Anda di halaman 1dari 22

MENYUDAHI ANALOGIMENDAMAIKAN BIOLOGI DAN SOSIOLOGI MELALUI PSIKOANALISIS: Sebuah tawaran dialog lintas-disipliner dengan menilik sejarah kedaulatan

negara1 Oleh: Hizkia Yosie Polimpung2


Whenever a social phenomenon is directly explained by a psychological phenomenon, we may be sure that the explanation is false. Emile Durkheim3 [One] should be very cautios and not forget that, after all, we are only dealing with analogies and that it is dangerous, not only with men but also with concepts, to tear them from the sphere in which they have originated and been evolved. Sigmund Freud

Muara dari kedua nukilan yang saya cantumkan sebagai epigraf di atas sekiranya dapat dirangkumkan dalam satu frase ini: reduksionisme psikologis. Di kalangan ilmu sosial, psikologi (dan psikoanalisis)4 sosial terkenal buruk dalam begitu saja menganalogikan individu dengan kolektivitas (dalam hal ini masyarakat). Masyarakat, yang secara nominal merupakan suatu kolektivitas individu, direduksi menjadi seekor individu saja. Akibatnya, seakan-akan suatu masyarakat memiliki ketidaksadaran dan superego kolektif yang mentsruktur prilaku mereka, atau mungkin, sebagaimana Freud menunjuk Jermannya Nazi, menderita psikopatologi kolektif. Hal ini uniknya juga terjadi di kalangan Sosiolog. Emile Durkheim misalnya, mengikuti Herbert Spencer, menggunakan metafora organisme untuk memahami unit-unit sosial yang menjadi obyek kajiannya. Kosakata yang ia gunakan untuk menjelaskan, misalnya, masyarakat dan negara sarat dengan yang biasa digunakan untuk menunjuk tubuh manusia:
The function of the rules of the individual moral code is in fact to fix in the individual consciousness the seat of all morals their foundations, in the widest sense ... Let us imagine what would happen to the functions of heart, lungs, stomach and so on, if they were free like this of all discipline... Just such a spectacle is presented by nations where there are no regulative organs of economic life. ... we can therefore say that the State is a special organ whose responsibility it is to work out certain representations which hold good for the collectivity. These representations are distinguished from the other collective representations by their higher degree of consciousness and reflection. ... As we read on in history, we see the functions of the State multiplying as they increase in importance. This development of the
1 Makalah disajikan pada Kelompok Kajian Kognisi, Sejarah dan Perubahan Sosial, Fakultas Psikologi, Universitas Indonesia, Depok, 11 Mei 2011. 2 Penulis adalah peneliti di PACIVIS Center for Global Civil Society Studies, Universitas Indonesia. 3 Dikutip dari Frederic Jameson, Imaginary and Symbolic in Lacan, dalam S. Felman, peny., Literautre and Psychoanalysis (Baltimore: JHU press, 1982), hal. 339. 4 Saya akan menggunakan kedua term ini secara saling bergantian untuk merujuk arti yang samayaitu sebuah disiplin yang memusatkan perhatiannya pada aspek ke(tak)sadaran. Hal ini bukan berarti saya menyamakan begitu saja kedua term ini; terdapat perbedaan di antara keduanya. Namun demikian, sejauh ini kepentingan untuk membedakannya masih belum dirasa perlu. Penjelasan akan diberi saat pembedaan di antara keduanya diperlukan.

functions is made materially perceptible by the parallel development of the organ itself. ... The social brain, like the human brain, has grown in the course of evolution.5

Asumsi makro-subyektivitas Gestur analogi individu-kolektif dari kedua kubu ini bahkan merembes ke wilayah disiplin lainnya, misalnya, sekaligus yang akan saya sajikan melalui makalah ini, ke kajian Hubungan Internasional (HI). Namun sebelum masuk ke pembahasan tentang ini, adalah penting untuk diketahui bahwa kajian HI (terutama pasca 1950-an) pada umumnya membagi level analisisnya kepada tiga tingkatan: individu, negara dan sistem internasional. Bahkan pembagian ini berimplikasi pada pembagian kerja akademik: individu: bagian psikologi sosial/politik; negara (domestik): bagian ilmu politik; sistem: bagian HI.6 Namun demikian, pembagian ini tidaklah saklek. Sekitar tahun 1980an, terjadi sebuah perdebatantentang deterensdi kalangan penstudi HI (dan Politik) yang membahas level yang sama, yaitu level individu. Tak pelak, aspek-aspek psikis mengedepan dalam pembahasan tersebut. Pada umumnya, peralihan kepada penjelasan-penjelasan psikologis ini dikarenakan semakin ragunya penstudi HI terhadap variabel rasio dan logika dalam analisis HI di satu sisi, dan mulai maraknya jargon seperti irrational behavior dan rogue state dalam praktik dan teori HI. Contoh yang sekiranya cukup relevan untuk ini adalah perdebatan panas disekitar tahun 80-an sampai 90-an seputar deterens (deterrence).7 Perdebatan ini mempertentangkan (kadang malah menciptakan kolaborasi) dua kubu, yaitu teori pilihan rasional dengan psikologi kognitif. Oleh kubu psikologi kognitif, teori rasional dianggap mereduksi inti permasalahan deterensyaitu problem kompleksitas, ketidakpastian dan ambiguitas dalam dilema keamanan yang disebabkan oleh struktur anaki internasionalkedalam matriksmatriks yang dipostulatkan sedemikian rupa, yang akhirnya menjadi aksioma yang secara buta dijadikan pegangan bagi pengambilan keputusan. Teori rasional akhirnya justru malah menjadi kontra-produktif bagi penyelesaian masalah, jika bukan mempercepat ekskalasi konflik menjadi terbuka. Sebaliknya, kubu psikologi kognitif mencoba memahami problem kompleksitas dan ketidakpastian ini dengan melihat faktor-faktor idiosinkretik pemimpin dan para pengambil keputusan, termasuk sejarah pribadi dan pembelajaran mereka terhadap sejarah.8
5 Emile Durkheim, Professional Ethics and Civil Morals, edisi kedua. (London: Routledge, 1996), pp. 3, 30, 50, 53. Cetak miring dari saya. 6 Lebih jauh tentang ini, lihat Kenneth Waltz, Man, The State and War: A Theoretical Analysis (NY: Columbia Uni Press, 2001 [1959]) dan Theory of International Politics (Mass.: Addison-Wesley, 1979). 7 Deterens merupakan strategi penangkalan yang dilakukan negara (pada masa Perang Dingin) untuk menakutnakuti negara lain untuk tidak menyerang. Perdebatan deterens semakin mengedepan seiring memuncaknya ekskalasi perlombaan senjata yang berpotensi menjerumuskan dunia ke perang nuklir. Ulasan ini merupakan selayang pandang dari: Paul Huth dan Bruce Russett, What makes deterrence works? Cases from 1900 to 1980, World Politics, 36, (1984), hal. 496-526; Robert Jervis, Richard Ned Lebow dan Janice G. Stein, Psychology and Deterrence (Baltimore: Johns Hopkins Uni Press, 1985); untuk dokumentasinya lihat George W. Downs, The rational deterrence debate, World Politics, 41 (1989), hal 225-38; Kenneth Oye, peny., Deterrence Debates: Problems of Definition, Specification, and Estimation (Ann Arbor: Uni of Michigan Press, 1993). Kolaborasi yang cukup mutakhir antara teori psikologi dan teori deterens adalah teori deterens sempurna dari Frank C. Zagare dan D. Marc Kligour, Pefect Deterrence (Cambridge: Cambridge Uni Press, 2000). 8 Bdk. Jack S. Levy, Learning and Foreign Policy: Sweeping a Conceptual Minefield, International Organization, 48(2) (Spring, 1994), hal. 279-3 12.

Dalam pemaparan di atas, tampak bahwa faktor psike masuk menjadi variabel analisis sebagai konsekuensi mutlak dari kenyataan bahwa negara dipimpin oleh seorang manusia yang memiliki aspek non-rasional yang kadang-kadang tidak dapat dijelaskan dengan pendekatanpendekatan rasional konvensional. Namun ada juga penstudi HI yang berusaha melihat psike kolektif sebagai variabel analisis, dan dengan demikian membawa literatur psikologi sosial ke dalam diskusi-diskusi teoritiknya. John Ruggie dan rekan-rekan konstruktivisnya merupakan beberapa di antaranya. Konstruktivis berusaha melampaui analisis konvensional yang lebih memfokuskan analisis pada psike pemimpin, dengan menunjukkan bahwa psike kolektif seperti kepercayaan bersama, pandangan bersama, rasa kepemilikian (sense of belonging) bersama dan identitas kolektif merupakan faktor yang juga memainkan peran penting dalam HI. Proses interaksi, proses identifikasi kelompok, dan proses pembentukan norma dan nilai, bahkan kepatuhan terhadap norma dan nilai tersebut akhirnya mewarnai analisis-analisis kubu ini.9 Analisis-analisis kubu ini nampaknya begitu populer, sampai-sampai mampu menyulut suatu peralihan emosional dalam studi HI.10 Tidak berhenti di situ, pemikirpemikir yang menggunakan pendekatan filosofi yang lebih kontemporer pun bergerak lebih jauh dengan mendeklarasikan peralihan estetis yang melibatkan faktor-faktor tak terjelaskan dalam penjelasan-penjelasan HI.11 Sekalipun analisis-analisis tersebut amat beragam dalam memahami psikedan pastinya merupakan suatu kontribusi besar bagi perkembangan studi HI, setidaknya ada benang merah yang dapat ditarik, yaitu kesemuanya masih menyimpan suatu asumsi makrosubyektivitas, yaitu menganalogikan negara sebagai manusia. Analogi ini, sebagaimana penulis tekankan pada bab sebelumnya, yang merupakan fitur utama yang mewarnai teorisasi hubungan internasional, adalah suatu analogi yang sifatnya aksiomatik. Atau dengan kata lain, dari klaim-klaim ilmiah teori-teori HI, adalah analogi ini yang paling tidak ilmiahtidak ada landasan pasti yang mengafirmasi analogi ini. Namun aneh bin ajaib-nya, teoritisiteoritisi HI pada umumnya, mulai mahasiswa sampai profesor, seolah-olah berpura-pura tidak tahu dan malah menerimanya secara taken for granted.12 Kutipan dari dua punggawa HI
Beberapa di antaranya yang relevan: Martha Finnemore dan Kathryn Sikkink, International norms dynamics and political change, International Organization, 52(4) (1998), hal. 887-918; Richard Price, The Chemical Weapons Taboo. (Ithaca: Cornell Uni Press, 1997); Nina Tannenwald, The Nuclear Taboo: The United States and the Non-Use of Nuclear Weapons Since 1945 (Cambridge: Cambridge Uni Press, 2007). 10 Tulisan Neta Crawford lah yang digadang-gadang sebagi penyulut peralihan emosional. Neta C. Crawford, "The Passion of World Politics: Propositions on Emotion and Emotional Relationships," International Security, 24( 4) (Spring, 2000), hal. 116-156; untuk selayang pandang, lihat Juha Kpyl, Emotions as Socio-Political: An Essay on the Conceptualization of Emotions (from the Point of View of Politics), makalah untuk Konvensi tahunan ke-51 International Studies Association, New Orleans, USA (February 2010). [Makalah tidak terbit] 11 Adalah Roland Bleiker yang mendeklarasikan peralihan ini, Roland Bleiker, The Aesthetic Turn in International Political Theory, Millennium: Journal of International Studies, 30(3) (2001), hal. 509-33. Untuk selayang pandang, lihat Hizkia Y. S. Polimpung, Peralihan Estetis. Handout pada Pelatihan Teori Hubungan Internasional Kontemporer, Pusat Kajian Wilayah Amerika Universitas Indonesia, Jakarta (18-20 Mei 2009). 12 Bahkan orang-orang biasa (lay person) pada umumnya juga menganggap demikian. Seperti kata Wendt, In our daily lives citizens and policy-makers alike routinely treat states as if they were people, talking about them as if they had the same kinds of intentional properties that we attribute to each other. Alexander Wendt, Social Theory of International Politics (Cambridge: Cambridge Uni Press, 1999), hal. 195. Penulis akan membahas ini lebih jauh pada bab berikutnya sebagai problem teologi politik.
9

