Anda di halaman 1dari 5

Keadilan Transisional

A. Resume Masyarakat di seluruh dunia sedang berupaya untuk memutuskan kaitan antara pemerintahan otoriter dimasa lalu dan kini mulai, sedang membangun demokrasi, sebagai suatu perubahan yang radikal. Perubahan radikal tersebut, memunculkan suatu pertanyaan yang mendasar, yakni haruskah masyarakat menghukum masa lalunya, ataukah membiarkan kaitan dengan masa lalu (bygones) tetap eksis?, atau bagaimanakah masyarakat memperlakukan kejahatan-kejahatan yang terjadi masa lalu?. Dan jawaban atas pertanyaan ini berada pada pelaksanaan konsepsi keadilan transisional (trasitional justice) dengan pendekatan interdisipliner. Ada negara yang telah tumbuh dan melepaskan diri dari kediktatoran pembunuh, dan strategi keluar mereka telah tumbuh dengan cara yang berbeda antara satu dengan lainnya berdasarkan latar belakang sejarah mereka masing-masing. Negara Jerman Barat, setelah mengalami suatu kebrutalan dan ujian diri yang berkepanjangan, kemudian muncul dengan sebuah model demokrasi. Bangsa Rusia memulai dengan suatu langkah yang menyedihkan untuk membawa komunisme ke pengadilan, namun belum begitu berhasil. Negara Afrika Selatan membuat suatu langkah mulia untuk membebaskan mereka dari roh jahat melalui pembentukan Komisi Kebenaran dan rekonsiliasi. Dan di Rwanda, dimana sejumlah orang yang sedang menunggu diadili. Beberapa bangsa lainnya telah bereaksi terhadap masa lalunya yang kacau dengan cara menutup mata mereka secara kolektif. Bangsa Austria misalnya telah lama menggambarkan dirinya sebagai korban pertama dari Nazisme. Bangsa Spanyol, disisi lain, mulai bergerak setelah Fanco meninggal dunia. Dan di Uruguay, rakyat memberikan suaranya dalam suatu referendum untuk tidak menyelidiki pemerintahan militer yang penuh kekerasan yang berakhir pada tahun 1985. Beberapa negara lainnya telah mendapati kesulitan untuk memelihara amnesia historisnya di hadapan korban-korban yang terus menerus berjatuhan, seperti bangsa Jepang dengan perlakuannya terhadap Cina dan Korea selama masa perang, atau bangsa Turki dengan pembunuhan massal terhadap orang-orang Armenia. Keadilan trasisional, menurut pengamatan Daan Bronkhorst berkaitan erat dengan tiga suku kata yaitu kata Kebenaran, dan kata Rekonsiliasi, serta kata Keadilan. Kata kebenaran mengandung makna bahwa suatu negara harus menjelaskan dan mempertanggungjawabkan tindakan-tindakan di masa lampau baik yang dilakukan oleh pemerintahan saat ini maupun yang, lebih sering, dilakukan oleh rezim sebelumnya, misalnya siapakah yang menjadi korban-korban dan pelaku-pelaku kejahatan tersebut? dan bagaimanakah sifat dan tingkat represi yang terjadi?. Sedangkan kata rekonsiliasi didasari adanya kesadaran bahwa setiap masyarakat yang menjadi korban tindakan represif di dan harus dipulihkan dari pengalaman masa lampaunya, dan mencapai suatu kesepakatan mengenai syarat-syarat penyelesaian substansial dari konflik dan kekacauan tersebut. Sementara itu kata keadilan dengan kosa kata keadilan retributif, keadilan historis, dimana peran dan prioritas yang diberikan keadilan dalam masa transisi berbeda antarasatu bangsa dengan bangsa lainnya. Kata keadilan lebih banyak menimbulkan perdebatan dibandingkan dengan dua konsep lainnyakebenaran dan rekonsiliasi yang

