Anda di halaman 1dari 14

BAB IV PEMBAHASAN

Pada kasus, didapatkan seorang anak perempuan (An. DMS) berumur 7 tahun 8 bulan ini, dari anamnesis dengan ibu pasien dan pasien itu sendiri, didapatkan keluhan panas 4 hari, tinggi, terus-menerus, hari ketiga panas anak mulai muncul pembengkakan di daerah pipi di bawah telinga. Benjolan terasa lunak dan besok harinya pasien mulai mimisan, selain mimisan anak juga muntah darah. Mimisan anak cukup banyak kurang lebih 20 cc/hari. Anak terus mimisan hingga dua hari selanjutnya disertai adanya muntah darah yang berupa gumpalan darah segar yang berwarna merah kecoklatan. Anak masih bisa makan dan minum dan tidak ada penurunan nafsu makan. Anak ada bintik-bintik merah pada tubuhnya. Bintik merah tidak hilang dengan peregangan pada kulit. Anak tidak ada sesak ataupun batuk. Teman anak tidak ada yang menderita penyakit serupa dengan anak. Anak tidak ada kejang dan tidak ada riwayat trauma yang mengenai kepala/hidung. Riwayat imunisasi dasar anak lengkap namun anak tidak pernah ada riwayat mendapatkan vaksinasi MMR. Serta tidak ada riwayat kelainan serupa pada keluarga anak. Dari hasil pemeriksaan fisik didapatkan warna kulit pucat, dan ditemukan manifestasi perdarahan berupa purpura pada kaki dan lengan. Mata konjungtiva anemis, terdapat pembesaran di bawah telinga hingga leher, pembengkakan immobile, lunak, bilateral, tidak merah, dan nyeri

pemeriksaan hidung epistaksis, septum deviasi (-), tidak nyeri.abdomen supel,

39

hepar, lien, massa tidak teraba. Thoraks simetris, retraksi (-), Rh(-/-), Wh(-/-),bising jantung (-) Pemeriksaan laboratorium menunjukkan adanya trombositopenia dengan kadar trombosit 16 ribu/ul, Hemoglobin 9,2 mg/dL, dan Leukosit 7,9 ribu/uL. Diagnosis Mumps ditegakkan berdasarkan anamnesis, dan

pemeriksaan fisik. Yaitu adanya demam yang tinggi selama 2 hari dan kemudian besok harinya muncul pembengkakan di bawah telinga hingga leher yang lunak dan bilateral. Di mana pada parotitis epidemika demam akan hilang dalam 1-6 hari sebelum pembengkakan kelenjar hilang. Pembengkakan kelenjar akan menghilang dalam 3-7 hari. Pembengkakan kelenjar ludah submaksilaris sering sulit dibedakan dari adenitis servikal. Namun pembengkakan kelenjar ludah membentuk dua pola yaitu berbentuk lonjong yang meluas ke arah depan dan bawah mulai dari sudut tulang rahang bawah dan berbentuk setengah lonjong yang meluas secara langsung ke arah bawah. Untuk membedakan dengan infeksi bakteri sebaiknya dilakukan pemeriksaan serologis berupa Ig G dan Ig M. pada infeksi mumps akan terjadi peningkatan Ig G yang terdeteksi dengan ELISA. Ig M meningkat pada hari kedua sakit mencapai puncaknya pada minggu pertama dan bertahan 5-6 bulan. Ig G muncul pada akhir minggu pertama, mencapai puncaknya 3 minggu kemudian dan bertahan seumur hidup7. Komplikasi mumps, diantaranya adalah Orkitis, Diabetes mellitus, Ketulian, Meningitis, Miokarditis, Hepatitis, Artritis, Tiroiditis, dan

40

Trombositopenia. Meskipun trombositopenia merupakan komplikasi yang jarang terjadi pada infeksi paramyxovirus7. Insidensi Trombositopenia pada anak tanpa imunisasi MMR dapat dilihat pada tabel di bawah ini8. Tabel 2. Insidensi Mumps dan PTI8

Penelitian Tucci dkk melaporkan adanya trombositopenia pada 25% pasien yang menderita parotitis epidemika tanpa manifestasi perdarahan dan jumlah trombosit kembali secara normal dengan spontan. Kejadian PTI pada anak dengan infeksi virus dilaporkan Yenicesu dkk pada penelitiannya sebanyak 13,3%. Penelitian lain melaporkan kejadian PTI pada pasien yang telah mendapat imunisasi MMR. Dalam sebuah laporan kasus yang diungkapkan oleh Hayashi dkk, mereka menemukan kejadian PTI pada pasien dewasa dan diterapi dengan gammaglobulin selama 5 hari dan pasien sembuh setelah 35 hari4.

