Anda di halaman 1dari 10

Peningkatan Perekonomian Masyarakat Miskin Kota Melalui Pengembangan Kompetensi Penganggur Dengan Pendekatan Program Kemitraan (Studi di Komunitas

Cakung)
ABSTRAK
Penelitian ini merupakan penelitian eksploratif dengan tujuan membangun model kemitraan wirausaha di komunitas miskin kota dan daerah asal migran. Daerah yang dipilih sebagai tempat penelitian adalah Kelurahan Pulo Gebang dan Penggilingan (Jakarta Timur). Berdasarkan hasil survei di kedua kelurahan tersebut, ditentukan dua daerah asal mayoritas migran. Penelitian diawali dengan mengevaluasi kesiapan berubah (readiness for change) masyarakat dan mengidentifikasi serta mempersiapkan calon wirausaha dengan memanfaatkan peluang bisnis di peluang-peluang usaha di lingkungannya. Berdasarkan hasil penelitian tersebut, akan dikembangkan model kemitraan berbasis kewirausahaan antara pemerintah kota dan daerah asal migran serta pemangku kepentingan lainnya. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mencari model kemitraan yang tepat bagi masyarakat miskin yang dapat diterapkan bagi masyarakat lain yang memiliki ciri yang sama. Penelitian ini menggunakan pendekatan action research agar memperoleh partisipasi aktif dari semua pemangku kepentingan.

PENDAHULUAN Latar Belakang


Pengangguran selalu dihubungkan dengan kemiskinan, dan juga kesenjangan sosial, dan penduduk miskin identik dengan jumlah pendapatan yang sedikit, yang dinilai hanya cukup atau bahkan tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Sedangkan kemiskinan selalu diasosiasikan dengan kelaparan, penyakit, perumahan yang tidak layak, buta huruf, pelecehan terhadap hak asasi manusia dan marginalisasi sosial (Narayan, Chambers, et al. dalam Nelson & Prilleltensky, 2005). Dalam hal ini penduduk miskin di Indonesia sudah mencapai 37,17 juta jiwa data ini tercermin dari Data BPS pada Maret 2007 yang menyatakan bahwa penduduk miskin di Indonesia berjumlah 37,17 juta jiwa, atau 16,58 % dari 220 juta penduduk Indonesia (BPS, 2007), dan akan meningkat seiring dengan kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) sejak 24 Mei 2008. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) memprediksikan jumlah penduduk miskin pada akhir tahun 2008 mencapai 41,1 juta jiwa atau 21,92% dari keseluruhan penduduk. Hal ini menjadikan kemiskinan sebagai salah satu masalah besar di Indonesia. 1

Dalam hal ini, pengangguran di Indonesia saat ini telah mencapai jumlah yang tinggi bahkan pada tahun 2008, telah mencapai angka 9.427.600 (Kompas, 22 Agustus 2008). Angka tersebut akan bertambah lagi dengan adanya krisis ekonomi global di tahun 2009 yang juga melanda Indonesia, sehingga berdampak pada pemutusan hubungan kerja (PHK) di berbagai perusahaan. Dari angka yang tercermin pada tahun 2008 tersebut, tampak bahwa proporsi penganguran tidak hanya dari kalangan yang kurang terdidik tetapi juga berasal dari populasi terdidik, bahkan populasi dari kalangan terdidik terlihat selalu bertambah dari tahun ke tahun, faktanya pada tahun 1994 proporsinya hanya sebesar 17% sedangkan pada tahun 2004 mencapai 26%. Jumlah pengangguran terbuka yang terdidik terus bertambah, dan mencapai puncaknya pada tahun 2008, yaitu 50.3% dari junlah pengganggur terbuka di Indonesia berasal dari kelompok penggangguran terdidik dimana mereka memiliki tingkat pendidikan atas atau setara dengan lulusan SMA dan Universitas (Kompas, 22 Agustus 2008). penuntasan masalah yang efektif. Kondisi tersebut di atas, menurut Conger, dkk dan Cutrona, dkk (dalam Kenyon & Borden, 2004), menimbulkan kesulitan finansial dan berpengaruh terhadap individu maupun keluarga yang pada akhirnya dapat menyebabkan stres pada keluarga, kehidupan pernikahan dan memunculkan efek yang jauh lebih buruk bagi anak-anak. Lebih lanjut, kesulitan finansial ini tidak hanya dirasakan oleh individu dan keluarga saja, tetapi juga secara umum akan berpengaruh pada pertumbuhan dan stabilitas ekonomi makro sehingga pada akhirnya dapat mempengaruhi kondisi keuangan negara. Disamping itu, kesenjangan pembangunan antara kota besar dan desa mengakibatkan semakin derasnya arus migran ke daerah perkotaan, dan biasanya yang bermigrasi ke kota, juga tidak memiliki keterampilan yang memadai untuk hidup di kota. Akibatnya, muncul daerahdaerah kantung kemiskinan (kawasan kumuh) di daerah perkotaan. Ketika hal tersebut terjadi, ketahanan kota besar khususnya Jakarta, menjadi melemah dan menimbulkan kerentanan di berbagai aspek, seperti alur metabolisme, jaringan pemerintahan, dinamika sosial dan tata ruang perkotaan. Berdasarkan pengamatan peneliti, kondisi ini antara lain tercermin pada komunitas di Cakung, khususnya penduduk di daerah Pulo Gebang, pada umumnya termasuk ke dalam kategori keluarga miskin, dengan banyak penduduknya yang tidak bekerja secara formal, dan 2 Hal ini akan dapat menimbulkan masalah baru, apabila isu ini belum mendapatkan perhatian serta sarana

