Anda di halaman 1dari 39

1

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Agama Islam masuk ke Indonesia tidak tau kapan, para pakar sejarahpun tidak mengetahui kapan dan pada tahun berapa Islam masuk ke Indonesia, yang jelas jauh sebelum penjajah belanda datang ke Indonesia, di Indonesia telah berdiri kerajaan-kerajaan Islam, dan kerajaan-kerajaan tersebut telah menegakkan dan menerapkan hukum Isalam pada rakyat-rakyatnya. Menurut survey, Indonesia adalah Negara yang penduduknya mayoritas beragama Islam, upaya untuk menjadikan hukum Islam sebagai hukum tatanegarapun telah dirilis dan dibentuk oleh pendahulu seperti KH. Hasyim Asyary, H. Agus Salim, gagasan pemikiran dan upaya untuk menegakkan hukum Islam di Indonesia sudahlama dikemukakan, namun dalam implementasinya gagasan tersebut tidak bisa dimasukkan dalam sebuah sistem dan hanya berada dalam tataran pragmatis (wacana). Hingga kini penegakan Hukum Islam di Indonesia diupayakan menjadi hukum formil yang mengatur kehidupan berbangsa dan bernegara, hingga kini telah banyak berdiri dalam konstusional Negara ada PA (Peradilan Agama) sebagai wadah untuk mengadili setiap perkara keluarga islam, waris, wakaf, dan lain-lain, dan masih ganyak lagi lembaga-lembaga swasta dari ormasormas Islam, seperti tentang penanganan zakat, bank-bank syariah dan lain sebagainya. Ini sebagai bukti bahwa hukum Islam telah tegak di Indonesia.

Jadi jangan mempersempit makna hukum Islam (syariat). 1.2 Rumusan Masalah Mengacu pada latar belakang tersebut diatas ada beberapa pokok permasalahan yang akan penulis bahas dalam bentuk karya tulis ilmiyah ini, adapun pokok permasalahan yang akan penulis bahas yaitu pada pokok permasalahan dibawah ini: 1.2.1 1.2.2 Bagaimanakah Hukum Islam di Indonesia ? Bagaimana Penegakan Hukum Islam di Indonesia menurut prospektif sejarah?

1.3 Tujuan penelitian Dalam penulisan karya tulis ilmiyah ini penulis mempunyai tujuan yang ingin dicapai, antara lain adalah: 1.3.1 Untuk mndeskripsikan dan mengetahui keadaan Hukum Islam di Indonesia. 1.3.2 Untuk mengetahui sejarah Penegakan Hukum Islam di Indonesia dari zaman pra-penjajahan sampai kemerdekaan dan hingga kini.

1.4 Manfaat penelitian

Adapun manfaat dari penelitian tersebut adalah sebagai berikut: 1.4.1 Menambah wasasan khususnya bagi penulis dan para pembaca yang budiman pada umumnya. 1.4.2 Hasil studi ini diharapkan dapat digunakan untuk memperkaya khazanah Hukum Islam di Indonesia. 1.4.3 Studi ini dapat dijadikan acuan sebagai kajian dalam masalah penegakan Hukum Islam di Indonesia. 1.5 Metode Penelitian Karya tulis ilmiah ini bersifat diskiptif-analitik, metode yang digunakan adalah metode studi kepustakaan (library research). Sumber data, data dan alat untuk menganalis data yang bersumber dari buku-buku, majalah, dan jurnal yang ada adalam koleksi perpustakaan. 1.6 Sistematika Penulisan Sistematika pembahasan yang akan dikaji dalam penelitian atau Karya Tulis Ilmiah ini terdiri dari bab-bab dan sub-bab sebagai berikut: BAB I : Pendahuluan: latar belakang, rumusan masalah, tujuan

penelitian, kegunaan penelitian, metode penelitian, dan sistematika penulisan. BAB II : Landasan Teori: Islam, Syariah, aqidah islamiyah sebagai

standar kehiduapan, hukum, hukum islam, ruang lingkup Hukum

Islam dan tujuan Hukum Islam. BAB III : Hukum Islam di Indonesia: hukum Islam sebagai sumber

hukum Nasional , aspek-aspek hukum Islam dalam perundangundangan di Indonesia, tantangan dan probemantika hukum Islam dalam penegakannya di Indonesia. BAB IV : Hukum Islam di Indonesia dalam Prospektif sejarah:

Hukum Islam masa pra-penjajahan Belanda, Hukum Islam masa penjajahan Belanda, Hukum Islam masa penjajahan Jepang, Hukum Islam masa Kemerdekaan, Hukum Islam pada era orde lama dan orde baru, Hukum Islam pada era Reformasi. BAB V :Penutup: kesimpulan, saran.

BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Islam Sebagai Pandangan Hidup Sebelum beranjak menuju sebuah pembahasan tentang hukum Islam, disini penulis ingin sedikit memaparkan tentang Islam, syariat, dan yang berhubungan dengan Islam. 2.1.1 Islam Islam secara etimologi berasal dari bahasa Arab dengan susunan kata, aslama menjadi salima yang bermakna kedamaian, kesejahteraan, keselamatan, penyerahan diri kepada tuhan. Sedangkan secara terminology Islam adalah sebagai agama, agama yang ajaran-ajaran islam yang diwahyukan Allah SWT kepada masyarakat dunia melalui Rosulullah

SAW, sebagai rosul. Islam pada hakikatnya membawa ajaran-ajaran yang bukan hanya mengenai tentang satu hal, tetapi mengenai beberapa hal dalam kehidupan manusia (Harun Nasution, 1985:24) Penjelasan disini adalah islam sebagai agama yang universal, yang didalamnya terkandung beberapa bahkan semua aturan-aturan dan undangundang Allah untuk hambanya, baik yang muslim maupun yang kafir (Kristen, budha, yahudi, katolik dan lain-lain). Jadi hukum Islam tidak hanya berlaku pada orang muslim saja, akan tetapi berlaku untuk semua ummat, mengayomi, dan menyelamatkan ummat di dunia. Sseperti yang telah Rosulillah contohkan dalam zamannya beliaumemimpin dunia. Tetapi disini lebih spesifik lagi kepada ummat muslim, karena seorang muslim adalah orang yang menerima petunjuk tuhan dan menyerahkan diri mengikuti kemauan Ilahi. Artinya seorang muslim adalah orang yang melalui penggunaan akal dan kebebasannya

menerima dan mematuhi kehendak atau petunjuk tuhan (S.H Nasr, 1981:11) 2.1.2 Syariat Syariat secara etimologi berasal dari bahasa arab syaraa yang bermakna jalan menuju mata air yakni jalan yang lurus yang harus didikuti oleh semua muslim. Secara termenologi syariat adalah hukum dan aturan Islam yang mengatur seluruh sendi kehidupan ummat Islam, selain berisi hukum dan aturan syariat juga berisi penyelesaian masalah seluruh

