Anda di halaman 1dari 21

BAB I PENDAHULUAN

I. LATAR BELAKANG Toxoplasmosis merupakan penyakit zoonosis yaitu penyakit pada hewan yang dapat ditularkan ke manusia. Penyakit ini disebabkan oleh sporozoa yang dikenal dengan nama Toxoplasma gondii, yaitu suatu parasit intraselluler yang banyak terinfeksi pada manusia dan hewan peliharaan. Penderita toxoplasmosis sering tidak memperlihatkan suatu gejala klinis yang jelas sehingga dalam menentukan diagnosis penyakit toxoplasmosis sering terabaikan dalam praktek dokter sehari-hari. Apabila penyakit toxoplasmosis mengenai wanita hamil trismester ketiga dapat mengakibatkan

hidrochephalus, khorioretinitis, tuli atau epilepsi. Penyakit toxoplasmosis biasanya ditularkan dari kucing atau anjing tetapi penyakit ini juga dapat menyerang hewan lain seperti babi, sapi, domba, dan hewan peliharaan lainnya. Walaupun sering terjadi pada hewan-hewan yang disebutkan di atas penyakit toxoplasmosis ini paling sering dijumpai pada kucing dan anjing. Untuk tertular penyakit toxoplasmosis tidak hanya terjadi pada orang yang memelihara kucing atau anjing tetapi juga bisa terjadi pada orang lainnya yang suka memakan makanan dari daging setengah matang atau sayuran lalapan yang terkontaminasi dengan agent penyebab penyakit toxoplasmosis.

Dewasa ini setelah siklus hidup toxoplasma ditemukan maka usaha pencegahannya diharapkan lebih mudah dilakukan. Pada saat ini diagnosis toxoplasmosis menjadi lebih mudah ditemukan karena adanya antibodi IgM atau IgG dalam darah penderita. Diharapkan dengan cara diagnosis maka pengobatan penyakit ini menjadi lebih mudah dan lebih sempurna, sehingga pengobatan yang diberikan dapat sembuh sempurna bagi penderita toxoplasmosis. Dengan jalan tersebut diharapkan insidensi keguguran, cacat kongenital, dan lahir mati yang disebabkan oleh penyakit ini dapat dicegah sedini mungkin. Pada akhirnya kejadian kecacatan pada anak dapat dihindari dan menciptakan sumber daya manusia yang lebih berkualitas. Akhir-akhir ini dilaporkan bahwa infeksi oleh kuman TORCH

(Toxoplasmosis, Rubella, Cytomegalo virus, Herpes Simplex) pada wanita yang biasanya menyebabkan infeksi subklinis (silent infection), dapat menyebabkan kemandulan (interfilitas), 70% wanita infertil ternyata terinfeksi oleh kuman TORCH. Maka diperlukan suatu persiapan yang mantap, dimulai sebelum pernikahan serta perlu diadakan penelitian yang lebih mendalam, sehingga dapat diadakan pencegahan, deteksi dini dan pengobatan secepatnya.

II. TUJUAN Penulisan referat ini bertujuan untuk mengetahui mekanisme terjadinya toxoplasmosis sehingga diagnosis dapat ditegakkan lebih dini serta mendapat penanganan yang adekuat, tepat dan cepat.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

I. DEFINISI Toxoplasma gondii adalah suatu protozoa parasit intraseluler yang dapat menyebabkan infeksi pada fetus dan sering timbul pada bayi baru lahir sebagai penyakit yang bersifat lokal ataupun general, berbentuk bulan sabit, dengan panjang 4-7 m, dan memiliki nukleus tunggal yang terletak sentral. Toxoplasma ini biasanya berbentuk bulat atau oval, jarang ditemukan dalam darah perifer, tetapi sering ditemukan dalam jumlah besar pada organ-organ tubuh seperti pada jaringan hati, limpa, sumsum tulang, pam-pam, otak, ginjal, urat daging, jantung dan urat daging licin lainnya. Toxoplasmosis merupakan suatu sindrom yang disebabkan oleh karena infeksi Toxoplasma gondii. Toxoplasma gondii merupakan parasit protozoa intraseluler obligat yang selain menginfeksi manusia juga dapat menginfeksi hewan. Kucing domestik merupakan pejamu definitif dari Toxoplasma gondii. Toxoplasma gondii termasuk spesies dari kelas sporozoa (Cocidia), pertama kali ditemukan pada binatang pengerat Ctenodactylus gundi di Afrika Utara (Tunisia) oleh Nicolle dan Manceaux pada tahun 1908. Tahun 1928 Toxoplasma gondii ditemukan pada manusia pertama kali oleh Castellani, Yanku, kemudian oleh Torres, dan mengklasifikasikan parasit tersebut sebagai suatu "encefalon". Hospes definitif adalah kucing dan Filidae, dan hospes