41

PTI sering timbul terkait dengan sensitisasi oleh infeksi virus yaitu pada kira-kira 70% kasus. Jarak waktu antara infeksi dan awitan purpura rata-rata 2 minggu.9 Secara teori, PTI yang terjadi pada anak usia > 7 tahun sering terjadi pada anak perempuan. PTI merupakan kelainan autoimun yang menyebabkan meningkatnya penghancuran trombosit dalam sistem retikuloendotelial. Kelainan ini biasanya menyertai infeksi virus atau imunisasi yang disebabkan oleh respons sistem imun yang tidak tepat (inappropriate) dan menimbulkan reaksi autoantibodi. Diagnosis PTI sebagian besar ditegakkan berdasarkan gambaran klinis adanya gejala dan atau tanda-tanda perdarahan, disertai penurunan jumlah trombosit (trombositopenia)1. Biasanya pasien PTI merupakan anak sehat yang tiba-tiba mengalami perdarahan baik pada kulit, petekiae, purpura atau perdarahan pada mukosa hidung (epistaksis). Lama terjadinya perdarahan pada PTI dapat membantu membedakan antara PTI akut dan kronis/ tidak didapatkannya gejala sistemik dapat membantu menyingkirkan kemungkinan suatu bentuk sekunder dan diagnosis lainnya. Perlu juga dicari riwayat tentang penggunaan obat atau bahan lain yang dapat menyebabkan trombositopenia. Riwayat keluarga umumnya tidak didapatkan. Pada pemeriksaan fisik biasanya hanya didapatkan bukti adanya perdarahan tipe trombosit (Platelet type bleeding) yaitu petekie, purpura, perdarahan konjungtiva atau perdarahan mukokutaneus lainnya. Perlu dipikirkan kemungkinan suatu penyakit lain, jika ditemukan adanya pembesaran hati, dan atau limpa, meskipun ujung limpa sedikit teraba

42

pada lebih kurang 10% anak dengan PTI. Selain trombositopenia, pemeriksaan darah tepi lainnya pada anak dengan PTI umumnya normal sesuai dengan umurnya1. Namun dalam sebuah penelitian yang dilakukan oleh Ozsoylu diperoleh pasien PTI mengalami anemia (Hct 33%) pada 2,7-3 pasien yang ditelitinya dan leukositosis (WBC 11.000 /ul) ditemukan pada 3,5- 4 pasien yang tidak diterapi dengan prednisone oral dan IVIG dan kadar Hematokrit terendah (16%) dan leukosit paling tinggi (16.900/ul) ditemukan pada pasien yang tidak mendapatkan terapi apa-apa10. Diagnosis PTI ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang dan untuk menyingkirkan kemungkinan penyebab trombositopenia lain selain PTI yaitu diketahui anak tidak ada mengkonsumsi obat-obatan yang dapat menyebabkan terjadinya trombositopenia. Dan pada pemeriksaan fisik tidak ditemukan adanya hepatosplenomegali, nyeri sumsum tulang, atau riwayat adanya penurunan berat badan, serta kelainan serupa dalam keluarga.3 Dari pemeriksaan penunjang tidak ditemukan adanya leukositosis dan leukopeni. Pemeriksaan morfologi darah tepi akan sangat membantu menyingkirkan diagnosis banding penyebab trombositopenia yang lain. Kejadian PTI paska parotitis epidemika disebabkan oleh adanya proses autoantibodi yang diperantarai oleh mekanisme reaksi hipersensitivitas tipe II. Pada infeksi virus respon imun spesifik terhadap infeksi virus dijalankan oleh gabungan mekanisme imun humoral dan seluler. Antibodi spesifik merupakan komponen yang penting dalam pertahanan awal tubuh terhadap infeksi virus