telah diinstitusionalkan, misalnya Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (Truth and Reconciliation Commission). Para pelaku kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes against humanity), kejahatan terhadap perdamaian (crimes against peace), kejahatan perang (war crimes), dan kejahatan genosida (genocide) serta konspirasi untuk berperang agresi (consipiracy to wage of aggression), berdasarkan Statuta Roma tentang Mahkamah Pidana Internasional (Rome Statute of the International Criminal Court), diperiksa dan diadili serta diputuskan oleh Mahkamah Pidana Internasional (the International Criminal Court (ICC). Refleksi Philippe C. Schimitter mengenai consolidology, tercermin dalam tujuh hal yakni pertama, tanpa kekerasan atau penghilangan fisik dari para pemain utama dari otokrasi sebelumnya, kedua, tanpa banyak mobilisasi massa yang membawa kejatuhan dari ancien regime dan penentuan waktu dari transaksi, ketiga, tanpa mendapatkan suatu tingkat yang tinggi dari pembangunan ekonomi, keempat, tanpa menyebabkan suatu distribusi kembali dari pendapatan yang substansial atau kekayaan, kelima, tanpa kehadiran sebelumnya dari para borjuis nasional, keenam, tanpa budaya kewarganegaraan, ketujuh, tanpa (banyak) demokrasi. Hukum internasional akan menjadi dasar dari interpretasi yudisial tentang kebijakankebijakan penghukuman, karena norma-norma ini dianggap melampaui hukum yang dipolitikkan oleh rezim sebelumnya. Prinsip-prinsip hukum internasional berperan untuk merekonsiliasikan dilema ambang (the threshold dilemma) dari hukum dalam periode transformasi politik. Faktor-faktor yang mempengaruhi dan paling menentukan arah dari keadilan pasca otoritarian, ialah faktor keseimbangan di antara kekuatan-kekuatan dari masa lampau dan para elit penggantinya pada masa transisi, sebagaimana terlihat adanya perbedaan di antara Belgia, Perancis, Belanda, di satu sisi, dan Cekoslovakia, Hongaria, dan Polandia disisi lain. Mengenai hubungan hukum dan keadilan dengan liberalisasi yaitu hukum harus menunjang pembangunan demokrasi, terdapat 2 (dua) pandangan yang saling berhadapan, yakni pandangan kelompok realis versus kelompok idealis, yang pada pokoknya mempertanyakan apakah perubahan politik dianggap penting untuk mendahului penegakan aturan-aturan hukum, atau sebaliknya, beberapa langkah hukum justru harus dilakukan mendahului perubahan politik. Sehingga hukum dipahami sebagai suatu fenomena yang terletak di antara masa lalu dan masa yang akan datang, antara pandangan ke masa lalu (backward looking) dan pandangan ke masa yang akan datang (forward looking), antara retrospektif dan prospektif, antara individual dan kolektif. Dalam masa pergolakan politik yang luar biasa, hukum berfungsi menjaga ketertiban di samping ia juga memungkinkan transformasi, karena pada masa transisi institusi-institusi dan predikat-predikat mengenai hukum pada umumnya tidak berlaku. Bagi kalangan realis politik penyeimbangan kekuasaan hukum merupakan suatu produk dari perubahan politik, karena ada kecendrungan bahwa suatu rezim akan melakukan apa yang dapat mereka lakukan. Oleh karenanya hubungan antara keadilan politik dan demokrasi merupakan sesuatu yang kompleks. Dimana rezim pengganti yang bersifat nondemokratis, mengimplementasikan suatu kebijakan-kebijakan keadilan yang lebih komprehensif, karena adanya pluralisme yang bersifat terbatas dan non existent terhadap proses hukum. Sedangkan apabila rezim-rezim pengganti yang demokratis, harus