banyak yang bekerja mencari nafkah dengan cara menjadi pemulung. Mereka pada umumnya adalah migran yang berusaha mencari pekerjaan di Jakarta, tetapi dengan sulitnya memperoleh pekerjaan formal, apalagi dengan latar belakang pendidikan yang relatif rendah, pada akhirnya mereka mencari nafkah dengan cara menjadi pemulung sampah. Kondisi ketertinggalan juga terjadi di Penggilingan yang merupakan salah satu kelurahan miskin di Kecamatan Cakung, meskipun di dekat daerah tersebut terdapat Pusat Industri Kecil (PIK). Masalah kemiskinan dan tingginya pengangguran, antara lain dapat diatasi jika masyarakat memiliki kesadaran untuk memulai inisiatif dengan menjadi wirausaha (Hisrich & Peter, 2002). Dahulu kewirausahaan dianggap hanya dapat dilakukan melalui pengalaman langsung di lapangan dan merupakan bakat yang dibawa sejak lahir (entrepreneurship are born not made), sehingga kewirausahaan tidak dapat dipelajari dan diajarkan. Akan tetapi saat ini, kewirausahaan bukan hanya urusan lapangan, tetapi merupakan sesuatu yang dapat dipelajari dan diajarkan (Suryana, 2003). Menjadi wirarausaha dapat dijadikan suatu pilihan pemecahan masalah karena kegiatan berwirausaha dapat memberikan dampak yang positif dari beberapa aspek kehidupan seperti aspek sosial, kebudayaan, dan politik (Hisrich & Peter, 2002). Dengan menjadi wirausaha, seseorang juga dapat memperoleh beberapa keuntungan, antara lain: dapat menentukan arah kehidupan, kesempatan untuk membuat perubahan, kesempatan untuk membuktikan potensi diri, kesempatan untuk memperoleh laba, dan kesempatan untuk berkontribusi pada lingkungan sosial dan dikenal (Zimmerer & Scarborough, 2002). Meskipun demikian, untuk menjadi seorang wirausaha dibutuhkan kemampuan teknikal dan ciri kepribadian yang dapat menunjang berjalannya aktivitas kewirausahaan. Ciri kepribadian seorang wirausaha antara lain adalah disiplin, atau kontrol internal, pengambil risiko, inovatif, komitmen terhadap tugas, serta memiliki orientasi dan kemampuan untuk menghadapi perubahan. (Hisrich, 1992, Hisrich & Peters, 2002). Ada dua hal yang akan menjadi fokus penelitian: 1. melihat kesiapan untuk berubah (readiness for change) para penganggur yang akan berperan sebagai agen perubahan (agent of change), dan 2. menumbuhkan jiwa wirausaha, dengan melihat peluang-peluang bisnis dari komunitas ini. Dalam hal ini jenis kegiatan kewirausahaan yang akan dikembangkan tergantung pada peluang-peluang yang terdapat dimasing-masing daerah. Tampaknya menumbuhkan jiwa 3

kewirausahaan saja tidak cukup tanpa mengikut-sertakan iklim usaha dan partisipasi semua pemangku kepentingan (stake holders), seperti Pemerintah, Masyarakat, LSM, Perusahaan dan Perguruan Tinggi. kepentingan tersebut. Model kemitraan tersebut akan dikembangkan berdasarkan temuan dari survei di dua daerah miskin kota serta 2 daerah mayoritas asal migran tersebut. Untuk itu perlu dikembangkan program kemitraan di antara pemangku

Asumsi yang Digunakan (tidak perlu dipakai)


Terdapat dua faktor yang berpengaruh pada sikap kewirausahaan seseorang, yaitu: faktor lingkungan atau faktor individu. Faktor lingkungan adalah peraturan-peraturan, sistem dan kebijakan, dan akses terhadap fasilitas dan sarana yang mendukung. Faktor individu meliputi kreativitas, orientasi terhadap perubahan, kemandirian dan keberanian mengambil risiko, serta keterampilan teknis yang dimiliki. Kedua faktor ini dapat diakomodasi dengan mengembangkan model kemitraan dan pelatihan wirausaha.

