Anda di halaman 1dari 4

Laporan Kunjungan Pertunjukan Geger Gunung Tidar (Mahesa Djenar II)

Oleh Rizqa Ridina, 0906642790

Wayang orang merupakan salah satu kesenian tradisional Indonesia yang sampai kini masih bertahan. Tidak seperti wayang kulit atau wayang golek yang menggunakan semacam boneka sebagai media pencerita, sesuai dengan namanya, wayang orang menampilkan orang sebagai pemerannya. Salah satu kesenian yang termasuk dalam jenis wayang orang adalah ketoprak. Ketoprak merupakan kesenian rakyat berupa drama diselingi dengan lawakan yang dimainkan oleh sebuah grup kesenian dan diiringi oleh musik gamelan. Pertunjukan ini masih bisa dinikmati antara lain di Gedung Wayang Orang Bharata yang bertempat di Jl. Kalilio no 15, Senen, Jakarta Pusat. Pada tanggal 6 Mei 2011, saya berkesempatan menonton ketoprak oleh Adhi Budaya, salah satu kelompok seniman panggung yang berusaha melestarikan kesenian rakyat dengan menyelenggarakan pagelaran rutin baik wayang orang maupun ketoprak. Lakon kali ini berjudul Geger Gunung Tidar (Mahesa Djenar II). Kisah ini menceritakan tentang perjalanan Mahesa Djenar, seorang mantan prajurit yang gigih dalam mencari pusaka kerajaan yaitu keris Nagasasra dan Sabukinten pada masa kesultanan Demak. Perjalanannya diwarnai tidak hanya dengan pertarungan, tetapi juga kisah perjalanan cintanya dengan Rara Wilis, dan tentunya dikemas dengan sentuhan lawakan khas ketoprak. Ruang pertunjukan lumayan besar. Saya berkesempatan untuk menonton dari bangku kelas III yang berada di atas. Walaupun jauh, panggung cukup terlihat dengan jelas. Pertunjukan yang dijadwalkan pukul 20.00-23.00 ternyata baru dimulai sekitar pukul 20.30. Alunan gamelan mulai terdengar ke penjuru ruangan, kemudian tirai panggung dibuka, menampilkan sekelompok wanita yang menarikan tarian pembuka.

Lima menit berlalu, tirai kembali ditutup untuk menyiapkan panggung yang akan segera menampilkan adegan pertama. Lakon pun dimulai. Sesuai dengan ciri khasnya, ketoprak ditampilkan dengan menggunakan bahasa Jawa. Sangat disayangkan, saya tidak terlalu memahami bahasa Jawa sehingga saya tidak bisa benar-benar menikmati seluruh cerita. Untungnya, bahasa Jawa tidak dipergunakan selama sepanjang cerita, tetapi juga diselingi dengan bahasa Indonesia. Nampaknya pengelola Gedung menunjukkan upayanya dalam melestarikan Wayang Orang Bharata tradisional dengan

kesenian

menyediakan running text di bagian atas panggung. Selain memberitahukan latar tempat, running text tersebut juga berfungsi untuk memberikan gambaran singkat mengenai adegan yang sedang ditampilkan. Walaupun agak disayangkan karena seringkali tidak mengindahkan kaidah EYD, tulisan yang muncul cukup membantu pengunjung yang tidak menguasai bahasa Jawa agar tetap dapat menikmati pertunjukan tersebut. Pertunjukan malam itu dapat saya simpulkan sebagai kesenian ketoprak modern. Walaupun tetap mempertahankan karakteristik ketoprak tradisional, pertunjukan ini juga terlihat berusaha beradaptasi dengan perubahan zaman. Hal ini dapat dilihat dari beberapa lawakan yang diselipkan dengan isu-isu aktual. Selain itu setting panggung juga menggunakan alat-alat modern seperti running text yang telah disebutkan serta penggunaan microphone dan sound system yang modern. Dari sudut pandang seni panggung, penyajian ketoprak tidak jauh dengan seni teater modern. Make up serta kostum disesuaikan dengan tokoh yang dibawakan untuk membangun karakter dari masing-masing tokoh. Sebagai contoh, tokoh yang digambarkan bersifat jahat ditampilkan berwajah merah. Tokoh utama terlihat mengenakan baju yang berwarna lebih mencolok dari tokoh-tokoh sampingan. Blocking panggung pun cukup rapi. Hal yang dapat diwajarkan karena beberapa pemain merupakan aktor senior yang sudah cukup sering muncul di layar kaca dalam acara yang serupa. Para pemain terlihat piawai dalam berdialog dan berimprovisasi.

Hal yang menarik adalah penggunaan tari-tarian yang menyimbolkan gerakan tertentu. Pergantian adegan ditandai dengan dimatikannya lampu dan turunnya tirai menutupi panggung. Pergantian adegan yang agak lama tidak terlalu terasa karena alunan musik gamelan dimainkan lebih kencang. Musik nampaknya berperan penting dalam pertunjukan ketoprak. Terlihat dari awal hingga akhir pertunjukan, musik tidak pernah berhenti dimainkan. Suasana dihidupkan oleh permainan gamelan serta sinden. Selama setiap adegan berlangsung, alunan gamelan terdengar halus mengiringi pertunjukan. Permainan gamelan yang lebih kencang digunakan untuk mengisi pergantian adegan serta memulai adegan baru. Musik juga berperan sebagai pemberi efek pada adegan-adegan tertentu seperti pada adegan pertarungan maupun adegan bertengkar kecil khas komedi. Pada beberapa adegan terlihat pula beberapa pemain ikut bernyanyi baik menyanyikan lagu rakyat maupun berpantun. Sesuai dengan ciri khasnya, ketoprak senantiasa menyelipkan lawakan dalam adegan-adegannya. Lawakan-lawakan ringan yang dilontarkan sering mengangkat isu-isu masa kini. Seperti halnya ketoprak tradisional yang menyindir pemerintahan kerajaan, begitu pula dengan pertunjukan ketoprak malam itu yang kadang menyindir halus pemerintahan Indonesia pada saat ini. Walaupun beberapa lawakan bernuansa slapstick dan berupa ejekan maupun candaan dalam bahasa Jawa yang agak kasar, namun tidak keluar batas dan tetap memperkaya pertunjukan. Sangat menarik melihat para pemain yang begitu ahli berkelakar dengan pantun yang dilontarkan secara spontan. Pertunjukan ketoprak Geger Gunung Tidar (Mahesa Djenar II) tidak melupakan akarnya sebagai kesenian rakyat. Selain membawakan lawakan-lawakan santai, pemain juga terlihat interaktif baik dengan penonton maupun dengan pemain gamelan. Lemparan hadiah dari penonton terlihat beberapa kali mendarat di panggung. Pemain kemudian membacakan beberapa surat yang dilempar sambil berbicara kepada penonton. Beberapa pemain juga mengutarakan kebanggaannya

mengenai ketoprak dan rasa senang atas kehadiran para mahasiswa yang bersedia datang dan menonton. Terucap pula harapan agar kebudayaan tradisional dapat terus dilestarikan. Saya merasa bersyukur dan bangga masih mendapatkan kesempatan untuk melihat salah satu warisan kebudayaan kebanggaan Indonesia pada malam itu. Saya berharap agar kesenian Indonesia, baik ketoprak, wayang orang, maupun yang lainnya tidak mati dan dapat terus dilestarikan dengan disediakannya lebih banyak tempat pertunjukan serta pelatihan kesenian tradisional dan agar minat penonton terus ditingkatkan.

Anda mungkin juga menyukai