kehidupan ini, maka syariat perlu dijadikan panduan menyeluruh dan sempurna seluruh permasalahan hidup manusia dan kehidupan dunia ini. Dilihat dari segi ilmu hukum, syariat merupakan norma hukum dasar yang ditetapkan Allah, yang wajib diikuti oleh orang Islam berdasarkan denan iman yang berkaitan dengan akhlaq, baik dalam hubungannya dengan Allah maupun dengan sesama manusia didunia ini (Mohammad Daud ali, 2007:47) Norma hukum ini dijelaskan oleh Rosulullah Saw, oleh karena itu syariaat terdapat dalam Al-quan dan Sunnah Rosulullah Saw. Dan Nabi bersabda Ummat Islam tidak akan tersesat dalam perjalanan hidupnya didunia ini selama mereka berpegang teguh pada Al-quran dan As-sunnah Rosulullah Saw (Shohih Bukhori dan Muslim). Karena norma-norma hukum dasar yang tedapat dalam Al-quran itu masih bersifat umum, demikian juga hadis Rosulullah terutama mengenai muamalah, maka setelah Nabi wafat para sahabat, tabiin, dan ulamaulama selanjutnya merumuskan sebuah disiplin ilmu guna untuk menginterpretasi dan menafsirkan norma-norma dasar yang masih bersifat umum dan universal. 2.1.3 Aqidah Islamiyah Sebagai Standar Kehidupan Ketika seorang muslim mengambil Islam sebagai

aqidahnya, maka seharusnya dia senantiasa menjadikan aqidah Islamiyah sebagai standar kehidupannya. Dia pun harus memahami bahwa karakter

aqidah Islam adalah aqidah ruhiyyah dan aqidah siyasiyah. Sehingga dia menjadikan aqidah Islamiyah sebagai dasar berpikir dan bertindak. Tidak ada satu pun pemikiran-pemikiran yang dilahirkan kecuali bersandarkan dan berstandarkan pada hukum syara yang terpancar dari aqidah Islamiyah tersebut. Pada saat seorang muslim menjadikan aqidah Islam sebagai sandaran berpikir dan bertindak itulah berarti dia telah menemukan jatidirinya, sebagai sosok pribadi muslim. Yakni sosok kepribadian khas yang murni dan istimewa tidak bercampur dengan nilai-nilai yang bisa merusak aqidahnya. Begitulah seharusnya muslim. Senantiasa memegang Idealisme Islam. Optimis pada Idealisme Islam mampu memecahkan seluruh masalah kehidupan manusia.

Islam bukan sekedar agama, atau hanya pemenuhan kebutuhan ibadah ruhiyyah saja. Islam adalah ideology atau pemikiran. Jika Islam merupakan sebuah ideologi maka semua standar hidup baik semua sistem dan apa-apa yang menyangkut hidup kita semua harus diatur dan berlandaskan Islam. janganlah kita mengimani sebagian tetapi

meninggalkan sebagiannya. Seperti dalam firman Allah SWT dalam Quran surat An-nisa 150 Sesungguhnya orang-orang yang kafir kepada Allah dan rasul-rasul-Nya, dan bermaksud memperbedakan antara (keimanan kepada) Allah dan rasul-rasul-Nya, dengan

mengatakan: "Kami beriman kepada yang sebagian dan kami kafir

terhadap sebagian (yang lain)", serta bermaksud (dengan perkataan itu) mengambil jalan (tengah) di antara yang demikian (iman atau kafir). 2.2 Hukum Kata hukum dalam bahasa Indonesia ini bersala dari kata hukmum tanpa u diantara k dan m yang bermakna norma atau kaidah yakni ukuran, tolok ukur, patokan, pedoman yang dipergunnakan untuk menilai perbuatan atau tingkah laku manusia dan benda. Hubungan antara perkataan hukum dalam bahasa Indonesia tersebut diatas dengan hukm dalam pengertian norma dalam babhasa arab itu, memang erat sekali, sebab, setiap peraturan apapun macam dan sumbernya mengandung norma atau kaidah sebagai intinya (Hazairin, 1982:68) 2.2.1 Hukum Islam Hukum Islam adalah hukum yang bersumber dari dan menjadi bagian dari agama Islam (Mohammad Daud Ali, 2007:42), sebagai sistem hukum Islam mempunyai banyak istilah dan kadangkala membingungkan, diantaranya adalah (1) Hukum, (2) Hukm atau ahkam, (3) Syariah, (4) fiqh. Dasar konsep hukum Islam ditetapkan oleh Allah Swt, tidak hanya mengatur hubngan manusia dengan manusia lain dan benda dalam masyarakat, tetapi juga hubungan-hubungan yang lainnya. Interaksi manusia dalam berbagai tata hubungan itu seperangkat ukuran tingkahlaku yang dalam bahasa arab disebut huklm atau jamaknya ahkam (Mohammad Duad Ali, 2007:43)

2.2.2 Ruang lingkup Hukum Islam Hukum Islam tidak membedakan antara hukum privat (hukum perdata) dengan hukum publik. Dan yang disebutkan adalah bagian-bagiannya saja misalnya, (1) munakahat, (2) wirasah, (3) muamalat dalam arti khusus, (4) jinayat atau ukubat, (5) al-ahkam assulthaniyah (khilafah), (6) siyar, dan (7) mukhasamat (H.M Rasjidi, 1971:25) Jikalau bagian-bagian hukum Islam itu disusun menurut sistematik hukum Barat yang membedakan antara hukum perdata dengan hukum public, akan tersusun sebagai berikut: Hukum Perdata (Islam) adalah (1) munakahat mengatur segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan, perceraiain, dan akibat-akibatnya; (2) wirasah mengatur segala masalah yang berhubungan dengan waris; (3) muamalat dalam arti khusus mengatur masalah kebendaan dan hak-hak atas benda, jual-beli, sewa menyewa, pinjam meminjam, perserikatan dan lain sebagainya. Hukum Publik (Islam) adalah (1) Jinayat yang memuat yang memuat aturan-aturan mengenai perbuatan-perbuatan yang diancam dengan hukuman baik Jarimah hudud atau Jarimah Tazir. Yang dimaksut Jarimah adalah perbuatan pidana, Jarimah Hudud adalah perbuatan pidana yang telah ditentukan bentuk dan batas hukumannya dalam Al-quran dan Sunnah Rosulullah, sedangkan Jarimah tazir adalah perbuatan pidana

11

yang bentuk dan ancamannya ditetntukan oleh penguasa sebagai pelajaran bagi pelakunya; (2) Ahkam As-sulthaniyah membicarakan soal-soal yeng berhubungan dengan kepala Negara, pemerintahan; (3) siyar mengatur urusan perang damai, tata hubungan dengan pemeluk agama dan Negara lain; (4) mukhashamat mengatur soal peradilan, kehakiman, dan hukum acara.