perantaranya adalah manusia dan mamalia lainnya serta beberapa jenis burung.

II. EPIDEMIOLOGI Data yang diperoleh dari National Collaborative Perinatal Project (NCPP) menunjukkan angka prevalensi toxoplasma 38,7% dari 22.000 wanita di Amerika Serikat, dan insidensi infeksi akut pada ibu selama kehamilan diperkirakan 1,1/1000. Menurut penelitian terakhir, insidensi dari infeksi toxoplasma kongenital di Amerika Serikat mencapai 1-8/1000 kelahiran. Transmisi

vertikal T.gondii dari ibu ke bayi berkisar antara 30-40%, namun angka tersebut sangat bervariasi menurut usia hehamilan dimana infeksi akut tersebut muncul. Angka transmisi rata-rata pada trimester pertama sekitar 15%, namun meningkat hingga mencapai 60% pada trimester ketiga. Kejadian pertama infeksi pada ibu atau matemal selama kehamilan ditaksir 6 per 1000 kehamilan di USA. Pada studi perspektif diperkirakan 44 infeksi per 1000 kehamilan selama 40 minggu. Lebih kurang 45% wanita hamil dengan infeksi akuisita tanpa pengobatan akan melahirkan bayi dengan infeksi kongenital. Prevalensi pada laki-laki lebih besar daripada wanita, seperti di Irian Jaya laki-laki 31,6% dan di Palu 13%. Hal ini disebabkan kehidupan sosio-budaya di daerah tersebut, laki-laki sering berada di luar, sering berburu dan lebih

dekat berhubungan dengan ternak, selain kebiasaan memakan daging setengah matang.

III. ETIOLOGI 1. Toxoplasmosis kongenital, transmisi Toxoplasma gondii ke janin in utero melalui plasenta, bila ibunya mendapat infeksi primer waktu hamil. 2. Toxoplasmosis akuisita, infeksi terjadi bila makan daging mentah atau kurang matang (sate), kalau daging tersebut mengandung kista atau trofozoid Toxoplasma gondii. 3. Infeksi di laboratorium binatang percobaan yang mengandung Toxoplasma gondii, melalui jarum suntik dan alat laboratorium lain yang

terkontaminasi. Wanita hamil tidak dianjurkan bekerja di lingkungan yang mengandung Toxoplasma gondii hidup. 4. Tidak mencuci tangan setelah berkebun, membersihkan tempat kucing buang air besar, atau apa saja yang bersentuhan dengan feces kucing 5. Transplantasi organ atau transfusi (jarang terjadi)

IV. GEJALA KLINIS 1. Ibu Gejala-gejala dari infeksi toxoplasma akut pada wanita hamil dapat bersifat sementara dan tidak spesifik, dan sebagian besar kasus menjadi tidak terdiagnosa tanpa tersedianya skrining antibodi universal. Ketika gejala-gejala timbul, biasanya terbatas pada limfadenopati dan kelelahan;

adenofati dapat menetap selama berbulan-bulan dan melibatkan suatu nodus limfatikus tunggal. Kadang dapat pula ditemukan sindrom mirip mononukleosis dengan karakteristik berupa demam, malaise, tenggorokan gatal, nyeri kepala, mialgia, dan limfositosis atipikal. 2. Anak Seorang anak dengan infeksi toxoplasma kongenital dapat muncul dengan satu dari empat pola yang dikenal dengan: a. penyakit neonatus simptomatik b. penyakit simptomatik yang timbul pada bulan pertama kehidupan c. sekuele atau relaps d. infeksi subklinis. Kebanyakan anak dengan toxoplasmosis kongenital tidak menunjukkan gejala atau kelainan yang nyata pada waktu lahir. Mengenai infeksi kongenital ini menggambarkan reaktifasi dari

