatan eksistensi. Jadi, indeks adalah suatu tanda yang mempunyai hubungan langsung (kausalitas) dengan objeknya. Asap merupakan indeks dari adanya api.

4.

Proses Semiotik Tanda-tanda tidak lagi berdimensi privat tetapi bersifat sosial. Masyarakat tercipta lewat makna-makna yang bermakna bangun sendiri dalam interaksi sosial mereka. Ini mempengaruhi pemikiran Peirce yang mengatakan bahwa criteria kebenaran adalah konsensus sosial. Kebenaran adalah suatu yang bersifat konvensional (common sense), dan tugas para ahli ilmu pengetahuna hanya mengklarifikasi diterimanya ide-ide dan kebenaran tentang sesuatu. Charles Sanders Peirce, mengemukakan bahwa: a. Kita mempunyai kekuatan intuitif, semua pengetahuan mengalir pada dari format pengetahuan. b. Kita mempunyai kemampuan instropeksi, semua pengetahuan tentang dunia diciptakan oleh alasan yang hipotetik sebagai dasar dari observasi tentang sesuatu yang berada di luar diri dan c. Kita tidak dapat berpikit tanda-tanda. Membaca tanda-tanda secara umum dapat digambarkan dalam proses semiotik sebagai berikut :

44

TANDA

Persepsi KONSEP Pengalaman

Konvensi OBJEK

Tanda/ Sign adalah sesuatu yang tampak. Konsep/ consept pikiran atau gambaran yang terbawa dalam pikiran manusia sebagai persepsi atas tanda. Obyek/object adalah segala hal yang ada dan ditemukan yang merupakan rujukan dari tanda tersebut. Orang (interpretant) berpikir dalam dirinya ada konsep-konsep bentuk, ketika melihat Tanda, misalnya gambar atau tulisan Gajah maka ia akan merujuk atau mengingat pada referentnya, yakni pada sekumpulan gajah. Tanda dan konsep berhubungan karena adanya persepsi manusia. Konsep dan objek berhubungan oleh karena pengalaman manusia. Tanda objek saling berhubungan karena kebiasaan (konvensi), kebudayaan, kelompok atau komunitas social di mana seseorang hidup. Di sini jelas bahwa, penafsiran terhadap tanda-tanda tidak dapat memisahkan diri dengan konteks di mana tanda itu diciptakan dan dipakai dalam kehidupan sehari-hari.

45

1)

Persepsi proses dalam pikiran manusia yang menerima data dari lingkungannya.

2)

Pengalaman, memori yang melekat dalam pikiran manusia, selalu berubah ketika memperoleh pengalaman baru.

3)

Konvensi, secara konstan berubah sesuai dengan aturan makna sosial yang berkembang dari proses dan lingkungan komunikasi.

E. 1.

Tinjauan Tentang Simbol Pengertian Simbol Secara etimologis, simbol (symbol) berasal dari kata Yunani symballein yang berarti melemparkan bersama suatu (benda, perbuatan) dikaitkan dengan suatu ide (Hartoko, 1998: 133). Ada pula yang menyebutkan symbolos, yang berarti tanda atau ciri yang

memberitahukan sesuatu hal kepada seseorang (Herusatoto, 2000: 10). Biasanya symbol terjadi berdasarkan metonimi (metonymy), yakni nama untuk benda lain yang berasosiasi atau yang menjadi atributnya. Simbol juga metafora, pemakaian kata atau ungkapan lain untuk objek atau konsep lain berdasarkan kias atau persamaan (Kridalaksana, 2001: 136-138).

46

Konsep yang diungkapkan Peirce, simbol diartikan sebagai tanda yang mengacu pada objek tertentu di luar tanda itu sendiri. Hubungan antara simbol dengan penanda dengan petanda sifatnya konvensional. Berdasarkan konvensi itu pula masyarakat pemakainya menafsirkan ciri hubungan antara simbol dengan objek yang diacu dan menafsirkan maknanya. Dengan demikian, sebuah simbol dapat berdiri untuk sesuatu institusi, cara berpikir, ide, harapan, aspirasi, sikap dan banyak hal lain (Sobur, 2006:156). Simbol dapat berupa kata-kata (verbal) perilaku nonverbal dan objek yang maknanya disepakati bersama, misalnya memasang bendera di depan rumah sebagai tanda cinta terhadap negara. Simbol tidak dapat disikapi secara isolatif, terpisah dari hubungan asosiatifnya dengan simbol lainnya. Walaupun demikian berbeda dengan bunyi, simbol telah memiliki kesatuan bentuk dan makna. Berbeda pula dengan tanda (sign), simbol merupakan kata atau sesuatu yang bisa dianalogikan sebagai kata yang telah terkait dengan (1) penafsiran pemakai, (2) kaidah pemakaian sesuai dengan jenis wacananya, dan (3) kreasi pemberian makna sesuai dengan intensi pemakainya. Simbol yang ada dalam dan berkaitan dengan ketiga butir tersebut disebut bentuk simbolik. 2. Bahasa Sebagai Sistem Simbol Kata atau bahasa, di dalam wacana linguistik, diberi pengertian sebagai sistem symbol bunyi bermakna dan berartikulasi dihasilkan oleh alat ucap, yang bersifat arbitrer (berubah-ubah) dan konvensional, yang

47

dipakai sebagai alat berkomunikasi oleh sekelompok manusia untuk melahirkan perasaan dan pikiran. Bahasa adalah kombinasi kata yang diatur secara sistematis, sehingga bisa digunakan sebagai alat komunikasi. Kata itu sendiri, merupakan bagian integral dari simbol yang dipakai oleh kelompok masyarakatnya. Itu sebabnya, kata bersifat simbolis. Simbol itu menurut Robert Sibarani, mengutip pendapat Van Zoest, adalah sesuatu yang dapat menyimbolkan dan mmewakili ide, pikiran, perasaan, benda dan tindakan secara arbitrer, konvensional, dan representatif-interpretatif. Dalam hal ini, tidak ada hubungan alamiah antara yang menyimbolkan dan yang disimbolkan. Implikasinya berarti, baik yang batiniah (perasaan, pikiran atau ide), maupun lahiriyah (benda dan tindakan) dapat disimbolkan atau diwakili simbol. Istilah bahasa dapat digunakan dalam arti harfiah dan metaforis. Dalam arti harfiah, istilah itu mengacu pada bahasa biasa, yang alami, yang dipakai dikeseharian, yang di Indonesia jumlahnya tidak kurang dari 650 buah dan di dunia tidak kurang dari 5000 buah. Dalam arti metaforis, istilah itu mengacu pada berbagai cara berkomunikasi atau berkontak (kedipan mata, lambaian tangan, nyala lampu berwarna tertentu, gambar pada rambu-rambu, bunyi kentongan dan sebagainya). Istilah bahasa dalam metaforis tidak kena-mengena dengan linguistik. Yang langsung kena-mengena dengan linguistik adalah istilah bahasa dalam arti harfiah, yang mengacu pada bahasa sebagaimana dikatakan di atas. Dapat

