Anda di halaman 1dari 39

Filsafat ilmu Filsafat ilmu adalah merupakan bagian dari filsafat yang menjawab beberapa pertanyaan mengenai hakikat

ilmu[1]. Bidang ini mempelajari dasar-dasar filsafat, asumsi dan implikasi dari ilmu, yang termasuk di dalamnya antara lain ilmu alam dan ilmu sosial. Di sini, filsafat ilmu sangat berkaitan erat dengan epistemologi dan ontologi. Filsafat ilmu berusaha untuk dapat menjelaskan masalah-masalah seperti: apa dan bagaimana suatu konsep dan pernyataan dapat disebut sebagai ilmiah, bagaimana konsep tersebut dilahirkan, bagaimana ilmu dapat menjelaskan, memperkirakan serta memanfaatkan alam melalui teknologi; cara menentukan validitas dari sebuah informasi; formulasi dan penggunaan metode ilmiah; macam-macam penalaran yang dapat digunakan untuk mendapatkan kesimpulan; serta implikasi metode dan model ilmiah terhadap masyarakat dan terhadap ilmu pengetahuan itu sendiri.

Konsep dan pernyataan ilmiah Ilmu berusaha menjelaskan tentang apa dan bagaimana alam sebenarnya dan bagaimana teori ilmu pengetahuan dapat menjelaskan fenomena yang terjadi di alam. Untuk tujuan ini, ilmu menggunakan bukti dari eksperimen, deduksi logis serta pemikiran rasional untuk mengamati alam dan individual di dalam suatu masyarakat. Empirisme Salah satu konsep mendasar tentang filsafat ilmu adalah empirisme, atau ketergantungan pada bukti. Empirisme adalah cara pandang bahwa ilmu pengetahuan diturunkan dari pengalaman yang kita alami selama hidup kita. Di sini, pernyataan ilmiah berarti harus berdasarkan dari pengamatan atau pengalaman. Hipotesa ilmiah dikembangkan dan diuji dengan metode empiris, melalui berbagai pengamatan dan eksperimentasi. Setelah pengamatan dan eksperimentasi ini dapat selalu diulang dan mendapatkan hasil yang konsisten, hasil ini dapat dianggap sebagai bukti yang dapat digunakan untuk mengembangkan teori-teori yang bertujuan untuk menjelaskan fenomena alam Falsifiabilitas Salah satu cara yang digunakan untuk membedakan antara ilmu dan bukan ilmu adalah konsep falsifiabilitas. Konsep ini digagas oleh Karl Popper pada tahun 1919-20 dan kemudian dikembangkan lagi pada tahun 1960-an. Prinsip dasar dari konsep ini adalah, sebuah pernyataan ilmiah harus memiliki metode yang jelas yang dapat digunakan untuk membantah atau menguji teori tersebut. Misalkan dengan mendefinisikan kejadian atau fenomena apa yang tidak mungkin terjadi jika pernyataan ilmiah tersebut memang benar. Artikel bertopik ideologi atau filsafat ini adalah sebuah rintisan. Anda dapat membantu Wikipedia dengan mengembangkannya. Filsafat Ilmu Posted on 13 Januari 2008 by AKHMAD SUDRAJAT A. Pengertian Filsafat Ilmu Untuk memahami arti dan makna filsafat ilmu, di bawah ini dikemukakan pengertian filsafat ilmu dari beberapa ahli yang terangkum dalam Filsafat Ilmu, yang disusun oleh Ismaun (2001) Robert Ackerman philosophy of science in one aspect as a critique of current scientific opinions by comparison to proven past views, but such aphilosophy of science is clearly not a discipline autonomous of actual scientific paractice. (Filsafat ilmu dalam suatu segi adalah suatu tinjauan kritis tentang pendapat-

pendapat ilmiah dewasa ini dengan perbandingan terhadap kriteria-kriteria yang dikembangkan dari pendapat-pendapat demikian itu, tetapi filsafat ilmu jelas bukan suatu kemandirian cabang ilmu dari praktek ilmiah secara aktual. Lewis White Beck Philosophy of science questions and evaluates the methods of scientific thinking and tries to determine the value and significance of scientific enterprise as a whole. (Filsafat ilmu membahas dan mengevaluasi metode-metode pemikiran ilmiah serta mencoba menemukan dan pentingnya upaya ilmiah sebagai suatu keseluruhan) A. Cornelius Benjamin That philosopic disipline which is the systematic study of the nature of science, especially of its methods, its concepts and presuppositions, and its place in the general scheme of intellectual discipines. (Cabang pengetahuan filsafati yang merupakan telaah sistematis mengenai ilmu, khususnya metode-metodenya, konsep-konsepnya dan praanggapan-praanggapan, serta letaknya dalam kerangka umum cabang-cabang pengetahuan intelektual.) Michael V. Berry The study of the inner logic if scientific theories, and the relations between experiment and theory, i.e. of scientific methods. (Penelaahan tentang logika interen dari teori-teori ilmiah dan hubungan-hubungan antara percobaan dan teori, yakni tentang metode ilmiah.) May Brodbeck Philosophy of science is the ethically and philosophically neutral analysis, description, and clarifications of science. (Analisis yang netral secara etis dan filsafati, pelukisan dan penjelasan mengenai landasan landasan ilmu. Peter Caws Philosophy of science is a part of philosophy, which attempts to do for science what philosophy in general does for the whole of human experience. Philosophy does two sorts of thing: on the other hand, it constructs theories about man and the universe, and offers them as grounds for belief and action; on the other, it examines critically everything that may be offered as a ground for belief or action, including its own theories, with a view to the elimination of inconsistency and error. (Filsafat ilmu merupakan suatu bagian filsafat, yang mencoba berbuat bagi ilmu apa yang filsafat seumumnya melakukan pada seluruh pengalaman manusia. Filsafat melakukan dua macam hal : di satu pihak, ini membangun teori-teori tentang manusia dan alam semesta, dan menyajikannya sebagai landasan-landasan bagi keyakinan dan tindakan; di lain pihak, filsafat memeriksa secara kritis segala hal yang dapat disajikan sebagai suatu landasan bagi keyakinan atau tindakan, termasuk teori-teorinya sendiri, dengan harapan pada penghapusan ketakajegan dan kesalahan Stephen R. Toulmin As a discipline, the philosophy of science attempts, first, to elucidate the elements involved in the process of scientific inquiry observational procedures, patens of argument, methods of representation and calculation, metaphysical presuppositions, and so on and then to veluate the grounds of their validity from the points of view of formal logic, practical methodology and metaphysics. (Sebagai suatu cabang ilmu, filsafat ilmu mencoba pertama-tama menjelaskan unsur-unsur yang terlibat dalam proses penyelidikan ilmiah prosedur-prosedur pengamatan, pola-pola perbinacangan, metode-metode penggantian dan perhitungan, pra-anggapan-pra-anggapan metafisis, dan seterusnya dan selanjutnya menilai landasan-landasan bagi kesalahannya dari sudut-sudut tinjauan logika formal, metodologi praktis, dan metafisika).

Berdasarkan pendapat di atas kita memperoleh gambaran bahwa filsafat ilmu merupakan telaah kefilsafatan yang ingin menjawab pertanyaan mengenai hakikat ilmu, yang ditinjau dari segi ontologis, epistemelogis maupun aksiologisnya. Dengan kata lain filsafat ilmu merupakan bagian dari epistemologi (filsafat pengetahuan) yang secara spesifik mengakaji hakikat ilmu, seperti : Obyek apa yang ditelaah ilmu ? Bagaimana ujud yang hakiki dari obyek tersebut? Bagaimana hubungan antara obyek tadi dengan daya tangkap manusia yang membuahkan pengetahuan ? (Landasan ontologis) Bagaimana proses yang memungkinkan ditimbanya pengetahuan yang berupa ilmu? Bagaimana prosedurnya? Hal-hal apa yang harus diperhatikan agar mendakan pengetahuan yang benar? Apakah kriterianya? Apa yang disebut kebenaran itu? Adakah kriterianya? Cara/teknik/sarana apa yang membantu kita dalam mendapatkan pengetahuan yang berupa ilmu? (Landasan epistemologis) Untuk apa pengetahuan yang berupa ilmu itu dipergunakan? Bagaimana kaitan antara cara penggunaan tersebut dengan kaidah-kaidah moral? Bagaimana penentuan obyek yang ditelaah berdasarkan pilihanpilihan moral ? Bagaimana kaitan antara teknik prosedural yang merupakan operasionalisasi metode ilmiah dengan norma-norma moral/profesional ? (Landasan aksiologis). (Jujun S. Suriasumantri, 1982)

B. Fungsi Filsafat Ilmu Filsafat ilmu merupakan salah satu cabang dari filsafat. Oleh karena itu, fungsi filsafat ilmu kiranya tidak bisa dilepaskan dari fungsi filsafat secara keseluruhan, yakni : Sebagai alat mencari kebenaran dari segala fenomena yang ada. Mempertahankan, menunjang dan melawan atau berdiri netral terhadap pandangan filsafat lainnya. Memberikan pengertian tentang cara hidup, pandangan hidup dan pandangan dunia. Memberikan ajaran tentang moral dan etika yang berguna dalam kehidupan Menjadi sumber inspirasi dan pedoman untuk kehidupan dalam berbagai aspek kehidupan itu sendiri, seperti ekonomi, politik, hukum dan sebagainya. Disarikan dari Agraha Suhandi (1989)

Sedangkan Ismaun (2001) mengemukakan fungsi filsafat ilmu adalah untuk memberikan landasan filosofik dalam memahami berbagi konsep dan teori sesuatu disiplin ilmu dan membekali kemampuan untuk membangun teori ilmiah. Selanjutnya dikatakan pula, bahwa filsafat ilmu tumbuh dalam dua fungsi, yaitu: sebagai confirmatory theories yaitu berupaya mendekripsikan relasi normatif antara hipotesis dengan evidensi dan theory of explanation yakni berupaya menjelaskan berbagai fenomena kecil ataupun besar secara sederhana. C.Substansi Filsafat Ilmu Telaah tentang substansi Filsafat Ilmu, Ismaun (2001) memaparkannya dalam empat bagian, yaitu substansi yang berkenaan dengan: (1) fakta atau kenyataan, (2) kebenaran (truth), (3) konfirmasi dan (4) logika inferensi. 1.Fakta atau kenyataan Fakta atau kenyataan memiliki pengertian yang beragam, bergantung dari sudut pandang filosofis yang melandasinya. Positivistik berpandangan bahwa sesuatu yang nyata bila ada korespondensi antara yang sensual satu dengan sensual lainnya. Fenomenologik memiliki dua arah perkembangan mengenai pengertian kenyataan ini. Pertama, menjurus ke arah teori korespondensi yaitu adanya korespondensi antara ide dengan fenomena. Kedua, menjurus ke arah koherensi moralitas, kesesuaian antara fenomena dengan sistem nilai. Rasionalistik menganggap suatu sebagai nyata, bila ada koherensi antara empirik dengan skema rasional, dan Realisme-metafisik berpendapat bahwa sesuatu yang nyata bila ada koherensi antara empiri dengan obyektif. Pragmatisme memiliki pandangan bahwa yang ada itu yang berfungsi.

Di sisi lain, Lorens Bagus (1996) memberikan penjelasan tentang fakta obyektif dan fakta ilmiah. Fakta obyektif yaitu peristiwa, fenomen atau bagian realitas yang merupakan obyek kegiatan atau pengetahuan praktis manusia. Sedangkan fakta ilmiah merupakan refleksi terhadap fakta obyektif dalam kesadaran manusia. Yang dimaksud refleksi adalah deskripsi fakta obyektif dalam bahasa tertentu. Fakta ilmiah merupakan dasar bagi bangunan teoritis. Tanpa fakta-fakta ini bangunan teoritis itu mustahil. Fakta ilmiah tidak terpisahkan dari bahasa yang diungkapkan dalam istilah-istilah dan kumpulan fakta ilmiah membentuk suatu deskripsi ilmiah. 2. Kebenaran (truth) Sesungguhnya, terdapat berbagai teori tentang rumusan kebenaran. Namun secara tradisional, kita mengenal 3 teori kebenaran yaitu koherensi, korespondensi dan pragmatik (Jujun S. Suriasumantri, 1982). Sementara, Michel William mengenalkan 5 teori kebenaran dalam ilmu, yaitu : kebenaran koherensi, kebenaran korespondensi,

kebenaran performatif, kebenaran pragmatik dan kebenaran proposisi. Bahkan, Noeng Muhadjir menambahkannya satu teori lagi yaitu kebenaran paradigmatik. (Ismaun; 2001) a. Kebenaran koherensi Kebenaran koherensi yaitu adanya kesesuaian atau keharmonisan antara sesuatu yang lain dengan sesuatu yang memiliki hirarki yang lebih tinggi dari sesuatu unsur tersebut, baik berupa skema, sistem, atau pun nilai. Koherensi ini bisa pada tatanan sensual rasional mau pun pada dataran transendental. b.Kebenaran korespondensi Berfikir benar korespondensial adalah berfikir tentang terbuktinya sesuatu itu relevan dengan sesuatu lain. Koresponsdensi relevan dibuktikan adanya kejadian sejalan atau berlawanan arah antara fakta dengan fakta yang diharapkan, antara fakta dengan belief yang diyakini, yang sifatnya spesifik c.Kebenaran performatif Ketika pemikiran manusia menyatukan segalanya dalam tampilan aktual dan menyatukan apapun yang ada dibaliknya, baik yang praktis yang teoritik, maupun yang filosofik, orang mengetengahkan kebenaran tampilan aktual. Sesuatu benar bila memang dapat diaktualkan dalam tindakan. d.Kebenaran pragmatik Yang benar adalah yang konkret, yang individual dan yang spesifik dan memiliki kegunaan praktis. e.Kebenaran proposisi Proposisi adalah suatu pernyataan yang berisi banyak konsep kompleks, yang merentang dari yang subyektif individual sampai yang obyektif. Suatu kebenaran dapat diperoleh bila proposisi-proposisinya benar. Dalam logika Aristoteles, proposisi benar adalah bila sesuai dengan persyaratan formal suatu proposisi. Pendapat lain yaitu dari Euclides, bahwa proposisi benar tidak dilihat dari benar formalnya, melainkan dilihat dari benar materialnya. f.Kebenaran struktural paradigmatik Sesungguhnya kebenaran struktural paradigmatik ini merupakan perkembangan dari kebenaran korespondensi. Sampai sekarang analisis regresi, analisis faktor, dan analisis statistik lanjut lainnya masih dimaknai pada korespondensi unsur satu dengan lainnya. Padahal semestinya keseluruhan struktural tata hubungan itu yang dimaknai, karena akan mampu memberi eksplanasi atau inferensi yang lebih menyeluruh. 3.Konfirmasi Fungsi ilmu adalah menjelaskan, memprediksi proses dan produk yang akan datang, atau memberikan pemaknaan. Pemaknaan tersebut dapat ditampilkan sebagai konfirmasi absolut atau probalistik. Menampilkan konfirmasi absolut biasanya menggunakan asumsi, postulat, atau axioma yang sudah dipastikan benar. Tetapi tidak salah bila mengeksplisitkan asumsi dan postulatnya. Sedangkan untuk membuat penjelasan, prediksi atau pemaknaan untuk mengejar kepastian probabilistik dapat ditempuh secara induktif, deduktif, ataupun reflektif. 4.Logika inferensi Logika inferensi yang berpengaruh lama sampai perempat akhir abad XX adalah logika matematika, yang menguasai positivisme. Positivistik menampilkan kebenaran korespondensi antara fakta. Fenomenologi Russel menampilkan korespondensi antara yang dipercaya dengan fakta. Belief pada Russel memang memuat moral, tapi

masih bersifat spesifik, belum ada skema moral yang jelas, tidak general sehingga inferensi penelitian berupa kesimpulan kasus atau kesimpulan ideografik. Post-positivistik dan rasionalistik menampilkan kebenaran koheren antara rasional, koheren antara fakta dengan skema rasio, Fenomena Bogdan dan Guba menampilkan kebenaran koherensi antara fakta dengan skema moral. Realisme metafisik Popper menampilkan kebenaran struktural paradigmatik rasional universal dan Noeng Muhadjir mengenalkan realisme metafisik dengan menampilkan kebenaranan struktural paradigmatik moral transensden. (Ismaun,200:9) Di lain pihak, Jujun Suriasumantri (1982:46-49) menjelaskan bahwa penarikan kesimpulan baru dianggap sahih kalau penarikan kesimpulan tersebut dilakukan menurut cara tertentu, yakni berdasarkan logika. Secara garis besarnya, logika terbagi ke dalam 2 bagian, yaitu logika induksi dan logika deduksi. D. Corak dan Ragam Filsafat Ilmu Ismaun (2001:1) mengungkapkan beberapa corak ragam filsafat ilmu, diantaranya: Filsafat ilmu-ilmu sosial yang berkembang dalam tiga ragam, yaitu : (1) meta ideologi, (2) meta fisik dan (3) metodologi disiplin ilmu. Filsafat teknologi yang bergeser dari C-E (conditions-Ends) menjadi means. Teknologi bukan lagi dilihat sebagai ends, melainkan sebagai kepanjangan ide manusia. Filsafat seni/estetika mutakhir menempatkan produk seni atau keindahan sebagai salah satu tri-partit, yakni kebudayaan, produk domain kognitif dan produk alasan praktis.