Tujuan dan Manfaat


Penelitian ini bertujuan: Menjajaki kesiapan masyarakat untuk berubah menjadi wirausaha Meningkatkan kondisi sosial ekonomi serta kualitas hidup dan kesejahteraan masyarakat di daerah Cakung dan daerah asal migran Menjalin kemitraan antara pemerintah lokal di komunitas Cakung dengan pemerintah lokal didaerah asal imigran berada Mendapatkan model pengembangan masyarakat berdasarkan pengembangan kemitraan antara pemerintah lokal, LSM, dunia usaha dan perguruan tinggi. Manfaat Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan dua jenis manfaat, yaitu: a. manfaat praktis : (1) memberi alternatif cara dalam mengentaskan kemiskinan dan mengembangkan UKM (Usaha Kecil Menengah) dan (2) menciptakan kelompok-kelompok wirausahawan. 4

b. Manfaat teoretis yang dapat diperoleh adalah sebagai berikut: (1) memperkaya khasanah pengetahuan bahwa sikap kewirausahaan dapat ditumbuhkembangkan bila disertai dengan pembinaan yang tepat, (2) memperkaya khasanah penerapan teori Psikologi Industri dan Organisasi, khususnya change dan entrepreneurship, dan (3) memperoleh model pengembangan kemitraan masyarakat yang dapat diterapkan pada kelompok masyarakat miskin lainnya.

TINJAUAN LITERATUR Elemen Perubahan Sosial


Perubahan sosial menurut Kotler (dalam Zaltman, Kotler & Kaufman, 1972:174) adalahalterations in the attributes of functioning of individuals, groups, institutions or society Kotler menyatakan bahwa perubahan sosial adalah perubahan fungsi atribusi pada individu, kelompok, institusi ataupun masyarakat. Ia memunculkan The Elements of Social Change yang popular disebut The Five Cs, yaitu Cause, Change Agency, Change Target, Channels dan Change Strategy. Penjelasan untuk masing-masing elemen adalah sebagai berikut: 1. Cause atau alasan individu dalam melakukan tindakan sosial (aksi protes, keinginan untuk membuat perubahan dan keinginan untuk membantu) 2. Change Agency atau organisasi yang berfungsi sebagai agen perubahan, yang dapat berbentuk non-formal (kelompok atau perkumpulan atau paguyuban) dan formal (lembaga atau institusi dan organisasi politik) 3. Change Targets atau subjek yang menjadi target perubahan, misalnya: individu, kelompok, komunitas, organisasi. Target dibedakan atas: ultimate target (target utama/target akhir) dan intermediate target (target antara yang perlu dilalui sebelum mencapai target utama). 4. Channels atau saluran, media yang digunakan dalam melakukan perubahan. Jenis media / saluran yang dapat digunakan adalah: a. Influence Channel untuk mempengaruhi target perubahan tanpa bersentuhan secara pribadi (radio, televisi, koran, majalah, buletin dan sebagainya). Selain itu, ada 5

personal influence channel yang menggunakan diri sendiri untuk mempengaruhi target perubahan (pertemuan kelompok, negosiasi dan lobbying). b. Response Channel adalah saluran yang merupakan tanggapan terhadap target perubahan (pertemuan secara pribadi, melalui telepon, email dan lain sebagainya) 5. Change Strategy atau strategi perubahan yang dipilih untuk mencapai sasaran perubahan. Tiga pendekatan yang umumnya digunakan dalam proses ini adalah: a. Strategi Re-edukasi. Agen perubahan melakukan pendidikan ulang, mengingat target perubahan sudah memiliki pengetahuan yang memadai sehingga prosesnya adalah peninjauan ulang atau review. b. c. Strategi Persuasi. Usaha memperkuat keyakinan (belief) atau nilai (value) yang tepat untuk menghasilkan perubahan perilaku pada target. Strategi Kekuasaan. Perubahan dilakukan dengan menggunakan sanksi atau peraturan yang ketat. Perubahan perilaku target akan terjadi karena adanya sanksi.