48

dikatakan bahwa linguistik berurusan dengan bahasa biasa, yang alami, yang dipakai di keseharian. 3. Simbolisasi: Kebutan Pokok Manusia Salah satu kebutuhan pokok manusia, seperti dikatakan Susanne K. Langer, adalah kebutuhan simbolisasi atau penggunaan lambing (Mulyana, 2000: 83). Dan, salah satu sifat dasar manusia adalah kemampuan menggunakan simbol. Kemampuan manusia menciptakan simbol

membuktikan bahwa manusia sudah memiliki kebudayaan yang tinggi dalam berkomunikasi, mulai dari simbol yang sederhana seperti bunyi dan isyarat, sampai kepada simbol yang dimodifikasi dalam bentuk signalsignal melalui gelombang udara dan cahaya, seperti radio, televisi, telegram, telex dan satelit (Sobur, 2006: 43). Kemampuan tersebut, sebagian orang mungkin menyebutnya keharusan, untuk mengubah data mentah hasil pengalaman indra menjadi simbol-simbol dipandang sebagai khas manusia. Kita bukan hanya dapat segera mengubah data tangkapan indra menjadi simbol-simbol, kita juga dapat menggunakan simbol-simbol untuk menunjuk kepada simbol lain (seperti konsepsi tujuan, nilai, cita) dan untuk mewariskan pengetahuan dan wawasan yang terpendam dari generasi ke generasi. Daya simbolisasi, menurut Wieman dan Walter, bertanggung jawab atas kejadian dan kelangsungan pertumbuhan kepribadian manusia dan atas pekerjaanpekerjaan kreatif umat manusia.

49

Sebagai pengguna dan penafsir simbol, manusia terkadang irasional dengan menganggap seolah-olah ada kemestian atau hubungan alamiah antara suatu simbol dengan apa yang disimbolkan (Sobur, 2006: 165). Manusia itu unik karena memiliki kemampuan memanipulasi simbol-simbol berdasarkan kesadaran. Mead menekankan pentingnya komunikasi, khususnya melalui mekanisme isyarat vocal (bahasa), meskipun teorinya bersifat umum. Isyarat vocallah yang potensial menjadi seperangkat simbol yang membentuk bahasa, simbol adalah suatu rangsangan yang mengandung makna dan nilai yang dipelajari bagi manusia, dan respons manusia terhadap simbol adalah dalam pengertian makna dan nilainya daripada dalam pengertian stimulasi fisik dan alat-alat indranya (Mulyana, 2001: 77). 4. Simbol dan Simbolisme Ibarat citra, simbol muncul dalam konteks yang sangat beragam dan digunakan untuk berbagai tujuan. Simbol adalah suatu istilah dalam logika, matematika, semantik, semiotik dan epistemologi, simbol juga memiliki sejarah panjang di dunia teotologi (simbol adalah sebuah sinonim dari kepercayaan), di bidang liturgi, di bidang seni rupa dan puisi. Unsur yang sama dalam aneka penggunaan di atas adalah sifat simbol untuk mewakili sesuatu yang lain. Tetapi, dalam kata simbol sebenarnya ada unsur kata kerja bahasa Yunani yang berarti mencampurkan,

membandingkan dan membuat analogi antara tanda dan objek yang diacu. Pengertian ini masih bertahan dalam pemakaian simbol di jaman modern.

50

Simbol aljabar dan logika adalah tanda konvensional yang disetujui bersama. Tetapi, simbol-simbol keagamaan didasarkan pada suatu hubungan intrinsik antara tanda dan objek yang diacu oleh tanda itu, baik dalam bentuk metonimia maupun metafora (Sobur, 2001: 43-44). Menurut teori sastra, simbol sebaiknya dipakai dalam pengertian sebagai berikut: sebagai objek yang mengacu pada objek lain, tetapi juga menuntut perhatian pada dirinya sendiri sebagai suatu perwujudan. Simbol adalah tanda yang menunjukkan bahwa tidak ada hubungan alamiah antara penanda dengan petandanya, hubungannya bersifat arbitrer (semaumaunya). Arti tanda itu ditentukan oleh konvensi. Ibu adalah simbol, artinya ditentukan oleh konvensi masyarakat bahasa (Indonesia) (Sobur, 2001: 44). Terdapat pandangan yang menganggap simbolisme hanya

simbolisme. Menurut pandangan ini, puisi agama hanyalah citraan indriawi yang disusun secara ritual. Atau sebaliknya, tanda dan makna dianggap kosong, karena tidak dapat menjangkau kenyataan moral atau filsafat yang transedens. Ada pandangan lain yang menganggap simbolisme sebagai suatu usaha yang dilakukan dengan sengaja, terencana dan sangat diperhitungkan, untuk menerjemahkan (secara mental) konsepkonsep menjadi istilah-istilah yang ilustratif, indriawi dan didaktis. Tetapi menurut Coleridge, alegori memang merupakan suatu penerjemahan pemikiran abstrak menjadi bahasa bergambar, yang tak lain juga merupakan abstraksi dan objek-objek indriawi, sedangkan simbol , seperti