Produk domain kognitif murni tampil memenuhi kriteria: nyata, benar, dan logis. Bila etik dimasukkan, maka perlu ditambah koheren dengan moral. Produk alasan praktis tampil memenuhi kriteria oprasional, efisien dan produktif. Bila etik dimasukkan perlu ditambah human.manusiawi, tidak mengeksploitasi orang lain, atau lebih diekstensikan lagi menjadi tidak merusak lingkungan. Daftar Pustaka Achmad Sanusi,.(1998), Filsafah Ilmu, Teori Keilmuan, dan Metode Penelitian : Memungut dan Meramu MutiaraMutiara yang Tercecer, Makalah, Bandung: PPS-IKIP Bandung. Achmad Sanusi, (1999), Titik Balik Paradigma Wacana Ilmu : Implikasinya Bagi Pendidikan, Makalah, Jakarta : MajelisPendidikan Tinggi Muhammadiyah. Agraha Suhandi, Drs., SHm.,(1992), Filsafat Sebagai Seni untuk Bertanya, (Diktat Kuliah), Bandung : Fakultas Sastra Unpad Bandung. Filsafat_Ilmu, <http://members.tripod.com/aljawad/artikel/filsafat_ilmu.htm> Ismaun, (2001), Filsafat Ilmu, (Diktat Kuliah), Bandung : UPI Bandung. Jujun S. Suriasumantri, (1982), Filsafah Ilmu : Sebuah Pengantar Populer, Jakarta: Sinar Harapan. Mantiq, <http://media.isnet.org./islam/etc/mantiq.htm>. Moh. Nazir, (1983), Metode Penelitian, Jakarta : Ghalia Indonesia Muhammad Imaduddin Abdulrahim, (1988), Kuliah Tawhid, Bandung : Yayasan Pembina Sari Insani (Yaasin)

Filsafat Ilmu FILSAFAT ILMU Filsafat ilmu merupakan bagian dari epistemology (filsafat pengetahuan) yang secara spesifik mengkaji hakikat ilmu (pengetahuan ilmiah). Sedangkan Ilmu merupakan cabang pengetahuan yang mempunyai ciri-ciri tertentu. Menurut The Liang Gie (1999), filsafat ilmu adalah segenap pemikiran reflektif terhadap persoalan-persoalan mengenai segala hal yang menyangkut landasan ilmu maupun hubungan ilmu dengan segala segi dari kehidupan manusia. Filsafat ilmu merupakan suatu bidang pengetahuan campuran yang eksistensi dan pemekarannya bergantung pada hubungan timbal-balik dan saling-pengaruh antara filsafat dan ilmu. Sehubungan dengan pendapat tersebut bahwa filsafat ilmu merupakan penerusan pengembangan filsafat pengetahuan. Objek dari filsafat ilmu adalah ilmu pengetahuan. Oleh karena itu setiap saat ilmu itu berubah mengikuti perkembangan zaman dan keadaan tanpa meninggalkan pengetahuan lama. Pengetahuan lama tersebut akan menjadi pijakan untuk mencari pengetahuan baru. Hal ini senada dengan ungkapan dari Archie J.Bahm (1980) bahwa ilmu pengetahuan (sebagai teori) adalah sesuatu yang selalu berubah. Dalam perkembangannya filsafat ilmu mengarahkan pandangannya pada strategi pengembangan ilmu yang menyangkut etik dan heuristik. Bahkan sampai pada dimensi kebudayaan untuk menangkap tidak saja kegunaan atau kemanfaatan ilmu, tetapi juga arti maknanya bagi kehidupan manusia (Koento Wibisono dkk., 1997). Oleh karena itu, diperlukan perenungan kembali secara mendasar tentang hakekat dari ilmu pengetahuan itu bahkan hingga implikasinya ke bidang-bidang kajian lain seperti ilmu-ilmu kealaman. Dengan demikian setiap perenungan yang mendasar, mau tidak mau mengantarkan kita untuk masuk ke dalam kawasan filsafat. Menurut Koento Wibisono (1984), filsafat dari sesuatu segi dapat didefinisikan sebagai ilmu yang berusaha untuk memahami hakekat dari sesuatu ada yang dijadikan objek sasarannya, sehingga filsafat ilmu pengetahuan yang merupakan salah satu cabang filsafat dengan sendirinya merupakan ilmu yang berusaha untuk memahami apakah hakekat ilmu pengetahuan itu sendiri. Dengan memahami hakekat ilmu itu, menurut Poespoprodjo (dalam Koento Wibisono, 1984), dapatlah dipahami bahwa perspektif-perspektif ilmu, kemungkinan-kemungkinan pengembangannya, keterjalinannya antar ilmu, simplifikasi dan artifisialitas ilmu dan lain sebagainya, yang vital bagi penggarapan ilmu itu sendiri. Lebih dari itu, dikatakan bahwa dengan filsafat ilmu, kita akan didorong untuk memahami kekuatan serta keterbatasan metodenya, prasuposisi ilmunya, logika validasinya, struktur pemikiran ilmiah dalam konteks dengan realitas in conreto sedemikian rupa sehingga seorang ilmuwan dapat terhindar dari kecongkakan serta kerabunan intelektualnya.

EPISTEMOLOGI Epistemologi derivasinya dari bahasa Yunani yang berarti teori ilmu pengetahuan. Epistemologi merupakan gabungan dua kalimat episteme, pengetahuan; dan logos, theory. Epistemologi adalah cabang ilmu filasafat yang menengarai masalah-masalah filosofikal yang mengitari teori ilmu pengetahuan. Epistemologi bertalian dengan definisi dan konsep-konsep ilmu, ragam ilmu yang bersifat nisbi dan niscaya, dan relasi eksak antara alim (subjek) dan malum (objek). Atau dengan kata lain, epistemologi adalah bagian filsafat yang meneliti asal-usul, asumsi dasar, sifat-sifat, dan bagaimana memperoleh pengetahuan menjadi penentu penting dalam menentukan sebuah model filsafat. Dengan pengertian ini epistemologi tentu saja menentukan karakter pengetahuan, bahkan menentukan kebenaran macam apa yang dianggap patut diterima dan apa yang patut ditolak. Bila Kumpulan pengetahuan yang benar/episteme/diklasifikasi, disusun sitematis dengan metode yang benar dapat menjadi epistemologi. Aspek epistemologi adalah kebenaran fakta / kenyataan dari sudut pandang mengapa dan bagaimana fakta itu benar yang dapat diverifikasi atau dibuktikan kembali kebenarannya.

Dengan memperhatikan definisi epistemologi, bisa dikatakan bahwa tema dan pokok pengkajian epistemologi ialah ilmu, makrifat dan pengetahuan. Dalam hal ini, dua poin penting akan dijelaskan: 1. Cakupan pokok bahasan, yakni apakah subyek epistemologi adalah ilmu secara umum atau ilmu dalam pengertian khusus seperti ilmu hushl. Ilmu itu sendiri memiliki istilah yang berbeda dan setiap istilah menunjukkan batasan dari ilmu itu. 2. Sudut pembahasan, yakni apabila subyek epistemologi adalah ilmu dan makrifat, maka dari sudut mana subyek ini dibahas, karena ilmu dan makrifat juga dikaji dalam ontologi, logika, dan psikologi. Dalam epistemologi akan dikaji kesesuaian dan probabilitas pengetahuan, pembagian dan observasi ilmu, dan batasan-batasan pengetahuan. Dan dari sisi ini, ilmu hushl dan ilmu hudhr juga akan menjadi pokok-pokok pembahasannya. Dengan demikian, ilmu yang diartikan sebagai keumuman penyingkapan dan pengindraan adalah bisa dijadikan sebagai subyek dalam epistemologi.

Dengan demikian, definisi epistemologi adalah suatu cabang dari filsafat yang mengkaji dan membahas tentang batasan, dasar dan pondasi, alat, tolok ukur, keabsahan, validitas, dan kebenaran ilmu, makrifat, dan pengetahuan manusia.

ONTOLOGI Ontologi membahas tentang yang ada, yang tidak terikat oleh satu perwujudan tertentu. Ontologi membahas tentang yang ada yang universal, menampilkan pemikiran semesta universal. Ontologi berupaya mencari inti yang termuat dalam setiap kenyataan, atau dalam rumusan Lorens Bagus; menjelaskan yang ada yang meliputi semua realitas dalam semua bentuknya. Objek formal ontologi adalah hakikat seluruh realitas. Bagi pendekatan kuantitatif, realitas tampil dalam kuantitas atau jumlah, tealaahnya akan menjadi kualitatif, realitas akan tampil menjadi aliran-aliran materialisme, idealisme, naturalisme, atau hylomorphisme. Natural ontologik akan diuraikan di belakang hylomorphisme di ketengahkan pertama oleh aristoteles dalam bukunya De Anima. Dalam tafsiran-tafsiran para ahli selanjutnya di pahami sebagai upaya mencari alternatif bukan dualisme, tetapi menampilkan aspek materialisme dari mental. Lorens Bagus memperkenalkan tiga tingkatan abstraksi dalam ontologi, yaitu : abstraksi fisik, abstraksi bentuk, dan abstraksi metaphisik. Abstraksi fisik menampilkan keseluruhan sifat khas sesuatu objek; sedangkan abstraksi bentuk mendeskripsikan sifat umum yang menjadi cirri semua sesuatu yang sejenis. Abstraksi metaphisik mengetangahkan prinsip umum yang menjadi dasar dari semua realitas. Abstraksi yang dijangkau oleh ontologi adalah abstraksi metaphisik. Sedangkan metode pembuktian dalam ontologi oleh Laurens Bagus di bedakan menjadi dua, yaitu : pembuktian a priori dan pembuktian a posteriori.

Dengan demikian Ontologi Ilmu (dimensi ontologi Ilmu) adalah Ilmu yang mengkaji wujud (being) dalam perspektif ilmu ontologi ilmu dapat dimaknai sebagai teori tentang wujud dalam perspektif objek materil keIlmuan, konsep-konsep penting yang diasumsikan oleh ilmu ditelaah secara kritis dalam ontologi ilmu. Ontologi adalah hakikat yang Ada (being, sein) yang merupakan asumsi dasar bagi apa yang disebut sebagai kenyataan dan kebenaran.

AKSIOLOGI n Axios = n Logi = Nilai (Value) Ilmu

n Axiologi adalah ilmu yang mengkaji tentang nilai-nilai. Axiologi (teori tentang nilai) sebagai filsafat yang membahas apa kegunaan ilmu pengetahu manusia Aksiologi menjawab, untuk apa pengetahuan yang berupa ilmu itu di pergunakan? Bagaimana kaitan antara cara penggunaan tersebut dengan kaidah-kaidah moral? Bagaimana penentuan objek yang ditelaah berdasarkan pilihanpilihan moral? Bagaimana kaitan antara teknik prosedural yang merupakan operasionalisasi metode ilmiah dengan norma-norma moral? Dengan demikian Aksiologi adalah nilai-nilai (value) sebagai tolok ukur kebenaran (ilmiah), etik, dan moral sebagai dasar normative dalam penelitian dan penggalian, serta penerapan ilmu (Wibisono, 2001).

Semenjak tahun 1960 filsafat ilmu mengalami perkembangan yang sangat pesat, terutama sejalan dengan pesatnya perkembangan ilmu dan teknologi yang ditopang penuh oleh positivisme-empirik, melalui penelaahan dan pengukuran kuantitatif sebagai andalan utamanya. Berbagai penemuan teori dan penggalian ilmu berlangsung secara mengesankan.

Pada periode ini berbagai kejadian dan peristiwa yang sebelumnya mungkin dianggap sesuatu yang mustahil, namun berkat kemajuan ilmu dan teknologi dapat berubah menjadi suatu kenyataan. Bagaimana pada waktu itu orang

dibuat tercengang dan terkagum-kagum, ketika Neil Amstrong benar-benar menjadi manusia pertama yang berhasil menginjakkan kaki di Bulan. Begitu juga ketika manusia berhasil mengembangkan teori rekayasa genetika dengan melakukan percobaan cloning pada kambing, atau mengembangkan cyber technology, yang memungkinkan manusia untuk menjelajah dunia melalui internet. Belum lagi keberhasilan manusia dalam mencetak berbagai produk nano technology , dalam bentuk mesin-mesin micro-chip yang serba mini namun memiliki daya guna sangat luar biasa. Semua keberhasilan ini kiranya semakin memperkokoh keyakinan manusia terhadap kebesaran ilmu dan teknologi. Memang, tidak dipungkiri lagi bahwa positivisme-empirik yang serba matematik, fisikal, reduktif dan free of value telah membuktikan kehebatan dan memperoleh kejayaannya, serta memberikan kontribusi yang besar dalam membangun peradaban manusia seperti sekarang ini. Namun, dibalik keberhasilan itu, ternyata telah memunculkan persoalan-persoalan baru yang tidak sederhana, dalam bentuk kekacauan, krisis dan chaos yang hampir terjadi di setiap belahan dunia ini. Alam menjadi marah dan tidak ramah lagi terhadap manusia, karena manusia telah memperlakukan dan mengexploitasinya tanpa memperhatikan keseimbangan dan kelestariannya. Berbagai gejolak sosial hampir terjadi di mana-mana sebagai akibat dari benturan budaya yang tak terkendali. Kesuksesan manusia dalam menciptakan teknologi-teknologi raksasa ternyata telah menjadi boomerang bagi kehidupan manusia itu sendiri. Raksasa-raksasa teknologi yang diciptakan manusia itu seakan-akan berbalik untuk menghantam dan menerkam si penciptanya sendiri, yaitu manusia. Berbagai persoalan baru sebagai dampak dari kemajuan ilmu dan teknologi yang dikembangkan oleh kaum positivisme-empirik, telah memunculkan berbagi kritik di kalangan ilmuwan tertentu. Kritik yang sangat tajam muncul dari kalangan penganut Teori Kritik Masyarakat, sebagaimana diungkap oleh Ridwan Al Makasary (2000:3). Kritik terhadap positivisme, kurang lebih bertali temali dengan kritik terhadap determinisme ekonomi, karena sebagian atau keseluruhan bangunan determinisme ekonomi dipancangkan dari teori pengetahuan positivistik. Positivisme juga diserang oleh aliran kritik dari berbagai latar belakang dan didakwa berkecenderungan mereifikasi dunia sosial. Selain itu Positivisme dipandang menghilangkan pandangan aktor, yang direduksi sebatas entitas pasif yang sudah ditentukan oleh kekuatan-kekuatan natural. Pandangan teoritikus kritik dengan kekhususan aktor, di mana mereka menolak ide bahwa aturan aturan umum ilmu dapat diterapkan tanpa mempertanyakan tindakan manusia. Akhirnya Teori Kritik Masyarakat menganggap bahwa positivisme dengan sendirinya konservatif, yang tidak kuasa menantang sistem yang eksis. Senada dengan pemikiran di atas, Nasution (1996:4) mengemukan pula tentang kritik post-positivime terhadap pandangan positivisme yang bercirikan free of value, fisikal, reduktif dan matematika. Aliran post-positivime tidak menerima adanya hanya satu kebenaran. Rich (1979) mengemukakan There is no the truth nor a truth truth is not one thing, or even a system. It is an increasing completely Pengalaman manusia begitu kompleks sehingga tidak mungkin untuk diikat oleh sebuah teori. Freire (1973) mengemukakan bahwa tidak ada pendidikan netral, maka tidak ada pula penelitian yang netral. Usaha untuk menghasilkan ilmu sosial yang bebas nilai makin ditinggalkan karena tak mungkin tercapai dan karena itu bersifat self deceptive atau penipuan diri dan digantikan oleh ilmu sosial yang berdasarkan ideologi tertentu. Hesse (1980) mengemukakan bahwa kenetralan dalam penelitian sosial selalu merupakan problema dan hanya merupakan suatu ilusi. Dalam penelitian sosial tidak ada apayang disebut obyektivitas. Knowledge is asocially contitued, historically embeded, and valuationally. Namun ini tidak berarti bahwa hasil penelitian bersifat subyektif semata-mata, oleh sebab penelitian harus selalu dapat dipertanggungjawabkan secara empirik, sehingga dapat dipercaya dan diandalkan. Macam-macam cara yang dapat dilakukan untuk mencapai tingkat kepercayaan hasil penelitian Jelasnya, apabila kita mengacu kepada pemikiran Thomas Kuhn dalam bukunya The Structure of Scientific Revolutions (1962) bahwa perkembangan filsafat ilmu, terutama sejak tahun 1960 hingga sekarang ini sedang dan telah mengalami pergeseran dari paradigma positivisme-empirik,yang dianggap telah mengalami titik jenuh dan banyak mengandung kelemahan, menuju paradigma baru ke arah post-positivisme yang lebih etik.

Terjadinya perubahan paradigma ini dijelaskan oleh John M.W. Venhaar (1999:) bahwa perubahan kultural yang sedang terwujud akhir-akhir ini, perubahan yang sering disebut purna-modern, meliputi persoalan-persoalan : (1) antihumanisme, (2) dekonstruksi dan (3) fragmentasi identitas. Ketiga unsur ini memuat tentang berbagai problem yang berhubungan dengan fungsi sosial cendekiawan dan pentingnya paradigma kultural, terutama dalam karya intelektual untuk memahami identitas manusia. ============== Daftar Pustaka Achmad Sanusi,.(1998), Filsafah Ilmu, Teori Keilmuan, dan Metode Penelitian : Memungut dan Meramu MutiaraMutiara yang Tercecer, Makalah, Bandung PS-IKIP Bandung. Achmad Sanusi, (1999), Titik Balik Paradigma Wacana Ilmu : Implikasinya Bagi Pendidikan, Makalah, Jakarta : MajelisPendidikan Tinggi Muhammadiyah. Agraha Suhandi, Drs., SHm.,(1992), Filsafat Sebagai Seni untuk Bertanya, (Diktat Kuliah), Bandung : Fakultas Sastra Unpad Bandung. Filsafat_ Ilmu, http://members.tripod.com/aljawad/artikel/filsafat_ilmu.htm. Ismaun, (2001), Filsafat Ilmu, (Diktat Kuliah), Bandung : UPI Bandung. Jujun S. Suriasumantri, (1982), Filsafah Ilmu : Sebuah Pengantar Populer, Jakarta : Sinar Harapan. Mantiq, http://media.isnet.org./islam/etc/mantiq.htm. Moh. Nazir, (1983), Metode Penelitian, Jakarta : Ghalia Indonesia Muhammad Imaduddin Abdulrahim, (1988), Kuliah Tawhid, Bandung : Yayasan Pembina Sari Insani (Yaasin) SEJARAH PERKEMBANGAN ILMU PENGETAHUAN

Perkembangan ilmu pengetahuan hingga seperti sekarang ini tidaklah berlangsung secara mendadak, melainkan melalui proses bertahap, dan evolutif. Karenanya, untuk memahami sejarah perkembangan ilmu pengetahuan harus melakukan pembagian atau klasifikasi secara periodik. Dalam setiap periode sejarah pekembangan ilmu pengetahuan menampilkan ciri khas tertentu. Perkembangan pemikiran secara teoritis senantiasa mengacu kepada peradaban Yunani. Periodisasi perkembangan ilmu dimulai dari peradaban Yunani dan diakhiri pada zaman kontemporer, secara ringkas disusun sebagai berikut: 1. Pra Yunani Kuno Berkisar antara empat juta tahun sampai 20.000 tahun SM, disebut juga zaman batu, karena pada masa itu manusia masih menggunakan batu sebagai peralatan. Selanjutnya pada abad ke 15 sampai 6 SM, manusia telah menemukan besi, tembaga dan perak untuk berbagai peralatan, yang pertama kali digunakan di Irak. Pada abad ke 6 SM di Yunani lahirlah filsafat, disebut the greek miracle. Beberapa faktor yang mendahului lahirnya filsafat di Yunani, yaitu: a. Mitologi bangsa Yunani b. Kesusastraan Yunani c. Pengaruh ilmu pengetahuan pada waktu itu sudah sampai di Timur Kuno. 2. Yunani Kuno Zaman Yunani Kuno merupakan awal kebangkitan filsafat secara umum, karena menjawab persoalan disekitarnya

dengan rasio dan meninggalkan kepercayaan terhadap mitologi atau tahyul yang irrasional. Selanjutnya, Pada waktu Athena dipimpin oleh Perikles kegiatan politik dan filsafat dapat berkembang dengan baik. Terakhir Zaman Hellenisme, disebut sebagai zaman keemasan kebudayaan Yunani, dengan tokoh yang berjasa adalah Iskandar Agung (356 323 SM) dari Macedonia, salah seorang murid Aristoteles. 3. Zaman Pertengahan Ditandai dengan tampilnya pada teolog di lapangan ilmu pengetahuan. Para ilmuwannya hampir semua adalah para teolog, sehingga aktivitas ilmiah terkait dengan aktivitas keagamaan. Semboyan yang berlaku bagi ilmu pada masa itu adalah ancilla theologia atau abdi agama. 4. Zaman Renaissance Renaissance berarti lahir kembali (rebirth), yaitu dilahirkannya kembali sebagai manusia yang bebas untuk berpikir. Zaman ini menjadi indikator bangkitnya kembali independensi rasionalitas manusia, karena sudah tercatat banyaknya penemuan spektakuler, seperti teori heliosentris oleh Copernicus, yang merupakan pemikiran revolusioner, dan kemudian didukung oleh Johanes Kepler (1571 1630) dan Galileo Galilei (1564 1642). 5. Zaman Modern Dikenal juga sebagai masa Rasionalisme, yang tumbuh di zaman modern dengan tokoh utama yaitu Rene Descartes (1596 1650) yang dikenal sebagai Bapak Filsafat Modern, Spinoza (1633 1677), dan Leibniz (1646 - 1716). Descartes memperkenalkan metode berpikir deduktif logis yang umumnya diterapkan untuk ilmu alam. 6. Kontemporer Zaman Kontemporer, pada abad ke 20 hingga sekarang, bidang fisika menempati kedudukan paling tinggi dan banyak dibicarakan oleh para filsuf. Menurut Trout, fisika dipandang sebagai dasar ilmu pengetahuan yang subjek materinya mengandung unsur-unsur fundamental yang membentuk alam semesta. Uraian sejarah perkembangan ilmu pengetahuan diatas pembahasannya biasanya mengacu kepada pemikiran filsafat di Barat. Hal ini dapat mencerminkan perkembangan ilmu pengetahuan secara utuh karena dalam filsafat Barat unsur mitos dapat lenyap sama sekali dan menonjol dalam unsur rasio. Diawali dari periode filsafat Yunani yang penting dalam peradaban manusia, karena waktu itu terjadi perubahan pola pikir manusia dari mite-mite menjadi lebih rasionil. Manusia menjadi lebih proaktif dan kreatif menjadikan alam sebagai objek penelitian dan pengkajian. Sejarah filsafat merupakan metode yang banyak digunakan dan sangat penting dalam mempelajari filsafat dan ilmu pengetahuan. Sejarah filsafat juga merupakan subject matter dalam belajar filsafat yang merupakan alat untuk mengenal filsafat dan ilmu pengetahuan pada umumnya. Dengan melihat sejarah sebagai suatu urutan kejadian yang saling berhubungan sehingga suatu kejadian tidak terjadi begitu saja dan diartikan sebagai fenomena tersendiri dan mencermati makna dibalik urutan kejadian pemikirannya, menjadikan sejarah sebagai suatu metode dalam mempelajari filsafat yang pada akhirnya dapat dipelajari ilmu pengetahuan secara mendalam. Dari proses ini kemudian ilmu berkembang dari rahim filsafat, yang pada akhirnya dapat dinikmati dalam bentuk teknologi. Lebih lanjut tentang: Filsafat Ilmu & Perkembangannya di Indonesia SEJARAH PERKEMBANGAN FILSAFAT SAINS oleh: anin Pengarang : Elvira Syamsir

