Anda di halaman 1dari 8

OTOPSI VERBAL SEBAGAI ALTERNATIF OTOPSI KONVENSIONAL

Oktober 5, 2010 galihismiMakalah2 Komentar Shinta Karina Y., S.Ked., Achmad Yunus, S.Ked., Christina Meilani S., S.Ked., Uswatun Khasanah, S.Ked., Galih Nur Ismiyati,S.Ked., Nerissa Tamara P., S.Ked.* dr. Bendrong Moediarso, Sp. F, S.H. ** Departemen/Instalasi Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal FK UNAIR / RSUD Dr. Soetomo Surabaya ABSTRACT Globally, there are only a third of reliable cause of death statistics are registered. A lack of vital registration to provide a representative data mostly found in development countries. One of new technique in death registration system recently improved and used in many countries is verbal autopsy. Verbal autopsy is a method to identify cause of death through an interview with the caregivers about the sign and symptoms, using a standarized questionaire. The outputs of these questionaires are ICD-10 classified caused diseases. The main purpose of verbal autopsy is to identify a level and a cause of death in a community. The conclusion is that verbal autopsy could be an alternative solution to improve the quality of death registration system in development countries, especially Indonesia. Keyword: Autopsy, Verbal autopsy, Conventional autopsy

PENDAHULUAN Menurut WHO, data statistik vital terdiri dari angka kematian dan angka kelahiran[1]. Data statistik ini, khususnya angka kematian, dapat digunakan untuk menentukan masalah-masalah kesehatan, menentukan prioritas masalah, sehingga dapat juga digunakan untuk menentukan intervensi dalam bidang kesehatan masyarakat sebagai penyelesaiannya[2]. Akan tetapi, secara global, hanya sepertiga dari jumlah seluruh kematian di dunia yang tercatat berdasarkan umur, jenis kelamin, dan penyebab kematian[3], sedang 2/3 negara tidak tercatat berdasarkan umur, jenis kelamin, dan penyebab kematian. Keadaan ini paling sering ditemui pada negara-negara berkembang.Masih banyaknya penduduk yang berada di garis kemiskinan menyebabkan

banyaknya kematian yang terjadi di luar fasilitas kesehatan, sehingga sistem pencatatan kematian menjadi tidak lengkap. Perbaikan dalam sistem pencatatan kematian ini merupakan tantangan untuk mencari teknik yang baru, yang cukup representatif, dan dapat dipercaya dalam mencatat dan menentukan penyebab kematian[3]. Salah satu teknik yang saat ini sedang dikembangkan dan mulai digunakan di beberapa negara adalah otopsi verbal[3]. Otopsi verbal adalah metode yang digunakan untuk menentukan jumlah dan penyebab kematian seseorang dengan cara melakukan wawancara dengan keluarga yang merawat mengenai gejala dan tanda-tanda yang muncul sebelum meninggal[4]. Otopsi verbal telah digunakan dalam surveilen kematian yang berbasis masyarakat (communitybased mortality surveillance) dan dalam penelitian.Penggunaan otopsi verbal ini diyakini dapat memperkirakan penyebab kematian secara valid di beberapa tempat, bahkan metode ini telah diintegrasikan menjadi fungsi rutin di beberapa instansi kesehatan lokal.Pentingnya perbaikan sistem pencatatan kematian di suatu negara, khususnya Indonesia, membuat wacana ini dapat dijadikan pertimbangan untuk diawalinya penerapan verbal otopsi di Indonesia, demi kemajuan negara kita dalam mengahadapi era globalisasi ini. I. OTOPSI KONVENSIONAL Otopsi (juga dikenal pemeriksaan kematian atau nekropsi) adalah investigasi medis jenazah untuk memeriksa sebab kematian.Kata otopsi berasal dari bahasa Yunani yang berarti lihat dengan mata sendiri. Nekropsi berasal dari bahasa Yunani yang berarti melihat mayat[5]. Otopsi konvensional ini terdiri atas otopsi anatomis, klinis, forensik.Otopsi anatomis dilkukan dengan tujuan pembelajaran. Ada beberapa syarat yang mendukung untuk dilakukannya otopsi anatomis, sesuai dengan yang tercantum dalam UU RI No.36 Tahun 2010 pasal 120, (1) Untuk kepentingan pendidikan di bidang ilmu kedokteran dan biomedik dapat dilakukan bedah mayat anatomis di rumah sakit pendidikan atau di institusi pendidikan kedokteran. (2) Bedah mayat anatomis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dilakukan terhadap mayat yang tidak dikenal atau mayat yang tidak diurus oleh keluarganya, atas persetujuan tertulis orang tersebut semasa hidupnya atau persetujuan tertulis keluarganya. (3) Mayat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus telah diawetkan, dipublikasikan untuk dicarikan keluarganya, dan disimpan sekurang-kurangnya 1 (satu) bulan sejak kematiannya[6]. Frekuensi pelaksanaan otopsi anatomis saat ini sudah mulai menurun sehingga dilakukan alternatif berupa virtual otopsi. Otopsi klinis adalah adalah pemeriksaan dengan cara pembedahan terhadap mayat untuk mengetahui dengan pasti penyakit atau kelainan yang menjadi sebab kematian. Otopsi klinik ini sangat penting untuk perkembangan dunia kedokteran[7]. Adapun syarat otopsi klinik, sesuai dengan yang tercantum dalam UU RI No.36 Tahun 2010 pasal 119,