51

dikatakan Wellek & Warren, dicirikan oleh tampaknya sifat-sifat yang mencirikan spesies pada individu, atau sifat-sifat yang umum (genus) pada khusus, oleh tampak hal-hal yang bersifat abadi pada hal-hal yang sementara (Sobur, 2001: 44). Upaya untuk memahami simbol sering kali rumit/ komplek, fakta bahwa logika dibalik simbolisasi seringkali tidak sama dengan logika yang digunakan orang didalam proses-proses pemikiran kesehariannya. Dalam bahasa komunikasi, simbol seringkali diistilahkan sebagai lambang. Simbol atau lambang sesuatu yang digunakan untuk menujuk sesuatu lainnya, berdasarkan kesepakatan kelompok orang. Lambang meliputi kata-kata (pesan verbal), perilaku verbal, dan objek yang maknanya disepakati bersama. Jika simbol merupakan salah satu unsur komunikasi, simbol tidak muncul dalam ruang hampa-sosial, melainkan dalam suatu konteks atau situasi tertentu. 5. Simbol Status dan Gaya Hidup Status pada dasarnya mengarah pada posisi yang dimiliki sesorang di dalam sejumlah kelompok atau organisasi dan prestise melekat pada posisi tersebut. Status berarti berhubungan dengan peran seseorang. Status merupakan kekuatan yang besar di dalam masyarakat yang digunakan untuk mengendalikan orang dengan cara yang halus. Status adalah simbol dari kesuksesan hidup-hidup. Orang yang punya status tertentu kerapkali dihubung-hubungkan dengan gaya hidup. Gaya hidup adalah istilah menyeluruh yang meliputi

52

cita rasa seseorang di dalam fashion, mobil, hiburan dan rekreasi, bacaan dan hal-hal yang lain. Gaya menunjukkan pakaian dan gaya hidup digunakan untuk menggambarkan bagaimana seseorang berpakaian. Simbol-simbol merupakan tanda yang menunjuk kepada nilai-nilai, dan seringkali, meskipun tidak selalu, simbol ini diungkapkan melalui bahasa. Kadang-kadang juga diungkapkan melalui citra di samping bahasa. Kesalingkaitan antara nilai, simbol dan bahasa, memiliki pengaruh yang sangat kuat (Sobur, 2006: 167. Sedangkan pendekatan simbol pada penelitian ini yang lebih mengejutkan adalah masuknya pemakaian teori adverstising yang sudah terkenal, yaitu (ATM) amati, peneliti tiru, memang modifikasi merasa bahwa

(http://adverdreams.blogspot.com)

pemakaian lambang-lambang yang sekarang adalah hasil modifikasi dari lambang terdahulu yang tercipta pada masa lalu. Pada kasus penelitian ini setidaknya sang pencipta simbol yang baru (hasil modifikasi) pernah mempunyai pengalaman tentang simbol Yahudi.

F. 1.

Tinjauan Tentang Makna Pengertian Makna Makna adalah sebuah wahana tanda yaitu suatu kultural yang diperagakan oleh wahana-wahana tanda yang lainnya serta, dengan begitu, secara semantik mempertunjukkan pula ketidaktergantungannya pada wahana tanda yang sebelumnya. Sedangkan menurut Brown, makna

53

sebagai kecenderungan (disposisi) total untuk menggunakan atau bereaksi terhadap suatu bentuk bahasa (Sobur, 2006: 255-256). 2. Makna pada dasarnya Teori-Teori Makna terbentuk berdasarkan berdasarkan

hubungan antara lambang komunikasi (simbol), akal budi manusia penggunanya. Ada beberapa pandangan yang menjelaskan ihwal teori atau konsep makna. Model proses makna Wendell Johnsosn (Devito,1997:123125) menawarkan sejumlah implikasi bagi komunikasi antarmanusia (Sobur, 2006: 258):
a.

Makna ada dalam diri manusia. Makna tidak terletak pada kata-kata melainkan pada manusia. Seseorang menggunakan kata-kata untuk mendekati makna yang seseorang ingin dikomunikasikan. Tetapi kata-kata ini tidak secara sempurna dan lengkap menggambarkan makna yang seseorang maksudkan. Demikian pula, makna yang didapat komunikan dari pesan-pesan seseorang akan sangat berbeda dengan makna yang ingin seseorang sampaikan. Komunikasi adalah proses yang seseorang gunakan untuk mereproduksi, di benak pendengar, apa yang ada dalam benak seseorang. Reproduksi ini hanyalah sebuah proses parsial dan selalu bisa salah.

b. Makna berubah. Kata-kata relatif statis. Banyak dari kata-kata yang

seseorang gunakan 200 atau 300 tahun yang lalu. Tetapi makna dari kata-kata ini terus berubah, dan ini khususnya terjadi pada dimensi emosional dari makna. Bandingkanlah, misalnya,makna kata-kata

54

berikut bertahun-tahun yang lalu dan sekarang, hubungan di luar nikah, obat, agama, hiburan, dan perkawinan (di Amerika Serikat, kata-kata ini diterima secara berbeda pada saat ini dan di masa-masa yang lalu).
c.

Makna membutuhkan acuan. Walaupun tidak semua komuniksai mengacu pada dunia nyata, komunikasi hanya masuk akal bilamana ia mempunyai kaitan dengan dunia atau lingkungan eksternal. Obsesi seseorang paranoid yang selalu merasa diawasi dan teraniaya merupakan contoh makna yang tidak mempunyai acuan yang memadai.

d. Penyingkatan yang berlebihan akan mengubah makna. Berkaitan

erat dengan gagasan bahwa makna membutuhkan acuan adalah masalah komunikasi yang timbul akibat penyingkatan berlebihan tanpa mengaitkannya dengan acuan yang kongkret dan dapat diamati. Bila seseorang berbicara tentang cinta, persahabatan, kebahagian kebaikan, kejahatan, dan konsep-konsep lain yang serupa tanpa mengaitkannya dengan sesuatu yang spesifik, seseorang tidak akan bisa berbagi makna dengan lawan bicara.
e.

Makna tidak terbatas jumlahnya. Pada saat tertentu, jumlah kata dalam suatu bahasa terbatas, tetapi maknanya tidak terbatas.karena itu kebanyakan kata mempunyai banyak makna. Ini bisa

menimbulkan masalah bila sebuah makna bila sebuah kata diartikan secara berbeda oleh dua orang yang sedang berkomunikasi.

55

f.

Makna dikomunikasikan hanya sebagian. Makna yang seseorang peroleh dari suatu kejadian bersifat multiaspek dan sangat kompleks, tetapi hanya sebagian saja dari makna-makna ini benar-benar dapat dijelaskan.

3.