berikut setidaknya dapat menunjukkan persekongkolan untuk tidak mempertanyakan asumsi makro-subyektivitas ini:
A nation as such is obviously not an empirical thing. A nation as such cannot be seen. What can be empirically observed are only the individuals who belong to a nation ... Therefore, when we speak in empirical terms of the power or of the foreign policy of a certain nation, we can only mean the power or the foreign policy of certain individuals who belong to the same nation.13 Of course we realists know that the state does not really exist ... Only individuals really exist, although I understand that certain schools of psychology challenge even this. Only individuals act, even though they may act on behalf of one of these collective social entities, the most important being the group.14

Melampaui Analogi Inilah salah satu fitur teori HI pada umumnya yang mereduksi psike manusia sebagai semata-mata faktor-faktor idiosinkretik pribadi. Psike dipahami secara sempit sebagai proses subyektif sebagai hasil interaksi intersubyektif manusia dengan lingkungannya. Proses interaksi inilah yang diasumsikan terberi (given) oleh penstudi-penstudi HI yang penulis bahas di awal. Seolah-olah proses interaksi ini terberi begitu saja, dan juga seolah-olah proses interaksi itulah yang mendeterminasi prilaku subyek di masa kini. Melalui psikoanalisis Lacanian, penulis menekankan bahwa psike adalah sesuatu yang sama sekali di luar jangkauan analisis subyektivitas dan intersubyektivitas yang dipakai oleh penstudi HI di atas. Leonardo Rodriguez juga menekankan demikian.
Although the subject regards his fantasy as his private property and his most intimate and idiosyncratic possession, the fantasy is the precipitate in the subject of formations which are beyond the limits of subjectivity and intersubjectivityformations which are present in myths, legends, fairy tales, stories and works of art of different times and civilisations.15

Reduksi psike sebagai semata-mata hasil proses (inter)subyektif juga mengabaikan proses dimana subyek adalah juga merupakan hasil dari proses lainnya. Mengabaikan hal ini berarti mengabaikan faktor-faktor yang mempengaruhi proses subyeksiproses menjadi subyek, menjadi manusia. Hal ini disebabkan karena banyak penstudi HI memahami manusia sebagai referent object-nya daripada sebuah konsepsi; penstudi HI menerima saja klasifikasiklasifikasi ilmiah a la biologi yang mengatributkan kata manusia bagi seonggok tubuh yang mereka klasifikasikan sebagai homo sapiens, seolah-olah wacana biologi tersebut bersih
Hans J. Morgenthau, Politics Among Nations: The Struggle for Power and Peace, edisi ringkas, (Boston: McGraw-Hill, 1993), hal 115. Penekanan dari penulis. 14 Robert G. Gilpin, The richness of the tradition of political realism, International Organization, 38 (2) (1984), hal. 301. Penekanan dari penulis. 15 Leonardo Rodriguez, Fantasy, Neurosis and Perversion, Analysis, 2 (1990), hal. 101. Bahkan, sebagaimana akan penulis tunjukkan pada bagian berikutnya, proses interaksi tersebut merupakan suatu prosesintersubyektivitas tanpa subyek.
13

dari analisis permainan kekuasaaan. Akibatnya psike diisolir sebagai fenomena yang manusiawimanusia dalam pengertian biologis; biologisme akan selalu mengiringi analisisanalisis psikologis. Yang ingin penulis tekankan di sini adalah bahwa kategori manusia adalah efek dari kekuasaan berkedok keilmuan, dan biologi (dan juga, dengan demikian, HI yang kebiologi-biologian) merupakan kaki-tangannya;16 knowledge was thus a form of power, a way of presenting ones own values in the guise of scientific disinterestedness.17 Asumsi makro-subyektivitas, saat digabungkan dengan psikologi HI yang kebiologibiologian, akan menimbulkan problem lainnya, yaitu problem aplikasi. Penstudi HI kebanyakan hanya semata-mata meng-aplikasi-kan teori-teori psikologi dengan cara mendeduksikannya, jika bukan sekedar menganalogikannya, dalam relasi politik dan/atau hubungan internasional. Semisal dalam menjelaskan konflik: karena konflik dilakukan oleh manusia, dan manusia merupakan obyek studi psikologi, maka konflik antar manusia sah dijadikan obyek studipsikologi politik/konflik. Teori-teori inilah yang akhirnya semakin meneguhkan kesalah-kaprahan yang mewujud dalam asumsi makro-subyektivitas manusia, sembari mengabaikan proses subyeksi manusia yang menjadi obyek studi psikologi. Akhirnya, hal ini semakin mengaburkan para teoritisi tersebut dari kemungkinan lain, seperti sebagaimana yang ingin penulis eksplorasi disini, yaitu bahwa penjelasan psikologis/psikoanalitis dalam politik/HI merupakan suatu implikasi, dan bukan semata-mata aplikasi. Sehingga studi ini secara khusus ingin menunjukkan bahwa makro-subyektivitas bukanlah sekedar asumsi. Hubungan antara manusia dan negara bukanlah sekedar hubungan analogal, melainkan korespondensi; relasi antara manusia dan negara adalah melampaui analogi (beyond analogy). Jauh dari membela penstudi-penstudi HI di atas, malahan penulis akan menunjukkan bahwa analogi tak berdasar inilah yang justru membuat analisis-analisis mereka justru malah mengaburkan permasalahan, ketimbang menyelesaikan permasalahan. Melampaui dikotomi biologi-sosiologi dengan psikoanalisis Sebenarnya Freud dan Lacan, sekalipun peringatan keras untuk tidak dengan mudah menganalogikan begitu saja individu dengan kolektivitas (dan sebaliknya), telah menyinggung tentang kemungkinan untuk meruntuhkan batas di antara keduanya. Argumentasinya: yang sosial itu sendiri memiliki tarikannya ke individual.18
The contrast between social and narcissistic...mental acts falls within the domain of individual psychology.19 Sociology...dealing as it does with the behaviour of people in society, cannot be anything but applied psychology. Strictly speaking there are only two sciences: psychology, pure and applied, and natural science. 20 Sigmund Freud
Untuk HI yang kebiologi-biologian lihat Iver B. Neumann, Beware of organicism: the narrative self of the state, Review of International Studies 30 (2004) hal. 259267 17 Mark Poster, Foucault and History, Social Research, 49 (1982), hal 118-9. 18 Saya akan mempertanggung-jawabkan argumen ini pada bagian berikutnya. 19 Sigmund Freud, Group Psychology and the Analysis of Ego (London: Penguin, 1991), hal 95-6. 20 Sigmund Freud, New Introductory Lectures on Psychoanalysis (London: Pelican, 1973), h. 216.
16

While psychoanalysis cannot, since its experience is limited to the individual, claim to grasp the totality of any sociological object or even the whole set of forces currently operating in our soceity, the fact remains that it discovered in analytic experience relational tensions that seem to play a basic role in all societies, as if the discontent in civilization went so far as to lay bare the very meeting point of nature and culture. We can extend analysis equation to certain human sciences that can utilize themespecially, as we shall see, to criminology provide we perform the correct transformation. Jacques Lacan21

