Anda di halaman 1dari 16

REFRAT UJIAN CHRONIC MYELOID LEUKEMIA (CML) DALAM TINJAUAN ASPEK BIOMOLEKULAR

Disusun oleh : Pramesti Fitria G0007130

Penguji :

dr. Supriyanto Muktiatmodjo, Sp. PD.

KEPANITERAAN KLINIK SMF ILMU PENYAKIT DALAM FAKULTAS KEDOKTERAN UNS/RSUD DR MOEWARDI SURAKARTA 2011

HALAMAN PENGESAHAN

Refrat Ujian Ilmu Penyakit Dalam dengan judul : CHRONIC MYELOID LEUKEMIA (CML) DALAM TINJAUAN ASPEK BIOMOLEKULAR Disusun Oleh : Pramesti Fitria G0007130

Telah disahkan pada hari

, tanggal

Agustus 2011

Penguji :

dr. Supriyanto Muktiatmodjo, Sp.PD.

ii

I.

PENDAHULUAN Leukemia adalah keganasan hematologik akibat proses neoplastik yang

disertai gangguan differensisasi (maturation arrest) pada berbagai tingkatan sel induk hemopoetik sehingga terjadi ekspansi progresif dari kelompok (clone) sel ganas tersebut dalam sumsum tulang, kemudian sel leukemia beredar secara sistemik. Leukemia myeloid Kronis (CML) merupakan leukemia kronik, dengan gejala yang timbul perlahan.7 CML merupakan penyakit berbahaya pada manusia yang telah banyak diteliti. Penemuan kromosom Philadelphia (Ph) pada tahun 1960 sebagai abnormalitas kromosom spesifik terhadap leukemia merupakan terobosan dalam biologi kanker. Perlu waktu 13 tahun sebelum disadari bahwa kromosom Ph terdapat pada lebih dari 95% kasus CML, dan muncul dari suatu hasil translokasi antara kromosom 9 dan 22, serta memerlukan waktu 10 tahun lagi, sebelum diketahui bahwa translokasi tersebut melibatkan ABL proto-oncogene pada kromosom 22, yang kemudian disebut BCR untuk wilayah gugus breakpoint. Pada akhir millennium diketahui tentang inhibitor kinase tirosin khusus ABL yang selektif menghambat pertumbuhan sel BCR-ABL in vitro dan in vivo. BCR-ABL mengkode kinase tyrosine onkogenik secara aktif konstitutif. Kinase inhibitor BCR-ABL imatinib menginduksi hematologi lengkap dan respon sitogenetika dalam sebagian besar pasien CML, tetapi tidak mampu untuk sepenuhnya memberantas BCR-ABL-expressing Leukemia Stem Cells (LSCs), yang menunjukkan bahwa LSCs tidak dapat dieliminasi. Seiring waktu pasien dapat menjadi resisten terhadap obat dan malah meningkatkan progresivitas dari penyakit dan bukan mengobatinya.1,3,4 CML yang diawali dari BCR-ABL-expressing Leukemia Stem Cells (LSCs), di mana LSCs ini sangat resisten terhadap BCR-ABL inhibitor kinase, imatinib, dasantinib and nilotinib, dasantinib dan nilotinib, dan metode untuk pemberantasan LSCs masih belum tersedia. Oleh karena hal tersebut, sangat penting untuk mengidentifikasi gen yang memainkan peran dalam CML termasuk kelangsungan hidup dan proliferasi LSCs. Dalam refrat ini akan mencoba