43

yang diperankan oleh Limfosit T sitotoksik (CD8). Limfosit T sitotoksik hanya akan mengenali antigen virus yang disintesis secara endogenous dan dipresentasikan bersama molekul MHC kelas I oleh berbagai macam tipe sel yang terinfeksi virus, oleh karenanya sel CD8 dikenal sebagai class I MHC (molecule restricted). Apabila virus tersebut diekspresikan bersama molekul MHC kelas I di permukaan sel yang terinfeksi maka akan dikenali oleh limfosit T sitotoksik (CD8) dan menjadi aktif hingga mampu melisis sel yang terinfeksi tersebut. Virus akan menjadi ekstraseluler atau masuk ke dalam sirkulasi yang selanjutnya akan dieliminasi oleh mekanisme fagosit atau aktivasi komplemen. Kerusakan trombosit PTI melibatkan autoantibodi terhadap glikoprotein yang terdapat pada membrane trombosit. Penghancuran terjadi terhadap trombosit yang diselimuti antibody (antibody-coated platelets) tersebut dilakukan oleh makrofag yang terdapat pada limpa dan organ retikuloendotelial lainnya. Megakariosit dalam sumsum tulang bisa normal atau meningkat pada PTI. Sedangkan kadar trombopoetin dalam plasma yang merupakan progenitor proliferasi dan maturasi dari trombosit mengalami penurunan yang berarti terutama pada PTI kronis. Adanya perbedaan secara klinis maupun epidemiologis antara PTI akut dan kronis, menimbulkan dugaan adanya perbedaan mekanisme patofisiologi terjadinya trombositopenia di antara keduanya. Pada PTI akut, telah dipercaya bahwa penghancuran trombosit meningkat karena adanya antibodi yang dibentuk saat terjadi respon imun terhadap infeksi virus atau yang bereaksi silang dengan antigen dari trombosit. Mediator-mediator lain yang meningkat selama terjadinya respon

44

imun terhadap infeksi, dapat berperan dalam terjadinya penekanan terhadap produksi trombosit. beberapa jenis glikoprotein (GP) permukaan trombosit pada PTI, diantaranya GP IIb-IIa, GP Ib dan GP V. antibodi antitrombosit meningkat pada PTI dikarenakan adanya sel T regulator yang terbentuk pada anak-anak masih belum matur sehingga menyebabkan terbentuknya autoantibodi. Adanya infeksi virus akan mengaktivasi T helper 0 atau T helper 1 yang ditandai oleh aktivasi CD4 dan terjadinya peningkatan pelepasan TNF- fenotif G/G. polarisasi sel T mempengaruhi penurunan jumlah sel T Helper 1/2 perifer dan sel T sitotoksik 2 atau fungsi CD 4/25 yang diekspresikan. Penurunan ekspresi sel T helper 2 dan T helper 1 ini akan meningkatkan ekspresi Bcl-2 mRNA dan mengurangi Bax m-RNA pada sel CD4 yang akan menurunkan toleransi sel T. selanjutnya menyebabkan perubahan ekspresi growth factor (yang ditandai oleh imunosupresif pada Th3) yang berkaitan dengan aktivitas penyakit. Supresi terhadap T regulator akan mempengaruhi keja sel plasma sehingga terbentuklah autoantibodi terhadap trombosit yang dikenali sebagai antigen mimikri virus mumps yang dilapisi oleh glikoprotein, ikatan antara glikoprotein GP IIb-IIa, GP Ib dan GP V pada permukaan trombosit akan menyebabkan autoantibodi berikatan dengan sel trombosit dan menyebabkan terjadinya pengenalan oleh antigen presenting cel yang dihungkan oleh sel T reseptor untuk berikatan dengan MHC clas II dan mengaktivasi CD 154 yang berligan dengan CD 40 dan mengaktivasi sel B berdiferensiasi untuk membentuk antibodi dan mengakibatkan fagositosis thrombosis oleh