2.2.3 Tujuan Hukum islam Tujuan hukum islam secara umum adalah memperoleh kabahagiaan dunia dan akhirat kelak, dengan jalan mengambil yang manfaat dan mencegah kemudhorotan, yang tidaj berguna bagi kehidupan (Mohammad Daud Ali, 2007:61) dengan kata lain tujuan hukum islam adalah kemaslahatan hidup manusia, baik rohni, maupun jasmani, individual dan sosial. Kemaslahatan itu tidak hanya untuk kehidupan dunia melainkan juga kehidupan akhirat kelak. Abu Ishaq al Satibi (wafat 790/1388) merumuskan lima tujuan hukum Islam, yakni memelihara (1) agama, (2) jiwa, (3) akal, (4) keturunan, dan (5) harta, yang kemudian disepakati oleh ulama dan ilmuan muslim sebagai al-maqosid al-khomsah atau al-maqasid as-syariah atau tujuan hukum islam.

BAB III HUKUM ISLAM DI INDONESIA 2.1 Hukum Islam Sebagai Sumber Hukum Nasional Menjelang proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia, para pejuang dan tokoh-tokoh bangsa telah merumuskan bentuk, dasar, dan tujuan Negara Republik Indonesia. Pada siding terakhir BPUPKI (Badaan Penyelidik usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia) menghasilkan tersusunnya naskah Rancanagan Undang-Undang Dasar yang disahkan tanggal 22 Juni 1945yang kemudian dikenal dengan nama Piagam Jakarta. Piagam Jakarta memuat rumusan dasar Negara Republik Indonesia, sebagaimana disebutkan dalam alenia keempat yang berbunyi sebgai berikut : maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat, dengan

13

berdasarkan kepada : ketuhanan yang maha esa, dengan kewajiban menjalankan syariat islam bagi pemeluk-pemeluknya, menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia. (Departemen Agama RI, 1963:10) Rumusan dasar Negara tersebut diberi nama pancasila yang berarti lima asas atau lima dasar. (Muhammad Yamin, 1953:78) Sehari setelah proklamasi yaitu pada tanggal 18 Agustus PPKI menegaskan UUD 1945 sebagai konstitusi Negara Republik Indinesia, setelah di hapuskan tujuh kata dari Piagam Jakarta. Kemudian seiring berjalannya waktu, maka pada tahun 1959 presiden mengeluarkan dekrit presiden yang isinya tentang pemberlakuan kembali Piagam Jakarta. Bagi bangsa Indonesia, Pancasila merupakan fundamen filsafat yang diatasnya dibangun Indonesia merdeka. Pancasila sebagai Stats Fundamental Norm, terdiri dari dua lapisan yaitu 1) Fundamental moral (etika, agama), dan 2) Fundamental Politik. Dengan mengacu pada pasal 29 ayat 1 UUD 1945 yang berbunyi Negara berdasarkan ketuhanan Yang Maha Esa dan mengacu kepada rumusan pancasila sebagaimana terdapat dalam Piagam Jakarta yang telah dikeluarkan kembali melalui dekrit Preisden tanggal 5 Juli 1959, maka Negara wajib membuat hukum berdasarkan ketentuan hukum agama bagi

masing-masing pemeluknya. (Suparman Usman, 2000:125) Berlakunya hukum Islam sebagai hukum positif bagi umat islam Indonesia merupakan jumlah mayoritas di negeri ini, dilandasi oleh nilai filosofis, yuridis, dan sosiologis bangsa Indonesi. Oleh karena itu Negara berkewajiban untuk menjadikan hukum islam sebagai hukum positif bagi ummat islam Indonesia. Umat islam telah menerima pancasila sebagai dasar Negara, karena rumusan sila-sila Pancasila tersebut tidak bertentangan dan terdapat kesesuaian dengan ajaran islam. Selanjutnya UUD 1945 dilihat dari segi naskah dan isinya adalah islami. (Ahmad Sukardja, 1995:178) demikian juga dalam pelaksanaannya sudah banyak yang islami, baik itu yang menyangkt institusi keagamaan seperti dibentuknya Departemen Agama, Peradilan Agama, Majelis Ulama Indonesia, maupun undang-undangnya, seperti UU no.1 tahun 1974 tentang pekawinan. Dalam hal ini Ahmad sukardja berpendapat : Sekalipun dalam segi pelaksanaann UUD 1945 masih ada kekurangan, namun kedudukan agama cukup mantap dan terhormat, serta suasana keagamaan di Indonesia cukup baik dan semarak, ibadah mahdhoh dapat dilaksanakan oleh setiap orang tanpa rintangan dari pemerintah, bahkan sebaliknya pemerintah memberikan jaminan dan dorongan. Pelaksanaan hukum keluarga (perkawinan dan kewarisan) menurut agama, sebagai aspek hukum yang fundamental dalam keluarga muslim, sudah dijamin

15

ditetapkannya undang-undang perkawinan, Kompilasi Hukum Islam, dan Peradilan Agama. Pendidikan agama telah dimantapkan dalam UndangUndang Sistem Pendidikan Nasional.

2.2 Aspek-aspek Hukum Islam dalam perundang-undangan di Indonesia Menurut pendapat Prof. Dr. H. Suparman Usman (2001:130), Banyak sekali aspek-aspek Hukum Islam dalam perundang-undangan di Indonesia antara lain: 1) Dekrit Presiden 5 Juli 1954 Melalui dekrit tanggal 5 Juli 1959, Presiden Republik Indonesia menyetakan bahwa, Piagam Jakarata menjiwai dan merupakan satu rangkaian kesatuan dengan UUD 1945. Menurut Piagam Jakarta redaksi sila pertama Pancasila berbunyi : ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat isalm bagi pemeluk-pemeluknya. 2) Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 1977 Peraturan Pemerintah (PP) No. 28 Tahun 1977 tentang perwakafan tanah milik, adalah peraturan pelaksanaan dari pasal 49 ayat 3 UU No. 5 Tahun 1960. Dalam pasal 1 Peraturan Pemerintah tersebut dinyatakan : Wakaf adalah perbuatan hukum seseorang atau badan hukum yang

memisahkan sebagian dari harta kekayaannya yang berupa tanah milik dan melembagakannya untuk selama-lamanya untuk kepentingan peribadatan atau kepentingan umum lainnya, sesuai dengan ajaran agama Islam. 3) Intruksi Presiden No. 13 Tahun 1980 Intruksi Presiden No. 13 Tahun 1980 adalah pedoman pelaksanaan UU No. 2 Tahun 1960 tentang Perjanjian Bagi Hasil. Pasal 4 ayat 2 Inpres itu menyebutkan adanya kewajiban meneluarkan Zakat, sebelum dilakuakan pembagian dalam Perjanjian Bagi Hasil tersebut. 4) Undang-undang No. 1 Tahun 1974 Aspek-aspek hukum Islam dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan. 5) Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, merupanakan salah satu perundang-undangan pelaksanaan dari UU No. 14 Tahun 1970 tentang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman. 6) Kompilasi Hukum Islam di Indonesia Salah satu keberhasilan ummat islam Indonesia yang merupakan jumlah mayoritas di negri ini, untuk mebumikan hukum islam menjadi hukum positif di Indonesia, adalah telah tersusunnya Kompilasi

17

Hukum Isalam di Indonesia.