iii

menjelaskan tentang biologi molekuler pada CML, termasuk sel BCR dan ABL yang berperan dalam aspek patogenesis CML. II. MODEL PERCOBAAN PADA CML Berbagai sistem percobaan telah dikembangkan untuk meneliti patofisiologi CML. Semuanya memiliki kelebihan dan kekurangan, dan mungkin cukup wajar untuk mengatakan bahwa masih belum ada model yang ideal secara in vitro atau in vivo yang akan mencakup semua aspek penyakit manusia.1 A. Galur Sel 1) Fibroblast Galur fibroblast telah digunakan secara luas pada penelitian CML karena mereka mudah dimanipulasi. Transformasi fibroblast adalah standard dalam uji in vitro untuk tumorigenesitas. Akan tetapi, menjadi jelas bahwa pengenalan BCR-ABL kedalam fibroblast memiliki efek yang beragam, tergantung kepada jenis fibroblast yang digunakan. Maka dari itu, walaupun P210BCR-ABL mentransformasi fibroblast Rat-1, tidak ada efek semacam itu pada NIH3T3. Lagipula, transformasi pada pertumbuhan yang terbebas dari serum hanya pada beberapa sel (sel-sel permisif), sedangkan sebagian besar menjalani penahanan pertumbuhan. Pengamatan-pengamatan tersebut menunjukkan bahwa kebutuhan seluler tertentu harus terpenuhi jika sebuah sel harus ditransformasi oleh BCRABL. Yang menarik, hal ini juga terjadi pada berbagai bagian protein BcrAbl. Maka dari itu mutan BCR-ABL yang kekurangan domain SH2 mempertahankan kapasitas untuk mengubah sel-sel 32D hematopoietik menjadi kemandirian faktor pertumbuhan tetapi merusak untuk transformasi fibroblast. Selain itu, ada perbedaan-perbedaan antara sel-sel hematopoietik dan fibroblast dalam kaitannya dengan interaksi-interaksi dengan protein lain seperti Crkl. Crkl berfungsi dalam aktivasi dan transformasi Ras didalam fibroblast tetapi tidak pada sel-sel hematopoietik. Maka dari itu, hasil-hasil yang diperoleh dari penelitianpenelitian dalam fibroblast harus ditafsirkan dengan sangat hati-hati.1

iv

2) Galur-galur sel hematopoietic Hingga akhir-akhir ini, hanya beberapa galur positif BCR-ABL yang diperoleh dari CML tersedia, tetapi jumlah mereka telah tumbuh pesat dalam beberapa tahun terakhir. Mereka meliputi galur-galur sel dengan diferensiasi myeloid, seperti K562 yang terkenal dan fenotip limfoid, seperti BV173. Kelemahan utama yang umum pada semua galur tersebut adalah fakta bahwa mereka diperoleh dari krisis blast dan maka dari itu, mengandung luka-luka genetika selain BCR-ABL. Akibatnya, mereka dapat merefleksikan krisis blast dengan cukup wajar tetapi model-model CML fase kronis yang tidak cukup. Hingga saat ini, tidak ada galur sel dari CML fase kronis yang telah ditetapkan, karena tidak ada galur sel yang dapat diperoelh dari sumsum tulang manusia normal. Bahkan upayaupaya untuk mengabadikan sel-sel B Ph-positif dari para pasien pada fase penyakit kronis tidak berhasil karena galur-galur tersebut memiliki usia yang terbatas, berbeda dengan rekannya yang Ph-negatif. Maka dari itu, orang dapat berspekulasi bahwa pembentukan sebuah galur dari seorang pasien penderita CML akan menunjukkan diagnosa penyakit stadium lanjut. Dalam konteks ini, sangat mengejutkan bahwa sebagian besar galur CML manusia tetap tergantung kepada aktivitas kinase tirosin Bcr-Abl karena perkembangbiakan dan kelangsungan hidup mereka, seperti yang ditunjukkan oleh kerentanan mereka terhadap dampak dari inhibitor kinase tyrosine khusus Abl ST1571. Akan tetapi, fenotip galur sel tersebut adalah fenotip leukemia akut.1 Transformasi galur sel yang tergantung kepada faktor menjadi kemandirian faktor pertumbuhan merupakan ciri-ciri lain dari Bcr-Abl, dan pada kenyataanya, oncoprotein lain yang mengandung sebuah kinase tyrosine yang diaktivasi. Walaupun biasanya sulit untuk memperoleh pelepasan BCF-ABL yang stabil pada galur-galur sel yang sebelumnya diabadikan, hal ini relatif mudah diperoleh pada galur yang tergantung
v