Untuk mengeksplorasi kemungkinan ini, penulis menunda untuk sementara pandangan umum bahwa manusia adalah manusia, dengan mengajukan pertanyaan interogatif: sejak kapan seonggok tubuh dengan kepala, tangan, kaki, dan organ-organ lainnya yang berdiri tegak, mampu berbicara dengan Bahasa dan menghasilkan bermacam-macam pemikiran berikut produknya, disebut sebagai manusia?22 Pertanyaan ini bukanlah pertanyaan yang harus dijawab, setidaknya tidak oleh penulis pada kesempatan kali ini, melainkan untuk diambil hikmahnya: manusia pada dasarnya adalah sebuah konsep, sebuah konstruksi, sebuah kata. Fungsinya: untuk membalut keseluruhan tubuh yang dalam disiplin biologi dilabeli homo sapiens.23 Manusia adalah efek bahasa; manusia hanya akan ada jika ada bahasa. Mengapa demikian? Karena eksistensi pada umumnya disamakan dengan inteligibilitas, dan ironisnya inteligibilitas itu sendiri diindikasikan oleh bahasa.24 Jadi, sebelum dinamai, tubuh di-bahasa-kan/dilinguistisasi terlebih dahulu: misalnya, sebelum dinamai Hizkia Yosie Polimpung, tubuh penulis disebut manusia terlebih dahulu.25 Sebagai manusia, subyek adalah selalu efek kekuasaan. Subyek tercipta melalui proses produksi suatu wacana yang menjadi, sebagaimana Butler, regulasi ideal (regulatory ideal).26 Dengan kata lain, subyek selalu menempati suatu posisi tertentu sebagaimana telah diatur, ditentukan, digariskan, bahkan beberapa menganggapnya ditakdirkan oleh struktur regulasi
21 Jacques Lacan, Ecrits: The First Complete Edition in English terj., B. Fink dkk (NY, London: WW Norton Company, 2006), hal. 104. 22 Logika ini penulis adopsi dari pemikiran Judith Butler, Bodies That Matter: On the Discursive Limits of Sex (NY & London: Routledge, 1993). Dalam buku tersebut Butler mendenaturalisasi kelamin (pria/wanita) dengan mengajukan pertanyaan yang kurang lebih serupa dengan yang penulis tanyakan: sejak kapan tubuh berpenis disebut pria dan tubuh bervagina disebut wanita? 23 Bahkan Homo Sapiens pun merupakan konsep! Hal ini akhirnya menunjukkan ketertundaan makna oleh kata; makna tidak akan pernah mampu hadir tanpa kata lainnya. Suatu kata akan selalu membutuhkan kata yang lain yang berbeda untuk menjelaskan dirinya sendiri. Akhirnya, makna hanyalah efek dari gabungan antara dua permainan bahasa: perbedaan (difference) dan penundaan (deference). Dengan kata lain, secara linguistik, kata-kata tidak akan pernah berdaulattidak terkecuali kata negara, dan kedaulatan. Untuk ketertundaan ini lihat Jacques Derrida, Of Grammatology, terj. Gayatri C. Spivak (Batimore & London: The Johns Hopkins Uniersity Press, 1976[1967]), hal 24-5, 61-72. Untuk pembahasan tema serupa dalam kajian HI lihat Maja Zehfuss, Constructivism in International Relations: The Politics of Reality (Cambridge: Cambridge University Press, 2002), bab 5. 24 Manusia hanya mampu berpikir dengan bahasaentah itu dalam bentuk rangkaian kata-kata atau gambar. Akhirnya, berpikir pun merupakan permainan bahasa. Untuk pembahasan komentar ini, referensi terbaik bagi penulis adalah Ludwig Wittgenstein, Philosophical Investigation, terj. G. E. M. Anscombe (Oxford: Basil Blackwell, 1958) 25 Penyimpulan serupa seperti tersirat dalam Butler, yaitu bahwa sebelum digenderkan, tubuh di-seks/kelamin-kan terlebih dahulu. Ibid. Hal 1-23. 26 Untuk aspek produktif kekuasaan dan regulasi ideal, lihat Butler, Bodies, Bab Pendahuluan.

ideal yang notabene merupakan bikinan kekuasaan dominan. Di sini Butler mengikuti Foucault,
Power functions. ... In actual fact, one of the first effects of power is that it allows bodies, gestures, discourses, and desires to be identified and constituted as something individual. The individual is not, in other words, power's opposite number; the individual is one of power's first effects. The individual is in fact a power-effect, and at the same time, and to the extent that he is a power-effect, the individual is a relay: power passes through the individuals it has constituted.27

Subyek a la Butler, dengan demikian, adalah selalu posisi-subyek (subject-position). Pandangan ini bukanlah tanpa kritik. Slavoj iek, misalnya, mengkritik Butler dan teoritisi subyeksi lainnya dengan menekankan bahwa Bahasa, sebagai suatu bentuk penguasaan simbolik, itself is split from within and relies on its own obscene spectral underside. 28 Jadi, sebagaimana penyimpulan Robertus Robet, bila yang-Simbolik itu sendiri adalah sesuatu yang ringkih dan tidak lengkap, maka pembentukan subyek secara total ke dalam panggilan struktur [Bahasa] juga menjadi tidak mungkin. Karena struktur itu tidak lengkap, maka subyek berposisi menjadi mustahil.29 iek benar dalam hal ini, namun yang iek lupa adalah bahwa Bahasa akan terus menerus dan tak jemu-jemunya berusaha mensubyeksi manusia, sekalipun subyeksi total adalah mustahil. Bahasa sains misalnya, akan terus menerus mengeksplorasi subyektivitas dan tubuh manusia, dan menundukkannya ke dalam teoriteorinya secara tak henti-henti: jutaan dolar diinvestasikan, ribuan trial-and-error dilakukan, ratusan seminar diselenggarakan,... kesemuanya demi menjadikan manusia lebih manusia. Kegigihan simbolik ini yang nampaknya luput dari analisis iek. Pentingnya melinguistisasi manusia seperti ini adalah untuk menantang apa yang disebut Judith Butler sebagai symbolic hegemony that might force a radical rearticulation of what qualifies as bodies that matter, ways of living that count as life, lives worth protecting, lives worth saving, lives worth grieving.30 Kerja lingustisasi ini mendapat momen yang lebih krusial dalam studi penulis kali ini, yaitu dimana manusiaqua konsepdimanifestasikan dan diabstraksikan lebih lanjut pada Perjanjian Westphalia 1648 ke dalam konsep yang lebih makroskopis: negara berdaulat. Sehingga pertanyaan yang diajukan Butler tentang what counts as human? Whose lives counts as lives?31 menggema dalam studi ini dengan sedikit modifikasi: What
Michel Foucault, Society Must Be Defended: Lectures at the Collge de France 1975-76, terj. D. Macey (NY: Picador, 2003), hal. 29-30. 28 Slavoj iek, Holding The Place, dalam J. Butler, E. Laclau dan S. iek, Contingency, Hegemony and Universality: Contemporary Dialogues on the Left (London: Verso, 2000), hal. 313. Lihat juga elaborasinya di Robertus Robet, Manusia Politik: Subyek Radikal dan Emansipasi di Era Kapitalisme Global menurut Slavoj iek (Tangerang: Marjin Kiri, 2010), hal 97110. 29 Robet, Manusia Politik, h. 110. 30 Butler, Bodies, hal. 16. 31 Judith Butler, Precarious Life: The Powers of Mourning and Violence (London & NY: Verso, 2004), hal. 20. Butler mempertanyakan ini dalam konteks recent global violence, di saat banyak nyawa dikorbankan demi jargon-jargon universal: perang suci melawan imperialisme AS dan jihad internasional di satu sisi, dan perang melawan teror dan responsibility to protect di sisi lain.
27

counts as sovereign state? Whose community counts as legitimate (Westphalian Soverign State) political entity? ... tujuannya tidak lain adalah untuk menantang symbolic hegemony that might force a radical rearticulation of what qualifies as sovereign state, community that counts as legitimate (Westphalian) political entity. Urgensi De-biologisasi masyarakat Sampai sini saya kira hal penting yang sudah ditunjukkan adalah bagaimana penamaan, klasifikasi, kategorisasi tubuh ke dalam konsep-konsep biologis, adalah politis sifatnya. Yang biologis dan yang politis dengan demikian menjadi kabur batasannya (jika memang sebelumnya memiliki batasan). Dimensi politis ini semakin mengedepan apabila kita menyimak, untuk makalah ini secara sekilas, karya-karya Foucault yang belakangan tentang biopolitik.32 Genealogi kepemerintahan Foucault menunjukkan bahwa setiap pemerintahan negara berdaulat mendasarkan eksistensinya pada apa yang disebutnya rasionalitas politik/kepemerintahan (governmentality). Singkatnya, terdapat tiga level untuk menganalisis rasionalitas politik ini: basis moral yang menjadi justifikasi baginya; ensembel apparatus kontrol; seperangkat pengetahuan lengkap dengan ekspertisnya. 33 Semisal pemerintahan liberal akan mendasarkan justifikasi moralnya kepemerintahannya pada mewujudkan masyarakat yang sejahtera, aparatus-aparatus pemerintahan akan dikerahkan untuk mereproduksi ideologi negara (misal: departemen-departemen, iklan layanan masyarakat, film-film, lagu-lagu kebangsaan, artis-artis yang dibayar, dst.), dan juga mengumpulkan dan memperkerjakan (secara langsung maupun tidak) para teknokrat, akademisi (yang disebut Chomsky sebagai mandarin),34 think-tank, ekonom, dst. Tujuan dari pemerintahan liberal ini tidak lain adalah mengatur subyek-subyeknya sampai ke level kehidupannya yang paling dalam. Dan indikator kesuksesan bagi pemerintahan ini adalah suatu normalitassuatu kondisi dimana adalah mustahil untuk membayangkan yang sebaliknya (otherwise). Dimana peran biologi pada skema analisis Foucaultian di atas? Biologi merupakan aparatus manajemen manusia sebagai semata-mata spesies makhluk hidup.Dalam biopolitik Foucault, masyarakat dilihat hanya sebagai suatu populasi. Populasi, yang dalam matematika kedaulatan negara memiliki nilai strategis politis bagi tegaknya status quo kedaulatan negara. Hal ini demikian karena sejak Machiavelli, yang juga dikutip oleh Foucault, kekuasaan pemerintah (prince) hanya memiliki dua aktivitas: mereplikasi dirinya dan kesinambungan kekuasaanya di satu sisi, dan mengatur, memenej, memerintah dan meregulias subyek-subyek yang berada di sphere kekuasaannya. Di sini nampak jelas bahwa salah satu fitur kekuasaan adalah ruang: kekuasaan terbatas pada suatu teritori tertentu. Jadi dapat disimpulkan pula bahwa biopower (kekuasaan yang dipraktikkan dalam biopolitik) berlaku secara teritorial. Inilah kepentingan utama untuk tidak begitu saja menisbatkan predikat netral/obyektif kepada disiplin biologi. Biologi, sebagai disiplin, tidak kalah politisnya dengan
32 Michel Foucault, Society Must be Defended (2004), Security, Territory and Population (2007) dan The Birth of Biopolitics (NY: Palgrave, 2008) 33 Lebih detil mengenai ini lihat Foucault, The Birth of Biopolitics. 34 Noam Chomsky, The Rise of the New Mandarin