Summary rating: 2 stars (126 Tinjauan) Kunjungan : 8568 kata:900

Masyarakat primitif menganut pemikiran mitosentris yang mengandalkan mitos guna menjelaskan fenomena alam. Perubahan pola pikir dari mitosentris menjadi logo-sentris membuat manusia bisa membedakan kondisi riil dan ilusi, sehingga mampu ke-luar dari mitologi dan memperoleh dasar pengetahuan ilmiah. Ini adalah titik awal ma-nusia menggunakan rasio untuk meneliti serta mempertanyakan dirinya dan alam raya. 1. Filsafat kuno dan abad pertengahan Di masa ini, pertanyaan tentang asal usul alam mulai dijawab dengan pendekat-an rasional, tidak dengan mitos. Subjek (manusia) mulai mengambil jarak dari objek (alam) sehingga kerja logika (akal pikiran) mulai dominan. Sebelum era Socrates, kaji-an difokuskan pada alam yang berlandaskan spekulasi metafisik. Menurut Heraklitos (535-475 SM), realita di alam selalu berubah, tidak ada yang tetap (api sebagai simbol perubahan di alam) sementara Parmenides (515-440 SM) mengatakan bahwa realita di alam merupakan satu kesatuan yang tidak bergerak sehingga perubahan tidak mungkin terjadi. Pada era Socrates, kajian filosofis mulai menjurus pada manusia dan mulai ada pemikiran bahwa tidak ada kebenaran yang absolut. Beberapa filosof populernya adalah Socrates (479-399 SM), Plato (427-437 SM) dan Aristotles (384-322 SM). Socrates mendefinisikan, menganalisis dan mensintesa kebenaran objektif yang universal melalui metode dialog (dialektika). Satu pertanyaan dijawab dengan satu jawaban. Plato mengembangkan konsep dualisme (adanya bentuk dan persepsi). Ide yang ditangkap oleh pikiran (persepsi) lebih nyata dari objek material (bentuk) yang dilihat indra. Sifat persepsi tidak tetap dan bisa berubah, sementara bentuk adalah sesuatu yang tetap. Aris-totles menyatakan bahwa materi tidak mungkin tanpa bentuk karena ia ada (eksis). Fil-suf ini juga memperkenalkan silogisme, yaitu penggunaan logika berdasarkan analisis bahasa guna menarik kesimpulan. Silogisme memiliki dua premis mayor dan satu ke-simpulan sehingga, suatu pernyataan benar harus sesuai dengan minimal dua pernyataan pendukung. Logika ini disebut juga dengan logika deduktif yang mengukur valid tidak-nya sebuah pemikiran. Pada abad pertengahan (abad 1213 SM) mulai dilakukan analisis rasional terha-dap sifat-sifat alam dan Allah, analisis suatu kejadian/materi, bentuk, ketidaknampakan, logika dan bahasa. Salah satu filsufnya adalah Thomas Aquinas (1225-1274). 2. Filsafat modern (abad 15 sekarang) Berkembang beberapa paham yang menguatkan kedudukan humanisme sebagai dasar dalam perkembangan hidup manusia dan pengetahuan. Paham rasionalisme me-nyatakan bahwa akal merupakan alat terpenting untuk memperoleh dan menguji penge-tahuan. Kedaulatan rasio diakui sepenuhnya dengan menyisihkan pengetahuan indra. Menurut Rene Descartes (paham rasionalisme dan skeptisme), pengetahuan yang benar harus berangkat dari kepastian. Untuk memastikan kebenaran sesuatu, segala sesuatu harus diragukan terlebih dahulu. Keragu-raguan membuat manusia bertanya/mencari ja-waban untuk memperoleh kebenaran yang pasti (manusia harus berpikir rasional untuk mencapai kebenaran). Pada paham empirisme, segala sesuatu yang ada dalam pikiran didahului oleh pengalaman indrawi. Pengetahuan dikembangkan dari pengalaman indra secara konkrit dan bukan dari rasio. Menurut John Locke (empirisme dan naturalisme), pikiran awal-nya kosong. Isi pikiran (ide) berasal dari pengalaman indrawi (lahiriah dan batiniah) ter-hadap substansi (benda) di alam. David Hume (skeptisme dan empirisme) mengatakan ide atau konsep didalam pikiran berasal dari persepsi (kesan terhadap pengalaman indra-wi) dan gagasan (konsep makna dari kesan) terhadap suatu substansi, bukan dari substansinya. Sementara menurut Francis Bacon, pengetahuan merupakan kekuatan un-tuk menguasai alam. Pengetahuan diperoleh dengan metode induksi melalui eksperi-men dan observasi terhadap suatu fenomena yang ingin dikaji. Paham lainnya adalah idealisme yang dianut Barkeley: ada disebabkan oleh adanya persepsi; dan paham idealisme kritisisme yang dikembangkan Imanuel Kant. Menurut Kant, hakikat fisik adalah jiwa (spirit) dan pengetahuan adalah hasil

pemikiran yang dihubungkan dengan pengalaman indrawi. Paham ini menggabungkan konsep rasionalisme dengan empiris-me. Paham positive-empiris (Aguste Comte) menyatakan bahwa realita berjalan sesuai dengan hukum alam sehingga pernyataan pengetahuan harus bisa diamati, diulang, diu-kur, diuji dan diramalkan. Sementara paham pragmatisme William James menyatakan kebenaran suatu pernyataan diukur dari kriteria apakah pernyataan tersebut bersifat fungsional (bermanfaat) dalam kehidupan praktis. Pernyataan dianggap benar jika kon-sekuensi dari pernyataan tersebut memiliki kegunaan praktis bagi manusia. BAB PENDAHULUAN I

Pengajaran identik dengan pendidikan. Proses pengajaran adalah proses pendidikan.setiap kegiatan pengajaran adalah untuk mencapai tujuan pendidikan. Pengajaran adalh suatu proses aktivitas mengajar dan belajar, didalamnya terdapat dua subjek yang saling terlibat, yaitu guru dan peserta didik. Belajar adalah kegiatan yang berproses dan merupakan unsure yang snagat fundamental dalam melaksanakan setiap jenis dan jenjang pendidikan. Adanya proses yang panjang dan tertata dengan rapi serta berjenjang akan memungkinkan belajar menjadi lebih baik dan efisien. Dalam makalah ini pemakalah akan menjelaskan tentang teori-teori belajar. BAB TEORI-TEORI BELAJAR II

A. Pengertian Teori Belajar Dalam keseluruhan proses pendidikan di sekolah, kegiatan belajar merupakan kegiatan yang paling pokok. Ini berarti bahwa berhasil atau tidaknya pencapai tujuan pendidikan hanya bergantung kepada bagaimana proses belajar yang di alami oleh murid sebagai anak didik. Menurut Cronbach dia mengemukakan dalam bunkunya educational psychology dengan menyatakan bahwa Belajar dengan yang sebaik-baiknya adalah dengan mengalami dan dalam mengalami itu sipengajar mempergunakan panca indranya. Menurut Witharington (1952. h. 165) belajar merupakam perubahan kepribadian yang dimanifestasikan sebagai pola-pola proses yng baru yang berbentuk keterampilan, sikap, kebiasaan, pengetahuan dan kecakapan. Pendapat yang hampir sama dikemukakan oleh Crow and Crow dan Hilgrld. Menurut Crow and Crow (1958. h. 225) belajar adalah diperolehnya kebiasaan-kebiasaan , pengetahuan dan sikap baru. Sedangkan menurut hilgard (1962. h. 252) belajar adalah sutu proses dinama suatu perilaku muncul atau berubah karena adanya respon terhadap sesuatu siatuasi. Dari defenisi yang telah dikemukakna diatas bahwa belajar merupakan suatu proses perubahan tinggkah laku sebagai hasil dari interaksi dengan lingkungan dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Jadi dapat disimpulkan bahwa bwlajar ialah suatu proses usaha yang dilakukan individu untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang baru secara keseluruhan sebagai hasil pengalaman individu itu sendiri dalam interaksi dengan lingkungan. Teori adalah cara-cara atau metode yang digunakan untuk mempelajari atau meneliti sesuatu dalam sesuatu proses pembelajaran. Berarti teori belajar adalah cara-cara aygn digunakan untuk memahami tingkah laku individu yang relative menetap sebagai hasil pengalaman dan interaksi dengan lingkungan. B. Aliran Psikologi Yang Mendasari Teori Belajar R.S Jatmoko dan Rusda Sutadi (1990) mengemukakan beberapa aliran psikologi yang mendasari teori belajar masing-masing aliran mempunyai ciri-ciri tersendiri. 1. Behaviorisme Rumpun teori ini disebut behaviorisme karena sangat menekankan perilaku atau tingkah laku yang dapat diamati. Tokohnya E.L Thorndike, Ivan Patrovich, B.F Skinner dan Bandura. Temuan penelitian para ahli ini dalam prinsipnya mempunyai kesamaan, yaitu bahwa perubahan tingkah laku terjadi karena senata-mata oleh linkungan. Adapun ciri-ciri aliran Behaviorisme ini adalah : a) Memerintahkan pengaruh lingkungannya b) Mementingkan bagian-bagian daripada keseluruhannya c) Mementingkan reaksi atau psikomotor d) Mementingkan sebab-sebab masa lampau e) Mengutamakan mekanisme terjadinya hasil belajar f) Mementingkan pembentukan kebiasaan

g) Mengutamakan trial and error 2. Kognitif Tokohnya Kohler, Max Wertheimes, Kurt Lewin dan Bandura, dasar teori belajar tokoh ini sama. Yaitu dalam belajar terdapat kemampuan mengenal lingkungan, sehingga lingkungan tidak otomatis mempengaruhi manusia Ciri-ciri aliran ini adalah : a) Mementingkan apa yang ada dalam diri manusia b) Mementingkan keseluruhan dari pada bagian-bagian c) Mementingkn peranan kognitif d) Mementingkan kondisi waktu sekarang e) Mementingkan pembentukan struktur kognitif f) Mengutamakan in right (pengertian) 3. Humanisme Psikologi kognitif disempurnakan oleh tokoh-tokoh seperti Carl Rogers dan Frankie Ciri-cirinya adalah : a) Mementingkan manusia sebagai pribadi b) Mementingkkan kebulatan pribadi c) Mementingkan peranan kognnitif dan efektif d) Mementingkan persepsi subjektif yang dimililki tiap individu e) Mementingkan kemampuan menentukan bentuk tingkah laku sendiri f) Mengutamakan in singht 4. Psikoanalisasi Psikoanalisasi merupakan psikologi sebagai suatu ilmu tetapi untuk kepentingan pengobatan. Ciri-ciri aliran ini adalah : a) Proses kejiwaan meliputi proses kesadaran dan ketidaksadaran b) Mengamati prinsip psycie determinisme yang berarti bahwa segala sesuatu yang terdapat dalam pikiran seseorang, tidaklah secara kebetulan, melainkan karena peristiwa kejiwaan yang mendahuluinya peristiwa kejiwaan yang satu berkaitan denganperistiwa lainnya dan menimbulkan hubungan sebab akibat. c) Proses-proses mental yang tidak disadari berfungsi lebih banyak dan lebih penting dalam kondisi mental, baik normal maupun up normal. C. Teori-teori belajar Kalau kita membaca literature psikologi, banyak sekali teori belajar akan kita temukan teori-teori bersumber dari teori atau aliran-aliran Psikologi. Adapun teori-teori belajar adalah sebagi berikut : 1. Teori Disiplin Plental Sebelum abad ke-20, telah berkembang beberapa teori belajar, salah satunya adalah teori disiplin mental. Teori belajar ini dikembangkan tanpa dilandasi eksperimen, dan ini berarti dasar orientasinya adalah filosofis atau spekulatif. Namun teori-teori sebelum abad ke-20, seperti teori disiplin mental ini sampai sekarang masih ada pnengaruhnya, terutama dalam pelaksanaan pengajaran di sekolah-sekolah. Menurut rumpun psikologi ini, individu memiliki kekuatan, kemampuan atau potensi-potensi tertentu. Balajar adalah pengembangan dari kekuatan, kemempuan dan potensi-potensi tersebut. Bagaiman proses pengembangan kekuatan-kekuatan tiap aliran atau teori mengemukakan pandanagan yang berbeda. Teori lain dari disiplin mental adalah Herbartisme. Herbart seorang psikologi jerman menyebut teorinya sebagai teori Vorstellungen. Vorstellungen dapat diterjemahkan sebagai tanggapan-tanggapan yang tersimpan dalam kesadaran. Teori disiplin mental yang lain adalah Naturalisme Romantik dari Rousseau. Menurut Jean Jacgues Rousseau anak memiliki potensi\potensi yang masih terpendam, melalui belajar, anak harus diberi kesematan mengembangkan atau mengaktualkan potensi-potensi tersebut. Sesungguhnya anak memiliki kekuatan sendiri untuk mencari, mencoba, menemukan dan mengembangkan dirinya sendiri. 2. Teori Behaviorisme Rumpun teori ini disebut Behaviorisme karena sangat menekankan perilaku atau tinggkah laku yang dapat diamati. Teori-teori dalam rumpun ini bersifat molecular, karena memendang kehidupan individu terdiri atas unsure-unsur seperti halnya molekul-molekul. Menurut teori ini tinggkah laku manusia tidak lain dari suatu hubungan anatara perangsang jawaban atau Stimulus Raspons. Belajar adalah pembentukan hubungan Stimulus Respons sebanyakbanyaknya. Pembentukan hubungan Stimulus Respons dilakukan melalui ulangan-ulangan.

Ada beberapa teori belajar yang termasuk pada rumpun Behavionisme ini antara lain : a) Teori Koneksionisme Koneksionisme merupakan teori yang paling awal dari rumpun Berhaviorisme. Teori belajar koneksionisme dikembangkan oleh Edward L. Trhorndike (1874-1949). Menurut thorndike, belajar adalah proses interaksi antara stimulus dan respon. Stimulus yaitu apa saja yang dapat merangsang terjadinya kegiatan belajar seperti pikiran, perasaan atau hal-hal lain yang dapat ditangkap melalui alat indra. Sedangkan respon yaitu reaksi yang dimunculkan peserta didik ketika belajar, yang juga dapat berupa pikiran, perasaan atua gerakan/tindakan. Selanjutnya dalam teori koneksionisme ini Thorndike mengemukakan hukum-hukum belajar sebagai berikut : 1) Hukum kesiapan ( Low Of Readiness ) Diman hubungan antara stimulus dan respon akan mudah terbentuk manakala ada persiapan dalam diri individu imlikasi praktis dari hukum ini adalah, bahawa keberhasialan belajar seseorang tergantnug dari ada atau tidak adanaya kesiapan. 2) Hukum latihan ( Low Of Eserdse ) Hukum ini menjelaskan kemungkinan kuat dan lemahnya hubungna stimulus dan respons. Implikasi dari hukum ini dalah makin sering pelajaran diulang, maka akan semakin dikuasainya pelajaran itu. 3) Hukum akibat ( Low Of Effect ) Hukum ini menunjuk kepada kuat atau lemahnya hubungan stimulus dan respons tergantung kepada akibat yang ditimbulkannya. Implikasi dari hukum ini adalah apabila mengharapakan agar seseorang dapat mengulangi respons yang sama, maka harus diupayakan agar menyenangkan dirinya. b) Teori Pengkondisian ( conditioning ) Teori pengkondisian merupakan pengembangan lebih lanjut dari teori Koneksionisme. Tokoh teori ini adalah Ivan Pavlov ( 1849-1936). Ia adalah ahli Psikologi Refleksiologi dari Rusia. Sebagaiman dijelaskan oleh Hendry C Ellis, bahwa dalam prosedur penelitiannya Pavlov menggunakan laboratorium binatang sebagai tempat penelitian. Sama halnya dengan Thorndike, dia juga percaya bahwa belajar pada hewan memiliki prinsip yang sama dengan manusia. Belajar atau pembentukan perilaku perlu dibantu dengan kondisi tertentu. Belajar merupakan suatu upaya untuk mengkondisikan pembentukan suatu perilaku atau respons terhadap sesuatu. c) Teori Penguatan ( Reinforcement ) Kalau teori pengkondisian yang diberi kondisi adalah perangsangannya, maka pada teori penguatan yang dikondisi atau diperkuat adalah responsnya. d) Teori Operant Conditioning Tokoh utamanya adalah Skinner. Menurut Skinner tingkah laku bukankah sekedar Respons terhadap Stimulus, tetapi merupakan suatu tindakan yang disengaja atau Operant. Ini dipengaruhi oleh apa yang terjadi sesudahnya. 3. Teori Kognitive Gestalt Field Teori kognitif dikembangkan oleh para ahli psikologi Kognitif. Teori ini berbeda dengan Behaviorisme, bahwa yang utama pada kehidupan manusia adalh mengetahui dan bukan respons. Teori ini menekankan pada peristiwa mental, bukan hubungan Stimulus-respons. Teori Gestalt,berkembang dijerman dengan pendirinya yang utama adalah Max Werthaimer, menurut Gestalt belajar siswa harus memahami makna hunungan anatar satu bagian dengan bagian lainnya. Belajar adalah mencari dan mendapatkan prognanz, menemukan keteraturan, keharmonisan dari sesuatu. Teori medan atau Field, menurut teori ini individu selalu berada dalam suatu medan atau ruang hidup. Dalam medan hidup ini ada suatu tujuan yang ingin dicapai, tetapi untuk mencapainya selalu ada hambatan. Jadi perbedaan pandangan antara pendekatan Behavioristik dengan Kognitif adalah sebagai berikut : a. Proses atau peristiwa belajar seseorang, bukan semata-mata antara ikatan Stimulus, Respons, melainkan juga melibatkan proses kognitif b. Dalam peristiwa belajar tertentu yang sangat terbatas ruang lingkupnya misalnya belajar meniru sopan santun dimeja makan dan bertegur sapa. Peranan ranah cipta siswa tidak begitu menonjol, meskipun sesungguhnya keputusan untuk meniru atau tidak ada pada diri orang itu sendiri. D. Manfaat Mempelajari Teori Belajar Belajar itu berfungsi sebagai alat mempertahankan kehidupan manusia. Artinya dengan ilmu dan teknologi hasil kelompok belajar manusia tertindas itu juga dapat digunakan untuk membangun benteng pertahanan. Iptek juga dapat dipakai unutk membuat senjata penangkis agresi sekelompok manusia tertentu yang mingkin bernafsu serakah atau mengalami gangguan Psycopaty yang berat watak merusak. Sedangkan manfaat dari mempelajari teori belajar adalah dapat menimbulkan tingkah laku organisme dengan