Readiness to Change
Perubahan menurut Robbins (2003) berkaitan dengan membuat segala sesuatunya menjadi berbeda. Menurut Backer (1995), kesiapan individu untuk berubah melibatkan keyakinan, sikap dan intensi individu sesuai dengan perubahan yang dibutuhkan. Individu dapat mendukung atau menolak untuk berubah, tergantung pada perubahan lingkungan, tipe perubahan yang diperkenalkan, dan karakteristik orang yang ingin diubah dan change agent. Oleh karena itu, intervensi untuk meningkatkan kesiapan untuk berubah adalah hal yang penting. Rendahnya kesiapan untuk berubah dapat menyebabkan rendahnya motivasi untuk berubah, atau bahkan melakukan tindakan-tindakan aktif untuk menolak perubahan. Armenakis, Harris, & Mossholder (1993) mengatakan ada beberapa hal yang mempengaruhi kesiapan untuk berubah, yaitu: (1) kebutuhan untuk berubah; (2) kemampuan untuk melakukan perubahan (self-efficacy); (3) kesempatan untuk berpartisipasi dalam proses perubahan. Secara umum perubahan meliputi tiga tahap (www.stephenslighthouse.com), yaitu: 1. Persiapan. Inti dari tahap ini adalah membangkitkan kesadaran mengenai pentingnya perubahan (change awareness). Jelas atau tidaknya tujuan perubahan akan berpengaruh terhadap pembentukan komitmen target perubahan.

2. Penerimaan. Bermuara pada persepsi positif atau persepsi negatif. Persepsi positif akan mendukung perubahan, sedangkan persepsi yang negatif akan tidak mendukung perubahan. 3. Komitmen. Tahap komitmen terdiri dari: instalasi, adopsi, institusionalisasi, dan internalisasi. Langkah instalasi merupakan periode percobaan terhadap perubahan (preliminary testing) yang menghasilkan dua konsekuensi, yakni: mengadopsi perubahan atau menolak perubahan (yang mungkin disebabkan oleh masalah ekonomi dan politik, perubahan dalam tujuan strategis, dan tingginya vested interest). Sementara itu, Prochaska, dkk (dalam Cunningham dkk., 2002) mengemukakan tahapan yang lebih spesifik dalam kesiapan perubahan: 1. Tahap Pre-Kontemplasi (Precontemplative): individu mulai menyadari kebutuhan untuk berubah. 2. Tahap Kontemplasi (Contemplative): individu mulai mempertimbangkan tapi belum melaksanakan perubahan. 3. Tahap Preparatory: individu mulai membuat rencana untuk berubah. 4. Tahap Aksi (Action): individu mulai melaksanakan dan terlibat dalam perubahan. 5. Tahap Pemeliharaan (Maintenance): individu berusaha untuk mempertahankan perubahan yang telah dilakukan. Keterlibatan individu dalam tahap-tahap ini dipengaruhi oleh antisipasi terhadap risiko perubahan dan keuntungan yang akan diperoleh dari perubahan tersebut. Oleh karena itu, pihak fasilitator perubahan haruslah orang-orang yang aktif dalam pendampingan dan memiliki kemampuan mempengaruhi dan memperlihatkan keuntungan dari perubahan tersebut.

Wirausaha & Sikap Kewirausahaan


Wirausaha didefiniskan sebagai : seseorang yang menampilkan tingkah laku yang bernilai ekonomi dengan beberapa unsur yaitu mengambil inisiatif, menyadari keadaan sosial, dan ekonomi, serta penerimaan terhadap risiko dan kegagalan (Hisrich & Peter, 2002). Lebih lanjut, dikemukakan bahwa ciri-ciri kepribadian wirausaha antara lain adalah (Scarborough & Zimmerer, 2002; Alma 2008; Hisrich & Peters, 2002;) adalah: 1. Terdapatnya lokus kontrol internal; 2. Pengambil risiko; 3. Inovatif; 4. Berorientasi terhadap perubahan, 5. Memiliki komitmen pada tugas, 6. Keyakinan untuk memperoleh keberhasilan, dan 7. Memiliki jiwa kepemimpinan. Selain itu pula, keberhasilan seseorang sebagai wirausaha menurut Sukardi 7

(1991) didukung oleh tiga hal: (1) pengembangan sikap kewirausahaan, (2) penguasaan manajemen pengelolaan usaha dan (3) mendapatkan bimbingan teknis yang cukup pada tahap awal usaha. Sikap kewirausahaan berakar dari salah satu aspek teori tiga kebutuhan McClelland, yaitu kebutuhan berprestasi (need for achievement). Ciri-ciri orang yang memiliki kebutuhan berprestasi tinggi adalah (Dees, Emerson & Economy, 2001), antara lain: pengambilan risiko yang moderat, tanggung jawab pribadi, memanfaatkan umpan balik, berorientasi peluang dan selalu ingin lebih baik.

