Anda di halaman 1dari 9

Membangun Sistem Hukum Demokratis

Written by Administrator Tuesday, 02 March 2010 11:52 - Last Updated Tuesday, 02 March 2010 12:21

MEMBANGUN SISTEM HUKUM DEMOKRATIS Oleh: Kartini L. Makmur

APA YANG DITAKUTKAN oleh Erich Fromm dalam perwujudan masyarakat yang dimesinkan secara total, tampaknya tak demikian dramatis dan mengerikan dibandingkan ketika hukum yang terancam kehilangan ruh sebagai pemenuhan tuntutan kebutuhan masyarakat. Hukum dalam situasi sosial semacam ini menjadi hantu lokal dalam tuturan yang rasional dan berwajah manis lewat refleksi secara sepihak persepsi sosial para pengambil kebijakan, yang dipikirkan dan diproses sebagai produk hukum yang pura-pura atas nama rakyat; namun tanpa sepenuhnya secara jiwa besar dibutuhkan masyarakat luas sebagai tuntutan kebutuhan hidup berbangsa dan bernegara.

Pola-pola perhubungan masyarakat yang semacam itu juga menggamblangkan hukum hadir dengan penyertaan sifatnya yang opresif. Inilah pula yang sejak dini diingatkan Abdul Hakim Garuda Nusantara dalam tulisannya Pembangunan Hukum: Sebuah Orientasi, bahwa kondisi produk hukum yang bersifat opresif jelas mempunyai dampak negatif yang sangat bermakna bagi pelaksanaan perwujudan keadilan sosial masyarakat.

Hukum, jadinya, hadir justru dicemooh bukannya diharapkan, maka salah satu simpton yang paling mengerikan dalam sistem hukum semacam ini adalah bahwa masyarakat mudah kehilangan kontrol untuk menentukan bentuk tata aturan yang menjadi kaidah-kaidah pembatas yang mengontrol perilakunya. Kalaupun hukum masih tetap memperlihatkan efektivitasnya, tak lain masyarakat dipaksa untuk mengikuti keputusan-keputusan yang dibuat tanpa mendapat kesempatan luas untuk berpartisipasi turut serta mempengaruhi proses pengambilan keputusan tersebut.

1/9

Membangun Sistem Hukum Demokratis


Written by Administrator Tuesday, 02 March 2010 11:52 - Last Updated Tuesday, 02 March 2010 12:21

Pada gilirannya bersama itu hukum dengan sistem demokratisasi jadinya juga semacam saudara sepupu yang tidak bisa saling menyapa. Ketika keduanya tidak saling menyapa, inilah risiko gawatnya: tanpa hukum, demokrasi dapat diganyang secara sepihak oleh penguasa atas nama demokrasi. Tanpa proses demokratisisasi, hukum dapat dibekuk secara sewenang-wenang.

Pertanyaan genting dari situasi ini mencuat: masih bisakah diakurkan sehingga ada pola merumuskan kembali pembangunan hukum yang dapat melayani kebutuhan akan keadilan bagi masyarakat? Kancah Pemikiran Bentuk-bentuk Hukum Ketika pertanyaan itu dijawab dalam esensinya bisa, tentu saja dibutuhkan para pendekar hukum yang daya intelektualnya tajam, integritasnya terjaga, dan komitmennya bulat guna memburu hantu-hantu lokal yang dimaksudkan di atas. Sekurang-kurangnya dari upaya-upaya perburuan itu menguatkan bahwa peranan mutlak dari institusi yudikatif, legislatif, maupun eksekutif menentukan arah pembangunan hukum dalam suatu masyarakat yang pada dasarnya tidak dapat ditolak sebagai metode untuk menghasilkan hukum yang menjadi instrumen ampuh bagi pelaksanaan ideologi dan program negara; dengan demikian, tidak ada alasan untuk menentang kebaikan-kebaikannya. Tradisi hukum kontinental (civil law) maupun tradisi hukum sosialis ( socialist law ) bisa dikatakan mewakili pandangan dan sikap yang demikian ini.

Bersanding dengan pandangan itu adalah premise ini: sementara itu tradisi hukum adat (comm on law ) berada di sisi lain, mengakomodasikan peranan yang besar dari lembaga-lembaga peradilan, dan partisipasi yang luas dari kelompok sosial atau individu dalam masyarakat guna menentukan arah perkembangan hukum. Ini berarti peranan lembaga negara (pemerintah dan parlemen) dalam menentukan arah perkembangan hukum menjadi lebih relatif. Tradisi hukum seperti ini membuka peluang bagi masyarakat secara terbuka untuk memberikan partisipasi luas yang memungkinkan ditimbang sebagai sebuah tekanan bagi lembaga peradilan sehingga mendorong pandangan peradilan yang melihat perspektif ke depan, terutama dalam menghadapi konflik yang timbul yang diajukan ke hadapannya.