adanya hubungan antara Stimulus (rangsangan) dengan Respond an dapat memperkuat hubungan antara Stimulus dan Respon tersebut. E. Teori Belajar dalam Perspektif Islam 1. Arti penting memori dan ilmu pengetahuan Islam menurut Yusuf Al Qardhawi (1984) adalah akibat yang berdasarkan ilmu pengetahuan bukan berdasarkan penyerahan diri yang membabi buta. Hal ini tersirat dalam firman Allah : Maka ketahuilah bahwa tidak ada tuhan kecuali Allah (Muhammad : 19) Selanjutnya, berikut ini penyusunan kutipan firman-fiman Allah baik secara Eksplisit maupun Implisit mewajibkan seseorang itu untuk belajar agar memperoleh ilmu pengetahuan : a. Allah berfirman dalam surat Al-Zumar ayat 9 yang berbunyi : Katakanlah : apakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui? Sesungguhnya hanya orang-orang berakallah yang mampu menerima pelajaran b. Surat Al-Isra ayat 36 : Dan janganlah kamu membiasakan diri daripada apa yang tidak kamu ketahui, karena sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan daya nalar pasti akan ditanya mengenai itu Perintah belajar diatas, tentu saja harus dilaksanakan melalui proses kognitif dalam hal ini, system memori yang terdiri atas memori sensasi, memori jangka pendek dan memori jangka panjang berperan sangat aktif dan menentukan berhasil atau gagalnya seseorang dalam meraih pengetahuan dan keterampilan. 2. Alat PsikoFisik untuk belajar Islam memendang uman manusia sebagai makhluk yang dilahirkan dalam keadaan kosong, tak berilmu pengetahuan, namun Tuhan memberikan potensi yang bersifat jasmaniah dan rohaniah untuk belajar dan mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi demi kemaslahatan umat itu sendiri. Adapun alat-alat yang bersifat psikis seperti mata dalam hubungannya dengan kegiatan belajar merupakan subsistem yang satu sama lain berhubungan secara fungsional sebagaiman firman Allah dalam Q.S An-Nahl ayat 78 : Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak tahu apa-apa. Dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan daya nalar agar kamu bersyukur. Kata Af-idah dalam ayat ini menurut seorang pakar tafsir Al Quran Dr Quraissy Shihab (1992) berarti daya nalar, yaitu potensi atau kemampuan berfikir logis atau kata lain akal. Dalam Ibnu Katsir juz 11 halaman 580 Af-idah berarti akal yang menurut sebagian orang tempatnya dijantung (Qalbu). Sedangkan sebagian lainya menyatakan bahwa Af-idah itu terdapat dalam otak (dimagh). BAB PENUTUP III

A. Kesimpulan Belajar adalah kegiatan yang berproses dan merupakan unsure yang sangat fundamental dalam melaksanakan setiap jenis dan jenjang pendididkan. Belajar merupakan suatu proses perubahan tinggkah laku sebagai hasil dari interaksi dengan lingkungan dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Teori-teori belajar : 1. Teori disiplin mental 2. Teori behaviorisme 3. Teori cognitivegestaltfield Aliran Psikologi yang mendasari teori belajar : a. Behaviorisme b. Kognitif c. Humanisme d. Psikoanilisasi

B. Saran Dalam pembuatan makalah ini tentu banyak terdapat kekurangannya, oleh karena itu pemakalah mengharapakan kritik dan saran dari pembaca untuk kesempurnaan makalah selanjutnya. DAFTAR PUSTAKA Azhari, Ilyas. Psikologi Pendidikan. Semarang : Toha Putra. Sukmadinata, Nana Syaodih. Landasan Psikologi Proses Pendidikan. Bandung : Remaja Rosdakarya. Nursyamsi. Psikologi Pendidikan. Padang : Baitul Hikmah. Http : // Riwayat. Net Budiningsih, Asri. Belajar dan Pembelajaran. Jakarta : Rineka Cipta. Syah, Muhibbin. Psikologi Pendidikan. Bandung: Remaja Rosdakarya. 2003 Tinggalkan sebuah Komentar 1996 2005 2003 / 2005

Pakar psikologi Swiss terkenal yaitu Jean Piaget (1896-1980), mengatakan bahwa anak dapat membangun secara aktif dunia kognitif mereka sendiri. Piaget yakin bahwa anak-anak menyesuaikan pemikiran mereka untuk menguasai gagasan-gagasan baru, karena informasi tambahan akan menambah pemahaman mereka terhadap dunia. Dalam pandangan Piaget, terdapat dua proses yang mendasari perkembangan dunia individu, yaitu pengorganisasian dan penyesuaian. Untuk membuat dunia kita diterima oleh pikiran, kita melakukan pengorganisasian pengalamanpengalaman yang telah terjadi. Piaget yakin bahwa kita menyesuaikan diri dalam dua cara yaitu asimiliasi dan akomodasi. Asimilasi terjadi ketika individu menggabungkan informasi baru ke dalam pengetahuan mereka yang sudah ada. Sedangkan akomodasi adalah terjadi ketika individu menyesuaikan diri dengan informasi baru. Seorang anak 7 tahun dihadapkan dengan palu dan paku untuk memasang gambar di dinding. Ia mengetahui dari pengamatan bahwa palu adalah obyek yang harus dipegang dan diayunkan untuk memukul paku. Dengan mengenal kedua benda ini, ia menyesuaikan pemikirannya dengan pemikiran yang sudah ada (asimilasi). Akan tetapi karena palu terlalu berat dan ia mengayunkannya dengan keras maka paku tersebut bengkok, sehingga ia kemudian mengatur tekanan pukulannya. Penyesuaian kemampuan untuk sedikit mengubah konsep disebut akomodasi. Piaget mengatakan bahwa kita melampui perkembangan melalui empat tahap dalam memahami dunia. Masing-masing tahap terkait dengan usia dan terdiri dari cara berpikir yang berbeda. Berikut adalah penjelasan lebih lanjut: Tahap sensorimotor (Sensorimotor stage), yang terjadi dari lahir hingga usia 2 tahun, merupakan tahap pertama piaget. Pada tahap ini, perkembangan mental ditandai oleh kemajuan yang besar dalam kemampuan bayi untuk mengorganisasikan dan mengkoordinasikan sensasi (seperti melihat dan mendengar) melalui gerakan-gerakan dan tindakan-tindakan fisik. Tahap praoperasional (preoperational stage), yang terjadi dari usia 2 hingga 7 tahun, merupakan tahap kedua piaget, pada tahap ini anak mulai melukiskan dunia dengan kata-kata dan gambar-gambar. Mulai muncul pemikiran egosentrisme, animisme, dan intuitif. Egosentrisme adalah suatu ketidakmampuan untuk membedakan antara perspektif seseorang dengan perspektif oranglain dengan kata lain anak melihat sesuatu hanya dari sisi dirinya. Animisme adalah keyakinan bahwa obyek yang tidak bergerak memiliki kualiatas semacam kehidupan dan dapat bertindak. Seperti sorang anak yang mengatakan, Pohon itu bergoyang-goyang mendorong daunnya dan daunnya jatuh. Sedangkan Intuitif adalah anak-anak mulai menggunakan penalaran primitif dan ingin mengetahui jawaban atas semua bentuk pertanyaan. Mereka mengatakan mengetahui sesuatu tetapi mengetahuinya tanpa menggunakan pemikiran rasional.

Tahap operasional konkrit (concrete operational stage), yang berlangsung dari usia 7 hingga 11 tahun, merupakan tahap ketiga piaget. Pada tahap ini anak dapat melakukan penalaran logis menggantikan pemikiran intuitif sejauh pemikiran dapat diterapkan ke dalam cotoh-contoh yang spesifik atau konkrit. Tahap operasional formal (formal operational stage), yang terlihat pada usia 11 hingga 15 tahun, merupakan tahap keempat dan terkahir dari piaget. Pada tahap ini, individu melampaui dunia nyata, pengalaman-pengalaman konkrit dan berpikir secara abstrak dan lebih logis. Sebagai pemikiran yang abstrak, remaja mengembangkan gambaran keadaan yang ideal. Mereka dapat berpikir seperti apakah orangtua yang ideal dan membandingkan orangtua mereka dengan standar ideal yang mereka miliki. Mereka mulai mempersiapkan kemungkinan-kemungkinan bagi masa depan dan terkagum-kagum terhadap apa yang mereka lakukan. Perlu diingat, bahwa pada setiap tahap tidak bisa berpindah ke ketahap berikutnya bila tahap sebelumnya belum selesai dan setiap umur tidak bisa menjadi patokan utama seseorang berada pada tahap tertentu karena tergantung dari ciri perkembangan setiap individu yang bersangkutan. Bisa saja seorang anak akan mengalami tahap praoperasional lebih lama dari pada anak yang lainnya sehingga umur bukanlah patokan utama. Daftar Pustaka Santrok, John W. 2002. Life Span Development: Perkembangan Masa Hidup, Edisi 5 Jilid 1. Jakarta: Erlangga A. Istilah Cognitive berasal dari kata cognition artinya adalah pengertian, mengerti Tags: teori, perkembangan, kognisi, jean piaget Prev: TEORI PERKEMBANGAN Next: PERKEMBANGAN EMOSI reply PENGERTIAN

KOGNITIF

VYGOTSKY share

1. Teori Belajar Piaget Piaget merupakan salah satu pioner konstruktivis, ia berpendapat bahwa anak membangun sendiri pengetahuannya dari pengalamannya sendiri dengan lingkungan. Dalam pandangan Piaget, pengetahuan datang dari tindakan, perkembangan kognitif sebagian besar bergantung kepada seberapa jauh anak aktif memanipulasi dan aktif berinteraksi dengan lingkungannya. Dalam hal ini peran guru adalah sebagai fasilitator dan buku sebagai pemberi informasi. Piaget menjabarkan implikasi teori kognitif pada pendidikan yaitu 1) memusatkan perhatian kepada cara berpikir atau proses mental anak, tidak sekedar kepada hasilnya. Guru harus memahami proses yang digunakan anak sehingga sampai pada hasil tersebut. Pengalaman pengalaman belajar yang sesuai dikembangkan dengan memperhatikan tahap fungsi kognitif dan jika guru penuh perhatian terhadap Pendekatan yang digunakan siswa untuk sampai pada kesimpulan tertentu, barulah dapat dikatakan guru berada dalam posisi memberikan pengalaman yang dimaksud, 2) mengutamakan peran siswa dalam berinisiatif sendiri dan keterlibatan aktif dalam kegiatan belajar. Dalam kelas, Piaget menekankan bahwa pengajaran pengetahuan jadi ( ready made knowledge ) anak didorong menentukan sendiri pengetahuan itu melalui interaksi spontan dengan lingkungan, 3) memaklumi akan adanya perbedaan individual dalam hal kemajuan perkembangan. Teori Piaget mengasumsikan bahwa seluruh siswa tumbuh dan melewati urutan perkembangan yang sama, namun pertumbungan itu berlangsung pada kecepatan berbeda. Oleh karena itu guru harus melakukan upaya untuk mengatur aktivitas di dalam kelas yang terdiri dari individu individu ke dalam bentuk kelompok kelompok kecil siswa daripada aktivitas dalam bentuk klasikal, 4)

mengutamakan peran siswa untuk saling berinteraksi. Menurut Piaget, pertukaran gagasan gagasan tidak dapat dihindari untuk perkembangan penalaran. Walaupun penalaran tidak dapat diajarkan secara langsung, perkembangannya dapat disimulasi.

2. Teori Belajar Vygostky Tokoh kontruktivis lain adalah Vygotsky. Sumbangan penting teori Vygotsky adalah penekanan pada hakekatnya pembelajaran sosiokultural. Inti teori Vygotsky adalah menekankan interaksi antara aspek internal dan eksternal dari pebelajaran dan penekanannya pada lingkungan sosial pebelajaran. Menurut teori Vygotsky, fungsi kognitif berasal dari interaksi sosial masing masing individu dalam konsep budaya. Vygotsky juga yakin bahwa pembelajaran terjadi saat siswa bekerja menangani tugas tugas yang belum dipelajari namun tugas- tugas itu berada dalam zone of proximal development mereka. Zone of proximal development adalah jarak antara tingkat perkembangan sesungguhnya yang ditunjukkan dalam kemampuan pemecahan masalah secara mandiri dan tingkat kemampuan perkembangan potensial yang ditunjukkan dalam kemampuan pemecahan masalah di bawah bimbingan orang dewasa atau teman sebaya yang lebih mampu. Teori Vygotsky yang lain adalah scaffolding. Scaffolding adalah memberikan kepada seseorang anak sejumlah besar bantuan selama tahap tahap awal pembelajaran dan kemudian mengurangi bantuan tersebut dan memberikan kesempatan kepada anak tersebut mengambil alih tanggung jawab yang semakin besar segera setelah ia mampu mengerjakan sendiri. Bantuan yang diberikan guru dapat berupa petunjuk, peringatan, dorongan menguraikan masalah ke dalam bentuk lain yang memungkinkan siswa dapat mandiri. Vygotsky menjabarkan implikasi utama teori pembelajarannya yaitu 1) menghendaki setting kelas kooperatif, sehingga siswa dapat saling berinteraksi dan saling memunculkan strategi strategi pemecahan masalah yang efektif dalam masing masing zone of proximal development mereka; 2) Pendekatan Vygotsky dalam pembelajaran menekankan scaffolding. Jadi teori belajar Vygotsky adalah salah satu teori belajar sosial sehingga sangat sesuai dengan model pembelajaran kooperatif karena dalam model pembelajaran kooperatif terjadi interaktif sosial yaitu interaksi antara siswa dengan siswa dan antara siswa dengan guru dalam usaha menemukan konsep konsep dan pemecahan masalah. Artikel lengkap bisa anda download disini TEORI KOGNITIF.doc Teori Belajar Menurut Watson Watson mendefinisikan belajar sebagai proses interaksi antara stimulus dan respon, namun stimulus dan respon yang dimaksud harus dapat diamati (observable) dan dapat diukur. Jadi walaupun dia mengakui adanya perubahanperubahan mental dalam diri seseorang selama proses belajar, namun dia menganggap faktor tersebut sebagai hal yang tidak perlu diperhitungkan karena tidak dapat diamati. Watson adalah seorang behavioris murni, karena kajiannya tentang belajar disejajarkan dengan ilmu-ilmu lain seperi Fisika atau Biologi yang sangat berorientasi pada pengalaman empirik semata, yaitu sejauh mana dapat diamati dan diukur. [sunting] Teori Belajar Menurut Clark Hull Clark Hull juga menggunakan variabel hubungan antara stimulus dan respon untuk menjelaskan pengertian belajar. Namun dia sangat terpengaruh oleh teori evolusi Charles Darwin. Bagi Hull, seperti halnya teori evolusi, semua fungsi tingkah laku bermanfaat terutama untuk menjaga agar organisme tetap bertahan hidup. Oleh sebab itu Hull mengatakan kebutuhan biologis (drive) dan pemuasan kebutuhan biologis (drive reduction) adalah penting dan menempati posisi sentral dalam seluruh kegiatan manusia, sehingga stimulus (stimulus dorongan) dalam belajarpun hampir selalu dikaitkan dengan kebutuhan biologis, walaupun respon yang akan muncul mungkin dapat berwujud macam-macam. Penguatan tingkah laku juga masuk dalam teori ini, tetapi juga dikaitkan dengan kondisi biologis (Bell, Gredler, 1991).

[sunting] Teori Belajar Menurut Edwin Guthrie Azas belajar Guthrie yang utama adalah hukum kontiguiti. Yaitu gabungan stimulus-stimulus yang disertai suatu gerakan, pada waktu timbul kembali cenderung akan diikuti oleh gerakan yang sama (Bell, Gredler, 1991). Guthrie juga menggunakan variabel hubungan stimulus dan respon untuk menjelaskan terjadinya proses belajar. Belajar terjadi karena gerakan terakhir yang dilakukan mengubah situasi stimulus sedangkan tidak ada respon lain yang dapat terjadi. Penguatan sekedar hanya melindungi hasil belajar yang baru agar tidak hilang dengan jalan mencegah perolehan respon yang baru. Hubungan antara stimulus dan respon bersifat sementara, oleh karena dalam kegiatan belajar peserta didik perlu sesering mungkin diberi stimulus agar hubungan stimulus dan respon bersifat lebih kuat dan menetap. Guthrie juga percaya bahwa hukuman (punishment) memegang peranan penting dalam proses belajar. Hukuman yang diberikan pada saat yang tepat akan mampu mengubah tingkah laku seseorang. Saran utama dari teori ini adalah guru harus dapat mengasosiasi stimulus respon secara tepat. Pebelajar harus dibimbing melakukan apa yang harus dipelajari. Dalam mengelola kelas guru tidak boleh memberikan tugas yang mungkin diabaikan oleh anak (Bell, Gredler, 1991). [sunting] Teori Belajar Menurut Skinner Konsep-konsep yang dikemukanan Skinner tentang belajar lebih mengungguli konsep para tokoh sebelumnya. Ia mampu menjelaskan konsep belajar secara sederhana, namun lebih komprehensif. Menurut Skinner hubungan antara stimulus dan respon yang terjadi melalui interaksi dengan lingkungannya, yang kemudian menimbulkan perubahan tingkah laku, tidaklah sesederhana yang dikemukakan oleh tokoh tokoh sebelumnya. Menurutnya respon yang diterima seseorang tidak sesederhana itu, karena stimulus-stimulus yang diberikan akan saling berinteraksi dan interaksi antar stimulus itu akan mempengaruhi respon yang dihasilkan. Respon yang diberikan ini memiliki konsekuensi-konsekuensi. Konsekuensi-konsekuensi inilah yang nantinya mempengaruhi munculnya perilaku (Slavin, 2000). Oleh karena itu dalam memahami tingkah laku seseorang secara benar harus memahami hubungan antara stimulus yang satu dengan lainnya, serta memahami konsep yang mungkin dimunculkan dan berbagai konsekuensi yang mungkin timbul akibat respon tersebut. Skinner juga mengemukakan bahwa dengan menggunakan perubahan-perubahan mental sebagai alat untuk menjelaskan tingkah laku hanya akan menambah rumitnya masalah. Sebab setiap alat yang digunakan perlu penjelasan lagi, demikian seterusnya. [sunting] Analisis Tentang Teori Behavioristik Kaum behavioris menjelaskan bahwa belajar sebagai suatu proses perubahan tingkah laku dimana reinforcement dan punishment menjadi stimulus untuk merangsang pebelajar dalam berperilaku. Pendidik yang masih menggunakan kerangka behavioristik biasanya merencanakan kurikulum dengan menyusun isi pengetahuan menjadi bagian-bagian kecil yang ditandai dengan suatu keterampilan tertentu. Kemudian, bagian-bagian tersebut disusun secara hirarki, dari yang sederhana sampai yang komplek (Paul, 1997). Pandangan teori behavioristik telah cukup lama dianut oleh para pendidik. Namun dari semua teori yang ada, teori Skinnerlah yang paling besar pengaruhnya terhadap perkembangan teori belajar behavioristik. Program-program pembelajaran seperti Teaching Machine, Pembelajaran berprogram, modul dan program-program pembelajaran lain yang berpijak pada konsep hubungan stimulus-respons serta mementingkan faktor-faktor penguat (reinforcement), merupakan program pembelajaran yang menerapkan teori belajar yang dikemukakan Skiner. Teori behavioristik banyak dikritik karena seringkali tidak mampu menjelaskan situasi belajar yang kompleks, sebab banyak variabel atau hal-hal yang berkaitan dengan pendidikan dan/atau belajar yang dapat diubah menjadi sekedar hubungan stimulus dan respon. Teori ini tidak mampu menjelaskan penyimpangan-penyimpangan yang terjadi dalam hubungan stimulus dan respon. Pandangan behavioristik juga kurang dapat menjelaskan adanya variasi tingkat emosi pebelajar, walaupun mereka memiliki pengalaman penguatan yang sama. Pandangan ini tidak dapat menjelaskan mengapa dua anak yang mempunyai kemampuan dan pengalaman penguatan yang relatif sama, ternyata perilakunya terhadap suatu pelajaran berbeda, juga dalam memilih tugas sangat berbeda tingkat kesulitannya. Pandangan behavioristik hanya mengakui

adanya stimulus dan respon yang dapat diamati. Mereka tidak memperhatikan adanya pengaruh pikiran atau perasaan yang mempertemukan unsur-unsur yang diamati tersebut. Teori behavioristik juga cenderung mengarahkan pebelajar untuk berfikir linier, konvergen, tidak kreatif dan tidak produktif. Pandangan teori ini bahwa belajar merupakan proses pembentukan atau shaping, yaitu membawa pebelajar menuju atau mencapai target tertentu, sehingga menjadikan peserta didik tidak bebas berkreasi dan berimajinasi. Padahal banyak faktor yang mempengaruhi proses belajar, proses belajar tidak sekedar pembentukan atau shaping. Skinner dan tokoh-tokoh lain pendukung teori behavioristik memang tidak menganjurkan digunakannya hukuman dalam kegiatan pembelajaran. Namun apa yang mereka sebut dengan penguat negatif (negative reinforcement) cenderung membatasi pebelajar untuk berpikir dan berimajinasi. Menurut Guthrie hukuman memegang peranan penting dalam proses belajar. Namun ada beberapa alasan mengapa Skinner tidak sependapat dengan Guthrie, yaitu: Pengaruh hukuman terhadap perubahan tingkah laku sangat bersifat sementara; Dampak psikologis yang buruk mungkin akan terkondisi (menjadi bagian dari jiwa si terhukum) bila hukuman berlangsung lama; Hukuman yang mendorong si terhukum untuk mencari cara lain (meskipun salah dan buruk) agar ia terbebas dari hukuman. Dengan kata lain, hukuman dapat mendorong si terhukum melakukan hal-hal lain yang kadangkala lebih buruk daripada kesalahan yang diperbuatnya.

