Anda di halaman 1dari 7

MAKALAH

MANAJEMEN SUMBER DAYA ALAM DAN LINGKUNGAN

MEMBANGUN SDA HUTAN DI KALIMANTAN TIMUR SECARA IDEAL

PENDAHULUAN

Kalimantan Timur dengan luas 245.237 km2, merupakan salah satu propinsi terkaya di Indonesia yang menjadi tumpuhan pembangunan nasional sampai sekarang. Kekayaan Kaltim dapat dilihat dari sumber daya mineral dan energi dimiliki seperti: cadangan minyak sebesar 1,17 juta MMSTB, Gas bumi 48.680 BSCF, Batubara 6,45 milyar ton dan emas 60,50 juta ton. Untuk sumber daya hutan, Kaltim mempunyai 14,67 juta ha, meliputi kawasan hutan lindung, hutan produksi dan hutan konservasi serta hutan tropika basah terbesar setelah Brazil. Untuk kawasan budidaya non kehutanan seluas 5,24 juta ha, berupa perkebunan seluas 4,7 juta ha, (4,09 juta ha untuk kelapa sawit dan 0,61 juta ha untuk komoditas perkebunan lain. Potensi perairan meliputi perairan laut seluas 98 ribu km2 dan potensi perairan umum seluas 2,28 juta ha, dengan hasil perikanan rata-rata 350 ribu ton pertahun. Data di atas saya sajikan, sebagai bahan renungan dan mencoba untuk menkontruksikan betapa potensi kekayaan SDA Kaltim begitu besar. Pertanyaannya kemudian kenapa masyarakat Kaltim masih miskin? Apa yang salah dengan pengelolaan SDA selama ini?. Ini hal-hal yang menarik untuk ditelusuri, siapa yang sebenarnya menikmati kue SDA Kaltim. Dilihat dari sejarah, migas Kaltim sudah di ekspoitasi lebih dulu pada zaman Belanda. Orde baru membabat habis hutan diseluruh wilayah Kaltim. Sekarang berlomba-lomba mengeksploitasi batubara. Ada seribu lebih ijin kuasa pertambangan yang dikeluarkan Pemerintah daerah dan PKP2P dari pemerintah pusat. Berapa yang di dapat daerah sebenarnya dari SDA, seperti berupa tambang batubara di Katim . Dalam pasal 14 UU No.33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, yakni penerimaan pertambangan umum yang 20% untuk Pemerintah dan 80% untuk Daerah. Kemudian jika kita lihat pasal 18 (1) PP No.55 Tahun 2005 tentang Dana Perimbangan, yakni Dana bagi hasil (DBH) pertambangan umum sebesar 80% dibagi a) 16% untuk propinsi yang bersangkutan; b) 64% untuk kabupaten/kota penghasil. Pasal 18 ayat (2) Dana Bagi Hasil (DBH), pertambangan umum sebesar 80% dibagi dengan rincian : a) 16% untuk propinsi yang bersangkutan; b) 32 untuk kabupaten/kota penghasil; dan c) 32 untuk kabupaten/kota lainnya dalam propinsi yang bersangkutan.