(1) Untuk kepentingan penelitian dan pengembangan pelayanan kesehatan dapat dilakukan bedah mayat klinis di rumah sakit. (2) Bedah mayat klinis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditujukan untuk menegakkan diagnosis dan/atau menyimpulkan penyebab kematian. (3) Bedah mayat klinis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan atas persetujuan tertulis pasien semasa hidupnya atau persetujuan tertulis keluarga terdekat pasien. (4) Dalam hal pasien diduga meninggal akibat penyakit yang membahayakan masyarakat dan bedah mayat klinis mutlak diperlukan untuk menegakkan diagnosis dan/atau penyebab kematiannya, tidak diperlukan persetujuan[6]. Kelebihan dari otopsi konvensional adalah untuk memperjelas, mengkonfirmasi, mengklarifikasi, dan mengkoreksi diagnosis antemortem; menemukan penyakit baru dan menjelaskannya; evluasi tes diagnostik terbaru, teknik operasi baru, dan obat baru; investigasi penyakit akibat lingkungan ataupun pekerjaan dan berperan dalam penelitian medis maupun epidemiologi. Sedangkan kelemahan dari otopsi konvensional adalah sulitnya mendapat persetujuan dari keluarga terdekat dan cukup mengeluarkan biaya[9]. Otopsi klinis ini sangat berarti untuk penelitian yang bermanfaat bagi perkembangan ilmu kedokteran, namun frekuensi pelaksanaan otopsi klinik ini di RSUD Dr. Soetomo masih 0 %. Otopsi forensik adalah pemeriksaan mayat untuk peradilan yang dilakukan atas dasar perintah yang berwajib untuk kepentingan peradilan, karena peristiwa yang diduga merupakan tindak pidana. Hal ini diatur dalam UU RI No. 36 pasal 122, (1) Untuk kepentingan penegakan hukum dapat dilakukan bedah mayat forensik sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (2) Bedah mayat forensik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh dokter ahli forensik, atau oleh dokter lain apabila tidak ada dokter ahli forensik dan perujukan ke tempat yang ada dokter ahli forensiknya tidak dimungkinkan[6]. Otopsi forensik di Indonesia masih memiliki kendala di Indonesia, yaitu adat yang melarang perusakan jenazah. Apabila otopsi forensik ini tidak dilakukan, akan berdampak terhadap kekosongan hukum. Saat ini terdapat alternatif baru yang dikembangkan di dunia Internasional yaitu otopsi verbal. Namun perlu diteliti lebih lanjut mengenai pelaksanaan otopsi verbal ini apakah dapat digunakan untuk kepentingan peradilan. II. OTOPSI VERBAL Otopsi verbal adalah suatu metode untuk mengetahui penyebab kematian melalui wawancara dengan anggota keluarga mengenai tanda-tanda dan gejala-gejala yang muncul sebelum seseorang meninggal, dengan menggunakan kuestioner yang telah terstandar[15].