kepada faktor, diduga karena pelepasan BCR-ABL merupakan sebuah keuntungan bagi galur sel yang diabadikan sebelumnya tetapi tidak bermanfaat atau bahkan merugikan bagi galur yang tergantung kepada faktor. Tak satupun galur-galur sel yang disebutkan diatas yang mampu melakukan diferensiasi hematopoietik banyak keturunan. Dua strategi menjanjikan dalam mengatasi halangan ini. Sebuah laporan terkini menunjukkan bahwa sel campuran FDCP murin, yang ditransduksi dengan mutan BCR-ABL yang sensitif terhadap suhu, menjadi bebas faktor secara parsial pada suhu yang mengijinkan, mirip dengan CML fase kronis. Mereka mempertahankan kapasitas diferensiasi akhir, yang hampir sama dengan sel CML fase kronis. Pendekatan lainnya adalah kajian tentang sel batang embrionik (ES) dengan BCR-ABL. Dalam sebuah sistem percobaan semacam itu, ada kemungkinan untuk mereproduksi salah satu ciri pokok dari penyakit klinis pada model tersebut, yaitu perluasan kompartmen myeloid dengan mengorbankan kompartmen erythroid. Yang menarik, peningkatan jumlah sel keseluruhan pada sel-sel ES yang ditransduksi BCR-ABL diketahui berasal dari peningkatan perkembangbiakan walaupun ada sedikit efek terhadap apoptosis, temuan lain yang sejalan dengan pengamatan pada sel Ph-positif pokok. Pada sistem ini, sebuah lapisan sel stromal digunakan dimana sel-sel ES yang dilepaskan dari faktor inhibitor leukemia (LIF) mengalami diferensiasi menjadi sel hemangioblast dan menjadi hematopoietik. Hal ini dapat menjelaskan mengapa hasil tersebut tidak sebanding dengan penelitian yang lain, dimana BCR-ABL mengakibatkan berkurangnya pembentukan badan-badan embrio bersama-sama dengan meningkatnya hasil dari semua jenis progenitor hematopoietik. Namun dalam penelitian lain, sel-sel yang ES yang diubah menjadi BCR-ABL yang ditransplantasi kepada mencit yang disinari menimbulkan sebuah sindrom leukemia dengan banyak ciriciri CML. Jika dikembangkan lebih lanjut, model-model tersebut mungkin mampu mempertahankan keuntungan yang besar dari galur-galur sel
vi

kemudahan manipulasi mereka sementara pada saat yang sama memindahkan sistem in vitro lebih mendekati penyakit klinis. Dengan mengingat semua keberatan tersebut, tidak ada keraguan bahwa kajian tentang galur-galur sel memberikan kontribusi kepada pemahaman kepada pemahaman kita tentang CML. Terutama, banyak protein yang berinteraksi dengan Bcr-Abl diidentifikasi pada galur sel Phpositif, dimana mereka dilepaskan secara lebih berlimpah daripada sel-sel primer. 3) Sel-sel primer Penelitian tentang materi pasien dan perbandingannya dengan sel-sel progenitor hematopoietic normal tentu saja merupakan standard emas dari penelitian CML, terutama untuk fase kronis penyakit ini. Sebagian besar data mengacu kepada sifat seluler dari sel CML versus sel-sel normal, seperti klonogenisitas atau ketaatan terhadap stroma sumsum tulang; untuk memberikan catatan yang lengkap mengenai biologi seluler CML diperlukan sebuah tinjauan sendiri. Salah satu masalah utama saat meneliti sel-sel primer melekat pada sifat sel fase kronis mereka cenderung dewasa saat ditempatkan pada kultur. Maka dari itu, jendela waktu untuk penelitian in vitro sempit dan perluasan sel yang sangat primitif, populasi yang paling tidak lazim namun paling menarik, sulit dan membawa resiko untuk memperkenalkan perubahan-perubahan nonfisiologi. Pada akhirnya, hasilnya tidak terpercaya kecuali jika populasi sel yang ditentukan dengan jelas seperti sel-sel CD34+ diteliti. Secara umum, masalah ini dapat diatasi dengan memperkenalkan vector pelepasan BCR-ABL retrovirus kepada sel sumsum tulang primer murine atau manusia. Sebuah contoh yang mengejutkan tentang seberapa bermanfaat perbandingan populasi-populasi sel primer adalah penelitian tentang protein yang difosforilasi oleh tyrosine pada sel-sel CD34+. Penelitian ini mengarah kepada identifikasi p62DOK 74;173 dan SHIP2132 sebagai mediator
vii