Dari sana kedudukannya yang relatif bebas juga membuat lembaga peradilan cenderung memproduksi kaidah-kaidah hukum yang lebih responsif terhadap tuntutan berbagai kelompok sosial atau individu dalam masyarakat. Dari gambaran tersebut jelas terlihat bahwa dalam

2/9

Membangun Sistem Hukum Demokratis


Written by Administrator Tuesday, 02 March 2010 11:52 - Last Updated Tuesday, 02 March 2010 12:21

tradisi hukum adat arah perkembangan hukum juga turut ditentukan oleh partisipasi luas masyarakat selain tentunya dari peran substansial lembaga peradilan. Hal ini bisa menjadi sebuah refleksi strategi pembangunan hukum yang bersifat responsif.

Akan tetapi, penerapan strategi pembangunan yang telah dapat dikategorikan sebagai model yang bersifat responsif itu kadangkala dipelintir hingga bisa saja tidak sepenuhnya secara konsekuen dilaksanakan melalui proses yang terencana. Sejarah menunjukkan bahwa seringkali pembangunan hukum tetap menjadi hasil proses politik, yang membawa pada pemahaman bahwa penerapannya dalam masyarakat juga sangat tergantung dari hasil interaksi politik di antara kelompok sosial yang menjadi entitasnya.

Apa yang diingatkan Padmo Wahjono lewat bukunya Pembangunan Hukum di Indonesia tampaknya relevan dan segar untuk afirmasi kebutuhan itu. Ia mengingatkan bahwa pembangunan hukum, dalam hal ini yang berproses di Indonesia, pada masa kini maupun masa-masa mendatang, bukanlah sekadar berdasarkan teori hukum yang universal dan canggih, melainkan sangat dipengaruhi oleh pandangan hidup kelompok (yang nyata).

Setidak-tidaknya sejumlah rangkaian determinan itu menjadi poin penting pemikiran logis memburu hantu lokal yang tadi di atas kita maksudkan. Atau bisa pula kita mengikuti peta pemikiran perburuannya dari Sally Falk Moore yang dituangkan dalam buku Hukum dan Perubahan Sosial (Law and Social Change). Moore memberitahukan bahwa hukum yang ditetapkan oleh alat-alat perlengkapan negara yang berwenang berdasarkan otoritas yang termaksud di dalamnya, tidak akan secara otomatis mendorong masyarakat untuk tunduk mematuhi.

Menurut Moore, penting untuk melihat secara jernih bahwa pada kenyataannya seringkali aturan-aturan yang dikeluarkan oleh negara adalah untuk mengatur kembali hubungan-hubungan yang sebenarnya sudah sejak lama diatur oleh berbagai pranata yang berdinamika dalam kehidupan masyarakat.

Dengan demikian, kita coba melacak, ada semacam kekuatan-kekuatan magis yang tidak

3/9

Membangun Sistem Hukum Demokratis


Written by Administrator Tuesday, 02 March 2010 11:52 - Last Updated Tuesday, 02 March 2010 12:21

tertangkap oleh indera secara kasat mata bahwa aturan-aturan yang lahir dari masyarakat sendiri itu diikuti oleh masyarakat atau berlaku secara efektif. Sayangnya, justru kekuatan-kekuatan itulah yang sangat mempengaruhi aturan produksi negara diikuti atau malah tidak diikuti.

Maka lebih jauh ketika Moore menggambarkan mengenai partisipasi masyarakat dalam proses pembentukan sebuah produk hukum, ia menggunakan sebuah istilah unik semi-otonomous social field yang secara sederhana dapat diartikan sebagai sebuah lingkungan sosial dengan dua sisi berkelindanan. Satu sisi, lingkungan sosial tersebut mampu menciptakan aturan-aturannya sendiri, tetapi di sisi lain rentan terhadap penguasaan oleh aturan-aturan dan keputusan-keputusan serta kekuatan-kekuatan yang terpancar dari dunia luas yang melingkupinya, yaitu pengaturan oleh undang-undang negara. Konstruksi Hukum dan Demokrasi Hukum dan demokrasi yang sebelumnya dirasuki roh-roh hantu lokal yang tadi kita maksudkan sehingga dua saudara sepupu ini tak saling menyapa, ternyata, lewat keberanian merepresentasikan rasionalitas berkeadilan, hukum dan demokrasi bisa diakurkan --walau sepedih apapun upaya ini kita tempuh.

Maka gagasan demokrasi dalam prakteknya seringkali ditafsirkan secara sepihak oleh penguasa buat kepentingan golongan (dan kekuasaannya) saja, oleh karenanya dapat dilawan. Dari perlawanan ini juga dengan demikian puncak perkembangan gagasan demokrasi paling ideal adalah manifestasi gagasan demokrasi yang berdasar atas hukum, yang dalam istilah inklusifnya: constitutional democracy.

Sehubungan dengan itu Jimly Asshidiqie dalam bukunya Pilar Demokrasi yang cukup membetot pemikiran kita, betul-betul menghujamkan pondasi pemikiran pilar-pilar demokrasi lewat penegasan ini: suatu negara yang percaya pada hukum dan bahkan menjadikan gagasan demokrasi itu sejalan dengan gagasan negara hukum, lazim diyakini bahwa proses reformasi kelembagaan dan reformasi budaya politik dapat dipercayakan pada hukum itu sendiri sebagai instrumen pembaruan yang efektif.