menyeimbangkan tujuan keseluruhan kebijakan kebenaran dan keadilan yang bersifat luas, dengan suatu respek terhadap pluralisme dan aturan hukum, dengan pilihan melupakan (forgetting) atau memberikan maaf (forgiveness). Sehingga ditinjau dari due process, dalam suatu negara demokratis tidak boleh terdapat pembersihanpembersihan yang bersifat indiskriminasi, pengadilan-pengadilan massa yang mengasumsikan kesalahankolektif, yang mungkin adil, namun akan melemahkan atau mengabaikan aturan hukum. Masa pascaperang di Belgia, Denmark, Perancis, Belanda, dan Norwegia menginstitusikan kebijakan-kebijakan untuk pembersihan-pembersihan yang bersifat keras dan luas, eksekusi-eksekusi yang bersifat ekstra yudisial, prosesproses pengadilan oleh pengadilan-pengadilan pidana, eksekusi-eksekusi pejabat, dan pemenjaraan massa, yang adakalanya lebih dihargai, daripada penghormatan kepada aturan hukum. Standar dari kesalahan kolektif diterima dan terdapat suatu ketidakaturan prosedural ketika pengadilan di bawah tekanan besar untuk menghukum masyarakat. Keadilan retroaktif diterapkan sebagai sesuatu yang melanggar asas noela poena sine lege (no punishment without law). Menurut Teitel , dalam suatu periode transformasi politik ke sistem rule of law, masalah legalitas dan legitimasi dari suatu rezim baru, akan bergantung kepada kondisi dan peranan dari transitional judiciary (pengadilan transisional) secara institusional dengan menerapkan prinsip ajudikasi, peranan mana seyogyanya dilaksanakan oleh parlemen akan cenderung berpindah ke pengadilan terutama pada mahkamah konstitusi. Dalam perspektif kelompok positivis, prinsip-prinsip aturan hukum yang mengatur putusan-putusan dalam masa transisi harus tetap diproses dengan tetap memberlakukan sepenuhnya hukum tertulis yang bersangkutan. B. Tanggapan Secara keseluruhan pokok kajian dalam bab III tersebut berusaha memetakan mengenai usaha mencari dan memperoleh keadilan sebagai akibat dan setelah adanya transformasi politik dari otoriter yang cenderung di dalamnya terjadi pelanggaran HAM berat atau kejahatan kemanusiaan (humanity crimes against) menuju demokratis, yang terjadi dan dialami oleh beberapa negara-negara di dunia ini. Dalam keadaan tertentu seperti itu, dirasakan hukum tidak memberikan keadilan, terlebih lagi keadilan substantif. Penguasa otoriter bertindak mengabaikan atau tidak memperhatikan kepentingan masyarakat yang dipimpinnya, serta mengingkari legitimasi mereka, atau singkatnya dapat dikatakan Pemerintahan telah bersifat represif dalam segala bentuknya. Salah satu ciri penting dari sistem yang otoriter adalah seseorang baik individu, pemimpin atau organisasi bersenjata, polisi maupun partai atau birokrasi termasuk orangorang yang berdekatan dengan kelompok atau individu tersebutmempunyai kemampuan yang efektif untuk mencegah hasil politik yang dapat merugikan kepentingan kelompoknya. Oleh karenanya dibutuhkan liberalisasi sebagai pembuka yang terkontrol dari ruang politik yang berproses menjadi kesatuan pada kesesuaian dari hasil politik dengan kepentingan kekuatan otoriter aparat. Walaupun liberalisasi tidak sama dengan demokrasi , sehingga dibutuhkan suatu keadaan atau masa transisi. Dimana agar suatu transisi menuju demokrasi dapat tercapai, diperlukan dipenuhinya setidaknya 2 (dua) keadaan, yakni (1) otoriter yang telah berkuasa lama, dibongkar, dan (2) kekuatan politik baru bertindak membentuk institusi-institusi demokrasi sebagai kerangka kerja

