Anda di halaman 1dari 7

Amril Taufiq Gobel Otot-ototnya menegang kencang pada dua ruas bahunya yang kukuh dan berkeringat.

Dadanya yang telanjang, legam berkilat diterpa sinar mentari siang yang ganas. Luthfi, demikian nama lelaki itu, seperti pasrah dan menyerah pada nasib. Ia tak bisa menggugat apa pun atau siapa pun atas apa yang telah dialami sekarang. Sebagai buruh harian lepas pada kontraktor pembangunan gedung pusat perbelajaan, yang tak memiliki kekuasaan apa-apa, dia tak dapat menolak keputusan PHK dari atasannya. "Proyek pembangunan gedung kita ini ditunda sampai batas waktu yang tidak ditentukan. Kami kehabisan dana. Akibat krisis moneter yang berkepanjangan, harga-harga bahan bangunan melonjak naik tak terkira. Budget yang tersedia tidak cukup untuk menutupi semua kebutuhan itu. Maaf, Bapak-Bapak, kami terpaksa memberhentikan Anda semua dari pekerjaan ini," kata Ir. Umar, site manager proyek tersebut di depan seluruh buruh harian pagi tadi dengan suara serak. "Bagi kami, ini merupakan keputusan terbaik, meski dari lubuk hati yang paling dalam kami tidak tega melakukan. Sekali lagi, saya atas nama pribadi dan direksi mohon maaf. Hari ini adalah hari kerja Bapak-Bapak yang terakhir kali. Semoga di waktu mendatang, Bapak-Bapak cepat memperoleh pekerjaan lagi. Sekian, " katanya mengakhiri penjelasan. Kalimat-kalimat Ir. Umar tadi seperti tergiang-ngiang kembali di telinga Luthfi. Mendengung, Bagai memecah gendang telinganya. Harga dirinya runtuh. Ia lalu tertunduk lesu pada sebongkah beton sembari memandang rekan-rekannya yang sudah mulai berkemas pulang. Hari ini mereka hanya bekerja setengah hari. Terlihat olehnya ekspresi wajah seragam; pucat dan kuyu. Tanpa semangat hidup. "Kamu belum pulang, Luthfi?" sapa Eko, rekan sekerjanya. Luthfi menggeleng pelan. Tanpa kata-kata. Eko mengangguk maklum dan melanjutkan langkahnya. Luthfi menggigit bibir. Ia teringat Agung dan Rina, anak dan istrinya dirumah. Mereka menggantungkan harapan dan masa depan mereka pada Luthfi, tamatan SMP yang hanya bisa mengaduk semen dan mengangkat batu. Ia tidak tahu dengan apa harus melanjutkan hidup untuk besok dan seterusnya. Agung, anak semata wayangnya yang baru berusia dua tahun serta sorot mata teduh Rina istrinya yang dengan sabar serta telaten mendampingi dia dalam mengarungi bahtera rumah tangga. Luthfi menunduk, menekuri tanah proyek yang berdebu. "Luthfi, sudahlah, tak usah kamu sesali. Kita semua mengalami hal sama denganmu. Besok kita cari lagi pekerjaan di proyek yang lain. Ayo, kita pulang," tegur Firman, mandor kepala, membuyarkan lamunannya. Luthfi mengangkat wajah. Dia tatap wajah Firman, ada raut kedamaian di sana.

"Luthfi," sapa Firman lagi, lembut. "Saya juga pernah mengalami hal sama. Saya putus asa, tidak tahu harus ke mana dan berbuat apa. Tapi saya segera sadar. Tuhan Maha Adil, selalu mendengar dan membantu hamba-Nya yang mau berusaha. Saya selalu menanamkan keyakinan itu." Luthfi mengangguk. "Terima kasih, Pak Firman," jawabnya lirih. Firman tersenyum tulus kemudian menepuk pundak Luthfi untuk beranjak dari tempat itu. Angin berhembus kencang, pohon-pohon meliuk dan debu-debu gersang beterbangan, berputar tak teratur lalu menghilang.