permainan kekuasaan yang dijalankan oleh pemerintah. Bahkan keduanya memiliki hubungan yang sangat erat. Hal ini berlaku, setidaknya universal, semenjak abad 19, mulai di Eropa dan menyebar ke seluruh dunia semenjak konsep negara berdaulat berbasis teritorial juga diekspor ke negara-negara non-Eropa yang saat itu menjadi daerah jajahannya. Implikasi Metodologis Implikasi terpenting yang mengikuti pandangan ini adalah pada cara kita memahami yang sosial: masyarakat, negara, bangsa, dst. Saya telah mencoba merumuskan metode baru memahami sejarah pembentukan yang soial ini, dalam hal ini negara berdaulat, dengan mengedepankan primasi hasrat. Metode ini disebut psikogenealogi. Sebagaimana tersirat dari namanya, psikogenealogi merupakan gabungan antara psikoanalisis dan genealogi, lebih spesifiknya, psikoanalisis Lacanian dan genealogi Foucauldian.35 Dengan genealogi, Foucault tidak bermaksud analisis tentang asal-usul. Lebih dari itu, genealogi merupakan analisis tentang peristiwa apa saja yang terjadi pada asal-usul tersebut, atau dalam kalimat Foucault, genealogi akan mengembangkan rincian dan peristiwa yang menyertai setiap permulaan. 36 Genealogi merupakan sejarah masa kini (history of the present), ia mencari tahu bagaimana situasi yang dianggap normal, baik, wajar dan lazim di masa kini bisa dimungkinkan. Bagi Foucault, sejarah adalah proses normalisasi; yang normal telah dan akan selalu menjalani suatu proses untuk dijadikan normal; tidak ada sesuatu yang normal dengan sendirinya. Dengan demikian, genealogi Foucauldian berusaha melacak suksesi suatu diskursus yang saat ini dianggap normal dalam kaitannya dengan konstelasi kekuasaan di masanya. Sejarah merupakan pertarungan wacana merebut tahta kebenaran yang hegemonik; sejarah penguburan wacana-wacana yang kalah; sejarah stigmatisasi rendah wacana-wacana minor. Psikogenealogi, dengan demikian, melihat pertarungan wacana untuk menjadi rezimik dan hegemonik sebagai pertarungan subyek-subyek hasrat untuk menjadikan mode hasratnya sebagai suatu hasrat yang normal, yang wajar, yang sah, yang valid, dan yang universal. Sejarah, dengan demikian, merupakan pertikaian subyek-subyek tersebut dalam upayanya untuk saling mengabyeksikan, menyingkirkan, mendeteritorialisasi satu sama lainnya. Sejarah adalah clash among fascists: siapa yang kalah, ia tersingkir dan dilenyapkan zaman; siapa yang menang, ia menjaga keutuhan dan kesinambungan eksistensi dirinya.

Foucault memang sangat benci pada psikoanalisis. Namun demikian bukan berarti sintesis di antara foucauldianisme dan psikoanalisis adalah tidak mungkin dilakukan. Jika Foucault menolak melakukannya, bukan berarti orang lain, penulis misalnya, dilarang melakukannya. Penulis justru melihat potensi besar dalam penggabungan keduanya. Judith Butler juga melakukan sintesis keduanya, walaupun dengan cara yang berbeda dari yang penulis lakukan. Butler lebih menekankan bagaimana kekuasaan a la Foucault memproduksi psikis yang patuh, sementara penulis lebih menekankan kontestasi kekuasaan Foucault yang menurut penulis merupakan kontestasi subyek gegar Lacanian untuk memperoleh perasaan ke-diri-annya yang utuh. Lihat Judith Butler, The Psychic Life of Power: Theories in Subjection (Stanford: Stanford Uni Press, 1997), hal. 197-8. Untuk posisi Foucault terhadap psikoanalisis, lihat Michel Foucault, The Confession of the Flesh, dalam M. Foucault, Power/Knowledge: Selected Interviews & Other Writings, 1972-1977, peny. C. Gordon (NY: Pantheon Books, 1980), hal. 192-228. 36 Michel Foucault, Nietzsche, Genealogy dan Sejarah, dalam M.T. Gibbons, peny., Tafsir Politik, terj. Ali Noer Zaman (Yogyakarta: Qalam, 2002), hal. 325.

35

Perjuangan fasistik adalah perjuangan paranoid untuk selalu mengantisipasi kehancuran identitas ke-diri-an dengan tak kenal lelah membangun diri yang (lebih) kokoh dan (lebih) sempurna. Semenjak ia bersifat paranoid, bayang-bayang ketiadaan eksistensial akan selalu membayangi subyek fasis tersebut, dan pada gilirannya akan senantiasa mendorongnya untuk melakukan mekanisme antisipasi defensif. Mekanisme pertahanan fasis sebaiknya dipahami sebagai sesuatu yang agresif dan membabi-buta ketimbang sesuatu yang pasif dan bersifat menunggu. Sisi paranoid dari fasis membuatnya tidak tahu dengan pasti sumber kegelisahan eksistensialnya: apa, siapa, kapan dan dari mana ancaman teror akan identitas ke-diri-annya berasal adalah hal yang tidak jelas baginya; yang jelas: diri saya sedang dalam bahaya! Teror akhirnya masuk dan mengkontaminsai sistem kesadaran. Kekerasan teror itu sendiri pada akhirnya direproduksi terus-menerus secara membabi-buta, korban berjatuhan, diri semakin terluka: inilah kerinduan fasistik. 37 Subyek fasis tak lain adalah gila perang dan gila kekuasaan. Dengan mendekati perjuangan fasisme secara psikogenealogis, maka dengan jelas dapat dilihat bahwa inti perjuangan fasis adalah ide, yaitu ide tentang ke-diri-an yang utuh. Fasisme adalah perjuangan ideal. Berbicara tentang yang-ideal, maka tidak akan bisa dilepaskan dari fase cermin Lacanian. Yang-ideal adalah selalu imaji yang disediakan oleh cermin bagi diri; yang-ideal adalah selalu berupa citraan. Yang-ideal ini akan memberi tahu diri seperti apa (dan yang bukan seperti) yang seharusnya diupayakan oleh diri, atau dengan kata lain, yang-ideal memberi tahu yang mana subyek dan yang mana abyek, yang mana ada dan yang mana tiada. Citraan cermin yang-ideal akan menunjukkan tindakan apa yang seharusnya dilakukan diri, seperti apa diri harus tampak, pakaian apa yang harus diri pakai, kata-kata apa yang harus diucapkan diri, pose apa yang harus sering diperagakan diri, bahasa apa yang harus dipergunakan diri, dst. Citra ke-diri-an idealpenanda utama (master signifier) bagi Lacaninilah yang mati-matian dikejar oleh sang diri fasis. Semakin cermin ini menunjukkan citraan yang jauh berbeda dari kondisi diri saat ini, semakin getir kegelisahan diri akan ke-diri-annya, dan semakin gigih ia mengupayakan terwujudnya citra tersebut bagi dirinya. Diri, dengan demikian, menjadi alat yang menghamba dan melayani kepentingan perjuangan sang fasis demi ide ke-diri-an yang utuh ini. Inilah pentingnya melingustisasi diri sebagaimana penulis tekankan di awal bab ini; melepaskan diri dari rujukan biologisnya yang berupa tubuh manusia; diri adalah efek bahasa, efek kekuasaan, efek Simbolik dominan. Kegagalan atribut-atribut simbolik memberi diri bagi sang fasis inilah yang senantiasa menjadi tanah subur bagi berkembangnya kegelisahan eksistensial paranoid. Tidak hanya itu, sang fasis pun akan kembali dan kembali meminta pertanggungan-jawab dari yang-Simbolik untuk memberi diri yang lain dalam bentuk apapunmulai payudara silikon, alat kelamin baru, busana bermerk, tubuh kekar six pack, sampai komunitas, agama, negara, dan organisasi internasionalyang dapat menenangkan kegelisahan eksistensialnya. Fasis akan terus berupaya mengamankan, bahkan memperluas gestalt diri-nya sampai tak
37

Slogan Fasis, sebagaimana iek: enough of enjoyment, enough of debauchery: a victim is necessary. iek, Everything...,

hal 63.

10

terhingga, sepanjang hal itu memberikan perasaan ke-diri-an yang utuh bagi sang fasis. Diri, akhirnya, tak lain adalah mesin perang fasis untuk memperjuangkan gagasan kediri-an yang utuh, dan nama lain bagi gagasan ke-diri-an yang utuh ini tak lain adalah kedaulatan.38 Dalam studi ini penulis akan menunjukkan bagaimana tubuh manusia dan negara hanya semata-mata merupakan kontainer sementara bagi ide ke-diri-an yang utuh dan berdaulat. Studi ini juga akan menunjukkan kontinuitas di antara keduanya, dan bahkan memprediksikan kontinuitas ide ke-diri-an pasca negara gagal mengemban tugasnya dalam memelihara ide ke-diri-an yang utuh dan berdaulat tersebut. Jadi, secara analitis, gambar besarnya adalah sebagai berikut: Semenjak subyek dicirikan secara ontologis dengan kegegarannya, maka ia akan senantiasa mengkonstruksi fantasi untuk mengkompensasi kekurangannya tersebut, dan rela menundukkan diri di bawah fantasi tersebut. Fantasi tidak akan pernah habis, sama seperti kekurangan fundamental manusia yang abadi. Ada saatnya fantasi keutuhan itu dimanifestasikan dengan ikatan-ikatan tribal, nasional, bahkan seksual. Ikatan inipun dimanifestasikan dengan simbol-simbol tertentu. Namun bisa diduga, itu tidak akan pernah cukup menenangkan subyek, ia akan berusaha memperluas ikatannya dengan fantasi yang lebih luas lagi, dan menciptakan simbol lain lagi. Permasalahannya, saat perluasan ini terjadi, tentu ada subyek fasis lainnya yang harus tersingkirdiabyeksikan. Tentunya pergesekan akan terjadi, bahkan tidak menutup kemungkinan peperangan: perang diskursus, permainan bahasa, bahkan perang fisik. Dari gambar besar ini sekiranya jelas dalam aspek paling mikro masyarakat, yaitu individu, telah terdapat benih-benih fasisme. Sehingga masyarakat sebaiknya didefinisikan sebagai, lebih dari antagonisme kelas Marxian, melainkan antagonisme fasis yang tak terhitung jumlahnya. Sejarah berusaha menetralisir ekspansi fasisme tersebut dengan terus menerus memperkuat simptom realitas. Poinnya adalah ini: bukan kolektivitas yang menjadi utama, melainkan bagaimana suatu diskursus fasis mampu memanipulasi hasrat fasis lain, menguncinya pada domain simbolik, dan melakukan ekspansi diskursifnya. Paradoks bagi perang di antara fasis adalah bahwa perang tersebut selalu didedikasikan demi gagasan-gagasan universal seperti perdamaian, kemajuan, dan kebenaran, seperti kata filsuf Greko-Roman Tacitus, they make slaughter and they call it peace. 39 Hal ini demikian karena gagasan-gagasan inilah yang memberikan semangat, motif, atau cause bagi perjuangan fasistik. Gagasan ini tak lekang di makan zaman, ia pun tak bisa dikorupsi. Fasis adalah fanatik, idealis, dan radikal dalam memperjuangkan gagasan-gagasan universal ini, karena hanya dalam gagasan-gagasan inilah identitas ke-diri-an yang utuh dan berdaulat bagi fasis ditemukan. Seruan-seruan fasistik, misalnya Indonesia butuh pemuda-pemudi yang patriotik, Demokrasi membutuhkan subyek-subyek rasional, atau juga seruan Abdul Aziz alias Imam Samudra,