transformasi yang ditimbulkan oleh Bcr-Abl. Contoh lainnya adalah identifikasi CRKL sebagai protein utama yang difosforilasi oleh tyrosine pada neutrofil CML. Kemungkinan terkini untuk menghentikan aktivitas kinase tyrosine Bcr-Abl pada galur-galur sel dan sel-sel primer dengan ST1571 memberikan kesempatan untuk meneliti pengaruh gen BCR-ABL pada saat dilepaskan dari promotor BCR alami pada tingkat fisiologis. Hal ini tentu saja merupakan kelebihan dibandingkan dengan sistem sel yang ditransduksi; akan tetapi kekurangannya adalah bahwa efek-efek yang terkait dengan penghambatan kinase KIT dan PDGFR , dan mungkin kinase tyrosine lain yang tidak diidentifikasi, tidak dapat dicegah.1,4

Gambar 1. Translocation of t(9;22)(q34;q11) in CML B. Model-Model Hewan Sejauh ini, belum ada binatang selain mencit yang telah digunakan untuk penelitian CML secara in vivo. Berbagai pendekatan telah dilakukan.
viii

Pencangkokan galur sel transformasi BCR-ABL pada mencit syngeneic. Galur sel yang tergantung kepada faktor murin seperti 32D yang ditransduksi dengan BCR-ABL mengakibatkan leukemia agresift apabila ditransplantasi pada resipien yang syngeneic. Ini merupakan sebuah model in vivo yang bagus untuk menguji kemanjuran obat-obatan baru, seperti inhibitor kinase tyrosine ST1571, in vivo. Pencangkokan mencit yang kekurangan kekebalan dengan sel-sel positif BCR-ABL manusia. Galur-galur sel yang diperoleh dari krisis blast CML manusia relatif mudah dikembangkan pada mencit imunodefisiensi gabungan yang parah (SCID). Penyebaran sel leukemia cukup mirip dengan penyakit manusia, yaitu mereka berumah di sumsum tulang dan darah tepi sebelum mereka mengalami metastasi menjadi jaringan non-hematopoietic. Hingga 10% sel manusia dapat dideteksi pada sumsum tulang penerima dan menunjukkan diferensiasi multilineage. Sel-sel tersebut khususnya Ph-positif pada kebanyakan kasus, berbeda dengan sel-sel yang dicangkok pada mencit SCID. Hal ini dapat dikaitikan dengan alasan-alasan klinis tetapi juga dapat merefleksikan sebuah perbedaan sejati antara galur-galur mencit yang berbeda. Model mencit transgenic. Upaya-upaya untuk menggunakan mencit transgenic sebagai model CML sudah dilakukan sejak akhir tahun 1980an, ketika cDNA panjang penuh dari BCR-ABL belum tersedia dan sebuah konsep buatan tentang rantai BCR manusia melebur dengan v-abl digunakan. Sejak saat itu sejumlah penelitian telah diterbitkan yang dengan jelas membuktikan potensi BCR-ABL. Beberapa promotor yang berbeda digunakan untuk mengarahkan pelepasan jaringan sasaran yang diharapkan. Akan tetapi banyak masalah yang ditemui. Yang pertama, Bcr-Abl memiliki efek beracun terhadap embryogenesis, mungkin akibat dari efek sitostatis pada jaringan nonhematopoietic. Masalah yang kedua dengan mencit transgenik adalah abhwa varian BCR-ABL P210 yang relevan dengan CML sulit untuk diteliti karena hal ini kurang efisien dalam menimbulkan leukemia daripada P190. Sebuah temuan yang lagi-lagi dipertegas dalam sebuah penelitian terkini.
ix

