Anda di halaman 1dari 15

KORELASI MANUSIA DENGAN KERUSAKAN LINGKUNGAN

Pendahuluan

Komunitas bumi dalam krisis. Tidak ada yang bisa menyanggah pernyataan dan kenyataan tersebut. Selain adanya konflik ekonomi, sosial-politik dan peperangan, krisis yang mengancam lebih banyak orang adalah krisis lingkungan hidup. Secara umum, krisis lingkungan hidup didorong oleh dua hal berikut ini, yaitu: 1. Pertambahan penduduk yang begitu pesat yang menuntut pemenuhan kebutuhan yang tak terbatas (bahan makanan, bahan bakar, energi, dsb). 2. Kemajuan di pelbagai bidang ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) Krisis ini sebenarnya sudah lama terjadi, namun agaknya manusia (secara keseluruhan) belum menyadari akan bahaya laten yang terdapat di dalamnya. Manusia masih asyik menjadi penguasa alam semesta1. Manusia belum menyadari bahwa dirinya adalah bagian dari alam semesta ini, sehingga krisis lingkungan hidup belum menjadi perhatian bersama. Padahal, dari berbagai definisi tentang lingkungan hidup yang ada, kita diingatkan bahwa lingkungan hidup adalah bagian dari kita dan kita adalah bagian dari lingkungan hidup; dan keduanya saling berinteraksi dalam sebuah ekosistem. Bumi semakin rusak karena keserakahan manusia. Akibatnya, frekuensi dan eskalasi bencana di muka bumi yang disebabkan oleh perilaku manusia (man made disaster) dan akibat kebijakan (policy made disaster) semakin meningkat. Perusakan bumi akibat kebijakan adalah yang paling berbahaya. Karena hal tersebut dilakukan secara sistematis, terlembaga, rapi, dan sah secara hukum, yang dilakukan atas nama kebijakan pemerintah, atas nama pendapatan dari aktivitas perusahaan, serta atas nama legitimasi lembaga politik dan legitimasi ilmu pengetahuan dari lembaga pendidikan ataupun konspirasi mereka dalam sebuah jejaring untuk memperdagangkan bumi. Pemanasan global yang berakibat pada perubahan iklim (climate change) belum menjadi mengedepan dalam kesadaran multipihak. Pemanasan global (global warming) telah menjadi sorotan utama berbagai masyarakat dunia, terutama negara yang mengalami industrialisasi dan pola konsumsi tinggi (gaya hidup konsumtif). Tidak banyak memang yang memahami dan peduli pada isu perubahan iklim. Sebab banyak yang mengatakan, memang dampak lingkungan itu biasanya terjadi secara akumulatif. Pada titik inilah masalah lingkungan sering dianggap tidak penting oleh banyak kalangan, utamanya penerima mandat kekuasaan dalam membuat kebijakan. Pemicu utama adanya perubahan iklim akibat pemanasan global (global warming) adalah meningkatnya emisi karbon, akibat penggunaan energi fosil (bahan bakar minyak, batubara dan sejenisnya, yang tidak dapat diperbarui). Penghasil terbesarnya adalah

negeri-negeri industri seperti Amerika Serikat, Inggris, Rusia, Kanada, Jepang, China, dll. Ini diakibatkan oleh pola konsumsi dan gaya hidup masyarakat negera-negara utara yang 10 kali lipat lebih tinggi dari penduduk negara selatan. Untuk negara-negara berkembang meski tidak besar, ikut juga berkontribusi dengan skenario pembangunan yang mengacu pada pertumbuhan. Memacu industrilisme dan meningkatnya pola konsumsi tentunya, meski tak setinggi negara utara. Industri penghasil karbon terbesar di negeri berkembang seperti Indonesia adalah perusahaan tambang (migas, batubara dan yang terutama berbahan baku fosil). Selain kerusakan hutan Indonesia yang tahun ini tercatat pada rekor dunia Guinnes Record Of Book sebagai negara tercepat yang rusak hutannya. Menurut temuan Intergovermental Panel and Climate Change (IPCC). Sebuah lembaga panel internasional yang beranggotakan lebih dari 100 negara di seluruh dunia. Sebuah lembaga dibawah PBB, tetapi kuasanya melebihi PBB. Menyatakan pada tahun 2005 terjadi peningkatan suhu di dunia 0,6-0,70 sedangkan di Asia lebih tinggi, yaitu 10. selanjutnya adalah ketersediaan air di negeri-negeri tropis berkurang 10-30 persen dan melelehnya Gleser (gunung es) di Himalaya dan Kutub Selatan. Secara general yang juga dirasakan oleh seluruh dunia saat ini adalah makin panjangnya musim panas dan makin pendeknya musim hujan, selain itu makin maraknya badai dan banjir di kota-kota besar (el Nino) di seluruh dunia. Serta meningkatnya cuaca secara ekstrem, yang tentunya sangat dirasakan di negara-negara tropis2.