45

makrofag yang mengekspresikan reseptor Fc dan mengikat Ig G secara spesifik. Ikatan antara FcRIIA dengan glikoprotein II b/IIIa melalui sinyal protein kinase yang menyelubungi trombosit

menyebabkan terjadinya lisis pada trombosit dan trombositopenia. 1,4,8,10

Gambar 1. Mekanisme PTI pada infeksi virus10

Di Jepang diperoleh hasil penelitian adanya hubungan yang kuat antara anti platelet glikoprotein autoantibody dengan gen HLA kelas II. Antibody AntiGPIIb-IIIa berhubungan dengan DRB1*0405 and DQB1*0401,dan antibodi antiGPIb-IX berhubungan dengan DRB1*0803 and DQB1*0601. Adanya produksi AEA tak terkontrol pada gen tunggal dominan. AIHA dominan pada alel Aia-1 yang terletak pada lokus b dari kromosom 4 berhubungan dengan AEA. Ekspresi

46

Aia 1 berhubungan dnegan produksi AEA dibawah kontrol gen seperti Aem-1 (anti-erythrocyte autoantibody modifying gene) yang dipetakan pada lokus yang berikatan dengan Mup-1 pada kromosom 4. Baik AIHA dan AEA produksinya dibawah kontrol multigen. Selain itu, juga ditemukan Aem-2 2 (anti-erythrocyte autoantibody modifying gene-2) pada kromosom 7 dan 10.11 Pada anak DMS ini terus-menerus berdarah, sehingga kadar hemoglobinnya rendah dan mendapat transfusi PRC dan transfusi trombosit pada hari ke 2 perawatannya. Setelah ditansfusi hemoglobin menjadi 12,2 mg/dL dan trombosit menjadi 223 ribu/uL. Hal ini menunjukkan perbaikan. Namun karena perdarahan terus terjadi maka transfusi ulang dilakukan 3 hari kemudian anak ditransfusi PRC sesuai kebutuhan. Epistaksis merupakan gejala suatu penyakit. Dapat terjadi karena kelainan lokal akibat trauma pada hidung ataupun karena kelainan sistemik, termasuk purpura trombositopenia imun. Cara mengatasi epistaksis adalah dengan membersihkan bekuan darah, menekan atau menjepit ala nasi, memberikan vasokonstriktor dan anestesi lokal, member kaustik, memasang tampon anterior dan posterior dan meligasi arteri12. Pada anak DMS epistaksis diatasi juga secara lokal dengan pemasangan tampon posterior. Namun perdarahan masih berlangsung sehingga pada anak dipasang juga tampon anterior. Pasien medapat infus RL untuk mencegah kekurangan cairan dan diberikan isiprinosin untuk meningkatkan daya tahan tubuhnya akibat infeksi virus. Isiprinosin yang berisi methisoprinol yang diindikasikan untuk infeksi virus dengan dosis 50-100mg/kgBB/hr dalam 4-6 dosis selama 10 hari.13

47

Gambar 3. Tampon Posterior11 Menurut Taghizadeh (2008) Terapi PTI pada pasien asimptomatis diberikan pada kadar trombosit 30.000-50.000/ul untuk mencegah perdarahan yang akan terjadi dan menjadi penyulit bagi penderita. Terapi yang dianjurkannya dapat dilihat pada tabel di bawah ini: Tabel 3. Terapi PTI14

48

Adapun perbandingan pemberian terapi yang diberikan adalah sebagai berikut: Tabel 4. Perbandingan Pemanfaatan Obat Pada Terapi PTI14

Pada anak DMS terjadi epistaksis selama 7 hari sehingga dipasang tampon posterior dan diberikan transfusi PRC sesuai kebutuhan. Yaitu HbxBBx4 Pemberian trombosit dilakukan untuk memberi manfaat sementara karena ketahanan hidup trombosit yang ditransfusikan hanya pendek, tetapi transfusi ini diberikan bila terjadi perdarahan yang mengancam kehidupan. Pada pasien ini diberikan transfusi trombosit sebelum pemberian prednisone karena perdarahan persisten yang terus terjadi selama masa perawatan pasien. Pedoman untuk

pemberian transfusi trombosit yaitu diberikan kepada pasien dengan angka trombosit < 50 x 109/L jika ada perdarahan atau direncanakan untuk mengalami prosedur invasif. Perdarahan akan meningkat tajam jika trombosit turun . 20 x 10 9, atas alasan ini, maka banyak dokter anak menganjurkan transfusi trombosit pada batas 5-10 X 109/L untuk penderita komplikasi.16 Tabel 5. Pedoman Transfusi Trombosit Untuk Anak16
49