Skinner lebih percaya kepada apa yang disebut sebagai penguat negatif. Penguat negatif tidak sama dengan hukuman. Ketidaksamaannya terletak pada bila hukuman harus diberikan (sebagai stimulus) agar respon yang muncul berbeda dengan respon yang sudah ada, sedangkan penguat negatif (sebagai stimulus) harus dikurangi agar respon yang sama menjadi semakin kuat. Misalnya, seorang pebelajar perlu dihukum karena melakukan kesalahan. Jika pebelajar tersebut masih saja melakukan kesalahan, maka hukuman harus ditambahkan. Tetapi jika sesuatu tidak mengenakkan pebelajar (sehingga ia melakukan kesalahan) dikurangi (bukan malah ditambah) dan pengurangan ini mendorong pebelajar untuk memperbaiki kesalahannya, maka inilah yang disebut penguatan negatif. Lawan dari penguatan negatif adalah penguatan positif (positive reinforcement). Keduanya bertujuan untuk memperkuat respon. Namun bedanya adalah penguat positif menambah, sedangkan penguat negatif adalah mengurangi agar memperkuat respons. [sunting] Aplikasi Teori Behavioristik dalam Pembelajaran Aliran psikologi belajar yang sangat besar pengaruhnya terhadap arah pengembangan teori dan praktek pendidikan dan pembelajaran hingga kini adalah aliran behavioristik. Aliran ini menekankan pada terbentuknya perilaku yang tampak sebagai hasil belajar. Teori behavioristik dengan model hubungan stimulus responnya, mendudukkan orang yang belajar sebagai individu yang pasif. Respon atau perilaku tertentu dengan menggunakan metode drill atau pembiasaan semata. Munculnya perilaku akan semakin kuat bila diberikan reinforcement dan akan menghilang bila dikenai hukuman. Aplikasi teori behavioristik dalam kegiatan pembelajaran tergantung dari beberapa hal seperti: tujuan pembelajaran, sifat materi pelajaran, karakteristik pebelajar, media dan fasilitas pembelajaran yang tersedia. Pembelajaran yang dirancang dan berpijak pada teori behavioristik memandang bahwa pengetahuan adalah obyektif, pasti, tetap, tidak berubah. Pengetahuan telah terstruktur dengan rapi, sehingga belajar adalah perolehan pengetahuan, sedangkan mengajar adalah memindahkan pengetahuan (transfer of knowledge) ke orang yang belajar atau pebelajar. Fungsi mind atau pikiran adalah untuk menjiplak struktur pengetahuan yag sudah ada melalui proses berpikir yang dapat dianalisis dan dipilah, sehingga makna yang dihasilkan dari proses berpikir seperti ini ditentukan oleh karakteristik struktur pengetahuan tersebut. Pebelajar diharapkan akan memiliki pemahaman yang sama terhadap pengetahuan yang diajarkan. Artinya, apa yang dipahami oleh pengajar atau guru itulah yang harus dipahami oleh murid.

Demikian halnya dalam pembelajaran, pebelajar dianggap sebagai objek pasif yang selalu membutuhkan motivasi dan penguatan dari pendidik. Oleh karena itu, para pendidik mengembangkan kurikulum yang terstruktur dengan menggunakan standar-standar tertentu dalam proses pembelajaran yang harus dicapai oleh para pebelajar. Begitu juga dalam proses evaluasi belajar pebelajar diukur hanya pada hal-hal yang nyata dan dapat diamati sehingga halhal yang bersifat tidak teramati kurang dijangkau dalam proses evaluasi. Implikasi dari teori behavioristik dalam proses pembelajaran dirasakan kurang memberikan ruang gerak yang bebas bagi pebelajar untuk berkreasi, bereksperimentasi dan mengembangkan kemampuannya sendiri. Karena sistem pembelajaran tersebut bersifat otomatis-mekanis dalam menghubungkan stimulus dan respon sehingga terkesan seperti kinerja mesin atau robot. Akibatnya pebelajar kurang mampu untuk berkembang sesuai dengan potensi yang ada pada diri mereka. Karena teori behavioristik memandang bahwa pengetahuan telah terstruktur rapi dan teratur, maka pebelajar atau orang yang belajar harus dihadapkan pada aturan-aturan yang jelas dan ditetapkan terlebih dulu secara ketat. Pembiasaan dan disiplin menjadi sangat esensial dalam belajar, sehingga pembelajaran lebih banyak dikaitkan dengan penegakan disiplin. Kegagalan atau ketidakmampuan dalam penambahan pengetahuan dikategorikan sebagai kesalahan yang perlu dihukum dan keberhasilan belajar atau kemampuan dikategorikan sebagai bentuk perilaku yang pantas diberi hadiah. Demikian juga, ketaatan pada aturan dipandang sebagai penentu keberhasilan belajar. Pebelajar atau peserta didik adalah objek yang berperilaku sesuai dengan aturan, sehingga kontrol belajar harus dipegang oleh sistem yang berada di luar diri pebelajar. Tujuan pembelajaran menurut teori behavioristik ditekankan pada penambahan pengetahuan, sedangkan belajar sebagi aktivitas mimetic, yang menuntut pebelajar untuk mengungkapkan kembali pengetahuan yang sudah dipelajari dalam bentuk laporan, kuis, atau tes. Penyajian isi atau materi pelajaran menekankan pada ketrampian yang terisolasi atau akumulasi fakta mengikuti urutan dari bagian ke keseluruhan. Pembelajaran mengikuti urutan kurikulum secara ketat, sehingga aktivitas belajar lebih banyak didasarkan pada buku teks/buku wajib dengan penekanan pada ketrampilan mengungkapkan kembali isi buku teks/buku wajib tersebut. Pembelajaran dan evaluasi menekankan pada hasil belajar. Evaluasi menekankan pada respon pasif, ketrampilan secara terpisah, dan biasanya menggunakan paper and pencil test. Evaluasi hasil belajar menuntut jawaban yang benar. Maksudnya bila pebelajar menjawab secara benar sesuai dengan keinginan guru, hal ini menunjukkan bahwa pebelajar telah menyelesaikan tugas belajarnya. Evaluasi belajar dipandang sebagi bagian yang terpisah dari kegiatan pembelajaran, dan biasanya dilakukan setelah selesai kegiatan pembelajaran. Teori ini menekankan evaluasi pada kemampuan pebelajar secara individual. [sunting] Rujukan

1. ^ [Gage, N.L., & Berliner, D. 1979. Educational Psychology. Second Edition, Chicago: Rand Mc. Nally]
Bell Gredler, E. Margaret. 1991. Belajar dan Membelajarkan. Jakarta: CV. Rajawali Moll, L. C. (Ed.). 1994. Vygotsky and Education: Instructional Implications and Application of Sociohistorycal Psychology. Cambridge: Univerity Press Degeng, I Nyoman Sudana. 1989. Ilmu Pengajaran Taksonomi Variable. Jakarta: Depdikbud Gagne, E.D., (1985). The Cognitive Psychology of School Learning. Boston, Toronto: Little, Brown and Company Light, G. and Cox, R. 2001. Learning and TeacTeori Belajar Behavioristik

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas Langsung ke: navigasi, cari Artikel ini perlu dirapikan agar memenuhi standar Wikipedia Merapikan artikel bisa berupa membagi artikel ke dalam paragraf atau wikifikasi artikel. Setelah dirapikan, tolong hapus pesan ini.

Teori belajar behavioristik adalah sebuah teori yang dicetuskan oleh Gage dan Berliner tentang perubahan tingkah laku sebagai hasil dari pengalaman [1]. Teori ini lalu berkembang menjadi aliran psikologi belajar yang berpengaruh terhadap arah pengembangan teori dan praktek pendidikan dan pembelajaran yang dikenal sebagai aliran behavioristik. Aliran ini menekankan pada terbentuknya perilaku yang tampak sebagai hasil belajar. Teori behavioristik dengan model hubungan stimulus-responnya, mendudukkan orang yang belajar sebagai individu yang pasif. Respon atau perilaku tertentu dengan menggunakan metode pelatihan atau pembiasaan semata. Munculnya perilaku akan semakin kuat bila diberikan penguatan dan akan menghilang bila dikenai hukuman. Belajar merupakan akibat adanya interaksi antara stimulus dan respon (Slavin, 2000:143). Seseorang dianggap telah belajar sesuatu jika dia dapat menunjukkan perubahan perilakunya. Menurut teori ini dalam belajar yang penting adalah input yang berupa stimulus dan output yang berupa respon. Stimulus adalah apa saja yang diberikan guru kepada pebelajar, sedangkan respon berupa reaksi atau tanggapan pebelajar terhadap stimulus yang diberikan oleh guru tersebut. Proses yang terjadi antara stimulus dan respon tidak penting untuk diperhatikan karena tidak dapat diamati dan tidak dapat diukur. Yang dapat diamati adalah stimulus dan respon, oleh karena itu apa yang diberikan oleh guru (stimulus) dan apa yang diterima oleh pebelajar (respon) harus dapat diamati dan diukur. Teori ini mengutamakan pengukuran, sebab pengukuran merupakan suatu hal penting untuk melihat terjadi atau tidaknya perubahan tingkah laku tersebut. Faktor lain yang dianggap penting oleh aliran behavioristik adalah faktor penguatan (reinforcement). Bila penguatan ditambahkan (positive reinforcement) maka respon akan semakin kuat. Begitu pula bila respon dikurangi/dihilangkan (negative reinforcement) maka respon juga semakin kuat. Beberapa prinsip dalam teori belajar behavioristik, meliputi: (1) Reinforcement and Punishment; (2) Primary and Secondary Reinforcement; (3) Schedules of Reinforcement; (4) Contingency Management; (5) Stimulus Control in Operant Learning; (6) The Elimination of Responses (Gage, Berliner, 1984). Tokoh-tokoh aliran behavioristik di antaranya adalah Thorndike, Watson, Clark Hull, Edwin Guthrie, dan Skinner. Berikut akan dibahas karya-karya para tokoh aliran behavioristik dan analisis serta peranannya dalam pembelajaran. Daftar isi [sembunyikan] 1 Teori Belajar Menurut Thorndike 2 Teori Belajar Menurut Watson 3 Teori Belajar Menurut Clark Hull 4 Teori Belajar Menurut Edwin Guthrie 5 Teori Belajar Menurut Skinner 6 Analisis Tentang Teori Behavioristik 7 Aplikasi Teori Behavioristik dalam Pembelajaran 8 Rujukan

[sunting] Teori Belajar Menurut Thorndike Menurut Thorndike, belajar adalah proses interaksi antara stimulus dan respon. Stimulus adalah apa yang merangsang terjadinya kegiatan belajar seperti pikiran, perasaan, atau hal-hal lain yang dapat ditangkap melalui alat indera. Sedangkan respon adalah reaksi yang dimunculkan peserta didik ketika belajar, yang dapat pula berupa pikiran, perasaan, atau gerakan/tindakan. Jadi perubahan tingkah laku akibat kegiatan belajar dapat berwujud konkrit, yaitu yang dapat diamati, atau tidak konkrit yaitu yang tidak dapat diamati. Meskipun aliran behaviorisme sangat mengutamakan pengukuran, tetapi tidak dapat menjelaskan bagaimana cara mengukur tingkah laku yang tidak dapat diamati. Teori Thorndike ini disebut pula dengan teori koneksionisme (Slavin, 2000). Ada tiga hukum belajar yang utama, menurut Thorndike yakni (1) hukum efek; (2) hukum latihan dan (3) hukum kesiapan (Bell, Gredler, 1991). Ketiga hukum ini menjelaskan bagaimana hal-hal tertentu dapat memperkuat respon. [sunting] Teori Belajar Menurut Watson Watson mendefinisikan belajar sebagai proses interaksi antara stimulus dan respon, namun stimulus dan respon yang dimaksud harus dapat diamati (observable) dan dapat diukur. Jadi walaupun dia mengakui adanya perubahan-perubahan mental dalam diri seseorang selama proses belajar, namun dia menganggap faktor tersebut sebagai hal yang tidak perlu diperhitungkan karena tidak dapat diamati. Watson adalah

seorang behavioris murni, karena kajiannya tentang belajar disejajarkan dengan ilmu-ilmu lain seperi Fisika atau Biologi yang sangat berorientasi pada pengalaman empirik semata, yaitu sejauh mana dapat diamati dan diukur. [sunting] Teori Belajar Menurut Clark Hull Clark Hull juga menggunakan variabel hubungan antara stimulus dan respon untuk menjelaskan pengertian belajar. Namun dia sangat terpengaruh oleh teori evolusi Charles Darwin. Bagi Hull, seperti halnya teori evolusi, semua fungsi tingkah laku bermanfaat terutama untuk menjaga agar organisme tetap bertahan hidup. Oleh sebab itu Hull mengatakan kebutuhan biologis (drive) dan pemuasan kebutuhan biologis (drive reduction) adalah penting dan menempati posisi sentral dalam seluruh kegiatan manusia, sehingga stimulus (stimulus dorongan) dalam belajarpun hampir selalu dikaitkan dengan kebutuhan biologis, walaupun respon yang akan muncul mungkin dapat berwujud macam-macam. Penguatan tingkah laku juga masuk dalam teori ini, tetapi juga dikaitkan dengan kondisi biologis (Bell, Gredler, 1991). [sunting] Teori Belajar Menurut Edwin Guthrie Azas belajar Guthrie yang utama adalah hukum kontiguiti. Yaitu gabungan stimulus-stimulus yang disertai suatu gerakan, pada waktu timbul kembali cenderung akan diikuti oleh gerakan yang sama (Bell, Gredler, 1991). Guthrie juga menggunakan variabel hubungan stimulus dan respon untuk menjelaskan terjadinya proses belajar. Belajar terjadi karena gerakan terakhir yang dilakukan mengubah situasi stimulus sedangkan tidak ada respon lain yang dapat terjadi. Penguatan sekedar hanya melindungi hasil belajar yang baru agar tidak hilang dengan jalan mencegah perolehan respon yang baru. Hubungan antara stimulus dan respon bersifat sementara, oleh karena dalam kegiatan belajar peserta didik perlu sesering mungkin diberi stimulus agar hubungan stimulus dan respon bersifat lebih kuat dan menetap. Guthrie juga percaya bahwa hukuman (punishment) memegang peranan penting dalam proses belajar. Hukuman yang diberikan pada saat yang tepat akan mampu mengubah tingkah laku seseorang. Saran utama dari teori ini adalah guru harus dapat mengasosiasi stimulus respon secara tepat. Pebelajar harus dibimbing melakukan apa yang harus dipelajari. Dalam mengelola kelas guru tidak boleh memberikan tugas yang mungkin diabaikan oleh anak (Bell, Gredler, 1991). [sunting] Teori Belajar Menurut Skinner Konsep-konsep yang dikemukanan Skinner tentang belajar lebih mengungguli konsep para tokoh sebelumnya. Ia mampu menjelaskan konsep belajar secara sederhana, namun lebih komprehensif. Menurut Skinner hubungan antara stimulus dan respon yang terjadi melalui interaksi dengan lingkungannya, yang kemudian menimbulkan perubahan tingkah laku, tidaklah sesederhana yang dikemukakan oleh tokoh tokoh sebelumnya. Menurutnya respon yang diterima seseorang tidak sesederhana itu, karena stimulusstimulus yang diberikan akan saling berinteraksi dan interaksi antar stimulus itu akan mempengaruhi respon yang dihasilkan. Respon yang diberikan ini memiliki konsekuensi-konsekuensi. Konsekuensi-konsekuensi inilah yang nantinya mempengaruhi munculnya perilaku (Slavin, 2000). Oleh karena itu dalam memahami tingkah laku seseorang secara benar harus memahami hubungan antara stimulus yang satu dengan lainnya, serta memahami konsep yang mungkin dimunculkan dan berbagai konsekuensi yang mungkin timbul akibat respon tersebut. Skinner juga mengemukakan bahwa dengan menggunakan perubahan-perubahan mental sebagai alat untuk menjelaskan tingkah laku hanya akan menambah rumitnya masalah. Sebab setiap alat yang digunakan perlu penjelasan lagi, demikian seterusnya. [sunting] Analisis Tentang Teori Behavioristik Kaum behavioris menjelaskan bahwa belajar sebagai suatu proses perubahan tingkah laku dimana reinforcement dan punishment menjadi stimulus untuk merangsang pebelajar dalam berperilaku. Pendidik yang masih menggunakan kerangka behavioristik biasanya merencanakan kurikulum dengan menyusun isi pengetahuan menjadi bagian-bagian kecil yang ditandai dengan suatu keterampilan tertentu. Kemudian, bagian-bagian tersebut disusun secara hirarki, dari yang sederhana sampai yang komplek (Paul, 1997). Pandangan teori behavioristik telah cukup lama dianut oleh para pendidik. Namun dari semua teori yang ada, teori Skinnerlah yang paling besar pengaruhnya terhadap perkembangan teori belajar behavioristik. Program-program pembelajaran seperti Teaching Machine, Pembelajaran berprogram, modul dan program-program pembelajaran lain yang berpijak pada konsep hubungan stimulus-respons serta mementingkan faktor-faktor penguat (reinforcement), merupakan program pembelajaran yang menerapkan teori belajar yang dikemukakan Skiner.