Konsep Makna Makna, sebagaimana dikemukakan oleh Fisher, merupakan konsep yang abstrak, yang telah menarik perhatian para ahli filsafat dan para teoritisi ilmu sosial selama 2000 tahun silam. Semenjak Plato mengkonseptualisasikan makna manusia sebagai salinan ultrarealitas, para pemikir besar telah sering mempergunakan konsep itu dengan penafsiran yang sangat luas yang merentang sejak pengungkapan mental dari Locke sampai ke respons yang dikeluarkan dari Skinner. Bagi orang awam, untuk memahami makna tertentu ia dapat mencari kamus, sebab di dalam kamus terdapat makna yang disebut makna leksikal. Dalam kehidupan sehari-hari, orang sulit menerapkan makna yang terdapat dalam kamus, sebab makna sebuah kata sering bergeser jika dalam satuan kalimat. Dengan kata lain, setiap kata kadang-kadang mempunyai makna luas. Itu sebabnya kadang-kadang orang tidak puas dengan makna kata yang tertera di dalam kamus (Sobur, 2001: 19-20). Upaya memahami makna, sesungguhnya merupakan salah satu masalah filsafat yang tertua dalam umur manusia. Konsep makna telah menarik perhatian disiplin komunikasi, psikologi, sosiologi, antropologi

56

dan linguistik. Itu sebabnya, beberapa pakar komunikasi sering menyebut kata makna ketika mereka merumuskan definisi komunikasi. Para ahli mengakui, istilah makna (meaning) memang merupakan kata dan istilah yang membingungkan. Dalam bukunya The Meaning of Meaning, Ogden dan Richards telah mengumpulkan tidak kurang dari 22 batasan mengenai makna. Bentuk makna diperhitungkan sebagai istilah, sebab bentuk ini mempunyai konsep dalam bidang ilmu tertentu, yakni dalam bidang linguistik. Dalam penjelasan Umberto Eco, makna dari sebuah wahana tanda (sign-vechicle) adalah satuan cultural yang diperagakan oleh wahana-wahana tanda yang lainnya serta, dengan begitu, secara semantik mempertunjukkan pula ketidaktergantungannya pada wahana tanda yang sebelumnya (Sobur, 2001: 255). Brown mendefinisikan makna sebagai kecenderungan (disposisi) total untuk menggunakan atau bereaksi terhadap suatu bentuk bahasa. Terdapat banyak komponen dalam makna yang dibangkitkan suatu kata atau kalimat. Dengan kata Brown, Seseorang mungkin menghabiskan tahun-tahunnya yang produktif untuk menguraikan makna suatu kalimat tunggal dan akhirnya tidak menyelesaikan tugas itu (Mulyana, 2000: 256). 4. Jenis-Jenis Makna Ada beberapa pendapat mengenai jenis atau tipe makna. Brobeck mengemukakan bahwa sebenarnya ada tiga pengertian tentang konsep makna yang berbeda-beda. Salah satu jenis makna, menurut tipologi

57

Brodbeck, adalah makna referensial, yakni makna suatu istilah adalah objek pikiran, ide atau konsep yang ditunjukkan oleh istilah tersebut. Pengertian makna ini, menurut Fisher, serupa dengan aspek semantis bahasa dari Morris hubungan lambing dengan referen (yang ditunjuk). Tipe makna yang kedua dari Brodbeck adalah arti itu. Dengan kata lain, lambing atau istilah itu berarti sejauh ia berhubungan secara sah dengan istilah lain, konsep yang lain. Suatu istilah dapat saja memiliki arti referensial dalam pengertian yang pertama, yakni mempunyai referen, tetapi karena ia tidak dihubungkan dengan berbagai konsep yang lain, ia tidak mempunyai arti. Tipe makna yang ketiga dari Brodbeck mencakup makna yang dimaksudkan (intentional) dalam arti suatu istilah atau lambang bergantung pada apa yang dimaksudkan pemakai dengan arti lambang itu (Sobur, 2001: 25-26). 5. Makna Denotatif dan Konotatif Salah satu cara yang digunakan para ahli untuk membahas lingkup makna yang lebih besar ini adalah membedakan antara makna denotatif dengan makna konotatif. Makna denotatif pada dasarnya meliputi hal-hal yang ditunjuk oleh kata-kata (yang disebut sebagai makna referensial). Makna denotatif suatu kata ialah makna yang biasa kita temukan dalam kamus. Sebagai contoh, didalam kamus, kata mawar berarti sejenis bunga. Makna konotatif ialah makna denotatif ditambah dengan segala gambaran, ingatan dan perasaan yang ditimbulkan oleh kata mawar itu. Kata konotasi itu sendiri berasal dari bahasa Latin connotare, menjadi

58

tanda dan mengarah kepada makna-makna kultural yang terpisah/ berbeda dengan kata (dan bentuk-bentuk lain dari komunikasi). Jika denotasi sebuah kata adalah definisi objektif kata tersebut, maka konotasi sebuah kata adalah makna subjektif atau emosionalnya. Dikatakan objektif sebab makna denotatif ini berlaku umum. Sebaliknya, makna konotatif bersifat subjektif dalam pengertian bahwa ada pergeseran dari makna umum (denotatif) karena sudah ada penambahan rasa dan nilai tertentu. Kalau makna denotatif hamper bisa dimengerti banyak orang, maka makna konotatif ini hanya bisa dicerna oleh mereka yang jumlahnya relatif lebih kecil. Jadi, sebuah kata disebut mempunyai makna konotatif apabila kata itu mempunyai nilai rasa, baik positif maupun negatif (Sobur, 2006: 263-264). Konotasi atau makna konotatif disebut juga makna konotasional, makna emotif atau makna evaluatif. Makna konotatif adalah suatu jenis makna di mana stimulus dan respons mengandung nilai-nilai emosional. Makna konotatif sebagian terjadi karena pembicara ingin menimbulkan perasaan setuju-tidak setuju, senang-tidak senang, dan sebagainya pada pihak pendengar, di pihak lain, kata yang dipilih itu memperlihatkan bahwa pembicaranya juga memendam perasaan yang sama (Sobur, 2006: 266).

G.