Manusia dan Komunitas Bumi

Terjadinya krisis lingkungan hidup saat ini tentunya tidak terlepas dari bagaimana manusia berelasi dengan lingkungannya. Relasi ini pun ternyata mengalami perkembangan sejak keberadaan manusia. Pada awalnya, ketika agama-agama primitif masih berkembang, manusia memandang segala sesuatu yang ada di sekitarnya secara religius. Ada proses pensakralan terhadap lingkungan hidup, sehingga pola yang dikembangkan adalah subjek-subjek. Demikian pula yang terjadi pada masyarakat yang masih tradisional, di mana masih ada tabu-tabu (pamali-pamali) yang dikembangkan. Selain itu pandangan hidup dan sikap religius yang dikembangkan berdasarkan pengalaman eksistensial mereka, turut menumbuhkan kesadaran ekologis mereka. Akan tetapi ketika terjadi proses desakralisasi yang ditunjang dengan tumbuh-berkembangnya agama monoteis, maka lingkungan hidup tidak lagi dipandang sebagai sesuatu yang sakral atau sebagai subjek, tetapi objek. Saat itulah manusia mulai menjadi penguasa atas lingkungan hidup dan kini kita diperhadapkan pada krisis lingkungan hidup yang parah. Th. van den End memberikan argumentasi yang dikemukakan oleh beberapa tokoh mengenai dari mana datangnya krisis yang sedang kita alami ini dikaitkan dengan kekristenan, yaitu:3
o

Menurut Lynn White, kekristenan dipersalahkan karena menempatkan manusia pada pusat dunia, karena sifat anthroposentrisnya. Kekristenan membuat manusia percaya bahwa dirinya merupakan pusat alam semesta, dan bahwa seluruh alam hanya diciptakan untuk melayani dia. Menurut Ritchie Lowrie, Calvinisme harus dipersalahkan karena mengajak manusia untuk bekerja keras. Akibatnya tak bisa tidak adalah pertumbuhan ekonomi yang besar. Timbullah dunia perindustrian modern dan terjadilah krisis lingkungan. Theodore Roszak, yang bertolak dari pengertian teknokrasi. Teknokrasi berarti bahwa kehidupan manusia dan seluruh lingkungannya mau diatur oleh teknik dan ilmu-ilmu pengetahuan. Tidak boleh ada proses-proses spontan, karena yang bersifat spontan tidak bisa diperhitungkan sebelumnya, dan membahayakan tujuan yang besar, yaitu menaklukkan dunia kepada manusia dan menghasilkan produksi barang-barang yang sebesar mungkin. Dengan adanya sikap ini, manusia memandang segala sesuatu di sekitarnya, termasuk sesamanya manusia, sebagai obyek semata-mata; ia tidak berpartisipasi di dalam kehidupan di sekitar dirinya, ia menjadi terasing daripadanya. Roszak juga mempermasalahkan agama Kristen yang menempatkan manusia dalam relasi subjek-objek dengan alam, dan menganggap alam sebagai kurang sempurna dan perlu diperbaiki.

Dari pemaparan di atas, kita dapat melihat bahwa seolah-olah kekristenan turut bersalah atas kerusakan lingkungan hidup. Hal ini tentunya harus dikritisi lebih lanjut. Karena jangan-jangan, kekristenan telah salah dalam menafsirkan Alkitab ataupun telah dipengaruhi oleh tujuan-tujuan politis dan ekonomis, sehingga dikatakan turut merusak lingkungan hidup. Selain itu, di bagian dunia yang minoritas Kristen, toh terjadi juga krisis lingkungan hidup. Artinya, ada berbagai faktor penyebab dari krisis yang terjadi. Lagipula, jika kita memahami secara utuh berita Alkitab tentang lingkungan hidup, maka sebenarnya kekristenan memiliki sumbangsih yang besar dalam pelestarian lingkungan hidup. Pada dasarnya antropologi kristen memandang manusia sebagai pribadi yang interpersonal sekaligus sebagai pribadi interrelasional dengan ciptaan lain di dalam suatu komunitas hidup di bumi. Manusia juga dimengerti sebagai mahluk ciptaan berkesadaran diri yang diundang masuk ke dalam hubungan interpersonal dengan pencipta dan menjadi mitra Pencipta dalam menjaga dan memelihara ciptaan. Manusia itu mitra utama pencipta, jadi pada hakekatnya manusia lebih merupakan malaikat pelindung dari pada setan penghancur bagi alam karena dalam dirinya terkandung martabat unik yang berbeda sekaligus mengatasi ciptaan yang lain.

Kesadaran Manusia akan Ekologi melalui Teologi Lingkungan

Kesadaran akan perlunya usaha pelestarian lingkungan tidak muncul sekali jadi. Kesadaran itu muncul berangsur-angsur melalui pengalaman interaksi manusia dengan lingkungannya. Manusia semakin menyadari bahwa antara dirinya dan lingkungannya terdapat hubungan yang sangat erat tak terpisahkan. Kesadaran itu akhirnya melahirkan suatu disiplin ilmu yang baru, yang disebut ekologi. Perhatian akan masalah lingkungan hidup di zaman modern ini dimulai pada dasawarsa 50-an di Amerika Serikat ketika terjadi pencemaran di kota Los Angeles akibat asap (smoke fog) hasil pembakaran industri dan kendaraan bermotor. Pada dasawarsa yang sama masyarakat Jepang digemparkan oleh peristiwa pencemaran limbah merkuri (Hg) di Teluk Minamata yang memakan korban ribuan jiwa. Lama-kelamaan perhatian akan krisis lingkungan hidup ini menjadi keprihatinan masyarakat dunia secara bersama, termasuk di Indonesia yang baru muncul pada dekade 60-an. Salah satu pokok yang ramai diperdebatkan dalam gerakan kesadaran ekologi ini ialah hubungan antara pembangunan dan lingkungan hidup. Ada yang menuduh pembangunan sebagai penyebab terjadinya kerusakan lingkungan. Tetapi ada juga yang mengatakan sebaliknya. Kerusakan lingkungan hanya dapat diatasi melalui pembangunan, sehingga kalangan ini (negara-negara industri maju) menuduh negara-negara yang sedang berkembang sebagai penyebab terjadinya pemanasan global. Perbincangan globalisasi penyelamatan lingkungan mulai serius dimulai pasca-Perang Dingin, tepatnya di Konferensi Stockholm The 1972 UN Conference on the Human Environment. Kemudian, The Brundtland Report, Our Common Future (1987), mencoba membumikan paradigma pembangunan berkelanjutan. Hal itu semakin merekatkan visi pembangunan dan lingkungan sebagai satu agenda yang tak terpisah. Puncaknya, KTT Bumi di Rio de Janeiro (The 1992 UN Conference on Environment and Development), yang menegaskan bahwa paradigma pembangunan berkelanjutan harus diterima sebagai agenda politik pembangunan di semua negara, tanpa terkecuali. Akhirnya, World Summit on Sustainable Development di Johannesberg, Afrika Selatan pada 2002, semakin mempertegas pembumian pembangunan berkelanjutan lingkungan sosial dan ekonomi.4 Secara ekstrim, bisa dibilang masalah kepedulian lingkungan kini hanya mitos belaka. Akibatnya kini kita rasakan, dimana bencana datang silih berganti. Tampaknya, rangkaian penderitaan itu belum juga mau berhenti. Secara materi, kerugian sudah tak terhitung dan yang paling parah adalah hancurnya ekosistem secara keseluruhan di daerah bencana. Seperti banyak diekspos, rentetan bencana itu adalah akibat dari tingkat eksploitasi terhadap lingkungan yang sudah sangat mengkhawatirkan. Filsuf agama James A. Rimbach pernah menyatakan, For theologians to address the issues of the ecology and environment is a typical test case for doing theology today. Pernyataan Rimbach tersebut menegaskan bahwa membumikan teologi lingkungan adalah pilihan tepat dalam berteologi dalam konteks. Dengan kata lain, teologi lingkungan menjadi semacam ujian dan kaca benggala untuk mengukur kadar keimanan kita selama ini.