METODE RISET
Penelitian ini mengaplikasikan pendekatan action research, yaitu pendekatan partisipatif dimana peneliti terlibat langsung dengan masyarakat yang diteliti dalam mengidentifikasi masalah, menentukan perencanaan, pelaksanaan program dan evaluasi program. Populasi penelitian adalah masyarakat miskin kota yang berada di Kecamatan Cakung, Jakarta Timur (Kelurahan Penggilingan dan Pulo Gebang) dan daerah mayoritas asal migran (hasil identifikasi yang dilakukan di kedua kelurahan DKI Jakarta). Sampel penelitian diambil secara purposive, terdiri dari masyarakat yang tidak bekerja secara formal, minimal 100 orang, dengan karakteristik sampel sebagai berikut: (a) penganggur terbuka dan tersembunyi, (b), usia produktif berkisar antara 17 s/d 40 tahun, yaitu mereka yang berada pada tahapan dewasa muda (Levinson, 1986), (c) latar belakang pendidikan minimal SMP, karena diharapkan dapat memahami pemberdayaan yang akan mereka terima. Pendekatan yang digunakan adalah membangun program kemitraan antara pemerintah kota, pemerintah lokal, masyarakat LSM, dunia usaha dan perguruan tinggi. Pendekatan intervensi ini dilakukan dengan mengikuti Three Change Step Model dari Kurt Lewin (1947), yakni (1) mencairkan keyakinan yang saat ini dimiliki oleh masyarakat (unfreezing), (2) menggerakkan masyarakat ke arah keyakinan yang baru (moving) dan (3) mempertahankan keyakinan baru (refreezing).

Siklus action research yang dilakukan adalah sebagai berikut:

Survei untuk identifikasi profil responden dan pemangku kepentingan di daerah miskin kota Survei untuk identifikasi profil responden dan pemangku kepentingan di daerah asal migran

Joint action planning antara pemangku kepentingan

Action (antara lain pelatihan kewirausahaan)

Feedback kepada para pemangku kepentingan mengenai hasil survei dan kegiatan usaha yang memungkinkan

Pengumpulan data setelah action

Gambar 1. Siklus action research

DAFTAR PUSTAKA
Alma, Buchari (2008), Kewirausahaan: Untuk Mahasiswa dan Umum, Alfabeta: Bandung, Indonesia. Armenakis, A.A., Harris, S.G., Mossgolder, K.W. (1993). Creating readiness for organizational change. Human Relations, 46, 681 703. Backer, T. E. (1995). Assessing and enhancing readiness for change: Implications for technology transfer. Dalam Backer, T. E., David, S. L. & Soucy, G. (Ed.), Reviewing the behavioral science knowledge base on technology transfer. MD: National Institute on Drug Abuse, Rockville, 21-41. Berita Resmi Statistik Badan Pusat Statistik. (2007). Tingkat kemiskinan di Indonesia tahun 2007. No. 38/07/Th. X, 2 Juli. Dees, J.G., Emerson, J. & Economy, P. (2001). Enterprising Non Profits: A Toolkit for Social Entrepreneurs. New York: Wiley. Hisrich, Robert & Peters, Mice (2002). Entrepreneurship (Fifth Edition). Mc Graw Hill, Higher Education, Sydney, Australia. Kompas (2008), Tajuk Rencana Kompas 22 Agustus 2008, Jakarta Levinson (1986), The seasons of a mans life. USA: Ballantine Books. Nelson, G. & Prilleltensky, I. (2005). Community psychology: In pursuit of liberation and wellbeing. New York: Palgrave Macmillan. 9

Robbins, Stephen P. (2003). Organizational Behavior. New Jersey : Pearson Education, Inc. Sukardi, I. S. (1991). Intervensi terencana faktor-faktor lingkungan terhadap pembentukan sifatsifat entreprenur (entrepreneur traits). Disertasi Fakultas Psikologi Universitas Indonesia: tidak diterbitkan. Scarborough, Norman & Zimmerer, Thomas W & (2002), Effective Small Business Management: An Entrepreneurial Approach, Prentice Hall, New Jersey USA. Suryana (2003), Kewirausahaan. Jakarta: Salemba 4. Zaltman, G., Kotler, P., & Kaufman, I. (1972). Creating social change. New York: Holt, Rinehart & Winston.

10

Anda mungkin juga menyukai