Dasar Pemaknaan Tokoh Semiotik Dan Teorinya

59

Dalam memahami teori yang akan dipakai maka penelitian ini maka peneliti memberikan beberapa teori yang terkait sebagai berikut: 1. C.S Peirce Peirce mengemukakan teori segitiga makna atau triangle meaning yang terdiri dari tiga elemen utama, yakni tanda (sign), object, dan interpretant. Tanda adalah sesuatu yang berbentuk fisik yang dapat ditangkap oleh panca indera manusia dan merupakan sesuatu yang merujuk (merepresentasikan) hal lain di luar tanda itu sendiri. Tanda menurut Peirce terdiri dari Simbol (tanda yang muncul dari kesepakatan), Ikon (tanda yang muncul dari perwakilan fisik) dan Indeks (tanda yang muncul dari hubungan sebab-akibat) (Sobur, 2006: 41-42). Sedangkan acuan tanda ini disebut objek. Objek atau acuan tanda adalah konteks sosial yang menjadi referensi dari tanda atau sesuatu yang dirujuk tanda. Menurutnya tanda adalah sesuatu yang bagi seseorang berfungsi sebagai wakil dari sesuatu yang lain dalam hal atau kapasitas tertentu (Eco, 2009: 21). Interpretant atau pengguna tanda adalah konsep pemikiran dari

orang yang menggunakan tanda dan menurunkannya ke suatu makna tertentu atau makna yang ada dalam benak seseorang tentang objek yang dirujuk sebuah tanda. Hal yang terpenting dalam proses semiosis adalah bagaimana makna muncul dari sebuah tanda ketika tanda itu digunakan orang saat berkomunikasi. Contoh: Saat seorang gadis mengenakan rok

60

mini, maka gadis itu sedang mengomunikasi mengenai dirinya kepada orang lain yang bisa jadi memaknainya sebagai simbol keseksian. 2. Ferdinand De Saussure Menurut Saussure, tanda terdiri dari: Bunyi-bunyian dan gambar, disebut signifier atau penanda, dan konsep-konsep dari bunyi-bunyian dan gambar, disebut signified. Dalam berkomunikasi, seseorang menggunakan tanda untuk mengirim makna tentang objek dan orang lain akan menginterpretasikan tanda tersebut. Objek bagi Saussure disebut referent. Hampir serupa dengan Peirce yang mengistilahkan interpretant untuk signified dan object untuk signifier, bedanya Saussure memaknai objek sebagai referent dan menyebutkannya sebagai unsur tambahan dalam proses penandaan. Contoh: ketika orang menyebut kata anjing (signifier) dengan nada mengumpat maka hal tersebut merupakan tanda kesialan (signified). Begitulah, menurut Saussure, Signifier dan signified merupakan kesatuan, tak dapat dipisahkan, seperti dua sisi dari sehelai kertas. (Sobur, 2006). 3. Roland Barthes Roland Barthes adalah penerus pemikiran Saussure. Saussure tertarik pada cara kompleks pembentukan kalimat dan cara bentuk-bentuk kalimat menentukan makna, tetapi kurang tertarik pada kenyataan bahwa kalimat yang sama bisa saja menyampaikan makna yang berbeda pada orang yang berbeda situasinya.

61

Roland Barthes meneruskan pemikiran tersebut dengan menekankan interaksi antara teks dengan pengalaman personal dan kultural

penggunanya, interaksi antara konvensi dalam teks dengan konvensi yang dialami dan diharapkan oleh penggunanya. Gagasan Barthes ini dikenal dengan order of signification, mencakup denotasi (makna sebenarnya sesuai kamus) dan konotasi (makna ganda yang lahir dari pengalaman kultural dan personal). Di sinilah titik perbedaan Saussure dan Barthes meskipun Barthes tetap mempergunakan istilah signifier-signified yang diusung Saussure. Barthes juga melihat aspek lain dari penandaan yaitu Mitos yang menandai suatu masyarakat. Mitos menurut Barthes terletak pada tingkat kedua penandaan, jadi setelah terbentuk sistem sign-signifier-signified, tanda tersebut akan menjadi penanda baru yang kemudian memiliki petanda kedua dan membentuk tanda baru. Jadi, ketika suatu tanda yang memiliki makna konotasi kemudian berkembang menjadi makna denotasi, maka makna denotasi tersebut akan menjadi mitos. Misalnya: Pohon beringin yang rindang dan lebat menimbulkan konotasi keramat karena dianggap sebagai hunian para makhluk halus. Konotasi keramat ini kemudian berkembang menjadi asumsi umum yang melekat pada simbol pohon beringin, sehingga pohon beringin yang keramat bukan lagi menjadi sebuah konotasi tapi berubah menjadi denotasi pada pemaknaan tingkat kedua. Pada tahap ini, pohon beringin yang keramat akhirnya dianggap sebagai sebuah Mitos.

62

Perbedaan Barthes dengan Saussure selanjutnya adalah Barthes mengkaji lima kode dalam setiap tanda; kode heurmenetik (teka-teki), kode semik (makna konotatif), kode simbolik, kode proaretik (logika tindakan), kode gnomic atau kode cultural. Tujuan analisis Barthes ini adalah untuk menunjukkan bahwa tindakan yang paling masuk akal, rincian yang paling meyakinkan, atau teka-teki yang paling menarik, merupakan produk buatan dan bukan tiruan dari yang nyata (Lechte, 2001: 196 dalam Sobur, 2006). Sejumlah subyek yang pernah dibahas Barthes adalah iklan, buku panduan wisata, fashion, fotografi, tari telanjang, dan gulat. Tujuan utamanya adalah untuk mengupas secara kritis wilayah produk-produk dan praktik-praktik budaya yang dengan demikian melancarkan suatu kritik ideology terhadap apa yang disebut bahasa budaya massa dan menganalisis secara semiologis (Peter Pericles Trifonas diterjemahkan Sigit Djatmiko, 2003: 4). Dalam buku Mythologies, Barthes mencoba menggunakannya sebagai kritik idologi, berupaya mengungkap dilemma etis yang muncul karena mengabaikan mitos yang tidak terkaji sebagai substratum budaya dari apa yang dianggap alami dan nyata dalam kehidupan (Peter Pericles Trifonas diterjemahkan Sigit Djatmiko, 2003: 8). 4. Umberto Eco Stephen W. Littlejohn (1996) menyebut Umberto Eco sebagai ahli semiotikan yang menghasilkan salah satu teori mengenai tanda yang