Teologi lingkungan adalah tuntutan kesadaran beragama yang memiliki keterlibatan dan keberpihakan penuh kepada lingkungan. Pembumian teologi lingkungan ini bertujuan dan berperan untuk mendekonstruksi, menguji kembali sikap hidup dan tingkah laku kita terhadap alam. Teologi lingkungan adalah sebuah perspektif teologi tentang alam semesta yang mengkaji ulang posisi manusia dan tanggung jawab etisnya dalam relasi kosmos. Ia yang nantinya akan membongkar keyakinan bahwa manusia dan alam adalah dua dunia yang berbeda, yaitu manusia sebagai pusat (core) dan alam sebagai hal yang subordinat alias yang lain (the others). Pemahaman biner inilah yang seolah menjustifikasi umat manusia sebagai subyek yang bisa seenaknya mengeksploitasi alam. Dengan pembumian teologi lingkungan, diharapkan kita akan sadar bahwa semua ciptaan Tuhan (manusia, alam, hewan) mempunyai hak untuk bereksistensi. Tidak ada satu pun makhluk hidup yang berhak menguasai sesamanya, selain Tuhan. Karena dalam tradisi agama-agama, semua karya di muka bumi berpusat pada Yang Esa, meski secara skema muncul dalam pelbagai konsep, seperti Allah, Tao, ataupun Brahman.

Refleksi Teologis Kesadaran Manusia dan Kerusakan Lingkungan

Banyak tuduhan yang dialamatkan pada manusia sebagai penghancur homeostatis alam. Thomas Berry berbicara tentang manusia sebagai makhluk bumi yang jahat dan perusak. Ia juga menyebut kehadiran manusia sebagai penyebab penderitaan dunia. 5Bonaventura, filsuf-teolog di zaman patristik, dalam bukunya, Perjalanan Menuju Jiwa Allah, juga menyebut alam semesta sebagai kitab alam yang ditulis Allah sebagai media manusia untuk bersatu dengan-Nya. Pasalnya, alam adalah sakramen Tuhan, tangga untuk menuju keharmonisan bersama Sang Khalik. Sehingga, jika kita menyadari hal tersebut, tentu visi dan misi teologi kita harus sampai pada aspek keselamatan (soteriologi) yang bersifat universal, yaitu keselamatan yang menjangkau seluruh ciptaan Tuhan (manusia, alam, dan sebagainya) dalam rumah tangga dunia. Kita semua yang hidup saat ini, sebenarnya memiliki peran sebagai penatalayan bersama penatalayan yang lainnya di rumah dunia yang juga tempat tinggal Allah di mana Allah adalah Sang Kepala Rumah Tangga. Oleh karena itu, sebagai penatalayan, maka kita sebenarnya tidak berhak sepenuh-penuhnya atas ciptaan Allah yang lain dalam hal ini lingkungan hidup dan isinya. Dalam tugas tersebut, kita harus sesuai dengan perencanaan Allah. Kita mempunyai tanggung jawab dan kewajiban untuk berbagi tempat dan hasil bumi dengan sesama kita dan juga dengan generasi yang akan datang di rumah kita (orientasi kehidupan yang futuris). Dari sini diperoleh kesimpulan bahwa semua yang ada saling mempengaruhi, tanpa ada status manusia sebagai penguasa dan alam sebagai objek penguasaan, karena sampai kapan pun, manusia tidak bisa menjadi penguasa semesta. Ibarat tubuh, apabila kita tidak memelihara kesehatan tubuh kita, misalnya dengan istirahat yang teratur dan makanminum yang baik, maka lama-kelamaan kita akan sakit. Sakit itu tidak hanya dirasakan oleh bagian tubuh tertentu, tetapi juga oleh seluruh tubuh. Oleh karena itu, manusia

sebagai ciptaan yang berakal budi sudah seharusnya lebih arif dalam menatalayani dunia ini. Kesadaran dan penyadaran bahwa jumlah manusia penghuni bumi semakin banyak dengan kebutuhannya yang seolah-olah tak terbatas, sedangkan sumber energi bumi yang terbatas, menuntut kita untuk benar-benar arif dalam berelasi dengan lingkungan hidup. Kesulitan muncul ketika orientasi manusia dikuasai motif ekonomi yang profit oriented didukung faktor politik yang tidak ramah lingkungan. Di sinilah peran Gereja ditantang. Apakah ia berani menjadi nabi yang memperingatkan para pemimpin (di dunia) dalam menentukan kebijakannya, ataukah justru ia kehilangan peran kenabiannya. Jika ia tidak berani, maka misi Gereja, yaitu menjadi mitra pendamaian dan penciptaan Allah akan gagal. Diperlukan sebuah kerjasama dan jaringan relasi yang konsisten dan terus-menerus antara Gereja dan lembaga-lembaga di dunia dalam menangani krisis lingkungan hidup dan mengkritisi kebijakan ekonomi dan politik pemerintah yang berkenaan dengan lingkungan hidup.