infeksi Toxoplasma sebelumnya atau infeksi yang baru didapat belum dapat dipastikan, namun gambaran riwayat penyakit dari anak dengan infeksi kongenital menunjukkan bahwa perawatan prenatal dan postnatal selama paling sedikit satu tahun dapat meningkatkan kualitas hidup secara signifikan, bahkan pada anak dengan kalsifikasi susunan saraf pusat atau kelainan retina. Secara umum manifestasi klinis dari toxoplasmosis dibagi menjadi 2: a. Manifestasi sistemik meliputi demam, hepatosplenomegali, anemia, serta pneumonitis yang terjadi karena adanya parasitemia.

b. Manisfetasi neurologik meliputi kelainan-kelainan seperti korioretinitis, hidrosefalus, serta serangan kejang yang terjadi karena adanya invasi parasit melewati barier otak, maupun deposit dari kista parasit di jaringan otak. Trias klasik dari toxoplasmosis kongenital, yaitu korioretinitis, hidrosefalus, dan kalsifikasi intrakranial, hanya ditemukan dalam proporsi yang sedikit pada kasus-kasus simptomatik. Demam, hepatosplenomegali, anemia, dan ikterik merupakan tanda-tanda yang lebih sering muncul. Bercak-bercak merah, trombositopenia, eosinofilia, dan pneumonitis kadang dapat ditemukan. Cairan spinal sering mengalami abnormalitas. Keterlibatan sistem neurologis dan okular seringkali timbul kemudian apabila tidak ditemukan pada saat kelahiran. Kejang, retardasi mental, dan kekakuan adalah sekuele yang sering ditemukan.

V. ASPEK KLINIS 1. Toxoplasmosis akuisita a. Toxoplasmosis akuisita pada orang sehat asimptomatis, biasanya sembuh sempurna; dapat dijumpai non febrile disseminate

lymphadenopathy yang menyerupai infeksi mononukleosis; gejala berat seperti ensefalitis, miokarditis dan pneumonia jarang terjadi. b. Toxoplasmosis akuisita pada orang menderita immunodefisiensi; keadaan ini menyebabkan penyakit menjadi berat dan fatal, disebabkan oleh infeksi primer atau reaktivasi infeksi laten.

2. Toxoplasmosis kongenital Terjadi akibat masuknya toxoplasma melewati sawar plasenta pada 2030% wanita hamil dengan infeksi primer. Ada 4 bentuk : a. Neonatus dilahirkan dengan gejala b. Gejala timbul dalam minggu atau bulan-bulan pertama c. Gejala sisa atau relaps penyakit yang tidak terdiagnosis selama anak dan remaja d. Infeksi subklinis Kuman TORCH (Toxoplasmosis, Rubella, Cytomegalo virus, Herpes simplex virus) merupakan salah satu penyebab Penyakit Radang Panggul (PRP) pada wanita; wanita dengan PRP tanpa keluhan disebut subklinis, tetapi akibat yang ditimbulkan adalah kemandulan

(infertilitas). Terbukti bahwa hampir 70% wanita infertil, terutama infertil sekunder ternyata terinfeksi dengan kuman TORCH. Banyak wanita infertil tidak mempunyai keluhan, tidak mempunyai riwayat infeksi, tetapi pada pemeriksaan laboratorium terdapat positif terinfeksi kuman TORCH, sehingga diperkirakan bahwa banyak kasus infeksi subklinis berlalu tanpa terdiagnosis. Perlu diduga adanya infeksi subklinis, bila : 1) Dijumpai adanya penyumbatan/perlengketan tuba, meskipun tidak ada riwayat infeksi. 2) Riwayat kehamilan ektopik.

3) Ditemukan perlengketan genitalia interna pada saat laparaskopi maupun laparatomi. 4) Wanita dengan fluor vagina mukopurulen tanpa keluhan PRP.