Teori behavioristik banyak dikritik karena seringkali tidak mampu menjelaskan situasi belajar yang kompleks, sebab banyak variabel atau hal-hal yang berkaitan dengan pendidikan dan/atau belajar yang dapat diubah menjadi sekedar hubungan stimulus dan respon. Teori ini tidak mampu menjelaskan penyimpangan-penyimpangan yang terjadi dalam hubungan stimulus dan respon. Pandangan behavioristik juga kurang dapat menjelaskan adanya variasi tingkat emosi pebelajar, walaupun mereka memiliki pengalaman penguatan yang sama. Pandangan ini tidak dapat menjelaskan mengapa dua anak yang mempunyai kemampuan dan pengalaman penguatan yang relatif sama, ternyata perilakunya terhadap suatu pelajaran berbeda, juga dalam memilih tugas sangat berbeda tingkat kesulitannya. Pandangan behavioristik hanya mengakui adanya stimulus dan respon yang dapat diamati. Mereka tidak memperhatikan adanya pengaruh pikiran atau perasaan yang mempertemukan unsur-unsur yang diamati tersebut. Teori behavioristik juga cenderung mengarahkan pebelajar untuk berfikir linier, konvergen, tidak kreatif dan tidak produktif. Pandangan teori ini bahwa belajar merupakan proses pembentukan atau shaping, yaitu membawa pebelajar menuju atau mencapai target tertentu, sehingga menjadikan peserta didik tidak bebas berkreasi dan berimajinasi. Padahal banyak faktor yang mempengaruhi proses belajar, proses belajar tidak sekedar pembentukan atau shaping. Skinner dan tokoh-tokoh lain pendukung teori behavioristik memang tidak menganjurkan digunakannya hukuman dalam kegiatan pembelajaran. Namun apa yang mereka sebut dengan penguat negatif (negative reinforcement) cenderung membatasi pebelajar untuk berpikir dan berimajinasi. Menurut Guthrie hukuman memegang peranan penting dalam proses belajar. Namun ada beberapa alasan mengapa Skinner tidak sependapat dengan Guthrie, yaitu: Pengaruh hukuman terhadap perubahan tingkah laku sangat bersifat sementara; Dampak psikologis yang buruk mungkin akan terkondisi (menjadi bagian dari jiwa si terhukum) bila hukuman berlangsung lama; Hukuman yang mendorong si terhukum untuk mencari cara lain (meskipun salah dan buruk) agar ia terbebas dari hukuman. Dengan kata lain, hukuman dapat mendorong si terhukum melakukan hal-hal lain yang kadangkala lebih buruk daripada kesalahan yang diperbuatnya. Skinner lebih percaya kepada apa yang disebut sebagai penguat negatif. Penguat negatif tidak sama dengan hukuman. Ketidaksamaannya terletak pada bila hukuman harus diberikan (sebagai stimulus) agar respon yang muncul berbeda dengan respon yang sudah ada, sedangkan penguat negatif (sebagai stimulus) harus dikurangi agar respon yang sama menjadi semakin kuat. Misalnya, seorang pebelajar perlu dihukum karena melakukan kesalahan. Jika pebelajar tersebut masih saja melakukan kesalahan, maka hukuman harus ditambahkan. Tetapi jika sesuatu tidak mengenakkan pebelajar (sehingga ia melakukan kesalahan) dikurangi (bukan malah ditambah) dan pengurangan ini mendorong pebelajar untuk memperbaiki kesalahannya, maka inilah yang disebut penguatan negatif. Lawan dari penguatan negatif adalah penguatan positif (positive reinforcement). Keduanya bertujuan untuk memperkuat respon. Namun bedanya adalah penguat positif menambah, sedangkan penguat negatif adalah mengurangi agar memperkuat respons. [sunting] Aplikasi Teori Behavioristik dalam Pembelajaran Aliran psikologi belajar yang sangat besar pengaruhnya terhadap arah pengembangan teori dan praktek pendidikan dan pembelajaran hingga kini adalah aliran behavioristik. Aliran ini menekankan pada terbentuknya perilaku yang tampak sebagai hasil belajar. Teori behavioristik dengan model hubungan stimulus responnya, mendudukkan orang yang belajar sebagai individu yang pasif. Respon atau perilaku tertentu dengan menggunakan metode drill atau pembiasaan semata. Munculnya perilaku akan semakin kuat bila diberikan reinforcement dan akan menghilang bila dikenai hukuman. Aplikasi teori behavioristik dalam kegiatan pembelajaran tergantung dari beberapa hal seperti: tujuan pembelajaran, sifat materi pelajaran, karakteristik pebelajar, media dan fasilitas pembelajaran yang tersedia. Pembelajaran yang dirancang dan berpijak pada teori behavioristik memandang bahwa pengetahuan adalah obyektif, pasti, tetap, tidak berubah. Pengetahuan telah terstruktur dengan rapi, sehingga belajar adalah perolehan pengetahuan, sedangkan mengajar adalah memindahkan pengetahuan (transfer of knowledge) ke orang yang belajar atau pebelajar. Fungsi mind atau pikiran adalah untuk menjiplak struktur pengetahuan yag sudah ada melalui proses berpikir yang dapat dianalisis dan dipilah, sehingga makna yang dihasilkan dari proses berpikir seperti ini ditentukan oleh karakteristik

struktur pengetahuan tersebut. Pebelajar diharapkan akan memiliki pemahaman yang sama terhadap pengetahuan yang diajarkan. Artinya, apa yang dipahami oleh pengajar atau guru itulah yang harus dipahami oleh murid. Demikian halnya dalam pembelajaran, pebelajar dianggap sebagai objek pasif yang selalu membutuhkan motivasi dan penguatan dari pendidik. Oleh karena itu, para pendidik mengembangkan kurikulum yang terstruktur dengan menggunakan standar-standar tertentu dalam proses pembelajaran yang harus dicapai oleh para pebelajar. Begitu juga dalam proses evaluasi belajar pebelajar diukur hanya pada hal-hal yang nyata dan dapat diamati sehingga halhal yang bersifat tidak teramati kurang dijangkau dalam proses evaluasi. Implikasi dari teori behavioristik dalam proses pembelajaran dirasakan kurang memberikan ruang gerak yang bebas bagi pebelajar untuk berkreasi, bereksperimentasi dan mengembangkan kemampuannya sendiri. Karena sistem pembelajaran tersebut bersifat otomatis-mekanis dalam menghubungkan stimulus dan respon sehingga terkesan seperti kinerja mesin atau robot. Akibatnya pebelajar kurang mampu untuk berkembang sesuai dengan potensi yang ada pada diri mereka. Karena teori behavioristik memandang bahwa pengetahuan telah terstruktur rapi dan teratur, maka pebelajar atau orang yang belajar harus dihadapkan pada aturan-aturan yang jelas dan ditetapkan terlebih dulu secara ketat. Pembiasaan dan disiplin menjadi sangat esensial dalam belajar, sehingga pembelajaran lebih banyak dikaitkan dengan penegakan disiplin. Kegagalan atau ketidakmampuan dalam penambahan pengetahuan dikategorikan sebagai kesalahan yang perlu dihukum dan keberhasilan belajar atau kemampuan dikategorikan sebagai bentuk perilaku yang pantas diberi hadiah. Demikian juga, ketaatan pada aturan dipandang sebagai penentu keberhasilan belajar. Pebelajar atau peserta didik adalah objek yang berperilaku sesuai dengan aturan, sehingga kontrol belajar harus dipegang oleh sistem yang berada di luar diri pebelajar. Tujuan pembelajaran menurut teori behavioristik ditekankan pada penambahan pengetahuan, sedangkan belajar sebagi aktivitas mimetic, yang menuntut pebelajar untuk mengungkapkan kembali pengetahuan yang sudah dipelajari dalam bentuk laporan, kuis, atau tes. Penyajian isi atau materi pelajaran menekankan pada ketrampian yang terisolasi atau akumulasi fakta mengikuti urutan dari bagian ke keseluruhan. Pembelajaran mengikuti urutan kurikulum secara ketat, sehingga aktivitas belajar lebih banyak didasarkan pada buku teks/buku wajib dengan penekanan pada ketrampilan mengungkapkan kembali isi buku teks/buku wajib tersebut. Pembelajaran dan evaluasi menekankan pada hasil belajar. Evaluasi menekankan pada respon pasif, ketrampilan secara terpisah, dan biasanya menggunakan paper and pencil test. Evaluasi hasil belajar menuntut jawaban yang benar. Maksudnya bila pebelajar menjawab secara benar sesuai dengan keinginan guru, hal ini menunjukkan bahwa pebelajar telah menyelesaikan tugas belajarnya. Evaluasi belajar dipandang sebagi bagian yang terpisah dari kegiatan pembelajaran, dan biasanya dilakukan setelah selesai kegiatan pembelajaran. Teori ini menekankan evaluasi pada kemampuan pebelajar secara individual. [sunting] Rujukan ^ [Gage, N.L., & Berliner, D. 1979. Educational Psychology. Second Edition, Chicago: Rand Mc. Nally] Bell Gredler, E. Margaret. 1991. Belajar dan Membelajarkan. Jakarta: CV. Rajawali Moll, L. C. (Ed.). 1994. Vygotsky and Education: Instructional Implications and Application of Sociohistorycal Psychology. Cambridge: Univerity Press Degeng, I Nyoman Sudana. 1989. Ilmu Pengajaran Taksonomi Variable. Jakarta: Depdikbud Gagne, E.D., (1985). The Cognitive Psychology of School Learning. Boston, Toronto: Little, Brown and Company Light, G. and Cox, R. 2001. Learning and Teaching ini Higher Education. London: Paul Chapman Publising Slavin, R.E. 1991. Educational Psychology. Third Edition. Boston: Allyn and Bacon Slavin, R.E. 2000. Educational Psychology: Theory and Practice. Sixth Edition. Boston: Allyn and Bacon Diperoleh dari "http://id.wikipedia.org/wiki/Teori_Belajar_Behavioristik" hing ini Higher Education. London: Paul Chapman Publising Slavin, R.E. 1991. Educational Psychology. Third Edition. Boston: Allyn and Bacon Slavin, R.E. 2000. Educational Psychology: Theory and Practice. Sixth Edition. Boston: Allyn and Bacon

Diperoleh dari "http://id.wikipedia.org/wiki/Teori_Belajar_Behavioristik" Kategori: Psikologi

ean Piaget dilahirkan di Neuchtel (Switzerland) pada tanggal 9 Agustus 1896. Dia meninggal di Geneva pada tanggal 16 September, 1980. Dia adalah anak tertua dari pasangan suami istri Arthur Piaget, seorang profesor Kesusastraan abad pertengahan dan Rebecca Jackson. Pada usia yang masih dibilang kecil pada saat itu yakni 11 tahun di Neuchtel Latin high school, dia menulis suatu ulasan tentang albino sparrow. Paper singkat ini mendapat perhatian khusus dari berbagai pihak dan dianggap sebagai permulaan karir ilmiah yang brilian dari seseorang yang telah menulis lebih dari enam puluh buku dan beberapa ratus artikel (Ginn, 2008). Piaget telah diberi gelar sebagai seorang interaktionis sekaligus sebagai seorang konstruktivis. Ketertarikannya dengan prinsip pengembangan kognisi yang diangkat dari hasil perlakuan melalui training pada ilmu alam dan konsep epistimologi telah mengangkat dirinya menjadi ilmuan sejati. Dia sangat tertarik dengan pengetahuan tentang bagaimana anak-anak hadir untuk mengetahui dunia mereka. Dia mengembangkan teori kognitif dengan betul-betul mengamati perkembangan kognisi anak-anak (beberapa di antara anak tersebut adalah anaknya sendiri). Dengan menggunakan standar pertanyaan sebagai titik awal, dia mencoba mengikuti jalan pikiran anak-anak melalui training dan membuat pertanyaan-pertanyaan yang lebih fleksibel. Piaget percaya bahwa jawaban dan komentar anak-anak yang sifatnya spontan memberikan tanda untuk memahami jalan pikiran mereka. Dia malah tidak tertarik dengan mengkaji jawaban benar-salah yang diberikan oleh anak-anak, tetapi bentuk-bentuk logika dan alasan yang digunakan dalam memberikan komentar itulah yang menjadi perhatian khusus. Setelah bertahun-tahun melakukan observasi, Piaget menyimpulkan bahwa perkembangan intelektual anak adalah hasil interaksi antara faktor bawaan sejak lahir dengan lingkungan di mana anak-anak itu berkembang. Anak-anak dapat berkembang secara konstan melalui interaksi dengan lingkungan di sekitar mereka sehingga pengetahuan dapat dibangun dan dikonstruksi kembali. Teori Piaget tentang perkembangan intelektual merupakan dasar dalam ilmu biologi. Ginn (2008) mengatakan bahwa Piaget melihat pertumbuhan kognitif sebagai suatu ekstensi dari pertumbuhan biologis dan diolah melalui prinsip-prinsip dan hukum yang sama. Piaget juga memandang bahwa perkembangan intelektual mengontrol setiap perkembangan aspek lain seperti emosi, sosial, dan moral. Tiga Aspek Perkembangan Intelektual Dalam perkembangan intelektual ada tiga aspek yang diteliti oleh Piaget, yaitu ; struktur, isi ( content ), dan fungsi. 1. Struktur

Piaget berpendapat bahwa ada hubungan fungsional antara tindakan fisik, tindakan mental, dan perkembangan berfikir logis anak-anak. Tindakan-tindakan menuju pada perkembangan operasi-operasi dan selanjutnya operasioperasi menuju pada perkembangan struktur-struktur. Operasi mempunyai empat ciri :

Pertama, operasi merupakan tindakan yang terinternalisasi, ini berarti tindakan itu baik merupakan tindakan mental maupun tindakan fisik tidak ada garis pemisah antara keduannya. Kedua, operasi itu bersifat reversible. Ketiga, operasi itu selalu tetap, walaupun selalu terjadi transformasi atau perubahan. Keempat, tidak ada operasi yang berdiri sendiri.Suatu operasi selalu berhubungan dengan struktur atau sekumpulan operasi.

Jadi, operasi adalah tindakan mental yang terinternalisasi, reversible, tetap dan terintegrasi dengan struktur dan operasi lainnya.Struktur yang juga disebut skemata merupakan organisasi mental tingkat tinggi, satu tingkat lebih tinggi dari operasi-operasi.Menurut Piaget, struktur intelektual terbentuk pada individu waktu ia berinteraksi dengan lingkungannya. Struktur yang terbentuk lebih memudahkan individu itu menghadapi tuntutan yang makin meningkat dari lingkungannya. Diperolehnya suatu struktur atau skemata berarti telah terjadi suatu perubahan dalam perkembangan intelektual anak. 2. Isi Yang dimaksudkan dengan isi ialah pola perilaku anak yang khas yang tercermin pada respon yang diberikannya pada berbagai masalah atau situasi yang dihadapinya. Misalnya, perubahan dalam kemampuan penalaran sejak kecil hingga besar ( konsepsi anak tentang alam sekitarnya). 3. Fungsi Fungsi adalah cara yang digunakan organisme untuk membuat kemajuan intelektual. Menurut Piaget perkembangan intelektual didasarkan pada dua fungsi, yaitu ; Organisasi, memberikan pada organisme kemampuan untuk mensistematikan atau mengorganisasi prosesproses fisik atau proses-proses psikologis menjadi sistem-sistem yang teratur dan berhubungan atau strukturstruktur. Dengan organisasi, struktur fisik dan struktur psikologis diintegrasikan menjadi struktur tingkat tinggi. Adaptasi, semua organisme lahir dengan kecenderungan untuk menyesuaikan diri atau beradaptasi pada lingkungan mereka. Cara adaptasi ini berbeda antara organisme yang satu dengan yang lain.Adaptasi terhadap lingkungan dilakukan melalui dua proses, yaitu : Asimilasi dan Akomodasi. Dalam proses Asimilasi seseorang menggunakan struktur atau kemampuan yang sudah ada untuk menanggapi masalah yang dihadapinya dalam lingkungannya. Dalam proses Akomodasi seseorang memerlukan modifikasi struktur mental yang ada dalam mengadakan respom terhadap tantangan lingkungannya. Secara ringkas dapat dikatakan, bila seseorang memiliki pola perilaku untuk berinteraksi dengan lingkungannya, ia mengadakan asimilasi. Bila ia tidak memiliki sekumpulan perilaku untuk menanggapi suatu situasi, maka ia harus mengubah pola responnya, dan dia berakomodasi terhadap lingkungannya.Bagi Piaget adaptasi merupakan suatu

kesetimbangan antara Asimilasi dan Akomodasi. Jika dengan proses asimilasi seseorang tidak dapat mengadakan adaptasi pada lingkunganya, terjadilah ketidaksetimbangan (Disequilibrium). Akibat ketidaksetimbangan ini maka terjadilah akomodasi, dan struktur yang ada mengalami perubahan atau struktur yang baru timbul. Pertumbuhan intelektual merupakan proses terus menerus tentang keadaan ketidak setimbangan dan keadaan setimbang ( Disequilibrium-Equilibrium ). Tetapi, bila terjadi kembali kesetimbangan maka individu itu berada pada tingkat intelektual yang lebih tinggi dari pada sebelumnya. Secara singkat dapat dikemukakan bahwa perkembangan intelektual merupakan suatu konstruksi dari satu seri struktur mental. Setiap struktur baru didasarkan pada kemampuan-kemampuan tertentu sebelumnya, tetapi pada saat yang sama melibatkan hasil pengalaman. Karena itu perkembangan intelektual merupakan suatu proses konstruksi yang aktif dan dinamis yang berlangsung dari perilaku bayi hingga bentuk-bentuk berpikir masa remaja. B. Tingkat-tingkat Perkembangan Intelektual Menurut Piaget, setiap individu mengalami tingkat-tingat perkembangan intelektual sebagi berikut : 1. Sensorik motorik (umur 2 tahun) Selama periode ini anak mengatur alamnya dengan indra-inderanya ( sensori ) dan tindakan-tindakannya ( motorik ). 1. Pre Operasional (umur 2-7 tahun) Periode ini disebut pra operasional karena pada umur ini anak belum mampu melaksanakan operasi mental seperti menambah, mengurangi, dan lain-lain. Tingkat pra operasional terdiri dari dua sub tingkat. Sub tingkat pertama antara 2 sampai 4 tahun yang disebut sub tingkat pralogis. Sub tingkat kedua ialah antara 4 sampai 7 tahun yang disebut tingkat berpikir intuitif. Pada sub tingkat pralogis penalaran anak adalah transduktif. Menurut Piaget, penalaran anak bukan deduksi dan induksi mereka bergerak dari khusus ke khusus, tanpa menyentuh pada yang umum. Anak itu melihat suatu hubungan hal-hal tertentu yang sebenarnya tidak ada. Piaget menyebut ini penalaran transduktif. Anak praoperasional tidak mempunyai kemampuan untuk memcahkan masalah yang memerlukan berfikir reversible. Pikiran anak praoperasional bersifat ireversibel. Sifat lain dari anak praoperasional, yaitu egosentris, artinya anak itu mempunyai kesulitan untuk menerima pendapat orang lain.Selajutnya anak praoperasional lebih memfokuskan diri pada aspek statis tentang suatu peristiwa daripada transformasi dari satu keadaan ke keadaan lain.

1.

Konkret Operasional (umur 7-11 tahun) Tingkat ini merupakan permulaan berpikir rasional. Anak memiliki operasi-operasi logis yang dapat diterapkan pada masalah-masalah kongkret. Anak dalam periode ini dapat menyusun satu seri obyek dalam urutan. Piaget menyebut operasi ini seriasi. Selama periode ini anak kurang egosentris dan lebih sosiosentris.