Masalah yang ketiga dan yang paling penting adalah bahwa jenis leukemia yang berkembang pada mencit-mencit tersebut akut dan memiliki fenotip limfoid B maupun T, tanpa menghiraukan apakah mereka muncul pada binatang transgenik P190 atau P210. Transduksi sel sumsum tulang murin dengan retrovirus BCR-ABL. Pada tahun 1990, beberapa kelompok melaporkan bahwa sindrom myoproliferatif seperti CML dapat ditimbulkan ketika sumsum yang terinfeisi P210BCR-ABL ditransplantasi pada resipien syngeneic. Transplantasi kepada resipien sekunder seringkali mengakibatkan penyakit yang identik sedangkan beberapa mencit menderita leukemia akut dengan fenotip sel T atau B, yang mirip dengan perkembangan krisis blast limfoid pada penyakit klinis. Klonalitas ditunjukkan pada banyak kasus. Sekitar seperempat mencit menunjukkan penyakit myeloproliferatif, sedangkan penerima-penerima lain menderita penyakit-penyakit hematologi berbahaya lainnya, seperti tumor makrofag, BALL, T-All, dan eritroleukemia. Berdasarkan penelitian awal ini, peningkatanpeningkatan utama pada sistem transplantasi-transduksi telah dilakukan dalam beberapa tahun terakhir. Cadangan-cadangan retrovirus BCR-ABL titer tinggi dapat diproduksi dengan cepat oleh transfeksi galur paket sementara; kondisi kultur telah diperbaiki, dan virus sel batang LTR murin telah diperkenalkan yang memungkinkan dilepaskannya BCR-ABL secara lebih efisien pada sel target yang diinginkan. Namun, transplantasi-transduksi sumsum tulang secara tepat mereproduksi CML manusia, dan peningkatan lebih lanjut akan terjadi dalam waktu dekat.1 III. TINJAUAN BIOMOLEKULER CML A. BCR-ABL 1. Anatomi Molekul Keberadaan gen ABL pada 9q34 dapat muncul di manapun pada ujung 5-nya yang merupakan sebuah tempat yang luas, yakni lebih dari 300 kb, dengan hulu ekson alternatif Ib pertamanya, hilir ekson alternatif Ia yang kedua atau lebih sering berada diantara keduanya (Gambar 2).
x

Gambar 2. Lokasi titik potong gen BCR dan ABL, serta struktur Chimeric mRNAs. Tanpa menghiraukan lokasi sesungguhnya, sambungan transkrip hibrid primer menghasilkan sebuah molekul mRNA dimana rantai BCR digabungkan dengan ekson ABL a2. Berbeda dengan ABL, titik potong BCR pada 1 dari 3 disebut wilayah gugus titik potong (bcr). Pada kebanyakan pasien penderita CML dan pada sekitar sepertiga pasien penderita leukemia limfoblastik akut Ph-positif (ALL), pemutusan terjadi pada daerah 5,8 kb yang menjangkau ekson BCR 12-16 yang pada awalnya disebut sebagai ekson b1-b5, ditentukan sebagai wilayah gugus titik potong utama (M-bcr). Karena penyambungan alternatif, transkrip fusi dengan sambungan b2a3 atau b3a2 dapat dibentuk. Sebuah protein chimeric 210-kd (P210BCR-ABL) diperoleh dari mRNA ini. Pada pasienpasien lain yang menderita ALL dan jarang pada pasien penderita CML, yang diciri-cirikan secara klinis oleh monositosis yang menonjol, titik-titik potong selanjutnya merupakan hulu pada wilayah 54,4-kb antara ekson BCR alternatif e2 dan e2 disebut wilayah gugus titik potong minor (mbcr). e1a2 mRNA yang dihasilkan ditranslasi ke dalam sebuah protein 190-kd (P190BCR-ABL). Baru-baru ini, sebuah wilayah gugus titik potong yang ketiga (-bcr) teridentifikasi di hilir dari ekson 19, yang menghasilkan sebuah protein fusi 230-kd (P230BCR-ABL) yang terkait dengan leukemia neutrofil kronis Ph-positif, walaupun tidak terdapat pada semua kasus. Jika teknik sensitif seperti reaksi rantai polymerase transkrips terbalik bersarang digunakan, transkrip dengan fusi (peleburan)
xi