Kerusakan Lingkungan dan Antroposentrisme

Kejadian 1: 28: Pemicu Kerusakan Lingkungan?

Pembahasan mengenai kerusakan lingkungan bukanlah hal baru. Kian mencuatnya perilaku manusia yang merusak atau tidak peduli pada lingkungan, lalu, wacana ini menjadi perhatian baik filsuf, saintis, pun teolog. Eric Katz6 mengakui, wacana mengenai hal ini, lantas coba dicari apa penyebabnya dan gagasan apa yang kecenderungannya melegalkan perusakan lingkungan (baca: penguasaan lingkungan oleh manusia). Dalam perdebatan intelektual itu, lalu dilirik Kitab Perjanjian Lama Yudaisme yang notabene seolah-olah menekankan kekuasaan manusia lebih besar dibanding ciptaan lain (antroposentrisme). Kejadian 1: 28: beranakcuculah dan penuhilah bumi dan taklukan itu, berkuasalah atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara dan atas segala binatang yang merayap di bumi,diklaim membawa masalah. Dalam perintah ini, kuasa manusia untuk memerintah, kedudukannya sebagai raja yang menyerupai Allah.7 Perintah taklukanlah bumi membuat kita bertanya: kalau begitu, bolehkah manusia sesuka hati menaklukan bumi (menebang pohon sembarangan, mengambil isi

bumi, mengambil pasir yang notabene sering menimbulkan bencana bagi manusia itu sendiri). Atau sebenarnya apa maksud dari perintah ini? Kita tahu, tindakan para pengusaha yang menaklukan bumi dengan menebang kayu untuk keperluan industri telah melahirkan problem mengerikan: bencana. Di kota-kota besar, polusi semakin mengancam gara-gara pepohonan kian menghilang dibabat manusia. Jadi, kerusakan lingkungan bukan hanya berdampak pada lingkungan secara an sich tetapi juga berdampak pada manusia: mengalami penderitaan, bahkan kematian. Perintah Allah ini, kata Eric Katz, pernah diklaim oleh Lynn White, Jr sebagai perintah yang buruk, yang menyebabkan terjadinya krisis lingkungan.8 Mengapa? Karena kata menaklukan bumi (subdue the earth) ia tafsir sebagai menguasai atau mengeksploitasi. Dalam Talmud, kata subdue itu dipakai dalam peperangan: menaklukan lawan, menguasai lawan, membunuh lawan. Dengan demikian, Yudaisme melegalkan perusakan lingkungan. Pernyataan semacam ini ditolak oleh Eric Katz. Eric Katz setuju pada apa yang pernah dilontarkan oleh Nachmanides dan Obadiah Sforno yang mengatakan bahwa kata subdue berkaitan dengan aktivitas manusia dalam menggunakan sumber daya alam, tetapi bukan untuk merusaknya melainkan untuk mengolahnya dan membangunya. Subdue adalah perintah untuk memelihara natural world. Jadi, kata subdue mengarah pada stewardship bukan pada kata domination.9 Gagasan ini diterima oleh Katz karena dalam Kej 2: 15, (Tuhan Allah mengambil manusia itu dan menempatkannya dalam taman Eden untuk mengusahakan dan memelihara taman itu), Allah memang memerintahkan manusia untuk memelihara Taman Eden. Taman Eden adalah simbol dari bumi, yang dilihat oleh Allah sebagai karya-Nya yang baik. Saya setuju pengakuan Katz. Bagi saya, sabda Allah dalam Kitab Kejadian tersebut, tidak boleh dijadikan sebagai apologi untuk membenarkan diri bahwa manusia boleh menaklukan alam tanpa menghiraukan efeknya terhadap manusia. Manusia adalah gambar dan rupa Allah. Kuasa penaklukan merupakan kekuasaan yang diberikan Allah kepada manusia sebagai bukti bahwa Allah mengajak manusia sebagai partner: ikut menyempurnakan dan bertanggungjawab atas makhluk lain di bumi (biocentrism). memaparkan bahwa Allah telah memberikan bumi kepada manusia sebagai wakil-Nya. Salah satu rencana Allah menciptakan manusia dalam rupa dan gambar-Nya adalah supaya kepadanya dapat dipercayakan kekuasaan atas ciptaan yang lain. Berdasarkan kutipan Kejadian 1: 26 dan 28, Wright berpendapat bahwa dalam konteks penguasaan atas bumi yang diberikan oleh Allah, hak milik dan pemanfaatan bumi dan sumber-sumbernya oleh manusia secara teologis dan secara moral adalah sah. Pendapat ini perlu dikritisi.
Andohar Purba