2.3 Tantangan dan problematika hukum islam dalam penegakannya di Indonesia Adapun tantangan dan problrmantika hukum islam dalam penegakannya di Indonesia sebagai berikut :
1) Kemajemukan Bangsa ; patut diingat bahwa Negara Indonesia memiliki wilayah yang sangat luas masing-masing memiliki kondisi social dan kultur yang berbeda, sehingga tidak mudah untuk mendekatkannya satu sama lain. Tetapi upaya pengintegrasian aspek-aspek social-kultural masing-masing elemen bangsa ini kedalam system Hukum Nasional harus didahului dengan proses pemilahan pada bidang-bidang yang dilakukan direunifikasi secara relevan. 2) Metode Pendidikan Hukum ; selama ini, pelajaran ilmu hukum yang diajarkan kepada mahasiswa hampir disetiap universitas adalah trikotomi antara hukum barat, hukum islam, dan hukum adat. Berhubung dengan masyarakat Indonesia relative heterogen dan wilayahnya cukup luas, maka semakin berakibat pencarian titik temu antara elemen hukum-hukum tersebut. Jadi diperlukan sekarang adalah pemahaman integral dari pakar hukum dari ketiga sumber hukum tadi. Hal ini sudah pasti memerlukan perjuangan intelektual yang sangat berat. 3) Kurangnya pengkajian akademik dibidang Hukum Islam ; ketertinggalan dalam mengembangkan pusat-pusat pengkajian Hukum Islam

disebabkan oleh : a. Secara historis pusat pengkajian yang tidak menghargai Hukum Islam terlebih dahulu berkembang, sehingga terkesan tidak memberikan tempat bagi pengkajian Hukum Islam. b. Pengkajian Hukum Islam terletak diantara pengkajian ilmu agama dan ilmu hukum, akibatnya aspek pengkajian tidak mendalam. c. Perkembangan kualitas ketaatan umat Islam yang lemah, terutama pada keyakinan akidah dan moralnya yang sulit dikendalikan sehingga menimbulkan penurunan kualitas moral dalam pelaksanaan hukum. d. Masih dianutnya kebijaksanaan hukum politik Belanda yang mempunyai kepentingan politik sendiri ; seperti umat islam tidak boleh tunduk kepada hukumnya sendiri, belum sepenuhnya kemandirian Peradilan Agama dalam sengketa perdata kecuali bidang hukum keluarga, banyaknya masalah yang dihadapi umat Islam, sementara belum ada fatwa hukum yang mampu merangkum dalam satu perundang-undangan yang bias diterima oleh semua elemen masyarakat Islam di Indonesia.

BAB IV HUKUM ISLAM DALAM PROSPEKTIF SEJARAH 3.1 Hukum Islam di Indonesia masa pra-penjajahan Belanda Akar sejarah hukum Islam di kawasan nusantara menurut sebagian ahli sejarah dimulai pada abad pertama hijriyah, atau pada sekitar abad ketujuh dan kedelapan masehi. Sebagai gerbang masuk ke dalam kawasan nusantara, kawasan

19

utara pulau Sumatera-lah yang kemudian dijadikan sebagai titik awal gerakan dakwah para pendatang muslim. Secara perlahan, gerakan dakwah itu kemudian membentuk masyarakat Islam pertama di Peureulak, Aceh Timur.

Berkembangnya komunitas muslim diwilayah itu kemudian diikuti oleh berdirinya kerajaan Islam pertama di Tanah air pada abad ketiga belas. Kerajaan ini dikenal dengan nama Samudera Pasai. Ia terletak di wilayah Aceh Utara. Pengaruh dakwah Islam yang cepat menyebar hingga ke berbagai wilayah nusantara kemudian menyebabkan beberapa kerajaan Islam berdiri menyusul berdirinya Kerajaan Samudera Pasai di Aceh. Tidak jauh dari Aceh berdiri Kesultanan Malaka, lalu di pulau Jawa berdiri Kesultanan Demak, Mataram dan Cirebon, kemudian di Sulawesi dan Maluku berdiri Kerajaan Gowa dan Kesultanan Ternate serta Tidore. Kesultanan-kesultanan tersebut sebagaimana tercatat dalam sejarah, itu tentu saja kemudian menetapkan hukum Islam sebagai hukum positif yang berlaku. Penetapan hukum Islam sebagai hukum positif di setiap kesultanan tersebut tentu saja menguatkan pengamalannya yang memang telah berkembang di tengah masyarakat muslim masa itu. Fakta-fakta ini dibuktikan dengan adanya literatur-literatur fiqh yang ditulis oleh para ulama nusantara pada sekitar abad 16 dan 17. Dan kondisi terus berlangsung hingga para pedagang Belanda datang ke kawasan nusantara. 3.2 Hukum Islam di Indonesia masa penjajahan Belanda Cikal bakal penjajahan Belanda terhadap kawasan nusantara dimulai

dengan kehadiran Organisasi Perdagangan Dagang Belanda di Hindia Timur, atau yang lebih dikenal dengan VOC. Sebagai sebuah organisasi dagang, VOC dapat dikatakan memiliki peran yang melebihi fungsinya. Hal ini sangat dimungkinkan sebab Pemerintah Kerajaan Belanda memang menjadikan VOC sebagai perpanjangtangannya di kawasan Hindia Timur. Karena itu disamping menjalankan fungsi perdagangan, VOC juga mewakili Kerajaan Belanda dalam menjalankan fungsi-fungsi pemerintahan. Tentu saja dengan menggunakan hukum Belanda yang mereka bawa. Dalam kenyataannya, penggunaan hukum Belanda itu menemukan kesulitan. Ini disebabkan karena penduduk pribumi berat menerima hukumhukum yang asing bagi mereka. Akibatnya, VOC pun membebaskan penduduk pribumi untuk menjalankan apa yang selama ini telah mereka jalankan. Kaitannya dengan hukum Islam, dapat dicatat beberapa kompromi yang dilakukan oleh pihak VOC, yaitu: a. Dalam Statuta Batavia yag ditetapkan pada tahun 1642 oleh VOC, dinyatakan bahwa hukum kewarisan Islam berlaku bagi para pemeluk agama Islam. b. Adanya upaya kompilasi hukum kekeluargaan Islam yang telah berlaku di tengah masyarakat. Upaya ini diselesaikan pada tahun 1760. Kompilasi ini kemudian dikenal dengan Compendium Freijer. c. Adanya upaya kompilasi serupa di berbagai wilayah lain, seperti di Semarang, Cirebon, Gowa dan Bone.