dalam rangka mencapai tujuan merealisasikan kepentingan bersama. Salah satu indikator untuk menilai atau menentukan, apakah suatu negara demokratis yang berdasarkan hukum (constitutional democracy) atau tidak demokratis, adalah dengan cara memeriksa konstitusi negara yang bersangkutan , apabila di dalamnya telah ada diatur pembatasan tugas penguasa dan jaminan kebebasan (guarantees of freedom) . Persepsi dan penegakan perlindungan HAM senantiasa dari masa ke masa mengalami dinamika tertentu sesuai dengan perkembangan politik nasional, regional dan internasional. Sejarah perkembangan HAM menurut Karel Vasak , terbagi dalam tiga generasi HAM yang berkaitan erat dengan prinsip-prinsip revolusi Perancis, kebebasan (liberte), (2) persamaan (egalite), dan persaudaraan (fraternite). Pemerintahan transisi, dapat mengadopsi konsepsi keadilan transisi (transitional justice), dengan menempuh jalur hukum dengan pembentukan pengadilan HAM ad hoc, dalam rangka memutus mata rantai impunitas, dan menemukan kebenaran, keadilan dan rekonsiliasi antara pelaku dan korbannya, atau mendirikan KKR (the truth and Reconciliasi Commission) . Penyelesaian pelanggaran atau kejahatan HAM berat melalui jalur peradilan internasional dapat ditempuh melalui pembentukan pengadilan ad hoc misalnya Tribunal, Pengadilan ad hoc HAM maupun pengadilan Pidana yang permanen, misalnya Mahkamah Pidana Internasional (International Criminal Court) . Menurut Priscillia B.Hayner, KKR antara satu negara dengan negara lainnya dalam rangka transisi berbeda-beda dan tidak baku, akan tetapi setidaknya lima komisi kebenaran yang cenderung dijadikan acuan dalam pembentukan KKR di negara yang sedang dalam transisi politik, yaitu KKR di Negara Argentina, Cili, El Salvador, Afrika Selatan dan Guetamala . Di Chile, Pemerintahan baru yang demokratik mempunyai kewajiban moral untuk melakukan pencegahan, kompensasi terhadap korban pelanggaran HAM berat (gross violations of human rights) yang berlangsung selama dan dilakukan oleh rezim diktator militer dibawah kepemimpinan Augusto Pinochet, maupun pencarian kebenaran dalam rangka rekonsiliasi antara korban dan pelaku pelanggaran HAM berat yang bersangkutan . Untuk itulah Pemerintahan membentuk KKR. Selanjutnya Chile juga melakukan konsolidasi demokrasi yang berdasar hukum, dengan pemberdayaan lembaga peradilan dan legislatif serta kontrol terhadap eksekutif, guna terjadinya pengulangan rezim otoriter. Serta perbaikan dan perubahan konstitusi melalui amandemen (amandment) dengan penambahan pasal-pasal baru, dalam salah satu pasalnya dicantumkan mediasi sebagai salah satu penyelesaian konflik . Dalam kondisi normal, dalam artian tidak terjadi pemberontakan dan atau peperangan ataupun kontak senjata, serta pelanggaran HAM berat, dan manakala proses demokrasi di negara yang bersangkutan sudah dan sedang berjalan dengan baik, warga negara mempunyai hak konstitusional (constitutional rights) untuk mengontrol tindakan pemerintah. Misalnya, warga negara yang merasa HAMnya dilanggar atau dirugikan dengan adanya kebijakan atau tindakan pemerintah (public policy) yang dirumuskan dalam bentuk peraturan perundang-undangan yang bertentangan dengan Undang-undang dasar, maka warga baik secara sendiri-sendiri atau bersama-sama mempunyai hak melakukan hak uji oleh Pengadilan (judicial review) atas peraturan yang dimaksud tersebut atau upaya hukum lainnya menggugat melalui peradilan administrasi negara maupun peradilan umum.

Anda mungkin juga menyukai