VI. PATOFISIOLOGI Invasi kista atau ookista terjadi di usus, parasit memasuki sel atau difagositosis, berkembang biak dalam sel dan menyebabkan sel hospes pecah dan menyerang sel-sel lain. Dengan adanya parasit di dalam makrofag dan limfosit, maka penyebaran secara hematogen dan limfogen ke seluruh tubuh mudah terjadi. Trofozoid dapat menyerang semua organ dan jaringan tubuh hospes (manusia) yaitu semua sel yang berinti termasuk garnet, bahkan zygote sehingga terjadi kegagalan fertilisasi. Kista dibentuk jika sudah ada kekebalan dan dapat ditemukan di berbagai alat dan jaringan, mungkin untuk seumur hidup. Kerusakan yang terjadi pada jaringan tubuh, tergantung pada : 1. Umur (pada bayi kerusakannya lebih berat dari orang dewasa) 2. Virulensi strain Toxoplasma 3. Jumlah parasit 4. Organ yang diserang. Lesi susunan saraf pusat (SSP) dan mata biasanya lebih berat dan permanen, oleh karena jaringan ini tidak mempunyai kemampuan untuk berregenerasi. Kelainan SSP berupa nekrosis yang disertai dengan kalsifikasi; penyumbatan mengakibatkan hidrosefalus pada bayi.

Pada infeksi akut retina terdapat reaksi radang fokal dengan edema dan infiltrasi leukosit dan menyebabkan kerusakan fokal, pada proses

penyembuhan terjadi sikatrik dengan atrofi retina dan koroid disertai pigmentasi. Selama terinfeksi, seekor kucing mengeluarkan kurang lebih 1 juta oosit perhari melalui feses hingga 2 minggu lamanya. Cara penularan pada manusia terjadi dengan 2 cara : 1. Penularan secara horizontal Cara penularan yang paling sering terjadi, melalui daging yang dimasak kurang matang, atau lewat makanan dan minuman yang terkontaminasi oosit dari feses kucing. Manusia menjadi mudah terinfeksi apabila mereka kekurangan antibodi spesifik terhadap organisme ini. Imunitas humoral dan seluler sangatlah berperan dalam pertahanan tubuh. Pada saat parasitemia akut, organisme ini menginvasi jaringan dimana oosit akan dibentuk. 2. Penularan secara vertikal Toxoplasmosis kongenital merupakan cara penularan Toxoplasma secara vertikal yang disebabkan karena invasi dari parasit ke pembuluh darah fetus selama masa parasitemia ibu, karena sebagian besar organ ibu, termasuk plasenta, sudah terinfeksi oleh organisme tersebut. Tropozoit yang sudah beredar di sistem peredaran darah ibu akan menembus barier plasenta dan menginfeksi fetus.

10

VII. MORFOLOGI DAN DAUR HIDUP Toxoplasma gondii mempunyai tiga bentuk, yaitu : 1. Ookista, dibentuk dalam mukosa usus kucing melalui gametogametogoni (reproduksi seksual), dikeluarkan melalui tinja, dan di tanah akan membentuk dua sporakista dan masing-masing membentuk 4 sporozoid. Ookista menjadi matang dalam 1-5 hari menjadi sporozoid infektif. Seekor kucing mengeluarkan 10 juta ookista/hari dalam 2 minggu. Ookista mati dalam suhu 4550C atau dikeringkan, dicampur formalin, ammonia atau larutan iodium. 2. Takizoit (tachyzoid trofozoit yang membelah cepat). Bentuk ini ditemukan pada infeksi akut. Trofozoit ini dibebaskan dari ookista dan kista ke aliran darah dan masuk ke berbagai organ di tubuh dan akan menjadi kista. 3. Kista, yang terbentuk dalam jaringan tubuh hospes perantara, berisi bradizoit (trofozoit yang membelah perlahan), jadi tidak dibentuk stadium seksual tetapi stadium istirahat (kista). Kista ditemukan pada infeksi menahun terutama di otak, otot skeletal dan otot jantung dan dapat menetap seumur hidup. Di otak kista berbentuk lonjong atau bulat, di otot mengikuti bentuk sel otot. Trofozoid dan kista jaringan terdapat di semua binatang hospes perantara dan pada kucing sebagai hospes definitive (complete host). Trofozoid berbentuk serupa bulan sabit dengan satu ujung yang runcing dan ujung lain yang agak membulat. Panjangnya 48 u dan