21

Di Semarang, misalnya, hasil kompilasi itu dikenal dengan nama Kitab Hukum Mogharraer (dari al-Muharrar). Namun kompilasi yang satu ini memiliki kelebihan dibanding Compendium Freijer, dimana ia juga memuat kaidah-kaidah hukum pidana Islam. Pengakuan terhadap hukum Islam ini terus berlangsung bahkan hingga menjelang peralihan kekuasaan dari Kerajaan Inggris kepada Kerajaan Belanda kembali. Setelah Thomas Stanford Raffles menjabat sebagai gubernur selama 5 tahun (1811-1816) dan Belanda kembali memegang kekuasaan terhadap wilayah Hindia Belanda, semakin nampak bahwa pihak Belanda berusaha keras mencengkramkan kuku-kuku kekuasaannya di wilayah ini. Namun upaya itu menemui kesulitan akibat adanya perbedaan agama antara sang penjajah dengan rakyat jajahannya, khususnya umat Islam yang mengenal konsep dar al-Islam dan dar al-harb. Itulah sebabnya, Pemerintah Belanda mengupayakan ragam cara untuk menyelesaikan masalah itu. Diantaranya dengan (1) menyebarkan agama Kristen kepada rakyat pribumi, dan (2) membatasi keberlakuan hukum Islam hanya pada aspek-aspek batiniah (spiritual) saja. Bila ingin disimpulkan, maka upaya pembatasan keberlakuan hukum Islam oleh Pemerintah Hindia Belanda secara kronologis adalah sebagai berikut : Pada pertengahan abad 19, Pemerintah Hindia Belanda melaksanakan

Politik Hukum yang Sadar; yaitu kebijakan yang secara sadar ingin menata kembali dan mengubah kehidupan hukum di Indonesia dengan hukum Belanda. Atas dasar nota disampaikan oleh Mr. Scholten van Oud Haarlem,

Pemerintah Belanda menginstruksikan penggunaan undang-undang agama, lembaga-lembaga dan kebiasaan pribumi dalam hal persengketaan yang terjadi di antara mereka, selama tidak bertentangan dengan asas kepatutan dan keadilan yang diakui umum. Klausa terakhir ini kemudian menempatkan hukum Islam di bawah subordinasi dari hukum Belanda. Atas dasar teori resepsi yang dikeluarkan oleh Snouck Hurgronje,

Pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1922 kemudian membentuk komisi untuk meninjau ulang wewenang pengadilan agama di Jawa dalam memeriksa kasuskasus kewarisan (dengan alasan, ia belum diterima oleh hukum adat setempat). Pada tahun 1925, dilakukan perubahan terhadap Pasal 134 ayat 2 Indische

Staatsregeling (yang isinya sama dengan Pasal 78 Regerringsreglement), yang intinya perkara perdata sesama muslim akan diselesaikan dengan hakim agama Islam jika hal itu telah diterima oleh hukum adat dan tidak ditentukan lain oleh sesuatu ordonasi. Lemahnya posisi hukum Islam ini terus terjadi hingga menjelang berakhirnya kekuasaan Hindia Belanda di wilayah Indonesia pada tahun 1942.

3.3 Hukum Islam di Indonesia masa pendudukan Jepang Setelah Jendral Ter Poorten menyatakan menyerah tanpa syarat kepada panglima militer Jepang untuk kawasan Selatan pada tanggal 8 Maret 1942, segera Pemerintah Jepang mengeluarkan berbagai peraturan. Salah satu

23

diantaranya adalah Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1942, yang menegaskan bahwa Pemerintah Jepag meneruskan segala kekuasaan yang sebelumnya dipegang oleh Gubernur Jendral Hindia Belanda. Ketetapan baru ini tentu saja berimplikasi pada tetapnya posisi keberlakuan hukum Islam sebagaimana kondisi terakhirnya di masa pendudukan Belanda. Meskipun demikian, Pemerintah Pendudukan Jepang tetap melakukan berbagai kebijakan untuk menarik simpati umat Islam di Indonesia. Diantaranya adalah: Janji Panglima Militer Jepang untuk melindungi dan memajukan Islam sebagai agama mayoritas penduduk pulau Jawa. Mendirikan Shumubu (Kantor Urusan Agama Islam) yang dipimpin oleh bangsa Indonesia sendiri. Mengizinkan berdirinya ormas Islam, seperti Muhammadiyah dan NU. Menyetujui berdirinya Majelis Syura Muslimin Indonesia (Masyumi) pada bulan oktober 1943. Menyetujui berdirinya Hizbullah sebagai pasukan cadangan yang mendampingi berdirinya PETA. Berupaya memenuhi desakan para tokoh Islam untuk mengembalikan kewenangan Pengadilan Agama dengan meminta seorang ahli hukum adat, Soepomo, pada bulan Januari 1944 untuk menyampaikan laporan tentang

hal itu. Namun upaya ini kemudian dimentahkan oleh Soepomo dengan alasan kompleksitas dan menundanya hingga Indonesia merdeka. Dengan demikian, nyaris tidak ada perubahan berarti bagi posisi hukum Islam selama masa pendudukan Jepang di Tanah air. Namun bagaimanapun juga, masa pendudukan Jepang lebih baik dari pada Belanda dari sisi adanya pengalaman baru bagi para pemimpin Islam dalam mengatur masalah-masalah keagamaan. Abikusno Tjokrosujoso menyatakan bahwa, Kebijakan pemerintah Belanda telah memperlemah posisi Islam. Islam tidak memiliki para pegawai di bidang agama yang terlatih di masjid-masjid atau pengadilan-pengadilan Islam. Belanda menjalankan kebijakan politik yang memperlemah posisi Islam. Ketika pasukan Jepang datang, mereka menyadari bahwa Islam adalah suatu kekuatan di Indonesia yang dapat dimanfaatkan

3.4 Hukum Islam di Indonesia masa kemerdekaan (1945) Meskipun Pendudukan Jepang memberikan banyak pengalaman baru kepada para pemuka Islam Indonesia, namun pada akhirnya, seiring dengan semakin lemahnya langkah strategis Jepang memenangkan perang yang kemudian membuat mereka membuka lebar jalan untuk kemerdekaan Indonesia, Jepang mulai mengubah arah kebijakannya. Mereka mulai melirik dan memberi

25

dukungan kepada para tokoh-tokoh nasionalis Indonesia. Dalam hal ini, nampaknya Jepang lebih mempercayai kelompok nasionalis untuk memimpin Indonesia masa depan. Maka tidak mengherankan jika beberapa badan dan komite negara, seperti Dewan Penasehat (Sanyo Kaigi) dan BPUPKI (Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai) kemudian diserahkan kepada kubu nasionalis. Hingga Mei 1945, komite yang terdiri dari 62 orang ini, paling hanya 11 diantaranya yang mewakili kelompok Islam. Atas dasar itulah, Ramly Hutabarat menyatakan bahwa BPUPKI bukanlah badan yang dibentuk atas dasar pemilihan yang demokratis, meskipun Soekarno dan Mohammad Hatta berusaha agar aggota badan ini cukup representatif mewakili berbagai golonga dalam masyarakat Indonesia. Perdebatan panjang tentang dasar negara di BPUPKI kemudian berakhir dengan lahirnya apa yang disebut dengan Piagam Jakarta. Kalimat kompromi paling penting Piagam Jakarta terutama ada pada kalimat Negara berdasar atas Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemelukpemeluknya. Menurut Muhammad Yamin kalimat ini menjadikan Indonesia merdeka bukan sebagai negara sekuler dan bukan pula negara Islam. Dengan rumusan semacam ini sesungguhnya lahir sebuah implikasi yang mengharuskan adanya pembentukan undang-undang untuk melaksanakan Syariat Islam bagi para pemeluknya. Tetapi rumusan kompromis Piagam Jakarta itu akhirnya gagal ditetapkan saat akan disahkan pada tanggal 18 Agustus 1945 oleh PPKI. Ada banyak kabut berkenaan dengan penyebab hal itu. Tapi semua versi mengarah kepada Mohammad Hatta yang menyampaikan keberatan golongan Kristen di Indonesia Timur. Hatta mengatakan ia mendapat informasi tersebut dari