e1a2 dapat dideteksi pada banyak pasien dengan CML P210BCR-ABL. Tingkat pelepasan transkrip tipe P190 yang rendah dibandingkan dengan P210 ini mengindikasikanbahwa mereka paling mungkin disebabkan oleh penyambungan alternatif mRNA. Pada kasus yang jarang, dapat terjadi pada sambungan-sambungan lain seperti b2a3, b3a3, e1a3, e6a2, atau e2a2, telah dilaporkan pada pasien penderita ALL dan CML. Percobaanpercobaan ini memberikan informasi mengenai fungsi berbagai bagian BCR dan ABL pada protein fusi onkogenik. Yang menarik, ABL ekson 1, bahkan meskipun ditahan pada fusi genom, tidak pernah menjadi bagian dari mRNA chimeric. Maka dari itu, ABL ekson 1 harus disambungsambungkan selama pemrosesan mRNA primer; mekanisme yang mendasari keistimewaan yang tampak ini tidak diketahui. Berdasarkan pengamatan bahwa bagian ABL pada protein chimeric hampir selalu konstan apabila porsi Bcr sangat bervariasi, maka orang dapat menyimpulkan bahwa ABL mungkin membawa prinsip transformasi sedangkan ukuran rantai Bcr yang berbeda dapat menentukan fenotip penyakit tersebut. Dalam mendukung gagasan ini, jarang kasus ALL yang melepaskan sebuah gen fusi TEL-ABL, yang mengindikasikan bahwa moiety (separuh) BCR pada prinsipnya dapat digantikan dengan rantai lain dan masih menyebabkan leukemia. Yang menarik, sebuah peleburan antara TEL(ETV6) dengan gen ARG yang terkait dengan ABL belakangan ini telah dijelaskan pada seorang pasien penderita AML. Walaupun ketiga protein peleburan Bcr-ABL semuanya menimbulkan penyakit yang mirip dengan CML pada mencit, mereka memiliki perbedaan dalam kemampuan untuk menimbulkan leukemia limfoid, dan berbeda dengan P190 dan P210, transformasi pada kebebasan faktor pertumbuhan P230BCR-ABL tidak sempurna, yang sesuai dengan perkembangan klinis leukemia neutrofil kronis positif P230 yang relatif jinak.1,5 Salah satu pertanyaan yang paling menggugah rasa ingin tahu berkaitan dengan kejadian-kejadian yang bertanggung jawab atas translokasi kromosom di tempat pertama. Dari penelitian-penelitian
xii

epidemiologi, diketahui bahwa keterpaparan terhadap radiasi ionisasi (IR) merupakan sebuah faktor resiko untuk CML. Transkrip BCR-ABL dapat ditimbulkan pada sel-sel hematopoietik oleh keterpaparan terhadap IR secara invitro, translokasi yang ditimbulkan oleh IR semacam itu mungkin bukan merupakan kejadian acak melainkan mungkin tergantung kepada latarbelakang seluler dan kepada gen-gen tertentu yang dilibatkan. Dua laporan terkini menunjukkan bahwa jarak fisik antara gen BCR dengan ABL pada limfosit manusia dan sel-sel CD34+ lebih pendek daripada yang mungkin diperkirakan menurut kesempatan; kedekatan fisik semacam itu dapat menguntungkan peristiwa-peristiwa translokasi yang melibatkan 2 gen. Akan tetapi, keberadaan translokasi BCR-ABL pada sebuah sel hematopoietik saja tidak cukup untuk menyebabkan leukemia karena transkrip peleburan BCR-ABL tipe M-Bcr dan m-bcr dapat dideteksi pada frekuensi yang rendah di dalam darah banyak orang sehat. Tidak jelas mengapa leukemia Ph-positif berkembang pada sebagian kecil orang. Bukti tidak langsung bahwa mekanisme semacam itu mungkin relevan datang dari pengamatan bahwa tipe HLA tertentu melindungi dari CML. Kemungkinan yang lainnya adalah bahwa BCR-ABL bukan merupakan satu-satunya luka genetika yang diperlukan untuk menimbulkan CML fase kronis. Sesungguhnya pola G-6PD yang miring dari isoenzim telah dideteksi pada galur sel-B yang mengubah virus Epstein-Barr Ph-negatif yang diperoleh dari pasien-pasien penderita CML, yang mengesankan bahwa keadaan patologi Ph-negatif dapat mendahului kemunculan kromosom Ph.1,5 2. Fungsi Fisiologi BCR-ABL Gen ABL adalah homolog oncogen v-ABL pada manusia yang dibawa oleh virus leukemia murin Abelson (A-MuLV), dan hal ini menyandikan sebuah kinase tirosin non reseptor. ABL manusia adalah sebuah protein 145-kd yang dilepaskan dimana-mana dengan 1 isoform yang timbul dari alternatif sambungan ekson pertama. Beberapa domain struktural dapat
xiii