Andohar Purba memaparkan bahwa berdasarkan tinjauannya terhadap pendapat Jamer Barr dan Lynn White yang berpendapat bahwa teologi kristen turut berperan dalam kerusakan lingkungan, Singgih melihat beberapa persoalan perlu diperjelas dalam teologi penciptaan. Gambar Allah memperlihatkan relasi yang bersifat analogis. Akan tetapi, menurut Barr, tafsiran seperti ini tidak tepat. Istilah gambar Allah sebenarnya ingin

memberi jalan keluar bagi permasalah di Israel: sampai sejauh mana kemiripan manusia dengan Allah. Pemaknaan segambar itu bukan semata-mata terdiri dari penguasaan. Karena penguasaan umumnya dilekatkan pada kekuatan manusia yang kegiatankegiatannya bersifat eksploitatif. Singgih (sejalan dengan Eric Katz) mengajukan alternatif, bahwa kata berkuasa dan kata menaklukkan sebaiknya lebih dilihat sebagai menaungi. Untuk unsur-unsur abiotik ciptaan Allah, Bradley mendekati pemaknaan kesetaraan ciptaan dalam penyebutan nama manusia Adam dari kata Adamah. Adamah yang berarti tanah atau bumi, memperlihatkan kesetaraan bumi ciptaan yang meliputi segenap benda abiotik yang memiliki kesejajaran dengan manusia. Ringkasnya Bradley mau menyatakan bahwa manusia memiliki posisi yang setara dengan ciptaan-ciptaan lainnya. Manusia tidak lebih mulia dari ciptaan lainnya dan patut menjaga harmoni segenap ciptaan sebagai bagian yang setara dengan makhluk lain (biotik dan abiotik) di hadapan Allah Sang Pencipta. Moralitas lingkungan hidup yang diperkembangkan oleh teologi perlu memberikan ruang yang seluas-luasnya bagi pemahaman deep ecology yang mengkampanyekan kelesatarian dan kesejajaran semesta lingkungan dengan manusia.10

Dari Anthropocentrism ke Biocentrism ke Ecocentrism

Perintah Allah dalam Kej 1: 28, seperti yang sudah diuraikan di atas, menempatkan manusia sebagai makhluk yang lebih tinggi, berkuasa (antroposentrisme). Menurut J. Baird Callicott11, gagasan mengenai antroposentrisme mesti dilengkapi dengan cara pandang yang lain. Lantas, Baird menggunakan istilah baru yakni biocentrism dan ecocentrism.12 Dalam biocentrism yang ditekankan adalah manusia ikut memelihara kelangsungan hidup mahkluk hidup. Sedangkan dalam ecocentrism yang ditekankan adalah mengharmonisasikan diri dengan alam. Manusia mesti mengarahkan dirinya pada alam. Karena pada kenyataannya, kekuatan alam lebih kuat dibanding manusia. Sambil mengutip Leopold, Callicott mengatakan, manusia zaman kiwari mesti menyadari land ethics atau environment ethic: a thing is right when it tends to preserve the integrity, stability and beauty of biotic community; it is wrong when it tends otherwise. 13 Callicott melihat bahwa kerusakan lingkungan sudah sedemikian parah. Dan, kerusakan lingkungan bukan semata-mata hanya kerusakan hutan, polusi udara melainkan kerusakan ekosistem. Callicott mengatakan, sekarang manusia sedang terjerembab dalam human material cultures dan human technology. Kedua kultur ini mengakibatkan impotennya rencana untuk menciptakan natural environment (green peace). Penyebab lahirnya kultur human materials dan human techonology adalah industri. Dan, industri inilah sebagai biang keladi kerusakan lingkungan. Nah, seharusnya

dengan berkembangnya industri mesti mencari solusi agar tidak terjadi krisis lungkungan. Namun, ternyata kesadaran manusia akan hal itu terlambat dibanding dengan kesadaran untuk membangun industri. Johan P. Wisok menawarkan gagasannya bahwa seharusnya antara manusia dan alam harus dilihat dalam hubungan dialektis. Ia lalu mengutip Arnold Gehlen, seorang antropolog sekaligus filsuf asal Jerman. Gehlen pernah mendefinisikan manusia sebagai makhluk bebas lingkungan (Umweltfreies Wesen). Maka manusia, memiliki hubungan yang longgar dan bebas dengan lingkungan. Karena itu, ia selalu membangun lingkungan untuk kebutuhan dirinya. Lingkungan yang dibangun manusia sesuai dengan kebutuhan manusia dinamakan kebudayaan. Sementara itu dari segi lingkungan, kebudayaan didefinisikan sebagai keseluruhan usaha untuk mengubah lingkungan alam menjadi lingkungan manusia. Ini berarti, definisi manusia sebagai makhluk yang bebas lingkungan dapat diteruskan dengan definisi lain, yaitu manusia sebagai makhluk yang membangun lingkungan. Maka bagi manusia, lingkungan bukan hanya suatu hadiah (gabe), melainkan juga suatu tugas (aufgabe). Sebab ada hubungan kewajiban antara keduanya sebagai sesama ciptaan. Alam wajib menghidupi manusia dan manusia wajib melestarikan alam. Dalam kedua kelompok pemikiran ini yang tetap sama adalah rivalitas antara alam dan manusia yang berakhir pada penguasaan dan ketaklukan.14

Antroposentrisme : Akar kerusakan lingkungan .

Intro

Pandangan antroposentrisme yang ditawarkan disini adalah kisah lanjut interpretasi atas Kitabkejadian 1: 28. Argumennya dasarnya, kerusakan lingkungan hidup disebabkan oleh kuasa (daya takhluk manusia atas ciptaan lainya). Kuasa manusia tampak dalam persfektif teologis tentu saja filosofis. Antroposentrisme : menempatkan manusia sebagai pusat, entah fisk, spiritual, maupun etis. Manusia dalam dirinya mempunyai nilai etis-intrisnsik, yang lain tidak. Ciptaan non manusiawi dinilai karena kegunaannya sebagai alat bagi mansia (instrumental value). Berangkat dari pandangan ini, tumbuh-tumbuhan dan hewan memiliki nilai karena

mempunai fungsi ekonomis bagi manusia. Ciptaan bernilai sejauh berhubungan dengan manusia. Manusia menjadi ukuran nilai bagi benda-benda disekitarnya.