seorang opsir angkatan laut Jepang pada sore hari taggal 17 Agustus 1945. Namun Letkol Shegeta Nishijima satu-satunya opsir AL Jepang yang ditemui Hatta pada saat itu- menyangkal hal tersebut. Ia bahkan menyebutkan justru Latuharhary yang menyampaikan keberatan itu. Keseriusan tuntutan itu lalu perlu dipertanyakan mengingat Latuharhary bersama dengan Maramis, seorang tokoh Kristen dari Indonesia Timur lainnya- telah menyetujui rumusan kompromi itu saat sidang BPUPKI. Pada akhirnya, di periode ini, status hukum Islam tetaplah samar-samar. Isa Ashary mengatakan, kejadian mencolok mata sejarah ini dirasakan oleh umat Islam sebagai suatu permainan sulap yang masih diliputi kabut rahasiasuatu politik pengepungan kepada cita-cita umat Islam. Hukum Islam pada Masa Kemerdekaan Periode Revolusi Hingga Keluarnya Dekrit Presiden 5 Juli 1950. Selama hampir lima tahun setelah proklamasi kemerdekaan, Indonesia memasuki masa-masa revolusi (1945-1950). Menyusul kekalahan Jepang oleh tentara-tentara sekutu, Belanda ingin kembali menduduki kepulauan Nusantara. Dari beberapa pertempuran, Belanda berhasil menguasai beberapa wilayah Indonesia, dimana ia kemudian mendirikan negaranegara kecil yang dimaksudkan untuk mengepung Republik Indonesia. Berbagai perundingan dan perjanjian kemudian dilakukan, hingga akhirnya tidak lama setelah Linggarjati, lahirlah apa yang disebut dengan Konstitusi Indonesia Serikat pada tanggal 27 Desember 1949. Dengan berlakunya Konstitusi RIS tersebut, maka UUD 1945 dinyatakan

27

berlaku sebagai konstitusi Republik Indonesia yang merupakan satu dari 16 bagian negara Republik Indonesia Serikat. Konstitusi RIS sendiri jika ditelaah, sangat sulit untuk dikatakan sebagai konstitusi yang menampung aspirasi hukum Islam. Mukaddimah Konstitusi ini misalnya, samasekali tidak menegaskan posisi hukum Islam sebagaimana rancangan UUD 1945 yang disepakati oleh BPUPKI. Demikian pula dengan batang tubuhnya, yang bahkan dipengaruhi oleh faham liberal yang berkembang di Amerika dan Eropa Barat, serta rumusan Deklarasi HAM versi PBB. Namun saat negara bagian RIS pada awal tahun 1950 hanya tersisa tiga negara saja RI, negara Sumatera Timur, dan negara Indonesia Timur, salah seorang tokoh umat Islam, Muhammad Natsir, mengajukan apa yang kemudian dikenal sebagai Mosi Integral Natsir sebagai upaya untuk melebur ketiga negara bagian tersebut. Akhirnya, pada tanggal 19 Mei 1950, semuanya sepakat membentuk kembali Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan

Proklamasi 1945. Dan dengan demikian, Konstitusi RIS dinyatakan tidak berlaku, digantikan dengan UUD Sementara 1950. Akan tetapi, jika dikaitkan dengan hukum Islam, perubahan ini tidaklah membawa dampak yang signifikan. Sebab ketidakjelasan posisinya masih ditemukan, baik dalam Mukaddimah maupun batang tubuh UUD Sementara 1950, kecuali pada pasal 34 yang rumusannya sama dengan pasal 29 UUD 1945, bahwa Negara berdasar Ketuhanan yang Maha Esa dan jaminan negara terhadap kebebasan setiap penduduk menjalankan agamanya masing-masing. Juga pada pasal 43 yang menunjukkan keterlibatan negara dalam urusan-urusan keagamaan. Kelebihan lain dari UUD Sementara 1950 ini adalah

terbukanya peluang untuk merumuskan hukum Islam dalam wujud peraturan dan undang-undang. Peluang ini ditemukan dalam ketentuan pasal 102 UUD sementara 1950. Peluang inipun sempat dimanfaatkan oleh wakil-wakil umat Islam saat mengajukan rancangan undang-undang tentang Perkawinan Umat Islam pada tahun 1954. Meskipun upaya ini kemudian gagal akibat hadangan kaum nasionalis yang juga mengajukan rancangan undang-undang Perkawinan Nasional. Dan setelah itu, semua tokoh politik kemudian nyaris tidak lagi memikirkan pembuatan materi undang-undang baru, karena konsentrasi mereka tertuju pada bagaimana mengganti UUD Sementara 1950 itu dengan undangundang yang bersifat tetap. Perjuangan mengganti UUD Sementara itu kemudian diwujudkan dalam Pemilihan Umum untuk memilih dan membentuk Majlis Konstituante pada akhir tahun 1955. Majelis yang terdiri dari 514 orang itu kemudian dilantik oleh Presiden Soekarno pada 10 November 1956. Namun delapan bulan sebelum batas akhir masa kerjanya, Majlis ini dibubarkan melalui Dekrit Presiden yang dikeluarkan pada tanggal 5 Juli 1959. Hal penting terkait dengan hukum Islam dalam peristiwa Dekrit ini adalah konsiderannya yang menyatakan bahwa Piagam Jakarta tertanggal 22 Juni menjiwai UUD 1945 dan merupakan suatu kesatuan dengan konstitusi tersebut. Hal ini tentu saja mengangkat dan memperjelas posisi hukum Islam dalam UUD, bahkan menurut Anwar Harjono lebih dari sekedar sebuah dokumen historis. Lagi-lagi faktor-faktor politik adalah penentu utama dalam hal ini. Pengejawantahan kesimpulan akademis ini hanya sekedar menjadi wacana jika

29

tidak didukung oleh daya tawar politik yang kuat dan meyakinkan. Hal lain yang patut dicatat di sini adalah terjadinya beberapa pemberontakan yang diantaranya bernuansakan Islam dalam fase ini. Yang paling fenomenal adalah gerakan DI/TII yang dipelopori oleh Kartosuwirjo dari Jawa Barat. Kartosuwirjo sesungguhnya telah memproklamirkan negara Islamnya pada tanggal 14 Agustus 1945, atau dua hari sebelum proklamasi kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945. Namun ia melepaskan aspirasinya untuk kemudian bergabung dengan Republik Indonesia. Tetapi ketika kontrol RI terhadap wilayahnya semakin merosot akibat agresi Belanda, terutama setelah diproklamirkannya Negara boneka Pasundan di bawah kontrol Belanda, ia pun memproklamirkan berdirinya Negara Islam Indonesia pada tahun 1948. Namun pemicu konflik yang berakhir di tahun 1962 dan mencatat 25.000 korban tewas itu, menurut sebagian peneliti, lebih banyak diakibatkan oleh kekecewaan Kartosuwirjo terhadap strategi para pemimpin pusat dalam mempertahankan diri dari upaya pendudukan Belanda kembali, dan bukan atas dasar apa yang mereka sebut dengan kesadaran teologis-politisnya.