Dengan demikian, kalau dilogikakan, sebenarnya sedikit kita mendapatkan keuntungan dari SDA tambang batubara dari pada nilai lingkungan yang akan rusak akibat tambang. Dengan membandingan potensi SDA , dan jumlah perdapatan yang diperoleh Pemerintah daerah. Seharusnya sudah ada pemikiran yang kongrit untuk usaha meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Dengan suatu proses mentrasformasi SDA, dalam pengelolaannya, diharapkan akan menjadikan SDA sebagai sumber kesejahteraan bersama untuk masyarakat Kaltim. Ini bukan hal yang mudah untuk dilakukan, Menurut Birdsall dan Subramaniam (2004), mengusulkan 3 (tiga) alternatif pengelolaan SDA, yakni privatisasi perusahaan minyak bumi ( dan SDA lainnya), menghimpun dana khusus dari hasil pengelolaan perjualan minyak untuk membatasi kebebasan pemerintah dalam fungsi pembelanjaan, serta membuat mekanisme distribusi/alokasi hasil minyak bumi langsung kepada masyarakat. Ini konsep pemikiran yang masih terlalu makro dan sumir, meskipun tetap bisa dijadikan bahan pertimbangan untuk melakukan perubahan dalam pengelolaan SDA di Kaltim. Proses mentransformasi SDA, ini dibutuhkan aspek teknologi, aspek menejemen, dan adanya itikad dan komitmen para pelaku dalam pengelolaan SDA. Untuk proses teknologi, dalam pengelolaan SDA, misalnya pada tahap eksplorasi dan eksploitasi SDA, membutuhkan teknologi tidak hanya bersifat eksploratif dan eksploitatif, namun harus menjaga daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup . Aspek manejemen adanya perencanaan, pengawasan yang ketat dalam pengelolaan SDA, jangan ijin diobral dan dijadikan ajang korupsi berjamaah, sehingga menimbulkan ekonomi biaya tinggi. Orintasi jangka pendek atau berpikir sesaat terhadap SDA yang kita punyai, baik pemerintah yang pegang kekuasaan maupun pengusaha. Perubahan dalam memandang pengelolaan SDA untuk kemanfaatan secara merata dan jangka panjang untuk kesejahteraan rakyat . Kemauan, dan ada itikad baik, ditunjukan dengan perbuatan yang nyata, dengan membabat habis praktek-praktek curang dalam usaha, ijin yang tidak sesuai dengan peruntukan, dan pengawasan. Kesejahteraan rakyat Kaltim itu yang lebih diutamakan dalam pengelolaan SDA. Membangun kesejahteraan membutuhkan waktu yang panjang, sementara SDA seperti tambang berumur pendek, itu sebabnya kedepan dalam proses tranformasi pengelolaan SDA harus sudah dimulai membangun pola pikir masyarakat untuk tidak tergantung oleh SDA dan menciptakan sumber-sumber baru yang inovatif. Ada perubahan terhadap UU No.33 Tahun 2004 dan Peraturan Pemerintahnya.

Berikan Waktu Untuk Hutan Kaltim Beristirahat Sejenak


Dikirim pada 16 September 2004 oleh Ade Fadli Kalimantan Timur dengan luas daratan 21 juta hektar memiliki kawasan hutan seluas 14,65 juta hektar, dimana hampir seluas sebagian besarnya merupakan hutan produksi yang dikelola oleh pengusaha hutan dan sekitar 1,2 juta hektar merupakan hutan tanaman indu stri yang realisasi penanamannya masih dibawah 20%. Luasan hutan yang sekarang dikuasai oleh pengusaha tersebut masih belum termasuk dalam kawasan hutan yang dikelola oleh pengusaha yang memperoleh ijin dari Pemerintah Kabupaten. Bila melihat pada UU No. 41 tahun 1999, maka secara jelas tertuliskan bahwa penyelenggaraan kehutanan bertujuan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat yang berkeadilan dan berkelanjutan dengan: (1) menjamin keberadaan hutan dengan luasan yang cukup dan sebaran yang proporsional; (2) mengoptimalkan aneka fungsi hutan yang meliputi fungsi konservasi, fungsi lindung, dan fungsi produksi untuk mencapai manfaat lingkungan, sosial, budaya, dan ekonomi, yang seimbang dan lestari; (3) meningkatkan daya dukung daerah aliran sungai; (4) meningkatkan kemampuan untuk mengembangkan kapasitas dan keberdayaan masyarakat secara partisipatif, berkeadilan, dan berwawasan lingkungan sehingga mampu menciptakan ketahanan sosial dan ekonomi serta ketahanan terhadap akibat perubahan eksternal; dan (5) menjamin distribusi manfaat yang berkeadilan dan berkelanjutan. Lebih lanjut bila melihat dalam PP No. 34 tahun 2002 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, Pemanfaatan Hutan dan Penggunaan Kawasan Hutan yang hingga saat ini masih digugat kalangan Ornop di Jakarta, bahwa pemanfaatan hutan adalah bentuk kegiatan pemanfaatan kawasan hutan, pemanfaatan jasa lingkungan, pemanfaatan hasil hutan kayu dan bukan kayu serta pemungutan hasil hutan kayu dan bukan kayu, secara optimal, berkeadilan untuk kesejahteraan masyarakat dengan tetap menjaga kelestariannya. Sangat ironis bila membaca pernyataan Kepala Dinas Kehutanan Kalimantan Timur pada sebuah surat kabar harian di Kaltim, bahwa hanya satu perusahaan dari 54 perusahaan pemegang Hak Pengusahaan Hutan (HPH) yang masih aktif di Kaltim yang produknya memenuhi kriteria ekolabel ataupun memenuhi syarat lingkungan. Pembelaan terhadap perusahaan yang jelas-jelas telah tidak melaksanakan pengusahaan secara lestari ini sangat jelas diungkapkan dimana dinyatakan ?Meski demikian, syarat lingkungan ini agaknya belum dijalankan secara ketat. Buktinya, pasar internasional sejauh ini masih terus menerima produk-produk dari Kaltim??. Hal ini menunjukkan sebuah kondisi dimana kelestarian dan

