Anda di halaman 1dari 3

Kepatuhan HAM Tentukan Reputasi Korporasi

Rabu, 20 October 2010

Pemerintah tak perlu khawatir karena tingkat kepatuhan HAM yang baik justru akan menjadi daya tarik sendiri bagi investor.

y y y y y

1 2 3 4 5

(0 votes, average: 0.0 out of 5)

Saatnya Indonesia menerapkan human rights duedilligence? Foto: Rzk

UU Perseroan Terbatas, No 40 Tahun 2007 menetapkan bahwa korporasi yang berbisnis di Indonesia wajib menjalankan tanggung jawab sosial atau populer disebut corporate social responsibilities (CSR). Tren global yang berkembang, CSR saja ternyata tidak cukup. Kini, korporasi juga dituntut untuk mematuhi nilai serta norma HAM.

James Kallman, Presiden Direktur Mazars Indonesia, mengatakan korporasi dapat berada di dua posisi yang saling bertolak-belakang. Di satu sisi, korporasi yang menjalankan bisnisnya secara berkelanjutan dapat menjadi penggerak yang efektif dalam mewujudkan kesejahteraan bagi negara-negara berkembang. Namun, di sisi lain, korporasi juga dapat dengan mudah terjerat dalam praktik diskriminasi, perusak serta pelaku eksploitasi lingkungan pada kelompok yang lemah.

Dalam beberapa tahun terakhir, korporasi semakin menyadari bahwa pemahaman akan risiko HAM dalam lingkungan dimana mereka beroperasi adalah langkah yang paling penting dalam memastikan kepatuhan, praktik terbaik dan akhirnya pelaksanaan bisnis yang berkelanjutan, ujar James dalam acara seminar bertema Doing Business Sustainably: Human Rights Compliance.

James mengatakan tingkat kepatuhan HAM kini menjadi faktor penting bagi strategi korporasi untuk menjalankan bisnis perusahaan secara berkelanjutan. Pasalnya, kepatuhan HAM dapat memberikan legitimasi

atau i i sosial bagi sebuah korporasi untuk beroperasi Terkait hal ini di beberapa negara mulai diterapkan uji tuntas HAM atau human ri ht due dili en e.

Bernd Sagasser, partner firma hukum Mar uss Partners, mengatakan Organisati n for E onomic Co-operation Development (OEC ) telah meluncurkan sebuah panduan bagi perusahaan multinasional Di dalamnya mengatur tentang kewajiban korporasi menghormati HAM Lengkapnya ketentuan OECD berbunyi:

On a related issue, while promoting and upholding human rights is primaril the responsi ilit of governments, where corporate conduct and human rights intersect enterprises do play a role, and thus MNEs are encouraged to respect human rights, not only in their dealings with employees, but also with respect to others affected by their activities, in a manner that is consistent with host governments international obligations and commitments. The Universal Declaration of Human Rights and other human rights obligations of the government concerned are of particular relevance in this regard.

Masalahnya, kata Bernd, panduan OECD ini dipandang remeh oleh kalangan praktisi hukum. Karena selain wujudnya sebagai soft law, bukan hard law sehingga sulit ditegakkan, panduan ini juga hanya mengikat bagi anggota OECD. Sayangnya, hingga kini Indonesia belum menjadi anggota OECD.

Pelaku pelanggar HAM Dalam forum yang sama, Wakil Ketua Komnas HAM Nur Kholis mengatakan konflik antara korporasi dengan masyarakat yang berujung pada pelanggaran HAM adalah masalah klasik bagi bangsa Indonesia. Nur Kholis tidak asal bicara. Dia menyodorkan data bahwa dari sekitar 5000 pengaduan masyarakat yang mampir di Komnas HAM, 30 persen di antaranya terkait kegiatan bisnis korporasi.

Masalah ini tidak kunjung terselesaikan bahkan sejak era reformasi, tukasnya. Kondisi ini diperburuk oleh sikap pemerintah yang cenderung lebih dekat pada kalangan bisnis ketimbang masyarakat. Pemerintah, kata Nur Kholis, memang berada di posisi yang dilematis yakni antara sangat membutuhkan investasi dengan kewajiban melindungi HAM warga negaranya.

Komnas HAM sendiri selama ini telah berupaya memaksimalkan perannya dalam penanganan kasus dugaan pelanggaran HAM yang terkait korporasi. Namun, tutur Nur Kholis, Komnas HAM hanya dapat melakukan mediasi antara masyarakat dengan korporasi. Kalaupun Komnas HAM melakukan penyelidikan, Nur Kholis ragu hal ini efektif karena muncul pertanyaan apakah korporasi dapat menjadi subjek pelanggaran HAM. Perusahaan semestinya dapat diajukan ke pengadilan kalau terbukti melakukan pelanggaran HAM, tukasnya.

Merujuk pada UU No 39 Tahun 1999 tentang HAM, definisi pelanggaran HAM adalah setiap perbuatan
seseorang atau kelompok orang termasuk aparat negara baik disengaja maupun tidak sengaja, atau kelalaian yang secara melawan hukum mengurangi, menghalangi, membatasi, dan atau mencabut hak asasi manusia seseorang atau

kelompok orang yang dijamin oleh Undang-undang ini, dan tidak mendapatkan, atau dikhawatirkan tidak akan memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan benar, berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku.

Mantan Ketua Komnas HAM Marzuki Darusman berpendapat korporasi dapat dikategorikan sebagai pelaku pelanggar HAM. Argumen ini didasarkan pada UU Perseroan Terbatas yang mengakui korporasi sebagai personalitas hukum (legal personality). Dari sini, Marzuki menyimpulkan bahwa korporasi tunduk pada hukum yang berlaku sebagai legal personalitylainnya. Korporasi bisa menjadi subjek pelanggaran HAM, ujarnya seusai perhelatan seminar.

Menurut Direktur Human Rights Research Center for ASEAN ini, negara berkewajiban menegakkan normanorma HAM termasuk kepada korporasi. Dia menyangkal kekhawatiran bahwa investasor akan lari jika negara menindak tegas korporasi yang melakukan pelanggaran HAM di Indonesia. Sebaliknya, tingkat kepatuhan HAM yang baik justru akan menjadi daya tarik sendiri bagi investor. Lagipula, kata Marzuki, kepatuhan HAM akan berdampak positif bagi reputasi sebuah korporasi.

Opini publik yang akan menilai sendiri, jadi pemerintah jangan takut untuk menegakkan HAM terhadap perusahaan-perusahaan karena komunitas internasional justru melihat tingkat kepatuhan HAM suatu negara, ujar mantan Jaksa Agung era (alm) Abdurrahman Wahid ini.

Anda mungkin juga menyukai