3.5 Hukum Islam di Indonesia era orde lama dan orde baru Mungkin tidak terlalu keliru jika dikatakan bahwa Orde Lama adalah eranya kaum nasionalis dan komunis. Sementara kaum muslim di era ini perlu sedikit merunduk dalam memperjuangkan cita-citanya. Salah satu partai yang mewakili aspirasi umat Islam kala itu, Masyumi harus dibubarkan pada tanggal 15

Agustus

1960

oleh

Soekarno,

dengan

alasan

tokoh-tokohnya

terlibat

pemberontakan (PRRI di Sumatera Barat). Sementara NU yang kemudian menerima Manipol Usdek-nya Soekarno[27]- bersama dengan PKI dan PNI kemudian menyusun komposisi DPR Gotong Royong yang berjiwa Nasakom. Berdasarkan itu, terbentuklah MPRS yang kemudian menghasilkan 2 ketetapan, salah satunya adalah tentang upaya unifikasi hukum yang harus memperhatikan kenyataan-kenyataan umum yang hidup di Indonesia. Meskipun hukum Islam adalah salah satu kenyataan umum yang selama ini hidup di Indonesia, dan atas dasar itu Tap MPRS tersebut membuka peluang untuk memposisikan hukum Islam sebagaimana mestinya, namun lagi-lagi ketidakjelasan batasan perhatian itu membuat hal ini semakin kabur. Dan peran hukum Islam di era inipun kembali tidak mendapatkan tempat yang semestinya. Menyusul gagalnya kudeta PKI pada 1965 dan berkuasanya Orde Baru, banyak pemimpin Islam Indonesia yang sempat menaruh harapan besar dalam upaya politik mereka mendudukkan Islam sebagaimana mestinya dalam tatanan politik maupun hukum di Indonesia. Apalagi kemudian Orde Baru membebaskan bekas tokoh-tokoh Masyumi yang sebelumnya dipenjara oleh Soekarno. Namun segera saja, Orde ini menegaskan perannya sebagai pembela Pancasila dan UUD 1945. Bahkan di awal 1967, Soeharto menegaskan bahwa militer tidak akan menyetujui upaya rehabilitasi kembali partai Masyumi. Meskipun kedudukan hukum Islam sebagai salah satu sumber hukum nasional tidak begitu tegas dimasa awal Orde ini, namun upaya-upaya untuk mempertegasnya tetap terus dilakukan. Hal ini ditunjukkan oleh K.H. Mohammad

31

Dahlan, seorang menteri agama dari kalangan NU, yang mencoba mengajukan Rancangan Undang-undang Perkawinan Umat Islam dengan dukunagn kuat fraksi-fraksi Islam di DPR-GR. Meskipun gagal, upaya ini kemudian dilanjutkan dengan mengajukan rancangan hukum formil yang mengatur lembaga peradilan di Indonesia pada tahun 1970. Upaya ini kemudian membuahkan hasil dengan lahirnya UU No.14/1970, yang mengakui Pengadilan Agama sebagai salah satu badan peradilan yang berinduk pada Mahkamah Agung. Dengan UU ini, dengan sendirinya menurut Hazairin, hukum Islam telah berlaku secara langsung sebagai hukum yang berdiri sendiri. Penegasan terhadap berlakunya hukum Islam semakin jelas ketika UU no. 14 Tahun 1989 tentang peradilan agama ditetapkan. Hal ini kemudian disusul dengan usaha-usaha intensif untuk mengompilasikan hukum Islam di bidangbidang tertentu. Dan upaya ini membuahkan hasil saat pada bulan Februari 1988, Soeharto sebagai presiden menerima hasil kompilasi itu, dan menginstruksikan penyebarluasannya kepada Menteri Agama. 3.6 Hukum Islam di Indonesia era reformasi Soeharto akhirnya jatuh. Gemuruh demokrasi dan kebebasan bergemuruh di seluruh pelosok Indonesia. Setelah melalui perjalanan yang panjang, di era ini setidaknya hukum Islam mulai menempati posisinya secara perlahan tapi pasti. Lahirnya Ketetapan MPR No. III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan semakin membuka peluang lahirnya aturan undang-undang yang berlandaskan hukum Islam. Terutama pada Pasal 2 ayat 7

yang menegaskan ditampungnya peraturan daerah yang didasarkan pada kondisi khusus dari suatu daerah di Indonesia, dan bahwa peraturan itu dapat mengesampingkan berlakunya suatu peraturan yang bersifat umum. Lebih dari itu, disamping peluang yang semakin jelas, upaya kongkrit merealisasikan hukum Islam dalam wujud undang-undang dan peraturan telah membuahkan hasil yang nyata di era ini. Salah satu buktinya adalah Undangundang Nomor 32 Tahun 2004 dan Qanun Propinsi Nangroe Aceh Darussalam tentang Pelaksanaan Syariat Islam Nomor 11 Tahun 2002. Dengan demikian, di era reformasi ini, terbuka peluang yang luas bagi sistem hukum Islam untuk memperkaya khazanah tradisi hukum di Indonesia. Kita dapat melakukan langkah-langkah pembaruan, dan bahkan pembentukan hukum baru yang bersumber dan berlandaskan sistem hukum Islam, untuk kemudian dijadikan sebagai norma hukum positif yang berlaku dalam hukum Nasional kita. 3.7 Hukum Islam Pada era Demokrasi Bila diperhatikan , suara-suara kritis terhadap formalissi syariat Islam sebenarnya bukan ditujukan semata-mata pada aspek legislasi atau formalisasinya tapi lebih ditujukan kepada model pemahaman yang konservatif dari syariat Islam. Model konservatif dari syariat Islam umumnya adalah hasil pemahaman atau hasil ijtihad ulama masa lalu terhadap syariat Islam. Ijtihad ulama masa lalu tentang syariat Islam memang sudah banyak yang tidak relevan dengan perkembangan masa kini. Suara kritis terhadap formalisasi syariat Islam juga

33

muncul karena formalisasi syariat Islam terkadang merambah sampai mengatur cara hidup atau style of life yang bersifat pribadi seperti cara orang berpakaian yang sebenarnya bukan merupakan ajaran Islam yang pokok.

