Anda di halaman 1dari 3

Pilsafat Barat (Jacques Derida)

Oleh: Arinto Nurcahyono Sebelum berbicara tentang dekonstruksinya Derrida, ada baiknya menyimak ucapan Derrida tentang modernitas: Saya tidak begitu senang dengan istilah modernitas. Tentu saja , saya rasa apa yang terjadi di dunia saat ini adalah sesuatu yang unik dan tunggal. Selanjutnya, kita melihat pemberian label modernitas itu sendiri, kita menggambarkan pada sistem historis atau kemajuan (gagasan yang ditarik dari rasionalisme pencerahan) cenderung kita buta pada fakta, bahwa apa yang ada di hadapan kita saat ini juga era kuno yang terselubung dalam sejarah. Saya percaya hal itu yang terjadi di dunia kontemporer dan sesuatu yang baru memberi kita hubungan mendalam dengan sesuatu yang sangat tua yang telah tertutupi. Pada akhirnya sesuatu yang baru tidak banyak terjadi untuk pertama kalinya namun sesuatu pada dimensi yang sangat kuno terulang dalam sesuatu dimensi yang sangat modern; dan itu sesungguhnya pengulangan yang terus menerus dalam tradisi sejarah kita, pada era Yunani dan Roma, pada pemikiran Plato dan Descartes juga pada Kant. Tidak ada bahan untuk bercerita atau tidak ada hal baru bisa didekati dari pengertian modern. Tidak ada hal yang istimewa dari modernitas namun ia hanya sebuah fenomena pengulangan (Bernstein, 1991: 226 dikutip dari Dialogue with Jacques Derrida, Kearney, 1984: 112-3). Sejarah filsafat Barat, bagi Derrida adalah sejarah pergantian dari satu pusat ke pusat lain, meski dengan nama dan bentuk yang berbeda-beda. Ciri yang menonjol dari pemikiran filsafat Barat adalah adanya kecenderungan berpikir oposisi biner (binary oppositions) yang bersifat hirarkis (esensi/eksistensi, substansi/aksiden, jiwa/badan, makna/bentuk, transenden/ empiris, positif/negatif, konsep/metaphor dan seterusnya) dengan anggapan bahwa yang pertama merupakan pusat, asal muasal, fondasi, prinsip, dan ada secara niscaya; sedang yang kedua hanya sebagai derivasi, manifestasi, pinggir dan sekunder dalam kaitannya dengan yang pertama. (Sahal, 1994: 19 dikutip dari Derrida, 1988: 93).

Pemikiran tentang pusat lebih lanjut Derrida mengungkapkan: Pemikiran klasik mengenai struktur, bisa mengatakan bahwa pusat, secara paradoksal, berada di dalam struktur dan sekaligus di luarnya. Maka secara tradisional, pusat-pusat biasa digunakan untuk mendasarkan struktur-struktur. Namun jika kita berpikir mengenai implikasi-implikasi paradoks itu, kita akan menyadari bahwa pendasaran tersebut hanyalah ilusi. Nietzsche, Freud, dan Heidegger (untuk menyebut tiga nama saja), telah membimbing kita untuk memandang bahwa tidak ada pusat, bahwa pusat tak dapat dipikirkan dalam bentuk suatu ada-yang-hadir, bahwa pusat tidak memiliki situs ilmiah, bahwa pusat bukanlah suatu fokus yang pasti namun merupakan suatu fungsi, sejenis non-locus di mana pertukaran tanda dalam jumlah tak terbatas berlangsung. (Hart, 2002: 76 dikutip dari Derrida, 1978: 280). Mencermati hal itu, Derrida lantas melakukan apa yang disebut dengan dekonstruksi, yakni upaya membebaskan dari belenggu berpikir oposisi biner. Dekonstruksi bagi Derrida juga merupakan an oppennes towards the others, terbuka terhadap yang lain. Istilah dekonstruksi awalnya digunakan Heidegger, khususnya manakala ia berkata bahwa;