***

Saat hendak mengungkapkan kenyataan pahit itu pada istrinya, Luthfi merasa menjadi seorang pecundang yang kalah telak. Sepanjang jalan, ia berusaha memilih kalimat-kalimat terbaik untuk diucapkan kepada Rina, supaya ia tak terlalu 'terpukul'. Tetapi ia tak bisa. Istrinya yang mengenal watak dan perangainya, secara intuitif mendapat firasat sesaat wajahnya muncul dari pintu depan. Ekpresinya adalah ungkapan yang paling jujur. Belum sempat berkata apa-apa istrinya menghambur ke arah dia. Memeluknya erat-erat. Mengalirkan kehangatan dan pengertian wanita yang dia cintai. "Kamu tidak usah bilang apa-apa, Mas. Rina sudah tahu apa yang terjadi. Mas Luthfi jangan sedih. Tuhan akan selalu menolong kita. Rina senantiasa mendampingi Mas dalam situasi sesulit dan seburuk apa pun. Selalu, Mas. Selalu...," kata Rina terbata-bata. Air matanya berlinang. Luthfi merasakan butir-butir air hangat itu jatuh di bahunya. Luthfi mempererat pelukannya. Ia terharu dan kagum pada kesetiaan yang mendalam dari Rina. "Saya tidak tahu dengan apa saya mesti menafkahi kamu dan Agung setelah saya di-PHK. Saya seperti terjatuh ke jurang yang amat dalam," ujar Luthfi pelan. Dadanya terasa sesak. Ada beban berat menghimpit di sana . "Mas, berjanjilah. Jangan putus asa. Jangan patah semangat. Saya tak rela jika Mas Luthfi jadi kehilangan harapan dengan kejadian ini. Saya tahu, apa yang Mas Luthfi alami sangat mengguncangkan hati. Tapi, Mas Luthfi jangan sampai merasa ini adalah akhir dari segalagalanya. Kesempatan bekerja tetap masih ada, selama kita berusaha dan berdoa. Tolong, Mas Luthfi pahami, ini demi saya istrimu dan Agung buah hati kita," tutur Rina seraya menatap mata Luthfi dengan sorot tajam menghunjam. Luthfi tersenyum dan mengangguk. Ia membelai rambut istrinya dengan lembut.

"Rina, saya tak keliru memilihmu sebagai pendampingku sehidup semati. Saya tidak akan mengecewakanmu. Saya akan tetap berjuang. Demi kamu dan Agung serta kehormatan keluarga kita. Saya berjanji Rina, saya berjanji," kata Luthfi mantap. Diraihnya tubuh istrinya. Dipeluk erat-erat. Ada sebentuk kesejukan terbit di situ. Di luar jangkrik mengerik. Sampai jauh.

***

Akhirnya Luthfi mendapat pekerjaan sebagai buruh harian pengangkut beras di salah satu gudang logistik, selang dua bulan setelah menganggur dari pekerjaan proyek konstruksi. Ia berusaha menikmati pekerjaannya. Meski penghasilannya saat ini jauh lebih kecil dari tempat kerjanya dulu, Luthfi menabahkan hati. Ia percaya, rezeki dari pekerjaan ini bagi dia tetap merupakan suatu kebanggaan tersendiri, karena memberikan nafkah yang halal bagi keluarganya. Istrinya pun tetap memberi dukungan moral yang tinggi. Tugas Luthfi tiap hari dari pukul 08.00 sampai 17.00 adalah mengangkut karung-karung beras dari gudang ke atas truk-truk distribusi untuk disalurkan ke tempat yang membutuhkan. Dengan postur tubuh yang tinggi kekar, bukan masalah bagi dia untuk membawa sekarung beras yang maksimal beratnya 80 kilogram. Ia bekerja sama dengan buruh harian lain, yaitu Yudi, Heri dan Bambang. Hari demi hari berlalu, tanpa terasa ia telah bekerja di tempat itu selama tiga bulan. Memasuki bukan keempat, Lithfi merasa ada yang kurang beres. Sore hari menjelang pulang, tanpa sengaja ia mendengar percakapan Hamzah, kepala gudang, dengan Syarif, kepala Satpam. Ia menguping pembicaraan dari balik partisi yang menghubungkan ruang staf dan gudang ketika melintasi ruang itu dari arah toilet. "Agus, malam ini putauw-putauw itu kamu masukkan di karung yang sudah aku tandai. Jangan beritahu siapa-siapa. Kalau butuh bantuan, kamu panggil saja anak buahmu, Si Joko. Aku percaya sama dia. Beri dia honor secukupnya. Jangan panggil orang lain. Yang penting, ini jangan sampai bocor ke siapa pun juga. Ingat, ini bisnis besar. Kalau berhasil, kamu pasti dapat honor gede. Lumayan besar dibanding gajimu di sini. Bos John sudah menunggu kiriman ini besok melalui truk jam sepuluh pagi. Tidak boleh telat dan gagal! Kamu mengerti, kan?!" Demikian suara berat Hamzah memerintah Syarif. Syarif tidak segera menjawab, ia hanya mendehem. Hamzah tampaknya tahu isyarat itu. "Oh... soal uang mukanya. Nih, limapuluh ribu rupiah dulu. Sisanya nanti saya berikan setelah tugasmu selesai. Ingat Syarif, jangan kecewakan saya. Juga Bos John. Oke?" ancam Hamzah. "Beres, Bos. Percayakan saja sama Syarif!" sahut Syarif. Suaranya terdengar riang. Kemudian terdengar langkah-langkah menjauh. Luthfi merapatkan tubuh ke dinding, dan berjalan