Tujuan utama otopsi verbal adalah untuk mengidentifikasi jumlah dan penyebab kematian pada komunitas di mana tidak terdapat atau kurangnya pencatatan angka kematian berdasar sertifikasi medik. Selain itu otopsi verbal juga dapat memberikan data tentang karakteristik dasar (usia, jeni kelamin, pendidikan, dll) orang yang meninggal serta faktor-faktor yang berkontribusi terhadap kematian, sehingga instansi kesehatan suatu negara dapat menentukan prioritas dan menentukan intervensi yang tepat[9]. Sumber yang digunakan dalam otopsi verbal adalah kuesioner yang dibagi berdasarkan 3 kelompok umur (< 4 minggu, 4 minggu-14 tahun, > 15 tahun), dengan output berupa penyebab kematian yang telah diklasifikasikan menurut ICD-10[10]. Langkah-langkah pelaksanaan proses otopsi verbal pada kematian diantaranya adalah: 1. Menyiapkan proses otopsi verbal Otopsi verbal dilaksanakan di masyarakat maka perlu dilakukan kerjasama kepada masyarakat, selain itu diberikan uraian singkat tentang tujuan kegiatan ini. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. Mengidentifikasikan berbagai kasus kematian Menentukan sumber-sumber informasi Mengembangkan kuesioner otopsi verbal Memilih dan melatih petugas wawancara Memilih responden Membuat mekanisme proses klasifikasi berbagai penyebab medik Membuat mekanisme proses klasifikasi berbagai faktor penyumbang Menggunakan hasil temuan untuk melaksanakan tindak lanjut[11]

Responden yang tepat pada pelaksanaan otopsi verbal adalah seorang responden (keluarga, tetangga dll) yang mengetahui tentang informasi kematian jenazah[11]. Responden ini diharapkan dapat memberikan jawaban kuosiner yang handal dan akurat serta mengetahui pasti tanda dan gejala yang dialami oleh jenazah. Waktu wawancara otopsi verbal tidak ada batasnya, namun otopsi verbal lebih baik dilakukan sesegera mungkin, karena ini sangat mempengaruhi jawaban kuosioner[12]. Semakin lama waktu wawancara dilakukan akan mempengaruhi recall responden, sehingga akan sangat mempengaruhi hasil dari kuosioner. Menurut berbagai penelitian bahwa lamanya periode untuk mengingat sesuatu (recall period) adalah sangat bervariasi. Di GuineaBissau , otopsi verbal dilakukan hingga 8 tahun sejak terjadinya kematian lamanya periode tersebut tidak mempengaruhi informasi medic yang dilaporkan. Namun tidak dianjurkan untuk memasukkan periode ingatan ini dalam batasan lima tahun[11]. Pada proses otopsi verbal faktorfaktor (alat) yang harus di perhatikan adalah:
y

Kuosioner verbal otopsi o Bahasa o Norma dan konsep biomedis o Jenis responden dan pewawancara o Periode recall Tinjauan dokter

y y

Ahli algoritma standar Klasifikasi penyebab kematian[1]

Standard kuesioner verbal otopsi berisi:


y y y y y y

aSebuah ID, nomor referensi untuk kuesioner otopsi verbal yang telah selesai dilakukan Tanggal, tempat dan waktu wawancara, dan identitas pewawancara Kunci karakteristik responden Waktu, tempat dan tanggal kematian Nama, jenis kelamin dan usia almarhum Penyebab dari kematian dan kejadian yang menyebabkan mati menurut responden[11]

Standard kuesioner otopsi verbal yang lain adalah:


y y y y

Sejarah kondisi medis dikenal sebelumnya (almarhum atau ibu); Sejarah cedera atau kecelakaan; Perawatan dan pelayanan menggunakan kesehatan selama periode sakit Data abstrak dari sertifikat kematian, kehamilan atau ibu dan kartu kesehatan klinik anak atau catatan medis dan bukti dokumen yang relevan di tingkat rumah tangga.[11]