63

paling komprehensif dan kontemporer. Menurut Littlejohn, teori Eco penting karena ia mengintegrasikan teori-teori semiotika sebelumnya dan membawa semiotika secara lebih mendalam (Sobur, 2006). Eco ingin memusatkan perhatian pada modifikasi sistem tanda. Eco kemudian mengubah konsep tanda menjadi konsep fungsi tanda. Eco menyimbulkan bahwa satu tanda bukanlah entitas semiotik yang dapat ditawar, melainkan suatu tempat pertemuan bagi unsur-unsur independen (yang berasal dari dua sistem berbeda dari dua tingkat yang berbeda yakni ungkapan dan isi, dan bertemu atas dasar hubungan pengkodean. Eco menggunakan kode-s untuk menunjukkan kode yang dipakai sesuai struktur bahasa. Tanpa kode, tanda-tanda suara atau grafis tidak memiliki arti apapun, dalam pengertian yang paling radikal tidak berfungsi secara linguistik. Kode-s bisa bersifat denotatif (bila suatu pernyataan bisa dipahami secara harfiah), atau konotatif (bila tampak kode lain dalam pernyataan yang sama). Penggunaan istilah ini hampir serupa dengan karya Saussure, namun Eco ingin memperkenalkan pemahaman tentang suatu kode-s yang lebih bersifat dinamis daripada yang ditemukan dalam teori Saussure, di samping itu sangat terkait dengan teori linguistik masa kini. Dari beberapa tokoh di atas, peneliti mengambil dari teori Roland Barthes, karena dirasa tepat untuk penelitian ini. Roland Barthes melihat bahwa tanda atau simbol yang diproduksi secara massal akan bisa berubah menjadi asumsi umum dan asumsi umum ini bisa menjadi sebuah

64

kebenaran. Menurut peneliti jika sebuah simbol Yahudi Israel yang di dalam penelitian ini mengambil contoh simbol Bintang David dan Evil Eye diproduksi secara massal maka akan bisa memunculkan asumsi umum dan makna awal dari simbol tersebut akan tertutup. Pada awalnya simbolsimbol tersebut hanya terdapat pada kuil-kuil tempat mereka memuja Tuhan. Tetapi dengan dalih seni maka simbol-simbol tersebut tersebar dengan tidak kita sadari, kitapun menggunakannya dan ikut bangga.

H.

Tinjauan Tentang Seni Design Karya Seni identik dengan suatu yang unik. Oleh karenanya seorang seniman dalam melahirkan karyanya selalu mencari bentuk, bentuk baru. Untuk itu diperlukan sesuatu yang unik. Ini berarti sesuatu yang belum pernah atau mungkin jarang dipakai oleh seniman lain pada karya-karya sebelumnya. Pengertian seni Design di bawah ini diambil dari situs (http://id.answers.yahoo.com) Menurut Suyanto desain grafis (seni gambar) didefinisikan sebagai aplikasi dari keterampilan seni dan komunikasi untuk kebutuhan bisnis dan industri. Aplikasi-aplikasi ini dapat meliputi periklanan dan penjualan produk, menciptakan identitas visual untuk institusi, produk dan perusahaan, dan lingkungan grafis, desain informasi, dan secara visual menyempurnakan pesan dalam publikasi. Menurut Danton Sihombing desain grafis mempekerjakan berbagai elemen seperti marka, simbol, uraian verbal yang divisualisasikan lewat tipografi dan gambar baik dengan teknik fotografi ataupun ilustrasi. Elemen-elemen tersebut diterapkan dalam dua fungsi, sebagai perangkat visual dan perangkat komunikasi. Menurut Michael Kroeger visual communication (komunikasi visual) adalah latihan teori dan konsep-konsep melalui terma-terma visual dengan menggunakan warna, bentuk, garis dan penjajaran (juxtaposition). Warren dalam Suyanto memaknai desain grafis sebagai suatu

65

terjemahan dari ide dan tempat ke dalam beberapa jenis urutan yang struktural dan visual. Sedangkan Blanchard mendefinisikan desain grafis sebagai suatu seni komunikatif yang berhubungan dengan industri, seni dan proses dalam menghasilkan gambaran visual pada segala permukaan. Sedangkan Jessica Helfand mendefinisikan desain grafis sebagai kombinasi kompleks kata-kata dan gambar, angka-angka dan grafik, foto-foto dan ilustrasi yang membutuhkan pemikiran khusus dari seorang individu yang bisa menggabungkan elemen-eleman ini, sehingga mereka dapat menghasilkan sesuatu yang khusus, sangat berguna, mengejutkan atau subversif atau sesuatu yang mudah diingat (http://www.aiga.com). Desain Grafis juga merupakan ilmu yang mempelajari tentang media untuk menyampaikan informasi, ide, konsep, ajakan dan sebagainya kepada khalayak dengan menggunakan bahasa visual. Baik itu berupa tulisan, foto, ilustrasi dan lain sebagainya. Desain grafis adalah solusi komunikasi yang menjembatani antara pemberi informasi dengan publik, baik secara perseorangan, kelompok, lembaga maupun masyarakat secara luas yang diwujudkan dalam bentuk komunikasi visual. Sebagaimana layaknya informasi yang disampaikan menggunakan bahasa lisan (suara) yang dapat disampaikan secara tegas, ceria, keras, lembut, penuh gurauan, formal, dan sebagainya dengan menggunakan gaya bahasa dan volume suara yang sesuai, desain grafis juga dapat melakukan hal serupa. Kita dapat merasakan sendiri setelah membaca sebuah berita (tulisan), melihat foto atau ilustrasi, melihat permainan warna dan bentuk dari sebuah karya design yang berbentuk publikasi cetak, nuansa yang ditimbulkannya.

