Anda di halaman 1dari 4

Anton A Setyawan-Artikel Pendidikan

BISNIS PERGURUAN TINGGI,


KUALITAS VS KUANTITAS

Anton A. Setyawan
Dosen Fak. Ekonomi Universitas Muhammadiyah Surakarta
Jl A Yani Tromol Pos 1 Pabelan Kartasura Surakarta 57102
Hp 08156718444
e-mail:agussetyawan-a@mailcity.comdan rmb_anton@yahoo.com

Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Indonesia (Aptisi) mengemukakan


bahwa pada tahun akademik 2005-2006 ini jumlah mahasiswa baru di Jateng
dan DIY mengalami penurunan sebesar 10-15 persen. Kondisi ini oleh PTS
ditanggapi dengan penuh kecemasan. Mereka menganggap penurunan
jumlah mahasiswa ini karena PTN menerapkan kebijakan baru dalam
peneriman mahasiwa baru dengan jalur khusus. Anggapan ini kemudian
dibantah oleh PTN karena mereka juga menghadapi masalah yang sama
yaitu penurunan jumlah mahasiswa. Mengapa hal ini bisa terjadi? Fenomena
ini memunculkan kembali masalah lama yang menjadi tuntutan masyarakat
yaitu kualitas perguruan tinggi. Memilih perguruan tinggi (PT) berkualitas
seharusnya akan menjamin masa depan mahasiswanya. Namun, memilih PT
yang berkualitas sekarang bukan pekerjaan mudah, para calon mahasiswa
akan dihadapkan pada pilihan antara kualitas ataukah kemudahan dalam
menyelesaikan pendidikan. Berbagai PT sekarang menawarkan beragam
program studi dengan metode penngajaran yang bermacam pula. Ada
metode konvensional, dimana mahasiswa hadir di kelas dan mendapatkan
transfer ilmu. Namun, ada pula metode non konvensional dimana mahasiswa
cukup membayar sejumlah biaya tertentu dan bisa memilih gelar yang
diinginkan (bahkan dari universitas di luar negeri) atau metode kelas jauh,
kelas khusus, extention dan lain sebagainya. Hal ini kemudian menjadi
perdebatan di kalangan praktisi pendidikan tinggi maupun masyarakat
tentang etika penyelenggaraan pendidikan tinggi dengan cara non-
konvensional tersebut. Perdebatan ini merupakan sebuah cerminan dari
semakin mundurnya idealisme penyelenggara pendidikan tinggi di
Indonesia. Idealisme mereka terkalahkan oleh permintaan pasar akan gelar
akademis guna kepentingan prestise. Kelas khusus, kelas jauh atau apapun
namanya biasanya tidak memenuhi standar kualitas akademis seperti kelas
reguler, hal ini dikarenakan tujuan penyelenggaraannya yang bukan
dilandasi keinginan melakukan transfer pengetahuan, namun lebih karena
pertimbangan bisnis. Perguruan tinggi negeri dan swasta berlomba-lomba

1
Fak Ekonomi UMS-Juli 2005
Anton A Setyawan-Artikel Pendidikan

membuka kelas khusus seperti ini karena dari sisi pendapatan demikian
menggiurkan. Biaya untuk mengikuti kelas non-reguler seperti ini bisa dua
kali lipat kelas reguler.

Fenomena seperti ini menimbulkan pertanyaan besar di hati kita,


apakah dunia pendidikan (tinggi) yang seharusnya menjadi kubu terakhir
dari implementasi nilai-nilai idealis sudah kehilangan nilai-nilai tersebut ?
Sebelum kita mampu menjawab pertanyaan ini, terlebih dahulu harus kita
pahami kondisi pendidikan tinggi di Indonesia. Seperti juga semua aspek di
dalam kehidupan kita, pendidikan rupanya juga mengikuti arus kapitalisme.
Kapitalisme berati akumulasi modal untuk memperoleh profit dan ini yang
sedang dilakukan pendidikan tinggi Indonesia. Tuntutan permintaan pasar
akan gelar akademis disambut dengan membuka kelas reguler maupun non-
reguler sebanyak-banyaknya. Pembukaan kelas tersebut tidak menjadi
masalah selama kualitas masih dijadikan acuan para penyelenggara
pendidikan, namun kita bisa melihat bahwa kualitas output pendidikan tinggi
kita masih jauh dari memuaskan. Kualitas rendah dari output perguruan
tinggi terjadi di kelas reguler yang nota bene masih mempertahankan
kualitas. Bagaimana dengan kelas non-reguler (kelas jauh, kelas khusus atau
kelas malam), sebagai praktisi di dalam pendidikan tinggi, penulis melihat
output perguruan tinggi kelas non-reguler kualitasnya lebih memprihatinkan.