Keuntungan otopsi verbal adalah:


y y y

Pada keadaan dimana sebagian besar kematian terjadi di rumah, penemuan penyebab medik kematian hanya dapat diperoleh melalui otopsi verbal. Otopsi verbal merupakan eksplorasi berbagai faktor medik dan non medik terhadap berbagai kejadian yang mengarah pada kematian Otopsi verbal memberi kesempatan unik untuk menyertakan masukan dari pihak keluarga dan masyarakat, menyangkut kualitas pelayanan kesehatan dalam upaya memperbaiki layanan kesehatan Otopsi verbal memberi informasi kepada tokoh masyarakat dan berbagai pihak yang menginginkan perbaikan kesehatan untuk menuntut perubahan atau perbaikan praktik atau sumberdaya yang terkait dengan aspek budaya, masyarakat dan pendidikan[11]

Keterbatasan otopsi verbal adalah:


y

Kurangnya realibitas dalam menentukan penyebab medik kematian

Kualitas data yang diperoleh melalui otopsi verbal sangat tergantung dari persiapan yang matang, ujicoba materi dan uji kesesuaian kuosioner, pelatihan dan penyediaan petugas lapangan dan pengelolaan data.
y

Adanya unsur subyektivitas dalam menentukan faktor-faktor penyebab kematian

Subyektifitas dalam menginterpretasikan berbagai faktor penyumbang, harusnya tidak mengendurkan upaya untuk mengidentifikasi hal tersebut. Otopsi verbal lebih bertujuan

mengidentifikasikan area umum yang diperbaiki bukan untuk membuat indikator dalam format kuantitas.
y

Validitas yang belum teruji pada metode otopsi verbal

Informasi tentang penyebab kematian yang diperoleh dari orang awam tidak selalu sesuai dengan yang tertulis dalam surat keterangan kematian. Hingga kini baru ada satu kajian tentang upaya validasi penyebab kematian melalui otopsi verbal, sayangnya kajian ini dilakukan di rumah sakit sehingga tidak mungkin dipakai untuk menyatakan kesetaraan validitas otopsi verbal.
y

Berpotensi untuk pelaporan lebih rendah atau tinggi dari yang sebenarnya dari kematian dan penyebab khusus lainnya.[11]

Otopsi verbal di Indonesia diatur dalam Peraturan Bersama Menteri Dalam Negeri dan Menteri Kesehatan NOMOR 15 TAHUN 2010N 2009, NOMOR 162 /MENKES/PB/I/2010 pasal 6: (1) Setiap kematian yang terjadi diluar fasilitas pelayanan kesehatan harus dilakukan penelusuran penyebab kematian. (2) Penelusuran penyebab kematian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan metode autopsi verbal. (3) Autopsi verbal sebagimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan oleh dokter. (4) Dalam hal tidak ada dokter sebagimana dimaksud pada ayat (3) autopsi verbal dapat dilakukan oleh bidan atau perawat yang terlatih. (5) Autopsi verbal sebagaimana dimaksud pada ayat (3) atau ayat (4) dilakukan melalui wawancara dengan keluarga terdekat dari almarhum atau pihak lain yang mengetahui peristiwa kematian. (6) Pelaksanaan autopsi verbal sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dikoordinasikan oleh fasilitas pelayanan kesehatan pemerintah setempat. KESIMPULAN Otopsi verbal dapat dijadikan suatu alternatif terhadap sistem pencatatan angka kematian yang kurang baik pada suatu negara khususnya di Indonesia. Hal ini disebabkan, selain dapat mengidentifikasi jumlah dan penyebab kematian, otopsi verbal juga dapat memberikan data tentang karakteristik dasar seperti usia, jenis kelamin, pendidikan, dll orang yang meninggal, serta faktor-faktor yang berkontribusi terhadap kematian sehingga instansi kesehatan suatu negara dapat menentukan prioritas dan menentukan intervensi yang tepat. UCAPAN TERIMA KASIH

Kami ucapkan terima kasih kepada pembimbing refrat kami, dr. Bendrong Moediarso, Sp. F, S. H., kepada Kepala Departemen dan Kepala Instalasi Kedokteran Forensik FK UNAIR-RSUD Dr. Soetomo Surabaya, dan kepada pihak-pihak lain yang ikut berkontribusi dalam pembuatan refrat ini.