66

Sedangkan untuk dapat memahami seni design fotografi menurut Barthes dalam (Sunardi, ST: 2002) maka dapat dijelaskan sebagai berikut: 1. Ciri-ciri Linguistik dalam Gambar Berita dan Iklan
a.

dan

Hakikat

Sistem

Pesan langsung dan pesan interpretatif. Kalau kita melihat gambar atau foto, kita dapat membedakan dua gejala tanda yang tidak dapat dipisahkan, yaitu: foto secara keseluruhan dan isi foto yang terdiri dari berbagai unsur di dalamnya.

b. Paradoks. Dengan menyebut pesan literer sebagai pesan tanpa kode,

Barthes sebenarnya menciptakan istilah yang berkontradiksi dengan formula dasar sistem semiotik yang selalu mengandaikan tiga unsur: sign, signifier, dan signified atau message, expression, dan content. Mengatakan bahwa ada pesan tanpa kode berarti sama saja mengatakan ada pesan tanda content, atau tanda tanpa signified.
c.

Foto seni dan lukisan. Pada prinsipnya, Barthes berpendapat bahwa pengalaman paradoks dan real unreality juga dapat ditemukan disana. Memang harus diakui bahwa aspek simbolik lebih kuat daripada aspek literer. Akan tetapi, foto seni dan lukisan tidak pernah dapat menghilangkan karakteristik pesan literer sebagai pesan tanpa kode.

2. Hakikatnya

Kode dalam Foto: Ciri-ciri dan

67

a.

Gambar sebagai bahasa. Kalau gambar dapat memberikan makna konotasi, gambar itu harus mempunyai denotasi. Akan tetapi, seperti sudah kita lihat, denotasi gambar adalah analogon, semacam replika langsung dari signified atau apa yang digambarkan. Jadi, kita tidak mempunyai ruang untuk menafsirkannya.

b.

Foto dalam sistem konotasi media cetak. Barthes percaya bahwa surat kabar (juga periklanan) menciptakan autonomous signifying system baru yang sebelumnya tidak ada. Untuk itu kita harus meneliti tanpa harus melakukan hipotesis-hipotesis.

c.

Kode dalam foto. Tanda-tanda dalam foto dipisahkan dari foto secara keseluruhan pengalaman melihat foto secara keseluruhan berupa: itu memang pernah terjadi (it happened). Dalam melihat foto, pengalaman itu belun ada isinya. Apa isi dari itu? Apa yang membuat saya tertarik pada suatu gambar? Pertanyaan ini mengantar kita untuk memeriksa secara rinci berbagai unsur yang mewujudkan foto tersebut seperti bentuk, gerak-gerik, warna, lighting, dan sebagainya.

3. Logo-teknis
a.

Menulis

dengan

Bahasa

Foto:

Menulis dengan bahasa gambar. Dengan memperhatikan ciri-ciri dan hakikat bahasa foto sebagaimana dilukiskan di atas, apa artinya menulis dengan bahasa foto? Sejauh ini menulis diartikan sebagai

68

kegiatan untuk menghasilkan signifier dan signifeid pada sistem tanda tingkat pertama. Kalau tulisan seseorang yang jelek entah tulisan tangan atau dengan komputer, maka tak akan terpahami. Karena apa yang akan dihasilkan dalam menulis dengan bahasa gambar adalah analogon, menulis dengan bahasa foto berarti sebuah kegiatan intervensi pada tingkat kode, artinya: tidak pada level denotatif. Oleh karena itu Barthes menggunakan istilah prosedur denotatif. Menulis tidak terjadi dalam sebuah camera obscura melainkan dalam camera lucida.
b.

Teknik menulis dengan bahasa gambar. Dalam The Photographic Masage Barthes menyebut enam prosedur atau kemungkinan untuk mempengaruhi gambar sebagai analogon. Keenam langkah tersebut dapat dipandang sebagai kegiatan menulis karena pada hakikatnya lewat prosedur tersebut seorang fotografer dapat menentukan berbagai unsur tanda, hubungan, dan lain-lain yang menjadi pertimbangan utama ketika orang membaca bahasa gambar tersebut.

c.

Pose. Cara kedua ialah melalui gaya atau posisi (pose). Dalam mengambil foto berita seseorang, seorang wartawan foto akan memilih posisi objek yang sedang diambil. Dalam perkembangan pemikiran Barthes tentang fotografi, konsep pose menduduki posisi amat penting.

d.

Memilih objek. pesan konotatif juga dapat dilakukan lewat pemilihan objek-objek di sekitarnya. Objek-objek ini ibarat perbendaharaan

69

kata yang siap dimasukkan ke dalam sebuah kalimat. Dari sisi ini, pemilihan objek dapat membantu menciptakan imajinasi sintagmatik. Dari sisi lain, objek juga dapat dipakai untuk membangun imajinasi paradigmatik sejauh aspek yang ditonjolkan dari objek tersebut adalah kekuatan untuk menunjuk objek lain. Kegiatan ini biasa dilakukan oleh periklanan. Bahasa iklan merupakan sebuah komunikasi yang agresif. Komunikasi promosional harus bisa memaksa (baik secara halus atau langsung) pembaca untuk mengubah perilaku, gaya hidup, dan akhirnya menjadi konsumen setia.

4.
a.

Membaca Foto Kebiasaan melihat foto. Di hadapan sebuah foto, kata Barthes dalam Camera Lucida, dia sering merasa sebagai orang yang terpenjara oleh kekuatannya yang dahsyat. Paling tidak itu pengalaman Barthes dalam merefleksikan koleksi fotonya yang ia anggap bisa mengguncang batinnya. Dalam praktiknya, khususnya berhadapan dengan foto berita atau foto iklan, pengalaman semacam itu kiranya jarang kita temukan. Sebaliknya, yang terjadi adalah bahwa kita melihat foto dua atau tiga detik, kemudian kita membaca artikel berita yang bersangkutan, atau, dalam hal iklan, kita ingin tahu foto itu dipakai untuk iklan produk apa.

b.

Membaca. Sekarang kita sampai pada persoalan yang paling rumit dan tidak menarik, yaitu membaca foto. Foto terlalu kuat untuk dibaca,

70

karena dengan membaca kita harus melakukan tawar-menawar dengan foto. Semakin kita mengamati foto, semakin kita terperangkap oleh pesonanya. Barthes bahkan mengakui bahwa sudah terlalu banyak karya dan teori yang menjadi korban dari kedahsyatan foto. Foto tidak memberikan ruang bagi kita untuk berbeda pendapat.
c.

Semiotika positiva: tahap-tahap membaca foto. Dalam The Photographic Message Barthes mengajukan tiga tahap dalam membaca foto: perspektif, kognitif, dan etis-ideologis. Tahap perseptif terjadi ketika seseorang mencoba melakukan transformasi gambar ke kategori verbal; jadi semacam verbalisasi gambar.

d.