Pendidikan Tinggi Dan Daya Saing Nasional

Dalam laporan The World Competitiveness Report dalam World


Economic Forum disebutkan bahwa daya saing Indonesia di pasar
internasional hanya berada di peringkat bawah, jauh di bawah Thailand,
Malaysia, Cina bahkan Philipina (Tambunan, 2001). Indeks yang dihitung
dalam pengukuran daya saing negara ini termasuk kualitas SDM-nya.
Adapun, penilaian Human Development Index Indonesia hanya
mendapatkan skor 0,681 dan berada pada ranking 108 dari 174 negara yang
dinilai (Ahmad, 2001). Kualitas SDM Indonesia ternyata berada jauh di
bawah Malaysia (ranking 56) dan Filipina (ranking 77).Hal ini rupanya
sesuai dengan hasil survei Political and Economic Risk
Consultancy (PERC) tentang penilaian mengenai kualitas
pendidikan di kawasan Asia menempatkan Indonesia di
urutan ke-12 atau setingkat di bawah Vietnam. Selain itu, di
antara 12 negara yang diriset lembaga penelitian yang
berkantor pusat di Hong Kong itu, sistem pendidikan di
Indonesia terburuk di kawasan Asia. Pendidikan seharusnya dapat
2
Fak Ekonomi UMS-Juli 2005
Anton A Setyawan-Artikel Pendidikan

menjamin terwujudnya peningkatan daya saing nasional

Menurut Tambunan (2001), pendidikan mempunyai peran besar dalam


meningkatkan daya saing nasional, dengan menyediakan SDM yang
berkualitas bagi penyediaan tenaga kerja. Namun, gambaran ideal tersebut
tidak sesuai dengan kenyataan yang kita lihat sehari-hari. Lunturnya
idealisme para penyelenggara pendidikan di Indonesia menyebabkan cita-
cita untuk menjadikan pendidikan tinggi sebagai basis utama dalam
peningkatan daya saing nasional, masih jauh dari harapan kita.

Kapitalisme Dalam Pendidikan Tinggi

Hampir semua aspek kehidupan di negara ini sudah dipengaruhi oleh


kapitalisme. Aspek ekonomi, politik dan sosial-budaya tidak mampu
menghindar dari gejala ini. Dunia pendidikan (tinggi) juga tidak ketinggalan
menggunakan kapitalisme sebagai landasan operasionalnya. Oleh karena itu,
pendidikan tinggi kemudian mempunyai anggapan bahwa gelar akademis
adalah permintaan pasar yang harus dipenuhi. Kenyataan ini mungkin tidak
dapat dihindari. Ariel Haryanto (1991) mengemukakan bahwa kapitalisme
dapat memacu persaingan yang kompetitif dan mengedepankan kualitas.
Dalam sebuah artikelnya, beliau mengemukakan bahwa industri hiburan di
Amerika Serikat justru menghasilkan karya budaya bermutu karena
kentalnya nuansa kapitalisme. Jika kemudian pendidikan tinggi juga
dipengaruhi kapitalisme maka kualitas seharusnya dijadikan competitive
advantage.

Penurunan jumlah mahasiswa baru di PTN/PTS seharusnya dilihat


dengan bijaksana. Ada beberapa kemungkinan yang menjadi sebab, yaitu,
pertama, masalah demografi. Penurunan jumlah penduduk usia 18-24 karena
keberhasilan program KB menyebabkan hal ini. Kedua, krisis ekonomi
berkepanjangan yang menyebabkan penurunan daya beli masyarakat,
sehingga perguruan tinggi dianggap layanan pendidikan yang mahal. Ketiga,
masyarakat mulai kritis dengan kualitas pendidikan tinggi sehingga mereka
mulai mempertimbangkan banyak aspek sebelum mengambil keputusan
untuk kuliah atau bekerja.

Urgensi peningkatan kualitas pendidikan tinggi adalah hal yang


menjadi inti dari tulisan ini. Kualitas tersebut dimulai dari proses pendidikan
hingga output pendidikan tinggi itu sendiri. Kenyataan yang kita temui di
lapangan ketika perguruan tinggi terlalu eksesif dalam memenuhi
3
Fak Ekonomi UMS-Juli 2005
Anton A Setyawan-Artikel Pendidikan

permintaan pasar tanpa mempertimbangkan kualitas menjadi keprihatinan


kita. Pada akhirnya semuanya tergantung dari stakeholder dari pendidikan
tinggi itu sendiri, yaitu penyelenggara, dosen, mahasiswa, pemerintah dan
sektor industri. Komitmen mereka untuk tidak meninggalkan idealisme
dalam penyelenggaraan pendidikan tinggi akan menjamin bahwa pendidikan
tinggi Indonesia tidak akan menghasilkan “sarjana kosong” belaka.
Peningkatan kualitas pendidikan akan menjamin eksisitensi sebuah
perguruan tinggi di mata masyarakat.

4
Fak Ekonomi UMS-Juli 2005

Anda mungkin juga menyukai