keberlanjutan pengelola hutan masih bergantung pada konsumen dan belum menjadi keinginan pengelola hutan. Sebuah pengetahuan sederhana yang telah diajarkan oleh seorang Kepala Dinas Kehutanan yang tentunya merupakan pengelola hutan Kaltim agar tidak semakin rusak, dimana juga menyatakan bahwa ?Tidak dipenuhinya syarat pengelolaan hutan yang berkesinambungan ini membuat laju kerusakan di Kaltim semakin parah??. Ini menegaskan bahwa memang kenyataannya pengelolaan hutan di Kalimantan Timur masihlah sangat carut marut dan menyimpan benih-benih bencana di masa yang akan datang. Lebih ironis lagi, bila melihat kepada kondisi rakyat Kalimantan Timur yang sangat berlimpah keanekaragaman hayatinya, hingga saat ini masih sangat banyak yang hidup dengan kondisi yang sangat memprihatinkan. Sektor pendidikan dan kesehatan yang masih sangat terpuruk, ditambah dengan perekonomian rakyat yang tidak juga melangkah menuju perbaikan. Dengan jatah tebang tahunan sekitar 1,5 juta meter kubik pada dua tahun terakhir ini seharusnya telah triliunan rupiah dihasilkan oleh hutan Kaltim. Namun senyatanya, hutan Kaltim telah dieksploitasi sejak awal tahun 1970-an, yang berarti bahwa telah begitu banyak ?emas hijau? Kaltim telah dikeruk, sementara kondisi masyarakat di dalam dan sekitar hutan juga tidak pernah beranjak dari kondisi pemiskinan. Pengelolaan hutan Kaltim juga diperparah dengan masih rendahnya upah buruh dan masih belum terjaminnya kesejahteraan pekerja sektor Kehutanan. Hingga hari ini saja, pekerja dari Kalimanis, yang dulunya merupakan kerajaan kayu di Kaltim, harus berbulanbulan menunggu kepastian pembayaran hak yang harusnya diterima oleh mereka. Kondisi yang terjadi di Kaltim saat ini, ditambah dengan pernyataan Kepala Dinas Kehutanan Kaltim tersebut, telah menunjukkan dengan jelas bahwa pemerintah telah secara nyata tidak sanggup menjalankan amanah UU 41/1999 tentang Kehutanan apalagi menjalankan UUD 1945. Dalam Pasal 9 UU No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia disebutkan bahwa Hak Asasi Manusia Dan Kebebasan Dasar Manusia diantaranya ad alah Hak Untuk Hidup, dimana setiap orang berhak untuk hidup, mempertahankan hidup dan meningkatkan taraf kehidupannya, setiap orang berhak hidup tenteram, aman, damai, bahagia, sejahtera lahir dan batin, dan setiap orang berhak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat. Kondisi Kaltim saat ini menunjukkan secara jelas bahwa terjadinya pengrusakan lingkungan hidup yang diakibatkan terjadinya pembiaran pengrusakan hutan oleh pemerintah telah menghilangkan hak asasi yang dimiliki oleh rakyat. Pemerintah wajib dan bertanggung jawab menghormati,