38 Untuk ini, penulis amat berhutang pada ide Richard Dawkins yang melihat manusia semata-mata sebagai kendaraan (vehicle) bagi gen-gen kulturalyang disebutnya memeuntuk bereplikasi, dan bereplikasi, dan bereplikasi secara terus-menerus. Dua buku seminalnya, Richard Dawkins, The Extended Phenotype, Oxford Uni Press, 1982) dan The Selfish Gene, edisi revisi (Oxford: Oxford Uni Press, 1989) 39 Dikutip dari Michael Hardt dan Antonio Negri, Empire (Harvard: Harvard Uni Press, 2000), hal. 3.

11

adalah seorang mujahidin yang menjalankan tugas suci (jihad). Mereka (mujahidin) dalam sebuah operasi heroik yang gemilang, yang belum pernah ada tandingannya, dengan menggunakan pesawat terbang musuh berhasil menghajar berhala kebanggaan AS.40

Tapi apakah definisi diri-diri inipemuda-pemudi patriotik, subyek-subyek rasional, dan mujahidin? Tidak akan terdapat definisi manunggal yang fix bagi ini semua. Kegagalan, bahkan ketidak-mungkinan gagasan universal tersebut memberi diri utuh yang fix bagi fasis, bukannya membuat sang fasis meninggalkan gagasan tersebut, malah membuatnya semakin gigih dan garang mempertahankannya. Sekali lagi, karena sifatnya yang metafisik, gagasan tersebut tidak akan bisa korup dan lekang.41 Adalah menarik, dan penting, untuk tidak melihat gagasan-gagasan universal tersebut secara substansial, melainkan secara fungsional. Apapun makna gagasan (yang notabene juga medan kontestasi pemaknaan), secantik apapun surga yang dijanjikannya, dan seberat apapun syarat-syarat untuk menjadi pembelanya, gagasan-gagasan tersebut memiliki fungsi untuk menjadi pembenar bagi tindakan-tindakan para subyek fasis. Dengan menggeser cara pandang srukturalisyaitu struktur menentukan prilaku subyekke arah yang lebih humanistik, maka dapat dilihat bahwa tidak selamanya struktur menguasai subyek, melainkan terjadi gerak sebaliknya, yaitu saat subyek memaknainya (sering kali secara buta) dan mempolitisir pemaknaan struktur demi membenarkan tindakan-tindakannya. Terjadi over-determinasi antar struktur-subyek. Sehingga dari pandangan ini, gagasan-gagasan universal tadi tak ubahnya sebuah komoditas bagi eksistensi sang subyek; universalitas merupakan suatu komoditas kedaulatan. Bila pada ekonomi, komoditas berarti apa saja yang bisa dijual demi mendatangkan profit, maka dengan sedikit modifikasi, komoditas kedaulatan merupakan apa saja yang bisa dijual, dijadikan retorika, dan dijadikan landasan bagi lestarinya (status quo) kedaulatan. Semenjak kedaulatan adalah suatu hal yang mustahil bagi subyek fasis, maka subyek fasis aka berupaya mengkompensasinya dengan terus-menerus mengkomodifikasi gagasan-gagasan universal tersebut. Sebagai contoh, saat pemerintah berkata pemerintah akan berusaha keras memperjuangkan kesejahteraan rakyat, maka bukan kesejahteraan rakyat yang menjadi hasrat pemerintah, melainkan eksistensi pemerintah sebagai pejuang dan penyedia kesejahteraan rakyat yang dihasratinya. Contoh lain, sebagai mahasiswa, saya tidak bisa tinggal diam melihat penindasan dimana-manabukan perlawanan terhadap penindasan yang menjadi hasrat saya, melainkan kerinduan narsistik akan sosok mahasiswa yang heroiklah yang menjadi obyek hasrat saya. Akhirnya, seluruh kegiatan yang dilakukan oleh subyek fasis, pada dasarnya dimotivasi untuk memperkuat dan memperkokoh eksistensinya sendiri sebagai sang berdaulat.

Abdul Aziz, Imam Samudra: Aku Melawan Terorisme. (Solo: Jazera, 2004), hal. 185-6. Penulis amat sangat menyesalkan bagi analisis-analisis ekonomistik yang mengaku ilmiah dan empiris yang mereduksi prilaku fasis sebagai semata-mata akibat keterpurukan dan keterbelakangan ekonomi dan pendidikan. Sekali lagi penulis tekankan: fasisme adalah utamanya persoalan hasrat, dan ekonomi hanyalah bersifat sekunder.
41

40

12

Wacana kebenaran universal, sebagaimana dipahami secara psikogenealogis, bukan hanya berkaitan dengan argumentasi, justifikasi, pendasaran filosofis-idiologis, dan rationale bagi suatu norma atau nilai. Ia juga bukan semata-mata berkaitan dengan suatu kepentingan yang terselubung. Lebih jauh dari itu, Ia merupakan bungkus dari serat-serat ketaksadaran subyek pengujarnya. Ia adalah kotak pandora yang menyegel rupa-rupa hasrat terlarang. Ia merupakan pengkodean (coding) sejarah kelam represi hasrat. Ia adalah simptom yang mengunci rapat-rapat kegegaran dan antagonisme yang mengiringi sejarah realitas dan subyek, dan para subyek bersekongkol untuk menganggapnya sebagai sesuatu yang normal dan wajar, dan bekerja-sama untuk menyingkirkan wacana-wacana dan subyek fasis lainnya yang dianggap mengganggu stabilitas wacananya. Persekongkolan ini direproduksi terusmenerus sampai ia menjadi suatu ketaksadaran kolektif. Sampai di sini, sebagai sebuah wacana kebenaran universal, rezim adalah skandal diskursif. Menilik Psikogenealogi Kedaulatan Negara
The man is the head of the wife, and the wife the body of the man ... After the same fashion, the Prince is the head of the realm, and the realm the body of the Prince ... You are the soul of the respublica, and the respublica is your body. Seneca42 [t]he state is invisible; it must be personified before it can be seen, symbolized before it can be loved, imagined before it can be conceived. Michael Walzer43

Pada 2004 silam, Jurnal Review of International Studies dari Universitas Cambridge menerbitkan dokumentasi forum diskusi tentang makrosubyektivitas manusia-negara, atau states personhoodsifat ke-manusia-an dari negara, dengan menempatkan gagasan Alexander Wendt, sosiolog politik internasional, tentang negara sebagai manusia (person) sebagai poin keberangkatan diskusi.44 Hal ini demikian, sebagaimana pengantar forum, karena gagasan Wendt ini merupakan gagasan sistematis pertama tentang ke-aktor-an dalam studi HI.45 Bagi Wendt, di antara perbedaan paradigma yang terdapat dalam disiplin HI, terdapat satu hal yang nampaknya disepakati bersama, yaitu menganalogikan negara sebagai kolektivitas manusia, suatu big people,46 yang saling berhubungan satu sama lainnya.47 Negara dilihat sebagai suatu antropomorfisme, yaitu memiliki kualitas-kualitas sebagaimana yang di miliki manusia. Dengan kata lain, negara dipersonifikasikan sebagaimana tampak pada frase
42 Diucapkan Seneca untuk menasehati Kaisar Nero pada zamannya. Dikutip dari Ernst Kantorowicz, The Kings, hal. 215-6. 43 Michael Walzer, On the Role of Symbolism in Political Thought, Political Science Quarterly 82(2), (1967) hal. 194. 44 Alexander Wendt, Social Theory of International Politics, dan The state as person in international theory, Review of International Studies 30 (2004), hal. 289316. Refleksi tentang tema personhood ini lihat juga Mika Luoma-aho, Political Theology, Anthropomorphism, and Person-hood of the State: The Religion of IR, International Political Sociology, 3 (2009), hal. 293309. 45 Patrick Thaddeus Jackson, "Forum Introduction: Is the state a person? Why should we care?" Review of International Studies, 30 (2004), hal. 255258. 46 Luoma-aho, Political..., hal. 294. 47 Wendt, The State..., hal. 289.