mengendap kembali ke arah toilet. Jantungnya berdegup kencang. Ia melihat dari kejauhan tubuh Hamzah masuk ke dalam mobil Toyota Kijangnya. Luthfi menelan ludah. Sebentuk kegalauan bergejolak di hatinya. Ia tak menyangka bisnis kotor juga terjadi dalam lingkungan kerjanya. Tidak tanggung-tanggung, bisnis obat terlarang! Seketika bulu kuduknya meremang. Ia merasa takut. Entah pada apa. Ia lalu teringat wasiat ayahnya menjelang wafat untuk tetap memelihara dan menjaga nilai-nilai kejujuran dan keadilan serta gigih membela kebenaran. Watak luhur jago silat kampung dan kearifan petani penggarap, memang menjadi warisan utama dari ayahnya. Luthfi memegang teguh prinsip-prinsip itu secara konsisten. Kini ia dihadapkan pada pilihan yang cukup sulit. Melaporkan kejadian ini pada polisi dengan resiko terburuk terkena PHK, atau membiarkan proses ini berlangsung terus dengan resiko mengingkari hati nurani dan amanat ayah tercintanya. Bagi Luthfi keduanya adalah pilihan yang sama sulit. Ia bimbang. "Luthfi, kamu belum pulang?" tegur Syarif, sang kepala Satpam menyentak lamunannya. Luthfi gelagapan dan berusaha menemukan jawaban terbaik. "Ini... baru mau siap-siap pulang, Pak!" jawabnya gugup, seraya meraih tas pundaknya, lalu bergegas pergi. Syarif hanya menggeleng-gelengkan kepala kemudian berbalik kembali ke kantor. Luthfi mempercepat langkahnya. Bergegas. Napasnya terdemgar memburu. Batinnya merucah oleh khawatir, entah pada siapa. Langit kelam, dan awan hitam menggumpal bagai jelaga. Petir pun menggelegar. Hujan akan segera turun.

***

"Mas Luthfi yakin dengan apa yang Mas dengar tadi?" tanya Rina, istrinya, saat Luthfi menceritakan kejadian yang baru saja dialaminya. Luthfi tidak segera menjawab. Ia lalu mengambil sepotong singkong rebus di atas piring. Dikunyahnya pelan. Dan Istrinya mengamati dengan sabar saat Luthfi menceritakan kejadian yang baru saja dialaminya. "Begitulah kejadiannya, Rina. Saya benar-benar yakin dengan apa yang saya alami. Saya kaget dan hampir tidak percaya setelah mendengar kenyataan itu," sahut Luthfi. Suaranya terdengar cemas.

"Lantas, menurut Mas Luthfi, apa yang sebaiknya Mas lakukan?" tanya Rina lagi. "Melaporkannya ke polisi!" tegas Luthfi yakin. Ditatapnya lekat-lekat wajah istrinya. Rina menghela napas panjang, lalu menunduk menekuri lantai rumah kontrakan mereka. Entah kenapa jantungnya mendadak berdebar kencang. Ia merasa takut. Takut sekali. "Mas Luthfi, sudah berpikir resikonya?" "Rina, saya memegang teguh prinsip hidup saya dan keluarga saya. Menentang kezaliman. Tentang resiko, saya piker, itulah yang mesti kita pikul ketika menentukan suatu pilihan. Kita tak dapat mengelak dari itu!" kata Luthfi dengan mata menyala. "Mas Luthfi rela mempertaruhkan saya dan Agung, anak kita?" tanya Rina lagi. "Saya tidak mengatakan ini sebagai suatu pertaruhan, Rina! Ini adalah soal mempertahankan prinsip. Saya tidak suka dan tidak rela mereka memanfaatkan fasilitas kantor untuk melakukan tindak kejahatan. Kalau hal ini sampai terjadi terus, dan suatu waktu ketahuan belangnya oleh pihak berwenang, toh saya juga bisa diciduk. Dan tak punya harapan apa-apa lagi untuk dapat kembali bekerja. Cepat atau lambat semua ini akan terjadi, Rina. Kamu mesti paham itu. Saya sama sekali tidak punya maksud mengorbankan, apalagi melibatkan kamu dan anak kita, Si Agung, dalam kasus ini. Sungguh Rina. Sungguh!" jawab Luthfi seraya memegang bahu Rina erat-erat, lalu menatap dalam-dalam wajah teduh istrinya. Rina terdiam. Ia tak bisa berkata apaapa lagi. Luthfi lantas mengelus lembut rambut istrinya. "Terlalu mahal harga yang harus dibayar untuk menempuh langkah itu, Mas," ucap Rina lirih. Air matanya mulai menggenang. Luthfi meraih tangan istrinya. Digenggamnya erat-erat. "Mas Luthfi mesti memikirkan juga komplotan itu. Sangat berbahaya jika mereka tahu bahwa yang melaporkan kegiatan mereka ke polisi adalah Mas Luthfi. Mereka pasti tidak akan segansegan membunuh Mas Luthfi. Rina takut hal ini terjadi. Rina tak ingin kehilangan Mas Luthfi!" tutur Rina tersedu-sedu. Tenggorokannya tersekat. Luthfi tersenyum bijak. Ia kemudian memeluk istrinya. "Rina saya sudah berpikir langkah paling aman untuk mengungkap hal ini tanpa harus mengorbankan nyawa. Saya tidak bodoh. Kamu tak usah cemas. Yang paling penting buat saya saat ini adalah dukungan dan doa kamu agar saya memiliki kemantapan hati serta jalan yang lapang melaksanakannya. Itu saja," kata Luthfi dengan lembut menenangkan istrinya. Rina terdiam. Untuk beberapa saat ruang tamu kontrakannya yang sempit begitu sepi. Luthfi mencium kening istrinya. Malam kian larut dan mendung menggantung di langit.