Manusia Sebagai Pusat : sebuah pemaparan teologis

Bonaventura menandaskan bahwa didalam kodratnya, setiap ciptaan merupakan keserupaan dengan kebijaksaanaan abadi: every creature is of its very nature a likeness and resemblance to eternal wisdom. Ciptaan merupakan tanda pewahyuan Allah. (sakramen Allah). Tetapi ada yang unik, itulah manusia. Manusia diciptakan serupa (secitra) dengan Allah penciptaanya. Manusia itu memiliki budi, kehendak, imaginasi, dan akal. Manusia itu adalah animale rationale (Aristoteles). Bukan hanya itu. Manusia memliliki intuisi yang melampaui pengetahan rationalnya. Intuisi memampukan manusia berkontak langsung dengan Allah, kapan saja. Itu semua sebabnya manusia biasa dilabel sebagai citra Allah.. Lebih lanjut, Ian Barbour pun menyadari keunikan manusia dihadapan ciptaan lainnya. Manusia diciptakan seturut gambar dan keserupaan Allah. Sebagai citra, manusia memiliki kesadaran dalam dirinya. Oleh karena itu, hanya dialah yang mampu mempertanggungjawabkan hidupnya kepada Allah dan hanya dia pulalah yang merupakan agen moral yang bebas yang dapat menanggapi tuntutan kebajikan dan keadilan. Kecitraan Allah dalam diri manusia memiliki implkasi bahwa kehidupan Allah sewaktuwaktu dapat direduksi pada taraf duniawi, khususnya pengalaman manusia. Efek sampingnya, manusia berkecendrungan menafsirkan dirinya sebagai insan yang berkuasa, dominasi atas yang lain dan bukan berdomisili diantara lainnya. Dalam mengatur hubungan dirinya dengan alam, sesama, dia pula yang menentukan sikap etis. Usaha perdamaian dengan Allah dan pergaulan dengan alam seringkali di didominasi\ di kolusi pihak manusia sendiri, bukannya merawat alam tetapi demi kepentingan (keselamatan) manusia dan anak cucunya. Keunikan dan kelebihan martabatnya sangat biasa digunakan sebagai elevasi dan dominasi atas ciptaan lainya. Implikasi lanjut, dalam beraksi (actio) manusia lazimnya berangkat dari pusat dirinya yang memiliki kemauan, kesadaran, dan kebebasan. Singkatnya manusialah yang paling berkesadaran. Itulah pasalnya, mengapa manusia selalu bertendensi bahwa dia lah yang mampu berinisiatif diantara mahluk lainnya. Berangkat dari pusat dirinya, manusia memang harus keluar dari dirnya untuk menyalurkan dirinya, yang sangat mungkin dimotivasi oleh kepentingannya sendiri. Dalam relasi dengan sesamanya, ia menciptakan kategori-kategori yang konstitutif. Selanjutnya, nilai-nilai instruksi yang terdapat dalam semua ciptaan tak lain adalah kreasi\persepsi manusia belaka. Tentu saja, kelestarian atau kerusakan ekologi/ ciptaan lainnya dibawah kendali manusia.

Primas Spesies Manusia Manusia adalah spesies yang berbeda dengan spesies lainnya. Adakah sesuatu yang istimewa mengenai species manusia? Pertama-tama manusia adalah species yang memiliki rasio, rasa, imaginasi yang sama sekali tidak ditemukan pada species yagn lain. Manusia adalah species yang terus menerus mencipta lingkungan baru untuk dirinya (dan species lain). Lingkungan yang diciptakan itu bermacam-macam: inglo, kapat terbang, toserba, perladangan, pabrik, gereja dll. Mereka juga menciptakan lingkungan yang tidak mereka diami: ranjau darat, kawasan pencobaan nuklir. Demikian juga ada bermacammacam lingkungan sosial dan moral (lingkungan yang memusuhi individu atau kelompok, bahkan species sendiri). Manusia sebagai species, termasuk semua jenis binatang, diatas bumi ini secara instingtif menyukai spcies mereka sendiri, tinggal bersama dalam kelompok. Preferensi pada species ini bersifat kodrati dan berharga, diperlukan untuk kelangsungan hidup. Jika preferensi ini hilang, maka kemanusiaan akan hilang. Ada satu yang penting lagi perihal species manusia. Berteori merupakan kegiatan manusia. (konsekuensialisme: nilai bertalian dengan akibat perbuatan saja, juga personisme: manusia menghubungkan nilai dengan intelek, memori, dan kesadaran, tidak dengan yang lainnya). Seorang pelaku moral adalah manusia dan sebagai manusia ia hidup di dunia nilai.