13

berikut: Kepala negara, tulang punggung pertahanan negara, Indonesia meminta bantuan dunia internasional, Brazil memenangkan Piala Dunia, Amerika mendesak Iran, dst. Praktik personifikasi ini, atau menggunakan istilah Hobbes personasi (personation), yaitu praktik dimana seseorang mewakili suatu entitasyang akhirnya membuat entitas tersebut sebagai suatu aktor, merupakan suatu proses sosial. Sehingga adalah penting bagi analisis untuk memfokusikan dirinya pada proses negosiasi dan kontestasi sosial di dalamnya.48 Pandangan kritis datang dari partisipan lainnya juga seperti Iver Neuman, yang memandang makro-subyektivitas manusia-negara tidaklah begitu berguna karena seem to constrain rather than to enable our inquiry into what is happening to states and their place in global politics here and now.49 Sehingga analogi ini, yang disebutnya organisisme (organicism) harus dilihat secara pragmatis, yaitu untuk memudahkan berpikir, dan tidak lebih dari itu.50 Colin Wight, mencoba melihat dari perspektif realisme saintifiknya, malah mencela analogi Wendt ini (dan dengan demikian Neuman) sebagai semacam jalan pintas untuk segera keluar dari kesukaran pendefinisan ontologi, dalam hal ini ontologi negara.51 Karena jika HI, sebagai practice of science, memperlakukan negara sebagai seolah-olah (as if)52 manusia, maka HI menjadi tak lebih dari sekedar agama yang have always had perfectly adequate as if entities that have added advantage of explaining everything.53 HI adalah agama! ... sepanjang ia melestarikan analogi makro-subyektivitas manusiaKeluar dari konteks forum, penulis ingin menunjukkan pandangan bahwa makrosubyektivitas manusia-negara ini benar-benar berkaitan dengan agama, dalam hal ini adalah agama Kristen (Katolik). Adalah Ernst Kantorowicz dalam The Kings Two Bodies yang mengeksplorasi tema ini. Menurutnya, gagasan makro-subyektivitas negara ini, jauh sebelum Hobbes, berasal dari gagasan tentang corpus Christi (tubuh Kristus). Awalnya istilah corpus Christi digunakan Gereja Barat55 pada 1264 untuk menyebut roti yang digunakan untuk sakramen perjamuan kudus.56 Penyebutan ini diadopsi dari terminologi yang dituliskan rasul Paulus di kitab Efesus.57 Corpus Christi mendapat pemaknaan sosiologis saat Paus Boniface VII menyebut Gereja sebagai one mystical body the head of which is Christ.58 Barulah paska negara.54
48 Patrick Thaddeus Jackson , Hegels House, or People are states too, Review of International Studies, 30 (2004), hal. 286-7. Lihat juga Hobbes, Leviathan, hal. 98-9. 49 Iver Neumann, Beware of Organicism: the Narrative Self of the State, Review of International Studies, 30:2 (2004), pp. 265-267. 50 Ibid. 51 Colin Wight, State agency: social action without human activity, Review of International Studies, 30 (2004), hal. 272. 52 Seperti kata Wendt, States are not really persons, only as if ones. Wendt, The state..., hal. 289, penekanan teks asli. Tentang ke-seolah-olahan ini, lihat refleksi tentang perdebatan ini dalam Jacob Schiff, Real? As if! Critical reflections on state personhood, Review of International Studies, 34 (2008), hal. 363377. 53 Wight, State agency..., hal. 273. 54 Bdk. Luoma-aho, Political..., hal. 302 dan 308. 55 Kekristenan saat itu terpecah dua: Gereja di Barat dengan Kerajaan Romawi Agungnya dan gereja Ortodoks Timur yang berpusat di Konstantinopel. 56 Kantorowicz, The Kings Two Bodies, hal. 196. 57 Lihat Alkitab, Efesus 4: 12-6 (Jakarta: Lembaga Alkitab Indonesia, 2001). 58 Kantorowicz, The Kings, hal. 196.

14

sekulerisasi Gereja dari negara (dan sebaliknya, pada kontroversi investitur masa Reformasi Gregorian), corpus Christi mendapatkan makna politiknya, menjadi corpus mysticum dan secara bersamaan juga Corpus Christi Juridicum.59 Dengan nama baru ini, Gereja dipahami sebagai suatu tubuh politik, atau sebagai suatu organisme politik dan legal, yang sekaligus menegaskan dirinya sebagai entitas yang otonom (self-sufficient). Evolusi terpenting dalam mutasi ide corpus mysticum ini justru terjadi pada saat peran Gereja menurun pada sekitar abad ke-13 dan 14,60 yaitu saat ide ini melompat dari Gereja ke Kerajaanyang nantinya akan menjadi Negara. Sekitar pertengahan abad ke-13, Vincent de Beauvais menggunakan istilah corpus reipublica mysticum (tubuh mistik republik) untuk menunjukkan tubuh politik dari negara. 61 Istilah ini menunjukkan dengan jelas intensi de Beauvais dalam meminjam istilah yang terlebih dahulu dipakai Gereja, yaitu untuk mentransendensikan negara, melampaui eksistensi fisiknya. Dalam benaknya, de Beauvais mendambakan negara yang sempurna, dan kesempurnaan itu di dapat saat negara tersebut directed by the king as the vicar of Christ and guided by the ministers of the Church.62 Puncak dari transendetalisasi ini nampaknya terjadi di Inggris, yaitu saat Sir John Fortescue mengartikan corpus mysticum sebagai penyempurnaan masyarakat suatu negara, yang di dalamnya warga-negaranya memperoleh status rakyat (people) dan menjadi tubuh mistik kerajaan (realm) yang mana sang raja menjadi kepalanya. 63 Adalah Raja Henri VIII dari Inggris yang berusaha mempraktikkan Fortescue dalam upayanya menyatukan tanah anglikan (Anglicana Ecclesia) yang geografis kedalam suatu corpus politicum kerajaan (empire) yang atasnya ia, sebagai raja, menjadi kepalanya.64 Evolusi gagasan tubuh politik tidak berhenti sampai di situ. Asosiasi berikutnya adalah tentang perkawinan. Jadi, saat pemahkotaan/penobatan (coronation) seseorang menjadi raja, maka saat itu pula ia menikahi corpus politicum, yaitu kerajaan beserta segenap rakyatnya. Adalah Cynus dari Pistoia dalam bukunya Justinian's Code yang terbit sekitar tahun 1300 menulis, And the comparison between the corporeal matrimony and the intellectual one is good: for just as the husband is called the defender of his wife . . . so is the emperor the defender of that respublica.65 Tidak hanya sekedar tulisan, ia termaterialisasi dalam praktek pengaturan pemahkotaan, misalnya saat pemahkotaan Henry II dari Perancis pada 1547, kata-kata protokoler yang diucapkan saat cincin kerajaan dipakaikan adalah, the king solemnly married his realm.66 Malahan 50 tahun berikutnya, pada Order of 1594, aturan protokoler tersebut menjadi lebih eksplisit: the king, on the day of his consecration, married his kingdom in order to be inseparably bound to his subjects that they
Ibid., hal. 197. Hal ini terjadi utamanya karena perpecahan dalam tubuh kepausan itu sendiri yang terkenal dengan sebutan Skisma Besar (the Great Schism). Saat itu, terdapat dua Paus yang saling bertentangan. Pelajaran yang dipetik raja dari skisma ini adalah bahwa Gereja tidaklah utuh (self-sufficient), dan dengan demikian merupakan kontainer yang buruk bagi ide corpus Christi yang manunggal, utuh dan berdaulat. Penulis akan kembali ke pembahasan ini nanti. 61 Kantorowicz, The Kings, hal. 208. 62 Ibid. 63 Ibid., hal. 223-4. 64 Ibid., hal. 229. 65 Ibid., hal 213. 66 Ibid., hal. 222.
60 59

15

may love each other mutually like husband and wife.67 Hubungan antara keduanya dengan demikian adalah hubungan pengabdian politik semi-relijiuspro patria mori. Perkawinan ini, menandakan gestur yang disebut Kantorowicz sebagai transsubstansiasi (transsubstantiation), yaitu proses penggandaan tubuh monarki.68 Tubuh biologisnya, yaitu corpus naturale (atau corpus personale, Paus Innocent III; atau corpus naturale, William dari Auxerre) akan menjadi penopang tubuh supra-individu, yaitu corpus mysticum, yang lahir dalam proses transubstansiasi tersebut. Itulah sebabnya menurut Kantorowicz, dalam teologi politik abad Pertengahan, raja memiliki dua tubuh: tubuh biologis dan tubuh mistik; corpus naturale dan corpus respublica mysticum. Simbol-simbol seperti mahkota, cincin, tongkat dan tahta kerajaan berikutnya menjadi mahar (dowry) perkawinan kedua tubuh dan tanda bagi transsubstansiasi tersebut. Di sini Kantorowicz menekankan argumentasinya yaitu bahwa proses transubstansiasi ini sebenarnya semata-mata berfungsi untuk mengamankan kontinuitas (bahkan keabadian) status quo monarki atas kerajaan dan rakyatnya. Raja boleh saja bisa mati, tetapi posisi Raja sebagai penguasa kerajaan tidak akan pernah mati. Akhirnya, penggandaan tubuh monarki ditujukan demi menjamin kontinuitas kekuasaan atas tubuh politik mistik (kerajaan) melalui suksesi tubuh-tubuh natural di tahta kerajaan. Demikianlah asal-usul teologis dari ungkapan tubuh politik negarateologi politik. Studi penulis kali ini berusaha memberikan landasan imanen (yang melampaui analogi dan metafora semata) atas makro-subyektivitas antropomorfistik ini. Namun berbeda dari seluruh partisipan forum yang penulis bahas di atas, studi ini justru berusaha memahami manusia bukan sebagai manusia homo sapiens sebagaimana klasifikasi biologis, melainkan sebagai sebuah konsep. Sebagai konsep, manusia mampu memberikan perasaan ke-dirian yang utuh dan berdaulat kepada sang homo sapiens tesebut. Sehingga apapun manifestasinya, sang homo sapiens tersebut akan bersusah-payah mengupayakannya. Peter Lomas, menanggapi Wendt, menyadari ini, once you posit the idea of individual self-transcendence (the key structural element in Wendts conception) you have an idea with no natural limits.69 Berbeda dari nada sinis Lomas (dan Iver Neuman)70, justru dengan melihat individu manusia sebagai suatu idedengan rentetan sejarah panjang pembentukannya, yaitu ide kedaulatan, yang tanpa natural limits
Ibid. Ibid., hal. 125. 69 Peter Lomas, "Anthropomorphism, personification and ethics: a reply to Alexander Wendt," Review of International Studies, 31 (2005), hal. 355. Sebenarnya Wendt agaknya sudah mengafirmasi hal ini dalam Alexander Wendt, Why a World State is Inevitable, European Journal of International Relations, 9(4) (2003), hal. 491542. Namun demikian, Wendt terlalu menekankan proses inisiatif kolektif dalam mewujudkan negara dunia-nya sehingga meremehkan kemungkinan bahwa suatu negara dunia bisa direalisasikan tanpa inisiatif kolektif, sekalipun kolektivitas adalah sesuatu yang tak terelakkan. Lainnya, tidak seperti Wendt yang menganggap negara dunia adalah akhir dari yang disebutnya dengan meminjam Barry Buzan logika anarki sebagaimana yang selalu penulis tekankan, tidak ada batas akhir bagi perwujudan, materialisasi atau reifikasi gagasan ke-diri-an yang berdaulat. Bab berikutnya tentang kedaulatan Amerika Serikat akan mengafirmasi argumentasi ini. Tentang inisiatif kolektif Wendt, lihat juga tanggapan baliknya ke Lomas. Alexander Wendt, How not to argue against state personhood: a reply to Lomas," Review of International Studies, 31 (2005), hal. 357360. 70 Menurut Neuman, manusia-negara sebaiknya tidak lebih dari sekedar analogi. Lihat Iver Neumann, Beware of Organicism: the Narrative Self of the State, Review of International Studies, 30:2 (2004), pp. 265, 267.
68 67