***

Luthfi dengan teliti dan hati-hati menyelidiki aksi komplotan itu bersama Letnan Indra, Sersan Yudo dan Kopral Yanto dari kepolisian yang menyamar sebagai salah satu distributor pelanggan gudang logistik itu, sambil mengumpulkan bukti-bukti yang akurat. Dalam waktu tidak terlalu lama, polisi langsung membongkar kejahatan penyeludupan putauw via karung beras itu dengan sukses. Hamzah, sang kepala gudang, juga Syarif, kepala Satpam, serta anak buahnya, Joko, ditangkap dengan bukti nyata berupa selundupan haram mereka. "Terima kasih, Pak Luthfi. Berkat Pak Luthfi, kita berhasil membongkar jaringan pengedar obatobat terlarang di gudang ini. Sayang sekali gembong penyeludupan ini yang mereka sebut-sebut Bos John berhasil kabur keluar negeri. Kami akan coba menangkap dan mendeportasinya ke sini. Sekali lagi, terima kasih atas kerjasama anda," kata Letnan Indra dengan mata berbinar menjabat tangan Luthfi. "Terima kasih kembali, Pak Indra. Saya akan selalu siap membantu Bapak kapan saja jika diminta," sahut Luthfi sembari membalas jabatan tangan Letnan Indra dengan hangat. Rombongan dari kepolisian kembali ke markas mereka sambil menggiring ketiga orang tersangka penyelundup itu. Sekilas, Luthfi melihat tatapan sinis Hamzah dan Syarif kepadanya. Ia tak peduli dan tak mau peduli. Hatinya lega. Akhirnya semua telah usai dan tuntas. Dalam bayangannya ayahnya tersenyum bangga ke arah dia. Ia telah melaksanakan amanah beliau. Luthfi kemudian bergegas pulang, ia akan mengabarkan berita baik ini pada Rina. "Saya menang, saya menang, saya bukan pecundang!" Luthfi membatin sambil memanggul tas pundaknya. Luthfi mengayunkan langkah dengan ringan. Tanpa disadarinya, sebuah sepeda motor pengendara dengan berhelm yang menutupi kepala merapat ke arahnya dari belakang. Pengendara itu mengacungkan pistol revolver ke punggung Luthfi. Dorrt.... Letusan pistol menyalak. Luthfi tersungkur jatuh di aspal. Pengendara motor tadi langsung memacu motor sekencang-kencangnya. Darah mengalir dari dada Luthfi. Terasa sakit. Seketika ia menyadari apa yang baru saja terjadi. Orang-orang sekitar jalan itu mengerubunginya. Samar-sama Luthfi melihat wajah teduh Rina tersenyum ke arahnya, wajah Agung anak semata wayangnya dengan mata bulat lucu menatap penuh harap. Ia meraba dadanya yang bersimbah darah. Lalu ia tak ingat apa-apa lagi.

"Ikutlah, Nak...." Terdengar suara yang begitu dia kenal bergema. Suara ayahnya. Begitu dekat. Begitu nyata. Wajah jernih ayahnya terlihat bercahaya. Sambil tersenyum, ayahnya menggandeng tangannya terbang menuju mega. Melintasi awan putih. Meniti pelangi....

Anda mungkin juga menyukai