Hal-hal pokok yang mutlak perlu dilindungi oleh syariat Islam menurut al-Syatibi ada lima : agama, jiwa , keturunan (kelangsungan generasi), harta dan akal. Menurut al-Syatibi, perlindungan terhadap kelima hal ini mutlak (dlaruriyyat), karena kelima hal ini diperlukan untuk tegaknya kemashlahatan agama dan dunia. Dlaruriyat dalam pandangan al-Syatibi adalah sesuatu yang bila tidak dijalankan maka akan timbul kekacauan dan kesulitan yang nyata. Perlindungan terhadap agama , bagi umat Islam mengandung pengertian bahwa umat mesti dilindungi dalam menjalankan rukun atau kewajiban agamanya mulai dari syahadat, shalat, zakat, puasa sampai dengan haji. Perlindungan terhadap agama juga mengandung pengertian agar agama dijaga kelestariannya dan dilindungi dari hal-hal akan merusaknya. Demikian pula perlindungan terhadap jiwa, keturunan, harta dan akal. Adapun menutup aurat atau hal-hal yang berkaitan dengan kesopanan dan keluhuran budi pekerti masuk kategori tahsiniyat. Oleh karena itu jika yang diformalkan adalah prinsip-prinsip umum syariat Islam yang bisa membawa kemaslahatan bagi semua golongan maka formalisasi syariat Islam tidak akan menimbulkan masalah. Tapi jika umat Islam mau memformalkan hukum pidana Islam peninggalan masa lalu maka mereka harus berani melakukan reformasi dan reinterpretasi terhadap bagian-bagian yang

sudah tidak relevan dengan perkembangan masa kini agar bisa diterima dan kiranya bisa membawa maslahat bagi semua orang. Hukuman rajam (dilempari batu sampai mati) dan hukuman potong tangan tidak mungkin bisa diundangkan di Indonesia. Oleh karena itu dalam era demokrasi peluang untuk memasukkan norma-norma yang berasal dari hukum Islam masih tetap terbuka sepanjang hukum Islam dipahami sesuai dengan tujuannya atau sesuai dengan maqashid al-syariah-nya. Dalam era demokrasi , syariat Islam juga tetap memiliki peluang yang tinggi untuk dimasukkan dalam setiap pembuatan undang-undang sepanjang ijtihad untuk menggali atau menerapkan syariat Islam agar sesuai dengan perkembangan zaman tetap dibuka seluas-luasnya. Meskipun tujuannya tidak berubah , sejarah membuktikan bahwa beberapa bagian dari syariat atau hukum Islam mengalami evolusi.

Dalam era demokrasi setiap Muslim pada dasarnya memiliki peluang dan kesempatan yang sama untuk memahami dan menerjemahkan hukum-hukum Tuhan. Jadi bukan hanya para fuqaha dan penguasa saja yang bisa mengatasnamakan diri sebagai khalifatullah sebagimana yang sering dipahami selama ini. Oleh karena itu ijtihad mesti dimaknai sebaagi refleksi pemikiran dinamis manusia yang pada akhirnya mengarah pada konsensus atau kesepakatan. Fazlur Rahman mengatakan : ijtihad must be multiple effort of thinking minds some naturally better than other , and some better than other in various areas that confront each other in open arena of debate , resulting eventually in an overall

35

consensus.

BAB V PENUTUP 4.1 Kesimpulan Umat Islam adalah penduduk mayoritas di Indonesia, sejak pululah bahkan ratusan tahun sudah upaya untuk menjadikan hukum Islam sebagai hukum yang berlaku untuk penduduk Indonesia terus digencarkan oleh para ahli-ahli dalam hukum Islam, dalam penerapannya setiap orde atau era sangat mengalami peningkatan, lihat saja ketika menjelang proklamasi kemerdekaan ulama-ulama seperti H. Agus Salim, KH. Hasyim Asyari, berusaha sekuat tenaga dan fikirannya untuk menjadikan hukum yang berlaku di Indonesia ini

adalah hukum Islam. Hingga sekarang segala upayapun telah dilejitkan, dengan

terwujudnya Departemen Agama, Peradilan Agama, dan instansi-insatansi baik milik Negara maupun swasta yang menangani malasah-masalah ummat, dalam perundang-undanganpun telah di undangkannya Hukum Islam dengan tewujudnya Kompilasi Hukum Islam, yang didalamnya membahas tentang hukum keluarga, perkawinan, kewarisan, perwakafan, dan lain sebagainya. Meski hukum Islam telah diundang-undangkan, tetapi tidak ada kesadaran dalam diri umat Islam di Indonesia akan menjadi sia-sia, dan ada beberapa kendala dalam menegakkan Hukum Islam di Indonesia, diantaranya adalah: Kemajemukan Bangsa ; patut di ingat bahwa Negara Indonesia memiliki wilayah yang sangat luas masing-masing memiliki kondisi social dan kultur yang berbeda, sehingga tidak mudah untuk mendekatkannya satu sama lain. Metode Pendidikan Hukum ; selama ini, pelajaran ilmu hukum yang diajarkan kepada mahasiswa hampir disetiap universitas adalah trikotomi antara hukum barat, hukum Islam, dan hukum adat. Berhubung dengan masyarakat Indonesia relative heterogen dan wilayahnya cukup luas, maka semakin berakibat pencarian titik temu antara elemen hukum-hukum tersebut. Dan kurangnya pengkajian akademik dibidang Hukum Islam.

4.2 Saran Sebagai warga Negara Indonesia yang berbudi luhur, dan sebagai

37

umat Islam mari kita tegakkan hukum seadil-adilnya, melihat tatanan hukum di Indonesia sekarang yang kuarang efektif dan kurang mendukung, masih banyak kedholiman, penindasan dan lain sebagainya. Penulis menyarankan : 1. Hendaknya para pejabat tinggi Negara menjalankan amanah kepada rakyatnya dan kepada tuhan yang maha esa Allah SWT. Dengan menjunjung tinggi sila-sila dalam pancasila. 2. Sebagai umat Islam kita sadar bahwa perlunya penegakan hukum Islam yang dapat menaungi segenap warga Negara yang beragam Islam dan maupun yang bukan beragama Islam, karena konteks agama Islam adalah Rahmatan Lil Alamin.

DAFTAR PUSTAKA Usman, Suparman, Hukum Islam, Jakarta: Gaya Media Pratama, 2001 Praja, Juhaya S, Hukum Islam di Indonesia, Perkembangan dan Pembentukan, Bandung: Remaja Rosdakarya, 1994

MD, Mahfud, Sidik Tono, Dadan Muttaqien, Peradilan Agama dan Kompilasi

Hukum Islam Dalam Tata Hukum Indonesia, Jogjakarta: UII press, 1993

Ali, Mohammad Daud, Hukum Islam Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2007

http://balianzahab.wordpress.com/makalah-hukum/hukum-islam/perkembanganhukum-islam/

http://blumewahabi.wordpress.com/2007/06/12/hukum-islam-di-indonesia-duludan-sekarang-2/ http://boemiraya.blogspot.com/2009/09/islam-sebagai-standar-kehidupankita_5208.html http://infokomnh.multiply.com/journal/item/4 http://asyapradana646702.blogspot.com/2011/05/hukum-islam-di-era-demokrasitantangan.html

39

Anda mungkin juga menyukai