Lingkungan dibawah dominasi manusia Bumi kita kini sedang mengalami fase krisis15. Banyak tuduhan yang ditujukan kepada manusia. Manusia disebut sebagai penghancur alam, mahluk bumi yang jahat dan perusak. Manusia menjadi arogan karena ide biblis kristiani tentang dominion, dominasi. Itu memuncak pada abad 16-17. Abad 16-17, dikenal dengan kebangkitan rasionalitas. Rasionalitas diagungkan dengan pola pikir analitis reduktionis. Dengan pola pikir analitis reduktionis, manusia berusaha memilah kenyataaan menjadi bagian-bagian. Clara et distictio, kata Descartes. Realitas berusaha dipahami dengan mengandaikan kemampuan rasio. Fakta perkembangan nilai kebenaran alam hendak dicapai mutlak melalui pengetahuan ilmiah manusia. Alam hendak diterangkan seobyek mungkin dengan menelusuri apa substansinya, bagimana sebab musababnya, cara kerjanya. Alam direduksi sebagai materi yang bisu dan mati, statis yang bisa diukur dan ditaklukkan dengan hukum matematika. Bila hukum matematika diketahui maka dengan sendirinya alam dapat dikuasai. Ada dua realitas, res extensa dan res cogitans, yang sangat bisa mempertuan manusia untuk melakukan ekspltoitasi alam yang tidak rational dan bisu itu. Bagi Bacon, tujuan utama sains bukan untuk mengetahui tetapi untuk mengontrol. Pengetahuan merupakan kekuatan untuk mengubah alam dan mengkontruksi materi. Kekuatan atas alam merupakan kekuatan utama manusia melalui matematis dengan sains. Lebih dahsyat, seluruh dunia direduksi menanjadi sebatas mesin, demikian pendapat Gallileo. baginya Prinsip kerja alam bergerak seperti sebuah jam tangan.

Jose Antonio Lutzenberger, mantan menteri lingkngan Brazil, pernah mengatakan sebagai berikut; masryarakat industrial16 modern bagaikan suatu agama fanatik, yang sedang menghancurkan, meracuni, membinasakan seluruh sistem kehidupan diatas planet. Masyarakat modern bagaikan suatu perayaan tentang sebuah peradaban yang mengangungkan kehidupan. Namun pada kenyataannya, menguras habis kehidupan sehingga tak mempunyai arti apapun. Masyarakat modern terus saja berbicara tentang usaha-usaha agar manusia bahagia. Akan tetapi nyatanya justru menghalangi perjalananan manusia menuju sumber kedamaian dan kehahagiaan sejati. Ada pendapat yang mengatakan bahwa setelah perang dingin selesai kita menghadapi suatu aliran agama baru yaitu kapitalisme dan materialisme yang didukung oleh uang dan kekuasaan. Inti permasalahan yang sebenarnya adalah pemujaan terhadap materi telah membawa kehidupan manusia kedalam konsumerisme (kapitalisme), dan sumber daya alam dikeruk secara besar-besaran yang seringkali terlepas dari pertimbangan spiritual. Akibatnya, lingkungan menghadapi kehancuran yang lebih besar. Kemudian yang tampak adalah sisi suram kehidupan sebagai ketidakseimbangan (dalam skala lokal pun global).

Sikap Manusia terhadap Lingkungan Ada dua kecenrungan dalam kepercayaan akan perlunya sikap etis terhadap ciptaan yang lain. Kelompok yang satu, kelompok yang ekstrem, manusia tidak mempunyai kewajiban moral apapun juga terhadap ciptaan yang lain (anggota species yang lain). Orang-orang seperti R. Descartes, B. Spinoza, percaya (tentu saja keliru) bahwa binatang, pun tumbuhtumbhan merupakan mesin-mesin yang tak berperasaan. Pendapat ini ditolak oleh Leibnisz, Voltaire,dan Kant. Pada abad 19 dan 20 banyak ilmuwan yang mempunyai pandangan ekstrem terhadap tumbuhan, terutama binatang, bisa dimengerti sebab risetriset mereka banyak melibatkan pencobaan binatang. Kelompok ekstrem yang lain, sebagai mana dinyatakan oleh Peter singer, semua binatang sama saja pembela kebebasan untuk orang kuli hitam dan wanita harus membela kebebasan untuk binatang juga. Singer sungguh-sungguh dalam slogannya, dengan memperlihatkan bahwa spesiesisme seperti juga rasisne dan sekdisme merupakan hal yang buruk. Sebagai seorong personnis ia menolak gagasan hidup manusai (atau hidup apapun) mempunyai nilai intrinsik: sebagai pembela kebebasan binatang, ia bersikeras bahwa hidup manusia tidak harus dihargai lebih hidup, katakanlah, ikan lumba-lumba dan simpanse. Kepercayaannya mengapa hidup manusia tidak harus lebih dihargai daripada hidup makhluk-makluk lain merupakan satu alasan mengapa ia mendukung legalisasi pembunuihan bayi dan eutanasia.

Ekologi dan Peran Manusia

Ekologi dari kata Yunani oikos dan logos. Oikos berarti dunia alam, rumah ,tampat hidup. Ekologi dalam pemahamannya mempunyai banyak pemaknaan: (1). Ilmu tentang pola hubungan antara organisme dan lingkungan. (2). Ilmu mengenai interaksi antar system system kehidupan dan lingkungannya. (3). Biologi lingkungan. Pada abad ke 20 dan 21 umat manusia telah menjadi semakin peduli terhadap lingkungannya dan semakin berperan dalam melestarikan atau menghancurkannya. Beberapa orang mempersalahkan Kristianitas atas terjadinya kerusakan lingkungan, dan kemajuan industri tak luput dari tudingan penyebab kehancuran lingkungan Ekologi dalam pengertian modern ialah: ekologi yang tidak memperdulikan Allah (etsi Deus non daretur). Alam pikiran Ekologi pada dasarnya bergerak dalam alam pikiran yang sama dengan pikiran sekularisasi, dimana manusia tetap otonom dalam menggarap dunia dengan ilmu dan tekniknya. Kitab Suci memberi visi kepada menusia, agar ia tetap dalam hubungan dengan Allah. Bicara tentang lingkungan hidup mesti dilihat dalam konteks hubungan manusia dengan Tuhan. Karena itu menilai ekosistem dalam konteks Kitab Suci, membuat manusia menjadi makhluk yang sungguh terbuka. Pandangan hidupnya tidak hanya sebatas kenyataan konkret yang dialaminya. Kitab suci mengakui kedudukan manusia dalam jagad raya (Sir 17:1-10). Hal ini dapat dilihat dari pendangan Alkitab mengenai hubungan manusia dengan alam (antroposentris). Manusia bersifat alami sekaligus adi alami, pernyataan ini bersifat ambivalen. Manusia terikat pada biologis tetapi ia juga mempunyai kemampuan dan mengetahui bahwa ia mampu. Ia mampu mengatasi lingkungan dan dapat mengontrolnya diantara semua makhluk. Manusia juga mampu menentukan arah tindakannya yang bisa saja menghancurkan atau membangun system yang memungkinkan semua kehidupan terwujud. Sikap ambivalen ini adalah sikap yang diterima Barat. Perpektif manusia Barat mengenai lingkungannya, mengenai hubungannya dengan kosmos sekitar, telah ditentukan oleh antroposentrisme yang salah satu akarnya berada dalam Kitab suci. Negara-negara Barat sering mengeksploitasi sumber-sumber alam demi mendapatkan keuntungan, sedangkan lingkup budaya asli memandang alam sekitar dengan cara yang berbeda. Mereka percaya bahwa Roh Allah tinggal dimana-mana, segala sesuatu adalah suci, dan manusia adalah bagian dari lingkaran besar kehidupan.