ditentukan didalam protein (Gambar3). Tiga domain homolog SRC (SH1SH3) diletakkan kearah terminal NH2. Domain SH1 membawa fungsi tirosin kinase, sedangkan domain SH2 dan SH3 memungkinkan terjadinya interaksi dengan protein-protein lain. Rantai-rantai yang kaya akan Proline pada pusat molekul nantinya dapat berinteraksi dengan domain SH3 protein lain seperti Crk.

Gambar 3. Struktur protein ABL Beberapa fungsi yang cukup berbeda telah dikaitkan dengan ABL, dan gambar yang muncul bersifat kompleks. Maka dari itu, protein ABL normal dilibatkan dalam pengaturan siklus sel, dalam respon sel terhadap tekanan genotoksik, dan dalam penyebaran informasi tentang lingkungan sel melalui sinyal integrin. Secara keseluruhan, tampaknya protein ABL memainkan sebuah peran yang kompleks sebagai sebuah modul seluler yang menggabungkan sinyal-sinyal dari berbagai sumber ekstraseluler dan intraseluler dan yang mempengaruhi keputusan-keputusan dalam kaitannya dengan siklus sel dan apoptosis. Akan tetapi harus ditekankan bahwa banyak data yang hanya didasarkan kepada penelitian-penelitian in vitro pada fibroblast, bukan sel-sel hematopoetik, dan masih bersifat kontroversial.

Gambar 4. Struktur protein BCR


xiv

Protein Bcr 160-kd, seperti halnya ABL, dilepaskan dimana-mana. Beberapa motif struktural dapat dilukiskan (Gambar4). Ekson N-terminal yang pertama mengenkode kinase serine-threonine. Satu-satunya substrat dari kinase yang diidentifikasi selama ini adalah Bap-1, salah satu anggota dari 14-3-3 famili protein, dan mungkin Bcr sendiri. Sebuah domain kumparan bergulung pada N-terminus Bcr memungkinkan terbentuknya dimmer secara in vitro. Pusat molekul berisi sebuah wilayah dengan domain seperti dbl dan homologi pleckstrin (PH) yang merangsang pertukaran guanidinie trifosfat (GTP) dengan guanidine difosfat (GDP) pada factor pertukaran guanidine Rho. C-terminus memiliki aktivitas GTPase untuk Rac, sebuah GTPase yang kecil dari superfamily Ras yang mengatur polimerisasi aktin dan aktivitas oksidase NADPH pada sel-sel fagosit. Selain itu, Bcr dapat difosforilasi pada beberapa residu tirosin, khususnya tirosin 177, yang mengikat Grb-2, sebuah molekul adaptor penting yang dilibatkan dalam aktivasi jalur Ras. Walaupun data mendukung peran Bcr dalam transduksi sinyal, namun relevansi biologis mereka yang sesungguhnya masih harus ditentukan. Fakta bahwa mencit knockout BCR aktif dan fakta bahwa meningkatnya ledakan oksidasi pada neutrofil selama ini merupakan cacat yang diketahui mungkin merefleksikan kelebihan jalur sinyal. Jika ada peran untuk Bcr dalam patogenesis leukemia Ph-positif, maka hal ini tidak jelas terlihat karena kejadian dan biologi leukemia yang disebabkan oleh P190BCR-ABL adalah sama pada mencit BCR-/- seperti pada mencit jenis liar.1 B. PATOFISIOLOGI 1. Karakteristik protein BCR-ABL Analisis mutasi mengidentifikasi beberapa ciri dalam protein chimeric yang penting bagi transformasi seluler (Gambar 5). Pada ABL mereka meliputi SH1, SH2, dan domain pengikat aktin (gambar 3), dan pada Bcr mereka meliputi sebuah motif kumparan bergulung yang terkandung pada
xv

xvi

Anda mungkin juga menyukai