16

maka akan dapat dipahami bagaimana perjuangan untuk mengakuisisi ide tersebut adalah sesuatu yang tak-terbatas (unlimited). Ide tersebut tidak akan pernah fix dalam kontainerkontainernyaterutama, tubuh manusia dan tubuh negara, malahan ia akan terus meminta siapapun yang mendambakan kenikmatan yang ditawarkan ide tesebutyaitu perasaan kediri-an yang utuhuntuk menyediakan tubuh-tubuh baru yang lebih mutakhir. Pandangan inilah yang menurut penulis mampu melihat secara lebih holistik tentang realitas di lapangan, lebih dari yang para realis (dalam arti negara-sentris) seperti Wendt mampu tawarkan. Doktrin Transubstansiasi Tubuh Raja (... dan hasratnya) Dalam tesis Ernst Kantorowicz sebagaimana penulis diskusikan di bagian awal, ritual pemahkotaan (coronation) raja menandakan gestur yang disebutnya sebagai transsubstansiasi (transsubstantiation), yaitu proses penggandaan tubuh monarki.71 Tubuh biologisnya, yaitu corpus naturale (atau corpus personale, Paus Innocent III; atau corpus naturale, William of Auxerre) akan menjadi penopang tubuh supra-individu, yaitu corpus mysticum, yang lahir dalam proses transubstansiasi tersebut. Itulah sebabnya menurut Kantorowicz, dalam teologi politik abad Pertengahan, raja memiliki dua tubuh: tubuh biologis dan tubuh mistik; corpus naturale dan corpus respublica mysticum. Simbol-simbol seperti mahkota, cincin, tongkat dan tahta kerajaan berikutnya menjadi mahar (dowry) perkawinan kedua tubuh dan tanda bagi transsubstansiasi tersebut. Di sini Kantorowicz menekankan argumentasinya yaitu bahwa proses transubstansiasi ini sebenarnya semata-mata berfungsi untuk mengamankan kontinuitas (bahkan keabadian) status quo monarki atas kerajaan dan rakyatnya. Raja boleh saja bisa mati, tetapi posisi Raja sebagai penguasa kerajaan tidak akan pernah mati. Akhirnya, penggandaan tubuh monarki ditujukan demi menjamin kontinuitas kekuasaan atas tubuh politik mistik (kerajaan) melalui suksesi tubuh-tubuh natural di tahta kerajaan. Memahami proses transubstansiasi ini melalui pembacaan simptom Lacanian, maka tesis Kantorowicz ini dapat berimplikasi lebih jauh. Saat transsubstansiasi terjadi melalui ritus pemahkotaan, maka ia tidak hanya menjadikan kerajaan (realm) sebagai tubuh politik mistik raja, melainkan tubuh natural sang raja juga akan ditranssubstansiasi sedemikian rupa menjadi tubuh yang transenden pula, yaitu tubuh mistik raja. The Kings Two Bodies, dengan demikian sebaiknya ditafsirkan secara literer: raja memiliki dua macam tubuh, tubuh natural dan tubuh sublim. Tubuh natural adalah tubuh biologis sang raja yang bisa lapar, tertusuk tombak, tertebas pedang, dan bisa mati. Tubuh sublim, sebaliknya, merupakan tubuh yang tidak bisa mati, yang kebal dari segala anak panah, dan tentunya imortal. Saat raja bersatu dengan tubuh sublim ini, ia akan benar-benar menjadi manusia transenden atau tuhan di bumi yang perkataannya menjadi hukum, yang keinginannya menjadi perintah, dan yang keberadaannya disembah oleh rakyatnya, umatnya.72 Namun demikian, sebagaimana pembacaan kritis Slavoj iek, alih-alih membawa gagasan kesatuan, transusbtansiasi ini justru memperkenalkan gagasan keretakan radikal di antara keduanyatubuh natural raja dengan
71 72

Kantorwicz, The Kings Two Bodies, hal. 125. Bdk. Claude Lefort, Democracy and Political Theory, terj. D. Macey (Cambridge: Polity Press, 1988), hal. 250-1.

17

tubuh sublimnya.73 Di antara keduanya tidak terdapat kemelekatan sama sekali. Tubuh sublim bisa diisi tubuh siapa saja.74 Fungsi tubuh sublim ini, lebih dari pada suksesi dinasti sang raja sebagaimana Kantorowicz, merupakan suksesi demi replikasi tubuh sublim itu sendiri. Dari pandangan ini maka dapat dipahami bahwa seorang, misalnya, Raja Inggris Charles I, bukanlah raja karena ia memang adalah raja, melainkan Charles dijadikan raja oleh proses transubstansiasi dalam ritual pemahkotaan, dan dianggap raja oleh masyarakatnya. Jadi antara ke-raja-an Charles dengan Charles sendiri sebenarnya tidak ada hubungan sama sekali.75 Tubuh Charles hanya merupakan kendaraan (vehicle) bagi manifestasi dan replikasi tubuh sublim Raja. Artinya dengan menjadi raja, Charles menempati posisi simbolik raja. Tapi okupasi tersebut bukan sesuatu yang abadi, saat Charles digantung pada 1649, Charles harus rela melepaskan tubuh tersebut. Sementara tubuh sublim Raja tetap ada dan tidak ikut mati di tiang gantungan bersama Charles; tubuh sublim tersebut menjadi kosong. Karena memang, kekosongan (void) adalah karakteristik ontologis tubuh sublim ini. Secara filosofis, dengan demikian, tubuh sublim raja menyimpan suatu teologi politik berupa metafisika kehampaan (lacuna). Jadi, teologi politik transubstansiasi tubuh inilah yang secara dogmatis diwariskan turun temurun, tidak hanya di kalangan raja, melainkan juga di kalangan masyarakat. Dogmatika ini akhirnya berbuah normalitas, yang karenanya menjadi sulit untuk membayangkan dunia tanpa raja. Dalam pembahasan penulis tentang kristalisasi gagasan kedaulatan negara Bodinian dalam Perjanjian Damai Westphalia 1648yang ternyata merupakan skandal, penulis melihat gestur yang sama seperti yang terjadi dalam ritual pemahkotaan raja: yaitu gestur transubstansiasi. Saat raja memanifestasikan fantasi kedaulatan dalam Skandal Westphalia, yaitu membuat fantasi itu menjadi kenyataan dalam bentuk negara berdaulat modern, maka sebenarnya ia tidak hanya berdampak pada akuisisi keamanan ontologis eksistensial sang raja, lebih dari itu, ia mentransubstansiasi kedaulatan tersebut ke dalam negara berdaulat modern tersebut. Sehingga dengan demikian, negara berdaulat modern bertransformasi menjadi obyek sublim kedaulatan. Melalui Skandal Westphalia, kedaulatan tersublimasi ke dalam negara-berdaulat modern, ia terkristalisasi dalam kedua karakteristik negara berdaulat modernyurisdiksi penuh dan pengakuan bersama. Melalui skandal ini, bukannya raja yang dilestarikan keamanan eksistensialnyasebagaimana yang diinginkan raja, melainkan justru negara yang dijadikan transenden saat ia dibubuhi atribut kedaulatan, negaralah yang dilestarikan eksistensinya. Sama seperti ritus pemahkotaan, bukan raja yang diamankan eksistensi ontologisnya, melainkan justru posisi raja itu sendiri. Dengan demikian penulis
iek, The Sublime Object of Ideology, hal. 163-5. Hal ini dibuktikan dengan kenyataan bahwa tesis Kantorowicz tidak bisa bertahan sampai masanya, ia gugur saat baru menjelaskan dipenggalnya raja Louis XIV dan lahirnya sistem demokrasi. Demokrasi, kali ini iek sepakat dengan Lefort, adalah ruang kosong sepeninggalan tubuh natural raja, dan memang pada hakikatnya ia adalah kosong dan hanya dapat diisi secara parsial dan temporal. Setiap gestur untuk mengisi ruang tersebut secara permanen, merupakan gestur untuk kembali ke ancien rgime. 75 Sekalipun memang keluarga kerajaan memiliki peluang lebih besar untuk terus mengisi tubuh tersebut. Tapi tetap saja tidak membuat Charles menemukan tubuhnya yang hilang dalam tubuh Raja-nya.
74 73

18

memberanikan diri untuk menyebut Skandal Westphalia ini sebagai transubstansiasi jilid dua yang menghasilkan negara berdaulat modern sebagai obyek sublim kedaulatan. Lalu pertanyaannya, mengapa bisa terjadi kecolongan seperti ini? Apa yang salah dari skenario transubstansiasi ini? Jawabannya tak lain adalah dari natur hasrat raja sebagai subyek fasis Odipus, yaitu kesalah-mengertian (misrecognition). Saat penulis menyebutkan fantasi ke-diri-an ideal, bukan berarti fantasi tersebut ada. Sama sekali kebalikannya. Fantasi ideal itu adalah hasil konstruksi tak sadar dari sang raja yang termanifestasikan dalam perjuangan-perjuangannya, wacana-wacana retoriknya, dan tentu saja, pada Skandal Westphalia. Sebagaimana Lacan, suatu obyek hasrat memiliki setidaknya tiga elemen: obyek materiil konkritnya, lalu obyek-penyebab-hasrat atau obyek a, dan inti dari obyek a yang telahselalu hilang, yaitu lamella.76 Ketiga elemen ini juga terdapat pada negara-modern berdaulat sebagai suatu obyek hasrat yang dikira raja-raja dapat menyembuhkan kegelisahan ontologis eksistensialnya. Kedaulatan, dengan demikian adalah efek ilusi (mirage) dari kegelisahan raja yang membawa-bawa fantasi kemustahilan berupa ke-diri-an ideal, yang notabene akan telahselalu hilang.
Obyek hasrat: Negara berdaulat a la Westphalia Obyek-penyebab-hasrat/obyek a: Kedaulatan Lamella yang telah-selalu hilang: Perasaan ke-diri-an ideal; keamanan ontologis eksistensial