melindungi, menegakkan, dan memajukan hak asasi manusia sebagaimana tercantum dalam Pasal 71 UU 39/1999. Melihat kondisi yang sangat menyakitkan bagi rakyat Kaltim saat ini, maka seharusnya saat ini telah terbangun sebuah rencana besar yang dibuat bersama dengan rakyat Kaltim untuk menentukan arah pengelolaan hutan Kaltim di masa datang. Proses membangun perencanaan bukanlah dilakukan di hotel maupun gedung pertemuan mewah, namun haruslah dibangun di dalam lingkungan masyarakat yang berada di dalam dan sekitar hutan. Dalam pencapaian tahapan tersebut, saat ini sudah seharusnya pemerintah memberikan kesempatan untuk hutan beristirahat sesaat guna memulihkan kembali kondisinya. Hanya dengan mengistirahatkan hutan sesaat akan memungkinkan pelaksanaan solusi menyeluruh terhadap perbaikan pengelolaan hutan Kaltim. Dalam waktu beristirahatnya hutan tersebut, maka akan semakin memudahkan pelaksanaan penegakan hukum bagi pelaku -pelaku yang selama ini dianggap melakukan penebangan liar, dimana bila ada kayu yang keluar dari hutan untuk kepentingan komersial sudah dapat dipastikan adalah kayu yang illegal. Hal ini menjawab satu permasalahan yang selama ini dihadapi oleh penegak hukum yang selalu menyatakan bahwa sukar sekali untuk pembuktian kayu ilegal. Konsumsi kayu disaat Kaltim mengistirahatkan hutannya dapat diperoleh dari peredaran kayu dari hutan tanaman rakyat ataupun membeli dari daerah lain. Keuntungan lainnya yang diperoleh dengan mengistirahatkan hutan Kaltim adalah akan mampu membangun industri perkayuan yang efisien. Saat ini adalah saat dimana industri perkayuan harus menghitung ulang kesehatan perusahaan. Hal lain yang penting dilakukan saat ini adalah bilamana pernyataan yang dikemukakan oleh Kepala Dinas Kehutanan Kaltim adalah benar, maka saat ini seharusnya pemerintah sudah mencabut ijin 53 perusahaan yang tidak memenuhi syarat syarat ramah lingkungan tersebut, serta membebankan tanggung jawab kepada perusahaan untuk memperbaiki hutan yang telah mereka eksploitasi kepada kondisi semula. Harusnya Kalimantan Timur lebih memikirkan masa depan Kaltim disaat hutan tak lagi berkayu. Di saat itulah, bukan hanya bencana yang menanti, namun juga sumber -sumber kehidupan rakyat yang dimiliki saat ini menjadi menghilang. Kekeringan berkepanjangan akan menjadikan tanaman pangan tak lagi dapat tumbuh, yang menjadikan rakyat Kaltim harus bergantung pada pihak lain. Kebutuhan kayu di pasar Cina, Jepang dan Eropa bila terus-terusan dipenuhi hanya akan menguntungkan negara-negara tersebut, dimana saat ini mereka melakukan proteksi terhadap hutan mereka untuk kebutuhan kayu mereka di masa datang, sementara untuk

kebutuhan saat ini mereka mengeruk kayu dari Indonesia dan negara lainnya yang masih memiliki hutan. Demikian halnya dengan Malaysia yang selalu menjadi kiblat perkelapasawitan bagi Kaltim, saat ini juga telah mengurangi perluasan kebun sawit dengan mulai kembali menanam tumbuhan berkayu. Saat ini Kalimantan menjadi ladang pengurasan kayu oleh Malaysia, namun suatu saat nanti Kalimantan harus ?mengemis? kayu kepada mereka. Tantangan-tantangan yang diberikan bagi kehidupan generasi mendatang tidaklah mudah dilampaui, karena generasi mendatang harus menanggung beban yang telah diberikan oleh generasi saat ini. Pengrusakan hutan serta pengrusakan lingkungan hidup berkelanjutan di tanah Kaltim ini telah menyisakan bencana bagi generasi mendatang. Haruskah kita meninggalkan malapetaka? Merencanakan pengelolaan hutan di Kaltim bukanlah hanya berbicara tentang produk kayu, namun juga harus didialogkan secara lebih mendalam produk-produk lainnya yang sangat potensial di Kaltim ini. Misalnya saja produk rotan, madu, damar maupun hasil hutan non kayu lainnya. Demikian juga tanaman perkebunan, semisal buah maupun tanaman pangan. Pembagian komoditas yang dikembangkan diantara kawasan sebagai kawasan produktif beberapa jenis tanaman haruslah dilakukan agar tetap bisa menjaga harga. Hal inilah yang penting dilakukan dalam merencanakan produk yang harus dihasilkan, sehingga harga tidak harus selalu rendah disaat panen raya. Hal lain yang lebih penting adalah untuk menetapkan secara bersama kawasan-kawasan yang tetap sebagai kawasan berhutan dengan keanekaragaman hayatinya untuk kepentingan ketersediaan air, hingga ketersediaan sumber-sumber genetik yang akan sangat bermanfaat bagi generasi mendatang. Hutan Kaltim bukanlah harus dimusnahkan saat ini, ia akan sangat dibutuhkan oleh generasi mendatang. Sebagaimana yang diungkapkan oleh seorang petani hutan di sebuah kampung tak jauh dari kota Samarinda, ?Kami menanam pohon saat ini bukan untuk mengejar materi, tapi kami menanam pohon agar anak cucu kami tidak akan kehabisan kayu untuk membangun rumah tempat tinggal mereka kelak, karena kami khawatir suatu saat nanti kayu dari hutan di Kaltim ini akan habis, sehingga tak ada lagi kayu untuk membangun rumah tempat tinggal mereka.

Anda mungkin juga menyukai