11

mempunyai satu inti yang letaknya kira-kira di tengah. Trofozoid berkembang biak dalam sel secara endodiogoni. Bila sel penuh dengan trofozoid, maka sel akan pecah, trofozoid memenuhi sel-sel di sekitarnya atau difagositosis oleh makrofag, sel tersebut dinamakan pseudokista dan dapat ditemukan dalam waktu lama. Kista dibentuk di dalam sel hospes bila trofozoid yang membelah telah membentuk dinding. Ukuran kista berbeda-beda, yang kecil mengandung beberapa organisme, yang besar 200 u mengandung kira-kira 3000 organisme.

VIII. DIAGNOSIS Diagnosis toxoplasmosis dapat ditegakkan berdasarkan gejala klinis, pemeriksaan serologis dan menemukan parasit dalam jaringan tubuh penderita. Tetapi gejala klinis sering kali meragukan dan menemukan parasit dalam jaringan tubuh penderita bukanlah suatu hal yang mudah. Maka pemeriksaan secara serologis terhadap antibodi penderita toxoplasmosis merupakan alat bantu diagnosis yang mudah dan baik. Dasar pemeriksaan serologis ialah antigen toxoplasmosis bereaksi dengan antibodi spesifik yang terdapat dalam serum darah penderita. Beberapa jenis pemeriksaan serologis yang umum dipakai ialah: 1. Dye test Sabin Feldman Merupakan pemeriksaan yang pertama kali ditemukan. Dasar test ini yaitu toxoplasma gondii mudah diwarnai dengan metilen blue. Tetapi bila dicampur dengan serum kebal, maka parasit tidak dapat mengambil warna

12

lagi karena anti bodi toxoplasma yang ada dalam serum tersebut akan melisis parasit ini. 2. Complement Fixation Test (CFT) Complement fixaton test (CFT) berdasarkan reaksi antigen antibodi yang akan mengikat komplement sehingga pada penambahan sel darah merah yang dilapisi anti bodi tidak terjadi hemolisis. 3. Reaksi Fluoresensi antibodi, Reaksi fluoresensi anti bodi memakai sediaan yang mengandung toxoplasma yang telah dimatikan. Anti bodi yang ada dalam serum akan terikat pada parasit. Setelah ditambah antiglobulin manusia yang berlabel fluoresens. 4. Indirect Hemagglutination Test Mempergunakan antigen yang diletakkan pada sel-sel darah merah, bila dicampur dengan serum kebal menimbulkan aglutinasis. 5. Enzym Linked Immunosorhen Assay (Elisa). Elisa mempergunakan antigen toxoplasmosis yang diletakkan pada penyangga padat. Mula-mula diinkubasi dengan serum penderita, kemudian dengan antibodi berlabel enzim. Kadar anti bodi dalam serum penderita sebanding dengan intertitas warna yang timbul setelah ikatan antigen anti bodi dicampur dengan substrat. Diagnosis terhadap toxoplasmosis secara mudah dapat ditegakkan dengan menemukan anti bodi terhadap penderita terhadap serum darah penderita Anti toxoplasma gondii kelas IgM timbul segera setelah infeksi, dan baru

13

mencapai puncaknya pada minggu keempat kemudian menurun secara lambat dan tidak terdeteksi lagi setelah empat bulan. Sedang anti toxoplasma kelas IgG dapat dideteksi setelah 3 atan 4 bulan infeksi dan kadarnya menetap sampai bertahun-tahun. Dengan memeriksa antibodi kelas IgG dan IgM, maka kita dapat mengetahui apakah seseorang dalam infeksi akut, rentan atau kebal tehadap toxoplasmosis. Selain seperti cara di atas bisa juga dilakukan pemeriksaan histopatologis jaringan otak, sum-sum tulang belakang, kelenjar limpe, cairan otak merupakan diagnosis pasti tetapi cara ini sulit dilakukan.