Komposisi negara berdaulat sebagai sebentuk obyek hasrat

Paradoks kedaulatan Tepat inilah yang ingin penulis tekankan melalui studi ini, yaitu pentingnya melingustisasi negara dalam analisis-analisis negara, bukan semata-mata sebagai penampakan fisik (state-building) sebagaimana terkristal dalam konvensi montevideo 1933 tentang definisi negara yang sangat materialistikwilayah, pemerintah, hukum, rakyat, pengakuan kedaulatan. Lebih dari pada itu, adalah lebih penting untuk melihat negara sebagai sesuatu yang bahkan melampaui eksistensinya. Apabila Lacan memahami sesuatu yang melampaui eksistensi ini sebagai in you more than yourself, maka studi ini ingin memahami apa yang ada di dalam negara berdaulat, melebihi negara berdaulat itu sendiri (in state more than the state itself): jawabannya adalah fantasi ke-diri-an ideal yang utuh dan otonom. Konsekuensi radikal dari linguistisasi ini pada akhirnya menunjukkan bahwa pembentukan negara berdaulat pada dasarnya adalah dilandasi oleh hasrat raja sebagai perorangan untuk mengamankan eksistensi ontologisnya. Dengan tubuh naturalnya yang fana, ia merasa bahaya dan ancaman bisa kapan saja membunuhnya, membinasakan eksistensinya. Sehingga ia butuh tubuh lain yang bisa mengamankan eksistensinya. Berikutnya raja mencari
76

Lihat pembahasan pada bab 2.

19

prototipe ke-diri-an yang seperti itu, dan ditemukannya dalam cerminan omnipotensi Tuhan. Doktrin dua tubuh raja merupakan hasil dari upaya raja memanifestasikan omnipotensi tersebut ke dalam tubuh mistik raja/tubuh sublim (?). Namun demikian, saat tubuh mistik omnipotensi Tuhan ini terbukti tidak mampu menjawab tantangan dunia (perang dan pemberontakan sipil), maka raja kembali gelisah. Mikrofasisme dalam raja diaktifkan kembali, membuatnya mencari tubuh baru untuk menguasai kegelisahannya. Prototipe ke-diri-an ideal yang baru itu akhirnya ditemukan dalam subyektivitas manusia modern yang otonom, utuh, dan ekspresif. Dibakukan lagi dalam kedaulatan negara yang menekankan otoritas sentral dan kekuasaan absolut. Akhirnya kedaualatan menjadi cerminan fantasi ideal ke-diri-an yang baru untuk kemudian diperjuangkan, seringkali secara agresif, oleh raja. Skandal Westphalia 1648 menyaksikan bagaimana raja berupaya memanifestasikan fantasi ideal kedaulatan ke dalam suatu entitas negara berdaulat modern. Yang ingin penulis tekankan dari rekonstruksi singkat akan psikogenealogi kedaulatan ini adalah bahwa gagasan kedaulatan semata-mata hanya merupakan kendaraan bagi suatu fantasi tentang ke-diri-an ideal bagi raja yang notabene mustahil. Dengan kata lain, bagi raja, kerajaan dan berikutnya negara modern merupakan suatu tubuh-super yang lebih berkuasa darinya, suatu tubuh makro yang lebih besar darinya. Jadi, raja menganggap kerajaannya dan berikutnya negara berdaulat sebagai sebuah manifestasi diri ideal, yang di dalamnya tersimpan fantasi ke-diri-an ideal yang didambakan raja. Sehingga dari pemahaman ini, negara adalah orang besar, state is person, dengan catatan orang dipahami sebagai suatu gagasan. Raja Perancis Louis XIV mengatakannya dengan baik, Letat cest moi, negara adalah aku. Kata aku merupakan sebentuk subyektivitas. Dan kata aku yang dimaksudkan di sini, adalah aku yang berdaulat. Hal ini pada gilirannya mengklarifikasi tesis makro-subyektivitas manusia-negara seperti yang penulis bahas di awal bab ini. Makrosubyektivitas bukanlah analogi! Makro-subyektivitas manusia-negara memiliki landasan imanen, yaitu kegelisahan eksistensial. Efek metafisik dari tesis makro-subyektivitas ini sebenarnya adalah buah dari kelembaman teoritik untuk memperluas pisau analisisnya. Implikasinya, bukan malah mengkonfirmasi teori-teori yang telah salah kaprah menganalogikan negara sebaga manusia. Jauh lebih dalam dari itu, implikasi pandangan penulis ini adalah bahwa analisis negara tidak dapat dipisahkan dari analisis manusia. Hasrat negara, pada akhirnya akan diarahkan untuk memperkuat eksistensi ke-diri-annya yang terepresentasi dalam gagasan kedaulatan. Meminjam Freud, seluruh aktivitas negara, dengan demikian adalah aktivitas ekonomi hasratusaha-usaha memuaskan hasrat. Hal ini akan dapat memahami pula paradoks yang akan selalu mengiringi negaraberdaulat. Semenjak kedaulatan adalah sesuatu yang mustahil, negara-berdaulat, karena ia merupakan manifestasi makro dari hasrat manusia akan diri ideal, maka ia juga mengidap mikrofasisme yang mengiringi sejarah umat manusia. Saat kegelisahan muncul, negaraberdaulat akan mati-matian mempertahankan eksistensinya yang sama sekali simbolik. Apabila kesinambungan kedaulatan itu didasarkan pada suatu identitas primordial, maka

20

identitas ini akan dipertahankan mati-matian demi menjaga keberadaan kedaulatan tersebut. Apabila kedaulatan tersebut didasarkan pada suatu agama, maka agama tersebut akan dipertahankan mati-matian. Upaya mempertahankan ini tidak jarang dengan kekerasan semenjak fasisme selalu mengiringi perjuangan hasrat subyek. Fasisme akan rela memperjuangkan apa saja yang berguna bagi kesinambungan eksistensinya, ia akan rela menyakiti siapa saja termasuk dirinya demi menjaga kedaulatannya yang ilusif itu. Saat negara melihat, misalnya, kedaulatan dapat didapat dari Komunisme, maka ia akan mati-matian memperjuangkan Komunisme tersebut tegak di negaranya, ia rela menyakiti bahkan rakyatnya sendiri yang membangkang. Fasisme akan selalu mensyaratkan sebentuk alienasi dari diri sendiri kepada penguasaan Simbolik tertentu. Kekerasan hati akan suatu bentuk Simbolik kedaulatan tersebut, dengan demikian merupakan suatu kekerasan pada diri. Aktivitas kedaulatan: komodifikasi dan abyeksi Semenjak kedaulatan selalu membutuhkan justifikasi Simbolik universal, maka dapat dipahami pula fitur lainnya pada kedaulatan, yaitu aktif dalam mengkomodifikasi universalitas bagi kesinambungan eksistensinya. Seluruh aktivitas kenegaraan, dengan demikian bukanlah suatu tindakan yang dilakukan demi warga-negara, melainkan demi status quo sang raja dan dinastinya sebagai penguasa warga-negara. Jargon-jargon universal dipakai hanya untuk merayu legitimasi dari rakyatnya. Jadi, apabila janji negara di wujudkan, maka ia tak lebih dari suatu perbuatan yang berdasar pada kalkulasi kedaulatannya. Semisal negara berusaha mengentaskan kemiskinan, maka hal itu dilakukan bukan demi pengentasan kemiskinan rakyatnya, melainkan demi eksistensi-nya sebagai pengentas kemiskinan, dan demi menjaga kepercayaan dan legitimasi rakyatnya yang berguna untuk melestarikan status quo negara sebagai penguasa. Status universalitas bagi negara berdaulat tidak lain adalah komoditas kedaulatan, yaitu segala bentuk obyek yang dapat dijadikan landasan pembenar bagi setiap perjuangan kedaulatan. Semenjak aktivitas negara adalah mengkomodifikasi universalitas, maka secara otomatis juga ia akan secara aktif memproduksi abyek-abyek yang dianggapnya membahayakan sistem universal nilainya. Paranoia yang mengiringi kegelisahan subyek berdaulat, diarahkannya pada aktivitas memproduksi abyek. Aktivitas ini bisa dibilang sebagai suatu katarsis, yaitu pelepasan dan penenangan kegelisahan. Dengan menunjuk abyek yang senantiasa mengancam sistem nilainya, negara memiliki musuh yang kelihatan untuk dilawan. Sebaliknya, saat musuh tersebut tidak ada, maka tidak ada yang akan menopang universalitasdalam hal dikorbankan demi universalitas tersebut. Proses pembentukan subyek (subyeksi) kedaulatan melalui suatu wacana universal, sebagaimana telah penulis singgung, akan selalu mensyaratkan proses abyeksi, yaitu penolakan radikal akan entitasentitas yang mewakili gagasan kontra-tatanan, non-subyek, singkatnya sesuatu yang tidak diinginkan oleh sistem tatanan. Kedua aktivitas inilah yang pada gilirannya akan membuat negara-berdaulat menjadi suatu hal yang wajar dan normal. Gestur kedaulatan dalam mengkomodifikasi nasionalisme
21

dan kewarganegaraan misalnya merupakan upaya negara untuk menjangkarkan kedaulatan pada landasan yang universal dan permanen. Karena dianggap sebagai sesuatu yang normal, masyarakat pun justru disulap menjadi garda depan penjaga kedaulatan negara. Inilah yang disebut Gramsci, seperti yang sudah penulis bahas di awal, sebagai suatu bentuk statolatri. Imajinasi untuk membayangkan masyarakat tanpa negara, pada akhirnya menjadi suatu hal yang mustahil. Hizkia Yosie Polimpung Peneliti di Center for International Relations Studies (CIReS) FISIP UI dan Pusat Kajian Wilayah Amerika UI Kritik dan tanggapan: yosieprodigy@live.com

22

Anda mungkin juga menyukai