Relasi Manusia dengan Jagad Raya Manusia bukanlah pertama-tama makhluk berpikir saja atau makhluk berbadan saja, mansia bukanlah makluk yang begitu saja dipisahkan dari kontak sosialnya, manusia tidak dapat dibatasi. Ia merupakan makluk yang bertindak, bertanggung jawab atas kehidupan kodratnya kepada Tuhan dan sesama. Hubungan manusia dengan alam sekitar pada awalnya digambarkan oleh Kitab Suci sangatlah baik. Allah menciptakan sebuah rumah kediaman yang begitu indah dan nyaman bagi manusia. Manusia diserahi kuasa oleh Tuhan untuk memelihara, merawat alam raya yang indah itu agar semuanya

selaras, tertib, dan aman. Kedudukan manusia dalam alam raya ini adalah wakil dan penggarap.

Sikap Manusia Manusia bukan pemilik dan penguasa. Masalahnya manusia tidak menempatkan secara tepat. Ia sudah sejak awal mula dan mau menyamai Tuhan. Ia menjadi pemilik secara otonom. Melawan Tuhan dengan mau menjadi penguasa satu-satunya alam raya dan kesombongan manusia semakin menjadi-jadi. Akhrinya Tuhan mengembalikan jagad ini menjadi chaos. Dalam Kitab Suci, tampak manusia selalu membuat perlawanan terhadap penguasa yang sah (Allah) dari alam semesta. Akibatnya, hubungan dengan Tuhan tidak selaras. Hubungan yang tidak selaras dengan Tuhan ini mengacaukan keselarasan antara manusia dan jadad raya. Tuhan tidak lagi percaya pada manusia untuk menjadi gambar sejati. Namun gambar sejati itu ialah Yesus Kristus. Ia yang membawa keharmonisan antara manusia dan lingkungan. Ekologi dalmn Perjanjian Baru bersifat Kristosentris, Kristus merupakan satu satunya andalan yang memulihkan hubungan baru antar Tuhan dan manusia, sehingga terciptalah langit dan bumi baru. Kerusakan lingkungan yang dibuat oleh manusia merupakan ekspresi dari: keserakahan, egoisme, ksomongan manusia. Ini menandakan sikap manusia yangn tertutup, menjadikan dirinya penguasa alam semesta. Manusia tidak lagi menghiraukan lagi hubungan dengan Allah sebagai penguasa dan pemilik . Tuntutan sebagai penjaga dan penggarap mengisyaratkan suatu sikap terbuka dari manusia, terbuka mengakui penguasa alam semesta. Manusia sebagai pelindung dan penggarap lingkungan hidup maka ada dua hal yang perlu di perhatikan: Sikap terbuka dan sederhana dan Mistik alam. Sikap terbuka dan sederhana: Alam bukanlah milik manusia. Manusia hanya penggarap, ia tergantung sepenuhnya kepada Allah. Ia tidak mempunyai apa apa. Ia hanya tahu memakai saja. Seluruhnya ada merupakan ciptaan. Kehidupan manusia merupakan anugerah. Karena itu semua ciptaan adalah saudara. Mistik alam: semua makluk adalah suadara. Pandangan ini muncul dari pengalaman mistik atas alam raya. Dalam pengalaman mistik seperti ini, jiwa manusia diselimuti oleh kekuatan ilahi (Roh Kudus), sehingga menimbulkan sikap menerima atau pasivitas dalam batin. Akhirnya mampu merasakan kehadiran Allah dalam penciptaan. Agresifitas (alam raya dimanipulasi, dirusak deni keuntungan) terhadap alam sangat ditentang oleh manusia yang bersikap menerima alam. Sikap agresif dalam bentuk menekankan efisiensi, mengeruk keuntungan sebanyak-banyaknya, ini semua tidak sesuai dengan mistik alam. Sikap mistik alam membuat orang melihat bahwa alam ciptaan adalah sebagai tanda kehadiran sang pencipta. Mempunyai sikap mistik ada tuntutan untuk pembersihan dari egoisme. Sehingga keharmonisan bisa tewujud. Sebab manusia tidak memandang dunia

dari efisisen dan kumulasi untuk dirinya sendiri. Dengan sikap ini manusia sungguh besatu dengan alam, sehingga menjadikan manusia itu semakin peka. Manusia tahu dan sadar bahwa merusak lingkungan berarti merusak dirinya sendiri.

Anda mungkin juga menyukai