IX. PENATALAKSANAAN 1. Bagi ibu dan fetus yang terinfeksi Terapi maternal untuk wanita yang memperoleh infeksi toxoplasma selama kehamilan mengurangi peluang terjadinya transmisi kongenital hingga 70%. Skrining sebelum hamil atau pada awal kehamilan diperlukan untuk mendeteksi wanita dengan resiko terinfeksi. Apabila seorang ibu hamil terdeteksi terinfeksi toxoplasma, maka dapat diberikan terapi maternal berupa spiramycine 3 gram per hari. Terapi ini terus dilanjutkan selama kehamilan. Perlu juga dilakukan evaluasi tentang kemungkinan infeksi pada fetus. Ketika infeksi pada fetus sudah dapat ditegakkan, terapi maternal diganti dengan kemoterapi anti-Toxoplasma kombinasi, regiman yang digunakan adalah pyrimethamine 50 mg per hari dan sulfadiazine 3 gram per hari setelah usia kehamilan 24 minggu. Preparat asam folat juga dapat

14

diberikan untuk mencegah timbulnya efek samping akibat pemberian pyrimethamine. 2. Bagi bayi baru lahir Pada bayi baru lahir dengan infeksi Toxoplasma, dapat diberikan kemoterapi anti-Toxoplasma kombinasi yang terdiri dari pyrimethamine 1mg/kgBB per hari selama 2 bulan dilanjutkan dengan 1 mg/kgBB tiap 2 hari selama 10 bulan, sulfadiazine 50 mg/kgBB per hari, serta asam folat 5-10 mg 3 kali seminggu untuk mencegah efek samping dari pyrimethamine. Selain pemberian obat-obatan, follow up yang teratur juga diperlukan untuk mendeteksi manifestasi penyakit lebih awal, melakukan terapi tambahan atau modifikasi terapi bila diperlukan, dan menentukan prognosa. Hitung darah lengkap 1-2 kali per minggu untuk pemberian dosis pyrimethamine harian dan 1-2 kali per bulan untuk pemberian dosis pyrimethamin tiap 2 hari dilakukan untuk memonitor efek toksik dari obat. Diperlukan pula pemeriksaan pediatrik yang lengkap, meliputi pemeriksaan perkembangan saraf setiap bulan, pemeriksaan oftalmologi setiap 3 bulan sampai usia 18 bulan kemudian setiap tahun sekali, serta pemeriksaan neurologis tiap 3-6 bulan sampai usia 1 tahun.

X. PROGNOSIS Bayi yang terinfeksi toxoplasma sejak lahir apabila tidak dirawat akan memiliki prognosa yang buruk. Pada beberapa kasus yang tidak mendapatkan

15

perawatan, didapatkan perkembangan menjadi korioretinitis, kalsifikasi serebral, serangan kejang, dan retardasi psikomotor. Kini, manfaat dari diagnosa dini pada periode antenatal, terapi antenatal, dan terapi setelah bayi lahir sudah terbukti dalam menurunkan frekuensi dari sekuele neurologis mayor.

XI. PENCEGAHAN Perlu diadakan tindakan tindakan pencegahan selain pengobatan yang telah ada : 1. Deteksi dini a. Skrining pada wanita hamil, yaitu memeriksa titer zat anti Toxoplasma yang mulai hamil, dan diulang 2-3 minggu kemudian pada wanita yang seronegatif. Sebaiknya dilakukan pada wanita sebelum hamil. b. Dianjurkan agar calon suami-isteri menjalani pemeriksaan

serodiagnosis sebelum pernikahan. c. Setiap wanita infertil primer/sekunder dengan gejala infeksi-infeksi subklinis, sebaiknya dilakukan serodiagnosis terhadap Toxoplasmosis, kuman TORCH (Toxoplasma, Rubella, Cytomegalo virus dan Herpes simplex virus). d. Melakukan diagnosis prenatal, seperti memeriksa darah fetus langsung terhadap kontaminasi darah ibu, mengisolasi parasit dengan