Anak-anak dan Remaja TRB <50 x 109/L dan perdarahan TRB <50 x 109/L dan prosedur invasif TRB <20 x 109/L dan kegagalan sumsum dengan faktor risiko perdarahan tambahan Defek TRB Kualitatif dan perdarahan atau prosedur invasif Bayi Berusia 4 Bulan atau Kurang TRB <100 x 109/L dan perdarahan TRB <50 x 109/L dan prosedur invasif TRB <20 x 109/L dan secara klinis stabil TRB <100 x 109/L dan secara klinis tidak stabil Pemberian kortikosteroid diberikan pada pasien PTI karena dipercaya kortikosteroid mampu menghambat penghancuran trpmbosit dari sistem retikuloendotelial dan mengurangi pembentukan antibodi terhadap trombosit serta mempunyai efek stabilisasi kapiler yang dapat mengurangi perdarahan. Buchanan dan Hotkalmp (1984) melakukan efektivitas kortikosteroid per oral pada dosis standar (2mg/kgBB/hari) sebagai pengobatan PTI akut. Terapi kostikosteroid diteruskan hingga hitung trombosit normal atau selama 3 minggu, mana saja yang terjadi pertama. Pada titik ini sebaiknya terapi kortikosteroid dihentikan karena terapi kostikosteroid berkepanjangan dapat menyebabkan perubahan cushingoid dan gagal tumbuh. Jika trombositopenia menetap selama 4-6 bulan, pemberian singkat kedua terapi kortikosteroid atau immunoglobulin intravena dapat diberikan.9 Pasien diberikan prednisone oral dengan dosis 2-1-1. Setelah pemberian prednisone hari ke 8 dikarenakan hasil pemeriksaan trombosit tanggal 19/06/2011 masih rendah yaitu 10 ribu setelah 3 kali transfusi plasma (10cc/kgBB) dan 3 kali transfusi TC (20cc/kgBB) maka dosis Prednisone oral yang diberikan dinaikkan

50

menjadi 3-2-2. Dosis prednisone yang dianjurkan pemberiannya adalah 2mg/kgBB/hari. Pemberian kortikosteroid efektif hingga 50-80% pasien.9,1 0,14. Pemberian prednisone jika tidak ditemukan adanya perdarahan aktif internal. Respon terhadap pemberian kortikosteroid prednisone terjadi dalam 2 minggu dan pada umumnya 1 minggu pertama. Bila respon baik kortikosteroid dilanjutkan hingga 1 bulan, kemudian tapering. kriteria respon awal adalah peningkatan trombosit <30.000/mm3 menjadi trombosit >50.000/mm3 setelah terapi 10 hari. Respons menetap bila setelah 6 bulan trombosit >50.000 setelah 6 bulan follow up. Pemberian intravena immunoglobulin perlu dipertimbangkan apabila terjadi perdarahan aktif berupa perdarahan internal, atau saat trombosit <5.000/mm3 meskipun telah mendapat kortikosteroid beberapa hari atau adanya purpura yang progresif. Dosis yang diberikan yaitu 1g/kgBB/hari selama 2-3 hari bertutut-turut. Mekanisme kerja immunoglobulin intravena adalah menghambat ikatan autoantibody dengan trombosit yang bersirkulasi dan imunosupresi dengan memblokade reseptor Fc dan anti-idiotype antibodies. Gagal ginjal dan insufisiensi paru dapat terjadi serta syok anafilaktik pada pasien yang mempunyai defisiensi IgA kongenital.15 Hayashi dkk (1997) mengungkapkan pasien yang mereka rawat dengan parotitis epidemika dan PTI sembuh setelah dirawat selama 35 hari dengan pemberian gammaglobulin3. Unal dkk (2005) mengungkapkan kesembuhan pasien anak perempuan berusia 3 tahun yang mereka rawat dengan PTI paska parotitis epidemika dengan

51

kadar trombositopenia 42.000/ul selama 2 bulan tanpa pemberian terapi khusus seperti kortikosteroid atau imunoglobulin dengan kadar trombosit 181.000/ul3. Splenektomi jarang dilakukan pada anak dengan PTI dan hanya dianjurkan jika perdarahan hebat yang tidak memberikan respon terhadap pengobatan dan dilakukan setelah PTI menjadi kronis (>6 bulan).1

52

Anda mungkin juga menyukai