Foto iklan. Dalam foto iklan, gejala studium kita alami saat kita bersedia barang sejenak memperhatikan foto suatu iklan. Kita uji untuk berkomunikasi dengan lembaga iklan tentang kebutuhankebutuhan yang sudah diteliti dengan seksama dan diungkapkan sebagus mungkin lewat logo-teknik. Kita mengaplikasikan kode-kode yang kita miliki untuk mengurai pesan foto iklan.

e.

Animasi. Dari punctum yang menimbulkan rasa mourning itu kita mengawali perjalanan kita. Kali ini foto mendatangi kita adveniens. Foto menyorot ke arah kita dan itu membuat kita mendatangi foto. Bukan hanya saya memandang foto melainkan foto memandang saya. Tiba-tiba foto menjadi hidup. Terjadi animasi: foto mempunyai jiwa, anima.

71

f.

Desire. Foto tidak hanya memberikan amusement melainkan juga menimbulkan dorongan kuat (desire) untuk menemukan keapaan foto itu. di hadapan foto, kita masih percaya bahwa foto bukan hanya menyangkut hal-hal yang sudah terjadi. Lewat punctum, kita menemukan tempat yagn pas untuk desire kita; foto lalu menyediakan kairos of my desire. Ini penyucian desire.

5. Media
a.

Realisme Fotografis dalam Budaya

Foto dalam budaya media. Dengan istilah budaya media dimaksudkan budaya yang lahir dan berkembang lewat media massa atau teknologi informasi baru (new technology of information) atau media baru (new media). Kini juga dipakai istilah budaya media baru (new media culture). Dalam uraian di atas kita melihat fungsi unik dari foto sebagai salah satu bentuk representasi fungsi yang tidak dimiliki oleh bentuk-bentuk lain seperti tulisan dan film (sekalipun film mengambil bahan dasarnya dari foto).

b.

Domestikasi kekuatan foto. Kehadiran foto dalam media dipandang Barthes sebagai bentuk domestikasi atau penjinakan kekuatan gila dari foto. Photography is dangerous kata Barthes. Oleh karena itu foto harus dijinakkan. Bukankah kita dapat mengatakan sebaliknya? Foto mempunyai kekuatan luar biasa (gila) maka foto dipakai oleh media? Jinaknya foto bukanlah merupakan tujuan dari pemakaian foto

72

dalam media, melainkan akibat (yang sebenarnya tidak dikehendaki oleh media).
c.

Iklan dan stereotipe. Gejala stereotipisasi yang menjinakkan foto paling jelas kita temukan dalam foto iklan, karena tujuan iklan adalah menciptakan stereotipe. Pilihan foto dan cara mengombinasikannya dengan teks merupakan sebuah seni tersendiri sehingga bisa menghasilkan stereotipe secepatnya dan seluas-luasnya serta bertahan selama mungkin.

d.

Budaya iklan. Hakikat dan corak komunikasi promosional ini menempatkan iklan sebagai budaya. Iklan mempunyai syarat memadai untuk menjadi budaya. Karena kepentingan iklan adalah konsumsi, budaya yang dihasilkan dapat kita sebut budaya konsumsi atau budaya promosional.

I.

Kerangka berfikir Saat komunikator berkomunikasi dengan komunikan, komunikator mengharapkan komunikan dapat memahami isi pesannya. Pesan ini menstimuli komunikan untuk membentuk makna bagi dirinya sendiri, sehubungan dengan makna yang diturunkan komunikator dalam pesannya. Simbol-simbol yang dirasa mirip dengan simbol Yahudi Israel Bintang David dan Evil Eye dalam media entertainment pada dasarnya merupakan karya manusia yang bersifat non naratif dengan pretense ada maksud atau tujuantujuan tertentu dari pembuatnya.

73

Simbol-simbol dapat dikategorikan sebagai bentuk perilaku yang nyata dari individu, yang dibangun oleh para creator-nya. Simbol didefinisikan dalam penelitian ini, mempunyai makna yang dalam. Ferdinand de Saussure mengajarkan tentang bagaimana simbol berasosiasi dengan semua jenis kejadian, pengalaman-pengalaman yang sebagian besar mempunyai pengaruh emosional bagi orang lain. Jika komunikan sudah mampu memahami simbol yang dibuat tersebut berarti tujuan creator atau komunikator sudah berhasil, paling tidak sudah berhasil mempengaruhi pikiran bahwa simbol Yahudi Israel seperti Bintang David dan Evil Eye (mata satu/mata iblis) dan lain sebagainya itu dimaklumi dengan dalih seni. Jadi Sang creator membuat masyarakat untuk mendukung penggunaan simbol tersebut yang sudah jelas-jelas menjadi musuh orang Islam. Karena ada perbedaan antara denotasi dan konotasi secara umum dengan pengertian Barthes maka kerangka berfikir Barthes dapat dijelaskan sebagai berikut: proses signifikasi tradisional disebut sebagai denotasi, ini biasanya mengacu pada arti sesuatu yang sesuai dengan apa yang terucap. Sedangkan menurut Roland Barthes denotasi merupakan signifikasi tingkat pertama, lalu dilanjutkan dengan signifikasi kedua yaitu konotasi. Menurutnya sesuatu tanda tidak bisa dimaknai secara denotatif saja melainkan ada makna konotasi yang sebenarnya adalah makna sesungguhnya yang tertutup oleh keharfiahan makna denotasi. Selanjutnya menurutnya konotasi identik dengan operasi ideologi, yang disebutnya sebagi mitos.

74

Mitos berfungsi untuk mengungkapkan dan memberikan pembenaran bagi nilai-nilai dominan yang berlaku dalam periode tertentu (Budiman, 2001: 28 dalam Sobur, 2006). Dia menjelaskan bahwa mitos adalah ideologi yang ditanam secara ideal, walaupun berbeda dengan realitasnya. Ideologi ada selama kebudayaan ada, maka dari itu Barthes berbicara tentang konotasi sebagai ekspresi budaya, seperti simbol, tanda, gambar, dan bentuk-bentuk budaya lainnya yang dapat dilihat seperti sekarang.

Anda mungkin juga menyukai