REFERENSI 1. Shibuya, Kenji. 2007. What is the best way to improve the information on levels and causes of deaths in the next couple of years? http://www.searo.who.int/LinkFiles/2007_Shibuya.pdf. diakses tanggal 15 Agustus 2010 2. Ruzicka LT, Lopez AD: The use of cause-of-death statistics for health situation assessment: national and international experiences. World Health Stat Q1990 ,43(4):249-58. 3. Lopez AD, Ahmad O, Guillot M, Ferguson BD, Salomon J, et al. (2002) World mortality in 2000: Life tables for 191 countries. Geneva: World Health Organization. 800 p. 4. Lulu, Kidest; Berhane, Yemane. 2005. The use of simplified verbal autopsy in identifying caues of adult death in a predominantly rural population in Ethiopia. http://www.biomedcentral.com/1471-2458/5/58. diakses tanggal 14 Agustus 2010 5. Apuranto, Hariadi., dkk. 2009. Ilmu Kedokteran Forensik & Medikolegal (hal.205-208). Surabaya: Departemen Ilmu Kedokteran Forensik & Medikolegal FK UNAIR 6. ILUNI FK83. Undang undang republik indonesia no. 36 tahun 2009 tentang kesehatan. http://webcache.googleusercontent.com/search?q=cache:VRZRhHMNK2EJ:www.ilunifk 83.com/peraturan-dan-perijinan-f16/uu-ri-no-36-tahun-2009-tentang-kesehatant262.htm+UU+RI+36+no+119&cd=3&hl=id&ct=clnk&gl=id. Diakses tanggal 29 Agustus 2010 7. Wikipedia. 2010. Otopsi. http://id.wikipedia.org/wiki/Otopsi diakses tanggal 14 Agustus 2010. 8. McPhee,Stephen J. 1984. Autopsy: Moribound art or vital science?.http://www.amjmed.com/article/0002-9343(85)90470-X/abstract. diakses tanggal 12 Agustus 2010. 9. 10. WHO. 2008. Applying ICD-10 to verbal autopsy. http://www.who.int/whosis/mort/verbal_autopsy_standards3.pdf. diakses tanggal 13 Agustus 2010. 11. WHO. 2008. Development of verbal autopsy standards. http://www.who.int/whosis/mort/verbal_autopsy_standards1.pdf. diakses tanggal 13 Agustus 2010. 12. WHO. 2002. Dibalik angka-pengkajian kematian maternal dan komplikasi untuk mendapatkan kehamilan yang lebih aman. http://www.google.co.id/url?sa=t&source=web&cd=14&ved=0CB0QFjADOAo&url=htt p%3A%2F%2Fwww.ino.searo.who.int%2FLinkFiles%2FLibrary_and_Information_Diba lik_Angka.pdf&rct=j&q=formulir%20otopsi%20verbal&ei=kGxkTIrMCYmquAPZoPG dCg&usg=AFQjCNFJ2-Sc7zGm7Sw8dhsXF7Qw0riJhQ&cad=rja. Diakses tanggal 13 Agustus 2010.

13. WHO. 2008. International standard verbal autopsy questionnaires. http://www.who.int/whosis/mort/verbal_autopsy_standards2.pdf. diakses tanggal 13 Agustus 2010. 14. Depkes.2010.Peraturan bersama menteri dalam negeri dan menteri kesehatan nomor 15 tahun 2010 N 2009, nomor 162/MENKES/PB/I/2010 tentang pelaporan kematian dan penyebab kematian 15. http://webcache.googleusercontent.com/search?q=cache:89aXEphuXFIJ:www.depkes.go .id/downloads/PBM_Menteri_Dalam_Negeri_dan_MENKES_No._162_ttg_Pelaporan_K ematian_Dan_Penyebab_Kematian.pdf+peraturan+menteri+dalam+negeri+pencatatan+k ematian&cd=3&hl=id&ct=clnk&gl=id. Diakses tanggal 22 Agustus 2010

Anda mungkin juga menyukai