1.

Formal Operasional (umur 11 tahun ke atas) Pada periode ini anak dapat menggunakan operasi-operasi kongkretnya untuk membentuk operasi yang lebih kompleks. Kemajuan utama pada anak periode ini ialah bahwa ia tidak perlu berpikir dengan pertolongan benda-benda atau peristiwa-peristiwa kongkret.

C. Faktor-faktor Yang Menunjang Perkembangan Intelektual Menurut Piaget, ada lima faktor yang mempengaruhi transisi ini, yaitu : 1. Kedewasaan, perkembangan sistem saraf sentral, otak, koordinasi motorik, dan manifestasi fisik lainnya mempengaruhi perkembangan kognitif. Namun maturasi tidak cukup menerangkan perkembangan intelektual ini. 2. Pengalaman fisik, interaksi dengan lingkungan fisik digunakan anak untuk mengabstrak berbagai sifat fisik dari benda-benda. Pengalaman fisik ini selalu melibatkan asimilasi pada struktur-struktur logika matematik. 3. Pengalaman logika matematik, yaitu pengalaman dalam membangun atau mengkontruksi hubungan-hubungan antara obyek-obyek. 4. Transmisi sosial, dalam transmisi sosial, pengetahuan datang dari orang lain. Pengaruh bahasa, instruksi formal dan membaca, begitu pula interaksi dengan teman-teman dan orang dewasa termasuk faktor faktor transmisi sosial dan memegang peranan dalam perkembangan intelektual anak. 5. Pengaturan sendiri, equilibrasi adalah kemampuan untuk mencapai kembali kesetimbangan ( equilibrium ) selama periode ketidaksetimbangan ( disequilibrium ). Equilibrasi merupakan suatu proses untuk mencapai tingkat-tingkat berfungsi kognitif yang lebih tinggi melalui asimilasi dan akomodasi tingkat demi tingkat. A. Pengetahuan Fisik, Pengetahuan Logika Matematik, dan Pengetahuan Sosial. Menurut Piaget ada tiga bentuk pengetahuan. Ketiga bentuk pengetahuan tersebut terdapat bersama-sama tidak terpisah-pisah kecuali dalam matematika murni dan logika. Tiga bentuk pengetahuan tersebut yaitu :

1.

Pengetahuan fisik dan pengetahuan logika matematik. Pengetahuan fisik merupakan pengetahuan tentang benda-benda, yang ada di luar dan dapat diamati dalam kenyataan eksternal. Sumber pengetahuan fisik terutama terdapat dalam benda itu sendiri, yaitu dalam cara benda itu memberikan pada subyek kesempatan-kesempatan untuk pengamatan. Pengetahuan logika matematik terdiri atas hubungan-hubungan yang diciptakan subyek dan diintroduksikan pada objek-objek.

1.

Pengetahuan sosial Tidak seperti pengetahuan fisik dan pengetahuan logika matematik, pengetahuan sosial membutuhkan manusia. Tanpa interaksi dengan manusia, tak mungkin bagi seorang anak untuk memperoleh pengetahuan sosial.

Dari uraian di atas dapat terlihat bahwa pengetahuan fisik dan pengetahuan sosial terutama merupakan pengetahuan empiris, sedangkan pengetahuan logika matematik mewakili pengetahuan menurut tradisi rasionalis. E. Bagaimana Pengetahuan Diperoleh Menurut Piaget,pengetahuan dibangun dalam pikiran anak.Pengetahuan sosial seperti nama hari dalam seminggu atau tanda atom unsur-unsur dalam ilmu kimia dapat dipelajari secara langsung yaitu dari pikiran guru ke pikiran siswa. Namun pengetahuan fisik dan pengetahuan logika matematik tidak dapat secara utuh dipindahkan dari pikiran guru ke pikiran siswa. Dengan kata lain,pengetahuan fisik dan pengetahuan logika matematik tidak dapat diteruskan dalam bentuk sudah jadi. Setiap anak harus membangun sendiri pengetahuan-pengetahuan itu. Pengetahuan itu harus dikontruksi sendiri oleh anak melalui operasi-operasi dan salah satu cara untuk membangun operasi ialah dengan equilibrasi. 1. Kontruksi Pengetahuan

Equilibrasi adalah proses kecenderungan kembali ke equilibrium ( kesetimbangan ). Equilibrium Piaget bukan berarti Homeostatis, atau kembali ke keadaan equilibrium sebelumnya tapi merupakan suatu proses konstruktif. Piaget membedakan tiga macam equilibrasi : Pertama, dapat dilihat dalam konstruksi pengetahuan fisik. Anak memahami kenyataan dengan mengasimilasi kenyataan itu kedalam skema-skema klasifikatori dan menempatkan kenyataan itu dalam seri-seri dan dengan mengakomodasi skema-skema ini. Kedua, terlihat pada konstruksi logika matematik.

Ketiga,

mempunyai

ciri

diferensiasi

dari

skema-skema

dan

pengintegrasiannya

ke

dalam

keseluruhan( totalitas ) pengetahuan. Pengetahuan menurut Piaget berkembang sebagai suatu totalitas sejak semula. Totalitas ini mempunyai suatu gaya kohesif. 1. Model Konstruktivis Dalam Mengajar

Prinsip yang paling umum dan paling esensial yang dapat diturunkan dari konstruktifisme ialah bahwa anak-anak memperoleh banyak pengetahuan di luar sekolah dan pendidikan seharusnya memperhatikan hal itu dan menunjang proses alamiah ini. 1. Siklus Belajar

Kita harus menerima mengajar bukan sebagai proses dimana gagasan-gagasan guru diteruskan pada para siswa melainkan sebagai proses untuk mengubah gagasan-gagasan anak yang sudah ada yang mungkinsalah. Siklus belajar terdiri atas tiga fase : Pertama, fase eksplorasi, selama eksplorasi para siswa belajar melalui aksi dan reaksi mereka sendiri dalam suatu situasi baru. Fase ini menyediakan kesempatan bagi para siswa untuk menyuarakan gagasan-gagasan mereka yang bertentangan dan dapat menimbulkan perdebatan dan suatu analisis mengenai mengapa mereka mempunyai gagasan-gagasan demikian. Eksplorasi juga membawa para siswa pada identifikasi suatu pola keteraturan dalam fenomena yang diselidiki. Kedua, pengenalan konsep, yang biasanya dimulai dengan memperkenalkan suatu konsep atau konsepkonsep yang ada hubungannya dengan fenomena yang diselidiki kemudian didiskusikan dalam konteks apa yang telah diamati selama fase eksplorasi. Ketiga, aplikasi, menyediakan kesempatan bagi para siswa untuk menggunakan konsep-konsep yang telah diperkenalkan untuk menyelidiki sifat-sifat benda lebih lanjut. 1. Tiga Macam Siklus Belajar Pertama, siklus belajar deskriptif, para siswa menemukan dan memberikan suatu pola empiris dalam suatu konteks khusus ( eksplorasi ), guru memberi nama pada pola itu ( pengenalan istilah atau konsep ), kemudian pola itu ditentukan dalam konteks-konteks lain ( aplikasi konsep ). Siklus belajar deskriptif menjawab pertanyaan Apa? tetapi tidak menimbulkan pertanyaan Mengapa?. Kedua, siklus belajar empiris induktif, para siswa juga menemukan dan memberikan suatu pola empiris dalam suatu konteks khusus ( eksplorasi ), tetapi mereka selanjutnya mengemukakan sebab-sebab yang mungkin tentang terjadinya pola itu. Hal ini membutuhkan penggunaan penalaran analogi untuk

memindahkan atau mentransfer konsep-konsep yang telah dipelajari dalam konteks-konteks lain pada konteks baru itu ( pengenalan konsep ). Dengan kata lain pengamatan dilakukan secara deskriptif tetapi bentuk siklus ini menghendaki lebih jauh yaitu mengemukakan sebab dan menguji sebab itu. Karena itu diberi nama empiris induktif. Ketiga, yaitu siklus belajar hipotetis deduktif, dimulai dengan pernyataan berupa suatu pertanyaan sebab. Para siswa diminta untuk merumuskan jawaban-jawaban subheadings ( hipotesis-hipotesis ) yang mungkin terhadap pertanyaan itu. Selajutnya para siswa diminta untuk menurunkan konsekuensi-konsekuensi logis dari hipotesis-hipotesis ini, dan merencakan serta melakukan eksperimen-eksperimen untuk menguji hipotesis-hipotesis itu ( eksplorasi ). Analisis hasil-hasil eksperimen menyebabkan beberapa hipotesis ditolak sedangkan yang lain diterima ( pengenalan konsep ). Akhirnya konsep-konsep yang relevan dan pola-pola penalaran yang terlibat dan didiskusikan dapat diterapkan pada situasi-situasi lain dikemudian hari ( aplikasi konsep ). Merupakan hipotesis-hipotesis melalui deduksi logis dengan hasil empiris diperlukan dalam siklus belajar ini, karena itu diberi nama hipotesis deduktif. Dengan berpegang pada ketiga siklus belajar seperti yang diuraikan di atas, kita mengajar dengan cara sedemikian rupa sehingga para siswa mampu mengemukakan konsepsi atau gagasan yang sudah mereka miliki dan menguji serta mendiskusikan gagasan-gagasan tersebut secara terbuka. BAB PENDAHULUAN I

A. Latar Belakang Masalah Beberapa pertanyaan yang pokok dalam teori perkembangan kognitif adalah: dengan alat dan cara apa orang mempereroleh pengetahuan, menyimpan, dan menggunakannya?. Pada prinsipnya hal ini berhubungan dengan alatalat pengenalan dan bentuk-bentuk pengenalan. Kognisi adalah pengertian yang luas mengenai berfikir dan mengamati, jadi tingkah laku yang mengakibatkan orang memperoleh pengertian atau yang dibutuhkan untuk menggunakan pengertian. Psikolog Rusia yaitu Lev Vygotsky telah banyak mempengaruhi psikologi perkembangan dalam hal perkembangan kognisi. Dia telah memberikan banyak pendapat dan dorongan dalam hal perkembangan kognisi. Lev Vygotsky dapat menjadi demikian terkenal dan penting peranannya dalam dunia psikologi karma teori-teori, metode-metode dan bidang-bidang penelitian yang di kembangkannya sangat orisinil, tidak sekedar melanjutkan hal-hal yang sudah terlebih dulu di temukan orang lain. Ia tertarik khususnya pada penyelidikan-penyelidikan teoritis maupun eksprerimentil terhadap perubahan-perubahan kwalitatif pada struktur kognitif selama proses perkembangan dan berusaha menerangkannya dalam bahasa matematika logis. Mempelajari teori kognitif Vygotsky akan sangat berguna bagi para pendidik dalam membantu perkembangan anak didiknya. Beberapa prinsip dalam konsep Vygotsky bisa kita gunakan dalam system pembelajaran agar perkembangan anak didik menjadi maksimal. Semoga makalah ini bisa berguna bagi kita semua.Amin B. Di 1. 2. 3. Rumusan masalah dalam makalah ini kita akan membahas tentang: Bagaimana teori perkembangan kognitif menurut konsep vygoysky? Apa pengertian dari Zona Perkembangan Proximal dan konsep Scafolding? Bagaimana penerapan konsep Vygotsky dalam system pembelajaran? tujuan kognitif penulisan menurut penulisan makalah ini adalah: konsep vygoysky.

C. Tujuan Berdasarkan rumusan masalah diatas,maka 1. Mengetahui teori perkembangan

2. 3.

Mengetahui pengertian dari Mengetahui penerapan

Zona konsep

Perkembangan Vygotsky

Proxima dalam

dan konsep Scafolding system pembelajaran. II

BAB PEMBAHASAN

A. Teori Perkembangan Kognitif menurut Konsep Vygotsky Perkembangan kognitif dan bahasa anak-anak tidak berkembang dalam situasi sosial yang hampa. Lev Vygotsky (1896-1934) seorang psikolog berkebangsaan Rusia, mengenal poin penting tentang pikiran anak lebih dari setengah abad yang lalu. Teori Vygotsky mendapat perhatian yang makin besar ketika memasuki akhir abad ke-20. Sezaman dengan Piaget, Vygotsky menulis di Uni Sofiet selama sepuluh tahun dari tahun 1920-1930. Namun karyanya baru dipublikasikan diduia barat pada tahun 1960an. Sejak saat itulah, tulisan-tulasannya menjadi sangat berpengaruh didunia. Vygotsky juga mengagumi Piaget , Vigotsky setuju dengan teori Piaget bahwa perkembangan kognitiv terjadi secara bertahap dan dicirikan dengan gaya berpikir yang berbeda-beda, akan tetapi Vygotsky tidak setuju dengan pandangan Piaget bahwa anak menjelajahi dunianya sendirian dan membentuk gambara realitasya sendirian, karena menurut Vygotsky suatu pengetahuan tidak hanya didapat oleh anak itu sendiri melainkan mendapat bantuan dari lingkungannya juga. Karya vygotsky didasarkan pada pada tiga ide utama: 1. Bahwa intelektual berkembang pada saat individu menghadapi ide-ide baru dan sulit mengaitkan ide-ide tersebut dengan apa yang mereka ketahui. 2. Bahwa interaksi dengan orang lain memperkaya perkembangan intelektual. 3. Peran utama guru adalah bertindak sebagai seorang pembantu dan mediator pembelajaran siswa. Sumbangan psikologi kognitif berakar dari teori-teori yang menjelaskan bagaimana otak bekerja dan bagaimana individu memperoleh dan memproses informasi. Pandangan yang ditawarkan Vygotsky dan para ahli psikologi kognitif yang lebih mutakhir adalah penting dalam memahami penggunaan-penggunaan strategi belajar karena tiga alasan. Pertama, mereka menggaris bawahi peran penting pengetahuan alam dalam proses belajar. Dua, mereka membantu kita memahami pengetahuan dan perbedaan antara berbagai jenis pengetahuan. Tiga, merka membantu menjelaskan bagaimana pengetahuan diperoleh manusia dan diproses didalam sistem memori otak. Para ahli psikologi kognitif menyebut informasi dan pengalaman yang disimpan dalam memori jangka panjang dalam pengetahuan awal. Pengetahuan awal (prior knowlege) merupakan kumpulan dari pengetahuan dan pengalaman individu yang diperoleh sepanjang perjalanan hidup mereka, dan apa yang ia bawah kepada suatu pengalaman baru. Menurut teori Peaget Perkembangan kognitif seorang anak terjadi secara bertahap, lingkungan tidak tidak dapat mempengaruhi perkembangan pengetahuan anak. seorang anak tidak dapat menerima pengetahuan secara langsung dan tidak bisa langsung menggunakan pengetahuan tersebut, tetapi pengetahuan akan didapat secara bertahap dengan cara belajar secara aktif dilingkungan sekolah. Tapi Vygotsky tidak sependapat dengan Peaget, Vygotsky menekankan pada pembelajaran sosiokultural. Inti dari teori Vygotsky yaitu penekanan pada interaksi pembelajaran antara aspek internal dan aspek eksternal pada lingkungan social. Menurut teori Vygotsky, fungsi kognitif berasal dari interaksi sosial masing-masing individu dalam konsep budaya. Vygotsky juga yakin suatu pembelajaran tidak hanya terjadi saat disekolah atau dari guru saja, tetapi suatu pembelajaran dapat terjadi saat siswa bekerja menangani tugas-tugas yang belum pernah dipelajari disekolah namun tugas-tugas itu bisa dikerjakannya. Banyak developmentalis yang bekerja dibidang kebudayaan dan pembangunan yang sepaham dengan teori Vygotsky, yang berfokus pada konteks pembangunan social budaya. Teory Vygotsky menawarkan suatu potret perkembangan manusia sebagai sesuatu yang tidak terpisahkan dari kegiatan-kegiatan sosial dan budaya. Vygotsky menekankan bagaimana proses-proses perkembangan mental seperti ingatan, perhatian, dan penalaran yang melibatkan pembelajaran yang menggunakan temuan-temuan masyarakat seperti bahasa, system matematika dan alat-alat ingatan. Vygotsky lebih banyak menekankan bahasa dalam perkembangan kognitif dari pada Peaget. Bagi Peaget bahasa baru tampil ketika anak sudah mencapai tahap perkembangan yang cukup maju. pengalaman bahasa anak tergantung pada tahap perkembangan kognitif saat itu. Pada kenyatannya, Kebanyakan anak-anak diajari bahasa sejak usia yang sangat mudah. Bahkan saat anak mulai bisa melihat dunia. Kita perlu mengenalkan bahasa sejak dini untuk memperoleh keterampilan bahasa yang baik. Para pakar perilaku memandang bahasa sama dengan perilaku lainnya, misalnya duduk, berjalan atau berlari. Mereka berpendapat bahwa bahasa hanya urutan respon atau

sebuah imitasi. Tetapi banyak diantara kalimat yang kita hasilkan adalah baru, kita tidak mendengar atau membicarakan sebelumnya. Kita tidak membicarakan bahasa didalam suatu ruang hampa sosial, kita memerlukan pengenalan bahasa yang lebih dini untuk memperoleh keterampilan bahasa yang baik. Dewasa ini kebanyakan peneliti bahasa yakin bahwa anak-anak dari berbagai konteks social yang luas menguasai bahasa dari ibu mereka tanpa diajarkan secara khusus. Seperti halnya saat anak menangis, menangis merupakan bahasa anak saat meraka belum bisa berbicara, menangis dijadikan sebagai bahasa mereka saat mereka menginginkan sesuatu. Walaupun begitu proses pembelajaran bahasa biasanya memerlukan lebih banyak dukungan dan keterlibatan dari pengasuh dan guru. Karena dari lingkungan juga mereka akan dapat tambahan kosakata. Suatu lingkungan juga yang membangkitkan rasa ingin tahu dalam penguasaan bahasa pada anak. Perkembangan pemahaman bahasa pada anak bukan saja dipengaruhi oleh kondisi biologis anak, tetapi lngkungan bahasa disekitar anak sejak usia dini itu lebih penting. Karena bahasa berfungsi sebagai komunikasi. Dan suatu komunikasih itu digunakan sebagai alat untuk menyelesaikan masalah. Vygotsky juga menekankan bagaimana anak-anak dibantu berkembang dengan bimbingan dari orang-orang yang sudah terampil didalam bidang-bidang tersebut. Penekanan Vygotsky pada peran kebudayaan dan sosial didalam perkembangan kognitif berbeda dengan teori Peaget tentang anak sebagai ilmuwan kecil yang kesepian. Karena Peaget memandang anak-anak sebagai pembelajaran lewat penemuan individual. Sedangkan Vygotsky lebih banyak menekankan peranan orang dewasa dan anak anak lain dalam memuahkan perkembangan si anak..Menurut Vygotsky, anak-anak lahir dengan fungsi mental yang relative dasar seperti kemampuan untuk memahami dunia luar dan memusatkan perhatian. Namun,anak-anak tidak banyak meiliki fungsi mental yang lebih tinggi. Pengalaman dengan orang lain secara berangsur menjadi semakin mendalam dan membentuk gambaran batin anak tentang dunia. Vygotsky juga menekankan baik levelkonteks sosial yang bersifat inter personal. Pada level institusional, sejarah kebudayaan menyediakan organisasi dan alat-alat yang berguna bagi aktivitas kognitif melalu instuisi seperti sekolah, penemuan seperti computer. Interaksi intuisional memberi kepada anak suatu norma-norma perilaku dan social yang luas untuk membimbing hidupnya.level interpersonal memiliki suatu pengaruh yang lebih langsung pada kefungsian mental anak. Menurut Vygotsky keterampilan-keterampilan dalam keberfungsian mental berkembang melalui interaksi social langsung. Melalui pengoranisasian pengalaman-pengalaman interaksi social yang berada dalam suatu latar belakang kebudayaan ini. Perkembangan anak menjadi matang. B. Zone proximal Development Dan Konsep Scafolding 1. Zone proximal Development Zona proximal Development ( ZPD ) ialah istilah Vygotsky untuk tugas-tugas yang terlalu sulit untuk dikuasai sendiri oleh anak-anak, tetapi yang dapat dikuasai dengan bimbingan dan bantuan dari orang-orang dewasa atau anak-anak yang yang lebih terampil. Batas ZPD yang lebih rendah ialah level pemecahan masalah yang di capai oleh seorang anak yang bekerja secara mandiri. Dan batas yang lebih tinggi ialah level tanggung jawab tambahan yang dapat di terima oleh anak dengan bantuan seorang instruktur yang mampu. Penekanan Vygotsky pada ZPD menegaskan keyakinannya tentang pentingnya pengaruh-pengaruh social terhadap perkembangan kognitif dan peran pengajaran dalam perkembangan social. ZPD dikonseptualisasikan sebagai suatu ukuran potensi pembelajaran,akan tetapi IQ menekankan bahwa intelegensi adalah milik anak. sedangkan ZPD menekankan bahwa pembelajaran adalah suatu peristiwa social yang bersifat interpersonal dan dinamis yang tergantung pada paling sedikit dua pikiran, dimana yang satu lebih berilmu atau lebih terlatih dari yang lain. Pembelajaran oleh anak-anak kecilyang baru berjalan memberi contoh bagaimana ZPD bekerja. Anak-anak kecil yang baru berjalan itu harus di motivasi dan harus dilibatkan dalam kegiatan-kegiatan yang menuntut ketrampilan buat mereka. Guru harus harus memiliki pengetahuan untuk melatihkan ketrampilan yang menjadi target pada setiap tingkat yang di persyaratkan oleh aktifitasnya. Guru dan anak harus saling menyesuaikan persyaratan masing-masing. Dalam suatu penelitian tentang hubungan antara anak-anak yang baru belajar berjalan dengan ibunya,pasangan itu di tugaskan untuk menyelesaikan sejumlah masalah yang terdiri atas berbagai jumlah (sedikit obyek vs banyak obyek) dan berbagai kompleksitas (perhitungan sederhana vs reproduksi angka). Para ibu di minta mengerjakan tugas ini sebagai suatu peluang untik mendorong pembelajaran dan pemahaman akan anak mereka. Vygotsky mengatakan bahwa bahasa dan pemikiran pada mulanya berkembang sendiri-sendiri, tetapi pada akhirnya bersatu. Ada dua prinsip yang mempengaruhi penyatuan pemikiran dan bahasa. Pertama, semua fungsi mental memiliki asal usul eksternal atau sosia. Anak-anak harus menggunakan basa dan mengkomunikasikannya kepada orang lain sebelum mereka berfokus ke dalam proses-proses mental mereka sendiri. Kedua, anak-anak harus berkomunikasi