konstruksi dalam filsafat itu dengan sendirinya harus serentak destruksi, yaitu dekonstruksi konsep-konsep tradisional dengan cara justru kembali ke tradisi . (Sugiharto, 1996: 43 dikutip dari Heidegger, 1982: 23). Dekonstruksi sangat sulit didefinisikan. Justru dekonstruksi menolak definisi karena Derrida menghalangi pendefinisian tersebut. Ia mulai dengan menegaskan bahwa dekonstruksi bukan sebuah metode atau sebuah teknik, atau sebuah gaya kritik sastra literatur atau sebuah prosedur untuk menafsirkan teks. Ia memperingatkan kita agar tidak menggantikan pembacaan dekonstruksi dengan pemahaman konseptual tentang pembacaan tersebut. (Grenz, 2001: 235). Dekonstruksi juga tidak mengarahkan pada bentuk netralitas, tapi lebih pada usaha menjungkirbalikkan dualisme klasik, seperti yang diungkapkan Derrida: Dekonstruksi tidak dapat membatasi dirinya pada netralisasi atau maju menuju netralisasi, ia harus menjungkirbalikkan dualisme klasik dan memporak-porandakan sistem yang ada melalui bahasa tubuh berganda, ilmu pengetahuan berganda, dan tulisan berganda. Hanya dalam situasi ini, dekonstruksi dapat menembus masuk dalam dualisme yang dikritiknya, yang juga merupakan area kekuatan-kekuatan yang tidak terputus. Setiap konsep berada dalam rantai sistematis dan pada dirinya merupakan sebuah sistem penyebutan. Tidak ada konsep metafisik dalam dan pada dirinya sendiri. Ada sebuah karya metafisik atau bukan mengenai sistem-sistem konseptual. Dekonstruksi bukan berpindah dari satu konsep kepada konsep lainnya, tetapi menjungkirbalikkan dan merusak sebuah tatanan konseptual dan tatanan nonkonseptual, yang merupakan sarana untuk menyatakan sebuah tatanan konsep. (Grenz, 2001: 236 dikutip dari Derrida, 1982: 329-30) Derrida mengungkapkan bagaimana selama ini sebuah tulisan membawa sebutan-sebutan yang telah ditata, dipisahkan, dan dipertahankan oleh kekuatan-kekuatan dan disesuaikan dengan kebutuhan analisis. Sebutan-sebutan inilah yang memiliki kekuatan mengatakan secara umum (generalisir), menyamakan segala sesuatu (generalisasi), dan melahirkan sesuatu yang baru (generativitas) menganggap dirinya bebas menuju sebuah konsep penulisan baru yang juga berhubungan dengan segala sesuatu yang menghambat penataan kekuatankekuatan yang dulu. Penataan yang dulu selalu berupa sisa-sisa yang tidak dapat dileburkan kepada kekuatan dominan yang mengatur hierarki logisentris. Memberikan nama penulisan yang lama kepada konsep yang baru ini, sama dengan mempertahankan struktur pencangkokan, perpindahan, dan penempelan kepada intervensi efektif dalam sejarah yang ada. Ini juga memberikan kesempatan dan kekuatan, khususnya kekuatan komunikasi mereka, dan segala sesuatu yang diperlukan dalam melaksanakan tugas dekonstruksi. (Grenz, 2001: 236). Filsafat itu pada dasarnya adalah tulisan, ambisi filsafat umumnya adalah melepaskan diri dari statusnya sebagai tulisan itu, keluar dari bentuk fisik kebahasaan yang digunakannya itu. Ia ingin agar bahasa yang digunakannya itu menjadi sasaran transparan yang menampikan l makna dan kebenaran real yang bersifat ekstralinguistik. Cara yang biasanya ditempuh adalah dengan mengacu pada dasar yang diklaim sebagai eviden dan menata logika sedemikian rupa hingga tampil utuh, koheren dan tidak ambigu. Namun bagi Derrida semua ambisi dan upaya macam itu tak akan pernah mungkin berhasil. Pembacaan dekonstruktif lalu hendak menunjukkan ketidakberhasilan itu, yaitu menunjuk agenda tersembunyi yang mengandung banyak kelemahan dan kepincangan di balik teks teks. Maka Derrida meyakini, bahwa Di balik teks filosofis yang terdapat bukanlah

kekosongan, melainkan sebuah teks lain, suatu jaringan keragaman kekuatan-kekuatan yang pusat referensinya tidak jelas. (Sugiharto, 1996: 45 dikutip dari Derrida, 1982: xxiii). Pada akhirnya bagi Derrida, tidak ada dunia murni yang netral karena semuanya merupakan teks, jalinan tanda-tanda. Karena makna tidak langsung hadir pada tanda, maka yang kita dapatkan hanyalah bekas (trace).

Anda mungkin juga menyukai