mengokulasi darah fetus pada tikus (mice); ataupun pemeriksaan

16

serologic dari IgM (Immunosorbent assay) dan IgG (dye test), ultrasound examination, dan lain-lain. e. Memeriksa titer zat anti Toxoplasma IgG pada anak beberapa kali dalam tahun pertama dan memeriksa IgM pads neonatus. Biasanya IgG yang diperiksa karena lebih mudah dan murah, sedangkan IgM hanya dilihat pada bulan-bulan pertama saja dan lebih mahal dan sukar ditemukan (hanya 25%). f. Setiap bayi dengan gejala meningoensefalitis yang disertai gejala sepsis, hepatomegali, ikterus dan sebagainya, harus diperiksa titer antibodi Toxoplasma. g. Tiap anak atau orang dewasa dengan immunodefisiensi oleh obat imunodepresi, kortikosteroid jangka panjang ataupun penyakit AIDS, harus diperiksa terhadap Toxoplasma untuk mendeteksi timbulnya reaktivasi infeksi kronik. 2. Pencegahan (terutama pada wanita hamil) a. Memelihara kebersihan lingkungan dan kucing binatang peliharaan. b. Jangan terlalu banyak memelihara binatang terutama kucing dan lakukan vaksinasi yang teratur. c. Wanita hamil jangan berdekatan dengan kucing. d. Memasak daging sampai cukup matang (70C). e. Mencuci dengan baik semua makanan yang tidak dimasak. f. Mencuci tangan sebelum makan dan setelah memegang daging mentah pada waktu memasak.

17

g. Memakai sarung tangan jika berkebun. h. Mencegah kontaminasi lalat dan lipas pada makanan i. Karena binatang reservoir banyak tersebar di seluruh Indonesia maka perlu diadakan penelitian prevalensi reservoir penyebarannya. 3. Pengobatan a. Wanita hamil dengan infeksi aktif. b. Toxoplasmosis kongenital (dengan atau tanpa gejala pada bayi). c. Pasien immunodefisiensi dengan Toxoplasmosis. d. Wanita dengan infeksi kuman TORCH (silent infection). e. Bayi dengan IgG yang meningkat

18

DAFTAR PUSTAKA

Gandahusada S. Koesharyono C. Prevalensi zat anti toxoplasma gondii pada kucing dan anjing di Jakarta. Penelitian, 1982. Priyana A. Oesman P, Kresno SB. Prevalensi anti Toxoplasma Gondii pada pemelihara kucing atau anjing di Jakarta, 1987. Ressang A.A. Patologi Khusus Veteriner, IFAD Project, Bali 1984.

Sarwono Prawiroharjo, (2008)., Ilmu Kandungan, Edisi 2 Cetakan 4, Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo. Jakarta. Schurrenberger, P.R. dan William, T.H. Dchtisar Zoonosis Penerbit ITB, Bandung, 1991. Partodihardjo, S. Ilmu Reproduksi Hewan, Penerbit Mutiara. Jakarta, 1980.

Priyana, A Oesman P, Kresno SB. Toxoplasmosis Medika No. 12 tahun 14, 1988: 1164-1167.

19

RE ERAT

LASMOSIS DALAM KE AMILAN

Diajukan k pada Yth: dr. Adi Pramono, Sp. OG

Disusun Ol h: DYAH KURNIAWATI 20060310091

SMF BAGIAN ILMU KEBIDANAN DAN KANDUNGAN RSB BUDI RAHAYU MAGELANG UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA 2011

20

DAFTAR ISI

Halaman Pengesahan .......................................... .................................................. i Daftar Isi ............................................................................................................... ii BAB I PENDAHULUAN .................................................................................. 1 A. Latar Belakang ............................................................................................. 1 B. Tujuan .................................................... ...................................................... 2 BAB II TINJAUAN PUSTAKA ....................................................................... 3 A. Definisi ........................................................................................................ 3 B. Epidemiologi ............................................................................................... 4 C. Etiologi ............................. ........................................................................... 5 D. Gejala Klinis ................................................................................................ 5 E. Aspek Klinis .................................................... ............................................ 7 F. Patofisiologi ................................................................................................. 9 G. Morfologi Dan Daur Hidup ...................................................................... .. 11 H. Diagnosis .................................................................................................... 12 I. Penatalaksanaan .......................................................................................... 14 J. Prognosis ..................................................................................................... 15 K. Pencegahan ................................................................................................. 18 Daftar Pustaka ........................................ .............................................................. 19

21

Anda mungkin juga menyukai