secara eksternal dan menggunakan bahasa selama periode waktu yang lama sebelum transisi dari kemampuan bicara secara eksternal ke internal berlangsung. Periode transisi ini terjadi antara usia 3 hingga 7 tahun dan meliputi berbicara kepada dirinya sendiri. Setelah beberapa saat, berbicara sendiri itu menjadi hakekat kedua anak-anak dan mereka dapat bertindak tanpa menverbalisasikannya. Bila ini terjadi anak-anak telah menginternalisasikan pembicaraan mereka yang egosentris dalam bentuk berbicara sendiri, yang menjadi pemikiran anak. Teori Vygotsky menentang gagasan-gagasan Piaget tentang bahasa dan pemikiran. Vygotsky menyatakan bahwa bahasa, bahkan dalam bentuknya yang paling awal, adalah berbasis sosial, sementara Piaget menekankan pada percakapan anak-anak yang bersifar egosentris dan berorientasi nonsosial. Anak-anak berbicara kepada diri mereka untuk mengatur perilakunya dan untuk mengarahkan diri mereka (Duncan, 1991). Sebaliknya, Piaget menekankan bahwa percakapan anak kecil yang egosentris mencerminkan ketidakmatangan sosial dan kognitif mereka. Meskipun pada akhirnya anak-anak akan mempelajari sendiri bebrapa konsep melalui pengalaman. sehari-hari, Vygotsky percaya bahwa anak akan jauh lebih maju dan berkembang jika berinteraksi dengan orang lain. anak-anak tidak akan mengembangkan pemikiran operasional formal tanpa bantuan orang lain. Menurut Vygotsky, zona perkembangan proksimal merupakan celah antara actual development dan potensial development, dimana antara seorang anak dapat melakukan sesuatu tanpa bantuan orang dewasa dan apakah seorang anak dapat melakukan Sesuatu dengan arahan orang dewasa atau kerja sama dengan teman sebaya. Zona perkembangan proximal menitik beratkan pada interaksi social akan dapat memudahkan perkembangan anak. Ketika seorang siswa mengerjakan pekerjaannya disekolah sendiri, perkembangan mereka akan lambat . jadi untuk memaksimalkan perkembangan siswa seharusnya bekerja dengan teman sebaya yang lebih terampil yang dapat memimpin secara sistematis dalam memecahkan masalah yang lebih kompleks. Melalui interaksi yang berturut-turut ini diharapkan dapat mengembangkan pengalaman berbicara, bersikap dan berdiskusi secara baik. 2. Konsep scafolding Selain teori Vygotsky diatas, Vygotsky juga mempuyai teori yang lain yaitu tentang scaffolding. Scaffolding adalah memberikan bantuan yang besar kepada seorang anak selama tahap-tahap awal pembelajaran dan kemudian mengurangi bantuan tersebut dan memberikan kesempatan kepada anak tersebut untuk mengerjakan pekerjaannya sendiri dan mengambil alih tanggung jawab pekerjaan itu. Bantuan yang diberikan guru dapat berupa petunjuk, peringatan, dorongan menguraikan masalah kedalam bentuk lain yang memungkinkan siswa dapat mandiri. Vygotsky menjabarkan implikasi utama teori pembelajarannya yaitu: 1. Menghendaki setting kelas kooperaif, sehingga siswa dapat saling berinteraksi dan saling memunculkan strategistrategi pemecahan masalah yang efekif dalam masng-masing zone of proximal development mereka. 2. Pendekatan Vygotsky dalam pembelajaran dalam menekankan scaffolding. Jadi teori belajar vigotsky adalah salah satu teori belajar social sehingga sangat sesuai dengan model pembelajaran kooperatif karena dalam model pembelajaran kooperatif terjadi interaktif social yaitu interaksi antara siswa dengan siswa dan antara siswa dengan guru dalam usaha menemukan konsep-konsep danpemecahan masalah. Pengaruh karya Vygotsky dan burner terhadap dunia pengajaran dijabarkan oleh smith 1. Walaupun Vygotsky dan burner telah mengusulkan peranan yang lebih penting bagi orang dewasa dalam pembelajaran anak-anak dari pada peran yang diusulkan Peaget, keduanya tidak mendukung pengajaran diaktivis diganti sepenuhnya. Sebaliknya mereka malah menyatakan walaupun anak dilibatkan dalam pembelajaran aktif, guru harus aktif mendampingi setiap kegiatan anak-anak. Dalam istilah teoristis ini berarti anak-anak bekerja dalam zona perkembangan proksimal dan guru menyediakan scaffolding bagi anak. 2. Secara khusus Vygotsky mengemukakan bahwa disamping guru, teman sebaya juga berpengaruh pada perkembangan kognitif anak. Berlawanan dengan pembelajaran lewat penemuan individu (individual discoveri learning) kerja kelompok secara kooperatif tampaknya mempercepat perkembangan anak. 3. Gagasan tentang kelompok kerja kreatif ini diperluas menjadi pengajaran pribadi oleh teman sebaya, yaitu seorang anak mengajari anak lainnya yang agak tertinggal didalam pelajaran. Foot et al, menjelaskan pengajaran oleh teman sebaya ini dengan menggunakan teori vygotsky. Satu anak bisa lebih efektif membimbing anak lainnya melewati ZPD karena mereka sendiri baru saja melewati tahap itu sehingga bisa dengan mudah melihat kesulitankesulitan yang dihadapi anak lain dan menyediakan scaffolding yang sesuai.

Komputer juga dapat digunakan untuk meningkatkan pembelajaran dalam berbagai cara. Dalam prespektif pengikut vygotsky - bruner, perintah-perintah dilayar komputer merupakan scaffolding. Ketika anak menggunakan perangkat lunak atau software pendidikan, komputer menggunakan bantuan atau petunjuk scara detail seperti yang diisyaratkan sesuai kedudukan anak dalam ZPD. Tidak dipungkiri lagi beberapa anak dikelas lebih terampil dalam menggunakan computer sebagai tutor bagi teman sebayanya. Dengan murid-murid yang bekerja dengan komputer guru bisa bebas mencurahkan perhatiannya kepada individu-individu yang memerlukan bantuan dan menyiapkan scaffolding yang sesuai bagi masing-masing anak. C. Penerapan dalam pembelajaran Hoover, peneliti dari Texas University of Austin yang juga CEO pada southwest educational development labolatory menyatakan: constructivisms central idea is that human learning is contructed, that learners buld new knowledge upon the foundation of previous learning. This view of learning sharply contrasts with one in which learning is the passive transmission of information fro individual to another, a view in which reception, not contruction, is key. Ada dua hal penting disini yang berkenaan dengan pengetahuan yang dikontruksi oleh pelajar. Pertama adalah pelajar membangun satu pengertian baru dengan menggunakan apa yang sudah mereka ketahui sebelumnya. Dalam hal ini tidak ada tabularasa dimana pengetahuan digoreskan. Pelajar akan memasuki suasana pembelajaran dimana pengetahuan yang diterima akan dihubungkan dengan pengalaman yang sudah ada sebelumnya dan pengetahuan yang sudah dimiliki saat ini akan mempengaruhi penerimaan pengetahuan yang baru. Dalam hal ini, Ki Hajar Dewantara adalah salah satu tulisannya yang mengungkapkan bahwa yang terjadi dalam diri anak adalah sesuai dengan convergentie theorie. Teori ini mengajarkan bahwa seorang anak terlahir ibarat kertas yang sudah ada tulisannya, akan tetapi semua tulisan itu masih kabur atau suram. Tugas pembelajaran adalah membantu anak untuk mempertebal tulisan-tulisan yang bersifat baik sehingga kelak dapat berubah menjadi ilmu yang berguna dan budi pekerti yang baik. Sedangkan tuisan yang sifatnya jelek harus dibiarkan agar bertambah suram atau bahkan menghilang. Ki Hajar menentang teori tabula rasa yang menganggap anak terlahir bagaikan kertas putih yang bisa ditulisi apa saja oleh pemelajar, atau teori aliran negative yang menganggap anak lahir bagaikan kertas yang sudah penuh dengan tulisan yang tidak dapat diubah isinya . Kedua adalah bahwa pembelajaran lebih bersifat aktif dan bukan pasif. Pelajar akan membandingkan apa yang baru dipelajarinya dengan apa yang diketahuinya. Jika terdapat perbedaan, maka pelajar akan mencoba mengakomodasikan apa yang baru dipelajarinya dengan memodifikasi pengetahuan yang sudah ada atau dimilkinya. Dalam proses ini akan terjadi proses pertimbangan oleh pelajar yang akan diakhiri dengan proses modifikasi jika pengetahuan baru tersebut dapat diterima. Salah satu landasannya adalah teori tidak kesesuaian kognitiv dari festinger (cognitive dissonance theory). Teori ini dikemukakan oleh festinger dalam bukunya yang berjudul A Theory of Cognitife dissonance. Menurut teori ini, ada kecenderungan dalam diri seseorang untuk selalu melihat konsistensi antar kognisi yang dimilikinya misalnya kepercayaan dan opini. Jika terjadi tidak kekesuaian antara sikap dengan prilaku (attitude and behavior), maka salah satu harus berubah untuk mehilangkan disonansi (ketidak-sesuaian) tersebut. Dalam hal, ada perbedaan sikap dan perilaku, maka biasanya orang akan merubah sikap untuk mengakomodasi perilaku. Ada dua faktor yang mempengaruhi tingkat ketidak sesuaian tersebut yaitu: 1. jumlah disanonsi keyakinan 2. kepentingan yang ada dalam masing-masing keyainan Untuk menghilangkan ketidak sesuaian tersebut, pada dasarnya ada tiga cara yang dapat dilakukan oleh seseorang, yaitu: 1. mengurangi tingkat kepentingan dalam disonansi keyakinan 2. menembah kesesuain keyakinan melebihi disonansi keyakinan 3. merubah disonansi keyakinan untuk menghilangkan inkonsistensi Disonansi sering terjadi dalam keadaan dimana seseorang harus membuat pelihan antara dua tindakan atau keyakinan yang tidak saling bersesuaian. Disonansi terbesar terjadi jika kedua elternatif memiliki tingkat atraktif yang sama. Perubahan sikap biasanya terjadi dalam arah yang memilki insentif yang lebih sedikit karena hasilnya adalah disonansi yang lebi kecil. Disini teori ini memiliki pertentangan dengan teori prilaku umum yang menganggap perubahan perilaku terbesar akan kearah peningkatan insentif. Maddux, cleborne d Johnson, d lamont dalam tulisannya mengenai teori kontrutifis membagi paham kontruktivis kedalam dua aliran, yaitu paham kontruktivis kogitif dan paham kontruktivis social. Kontruktivis kognitif didasarkan pengembangan yang dibuat oleh ahli psikologi perkembangan Swiss dan Peaget. Teori Peaget ini mengandung dua unsur pokok yaitu, umur dan tahap perkembangan. Melalui kedua unsur ini bisa diprediksi apa

yang bisa dan tidak bisa dilakukan oleh seorang anak berdasarkan umurnya, serta teori perkembangan yang menjelaskan bagaimana seorang anak membangun kemampuan kognitivnya. Perkembangan termasuk internalisasi atau penyerapan isyarat-isyarat sehingga anak-anak dapat berfikir dan memecahkan masalah tanpa bantuan orang lain. Internalisasi ini disebut pengaturan diri (self regulation). Langkah pertama dari pengaturan diri dan pemikiran mandiri adalah mempelajari bahwa segala sesuatu memiliki makna. Langkah kedua dalam pengembangan struktur-struktur internal dan pengaturan diri adalah latihan. Siswa berlatih gerak-gerak isyarat yang akan mendatangkan perhatian. Kemudian langkah terakhir termasuk penggunaan isyarat dan memecahkan masalah tanpa bantuan orang lain. Menurut Vygotsky, dengan melibatkan anak berdiskusi dan berfikir (reasoning) dalam mempelajari segala kejadian, akan mendorong anak untuk merefleksikan apa yang telah dikatakan atau diperbuatnya. Hal ini dapat menjadi inner speech atau inner dialogue, dialog dengan dirinya sendiri. Ini proses awal bagi anak untuk mengetahui tentang dirinya sendiri. Selanjutnya, dikemudian hari ia akan mampu mengevaluasi diri, menganalisis kekurangan serta kekuatan yang dimilikinya. Dengan terbiasa melibatkan anak diskusi, akan membantu anak untuk bisa berfikir pada tahapan yang lebih tinggi atau meta-cognition. Proses seperti ini dapat membuatnya menjadi manusia spiritual, yaitu manusia yang tahu siapa dirinya, dan mempunyai kesadaran bahwa dirinya adalah bagian dari masyarakat, komunitas dan alam semesta. Teori kontrukivis sosial dibangun berdasarkan pengembangan yang dibuat oleh Lev Vygotsky. Vygotsky menekankan pada lingkungan social yang ikut membantu perkembangan seorang anak. Bagi Vygotsky, budaya sangat berpengaruh sekali dalam membentuk strutur kognitif anak. Yang membantu perkembangan anak bukan hanya guru, tetapi jaga anak-anak yang lebih dewasa. Vygotsky mengemukakan konsep mengenai zone of proximal development. Dalam konsep ini seorang anak dapat memahami suatu konsep dengan bantuan orang lain yang lebih dewasa yang tidak bisa dilakukannya sendiri. Dengan begitu seorang anak akan lebih mengerti dan mempunyai banyak pengalaman dan wawasan serta dapat menyelesaiakan suatu permasalahan yang dianggapnya rumit dan memerlukan bantuan orang lain yang dianggapnya mampu membantu untuk menyelesaikan permasalahan tersebut, suatu wawasan yang tidak hanya didapat didalam sekolah tapi diluar sekolah. Dan permasalahan tersebut yang ada hubungannya dengan sekolah. Disini para pendukung kontruktivisme yakin bahwa pengalaman melalui lingkungan, kita aka memperoleh informasi, dan dapat menggabungkan pengalaman yang didapat sebelumnya dengan pengalaman yang baru. Dengan kata lain pada proses belajar masing-masing pelajar harus mengkreasikan pengetahuannya. Ada empat prinsip dasar dalam penerapan teori Vygotsky yaitu: 1. Belajar dan berkembang adalah aktivitas social dan kolaboratif 2. ZPD dapat menjadi pemandu dalam menyusun kurikulum dan pelajaran 3. Pembelajaran disekolah harus dalam konteks yang bermakna, tidak boleh dipisahkan dari pengetahua anak-anak yang dibangun dalam dunia nyata mereka 4. Pengalaman anak diluar sekolah harus dhubungkan dengan pengalaman mereka disekolah BAB KESIMPULAN III

Teori Vgotsky menekankan pada pembelajaran sosiokultural. Inti dari teori Vygotsky yaitu penekanan pada interaksi pembelajaran antara aspek internal dan aspek eksternal pada lingkungan social. Menurut teori Vygotsky, fungsi kognitif berasal dari interaksi sosial masing-masing individu dalam konsep budaya. Zona perkembangan proximal ( ZPD ) ialah istilah Vygotsky untuk tugas-tugas yang terlalu sulit untuk dikuasai sendiri oleh anak-anak, tetapi yang dapat dikuasai dengan bimbingan dan bantuan dari orang-orang dewasa atau anak-anak yang lebih terampil. Teori kontrukivis social dibangun berdasarkan pengembangan yang dibuat oleh lev Vygotsky. Vygotsky menekankan pada lingkungan social yang ikut membantu perkembangan seorang anak. Bagi Vygotsky, budaya sangat berpengaruh sekali dalam membentuk strutur kognitif anak. Yang membantu perkembangan anak bukan hanya guru, tetapi jaga anak-anak yang lebih dewasa. Vygotsky mengemukakan konsep mengenai zone of proximal development. Ada empat prinsip dasar dalam penerapan teori Vygotsky yaitu: 1. belajar dan berkembang adalah aktivitas social dan kolaboratif 2. seorang yang lebih dewasa dapat menjadi pemandu dalam menyusun kurikulum dan pelajaran 3. pembelajaran disekolah harus dalam konteks yang bermakna, tidak boleh dipisahkan dari pengetahuan anak-anak yang dibangun dalam dunia nyata mereka

4.

pengalaman

anak

diluar

sekolah

harus

dihubungkan

dengan

pengalaman

mereka

di

sekolah.

DAFTAR

PUSTAKA

Dewantara, Ki Hajar, Dasar-dasar Majelis Luhur Persatuan Taman Siswa, Jogjakarta; 1977. Http://Anwarholil.blogspot.com/2008/04/Teori-Vygotsky Http://ipotes.wordpress.com Http://rufmania.multiply.com/perkembangan-kognitif Http://valmband.multiply.com Http://viking.coe.uh.edu/ebook/et-it/social.hatm Http://wikipedia.org/wiki/teori-perkembangan-kognitif Http://www.al-azhar.ac.id/konsep-vygotsky Santrock, John W, 1995, Perkembangan masa hidup, edisi 5 jilid 1, Jakarta, Erlangga.

Anda mungkin juga menyukai