4/9

Membangun Sistem Hukum Demokratis


Written by Administrator Tuesday, 02 March 2010 11:52 - Last Updated Tuesday, 02 March 2010 12:21

Maka semakin kentara saja dalam ruang-ruang gagasan demokrasi, hukum menempati posisi vital. Sehingga berkaitan dengan hal ini hukum harus dikembangkan dan ditegakkan mengikuti norma-norma dan prosedur-prosedur tertentu yang benar-benar menjamin terwujudnya proses demokratisasi yang sejati. Inilah yang kemudian hukum dan demokrasi adalah saudara sepupu yang saling menyapa, bisa diakurkan, dengan kata lain, dalam gagasan demokrasi yang berdasarkan hukum, hukum harus pula berproses secara demokratis.

Seiring dengan perkembangan pemikiran tentang negara demokrasi, sejarah pemikiran kenegaraan juga mengembangkan gagasan mengenai negara hukum yang terkait dengan gagasan kedaulatan hukum. Gagasan ini mengandung arti signifikan untuk sebuah ketetapan: pemimpin negara yang sesungguhnya bukanlah orang, melainkan sistem aturan yang harus dijadikan pegangan oleh siapa saja yang kebetulan menduduki jabatan kepemimpinan. Hal ini juga erat kaitannya dengan penyelenggaraan negara hukum yang demokratis, yang mensyaratkan bahwa prinsip negara hukum itu sendiri haruslah dijalankan menurut prosedur demokrasi yang disepakati bersama.

Upaya itu di Indonesia sejak era reformasi tahun 1998 tidak begitu lemah walau tak begitu gemilang; terpenting dari sini adalah sejumlah elemen bangsa semakin menyadari bahwa kekuasaan pada pokoknya diakui berasal dari rakyat, dan karena itu rakyatlah yang sebenarnya menentukan dan memberi arah serta yang sesungguhnya menyelenggarakan kehidupan kenegaraan. Keseluruhan sistem penyelenggaraan negara itu pada dasarnya juga diperuntukkan bagi seluruh rakyat itu sendiri.

Sistem bermasyarakat, berbangsa dan bernegara macam itu tidaklah bidah untuk terus menerus dikuatkan dan disegarkan. Reformasi yang bergulir sejak tahun 1998 itu memang belum memenuhi harapan yang sesungguhnya, tetapi dari sini juga ada perkara yang tidak boleh dilupakan: aturan main bahwa strategi pembangunan hukum yang sebagian besar merupakan hasil proses politik dalam iklim demokrasi yang sangat menyegarkan ini tentu membuka peluang yang semakin besar kepada masyarakat luas untuk turut berpartisipasi, memikirkan, mencari, merencanakan dan menerapkan strategi-strategi pembangunan hukum responsif-progresif yang sangat dekat dengan kepentingan masyarakat secara luas dan umum.

Sejalan dengan langkah tersebut, dalam iklim demokrasi yang menjunjung tinggi kebebasan berpikir ini pemerintah (Dephumham dan Mahkamah Agung) tentu berkewajiban untuk terus

5/9

Membangun Sistem Hukum Demokratis


Written by Administrator Tuesday, 02 March 2010 11:52 - Last Updated Tuesday, 02 March 2010 12:21

mendorong kondisi sehat bagi para hakim agar bisa berpikir secara merdeka. Maka hakim dapat diharapkan untuk bisa benar-benar tanggap terhadap tuntutan kebutuhan masyarakat luas. Pembangunan Hukum Progresif-Demokratis Pasal-pasal, baik yang hanja mengenai warga-negara maupun yang mengenai seluruh penduduk memuat hasrat bangsa Indonesia untuk membangunkan negara yang bersifat demokrasi dan yang hendak menyelenggarakan keadilan sosial dan perikemanusiaan. Itu secara jelas mengamanatkan bahwa bangsa Indonesia sejak awal mencita-citakan hukum yang demokratis dalam rangka menyelenggarakan keadilan sosial dan perikemanusiaan. Sahardjo secara lugas meringkas makna tersebut menyentuh hati nurani dan menggebrak kesadaran, yaitu bahwa fungsi hukum adalah pengayoman.

Berangkat dari cita-cita luhur itulah secara visioner bangsa Indonesia telah pula menetapkan visi 2020 yang berupa perwujudan sistem hukum yang adil. Implementasi keadilan sistem hukum ini menguatkan kedudukan semua warga negara sama di depan hukum dan berhak mendapatkan keadilan. Hukum ditegakkan untuk keadilan, dan bukan untuk kepentingan kekuasaan ataupun kelompok kepentingan tertentu.

Namun demikian ada tantangan untuk menegakkan keadilan, yakni bagaimana para ahli dan pemikir hukum, serta pihak terkait, bergegas mewujudkan aturan hukum yang adil serta institusi hukum dan aparat penegak hukum yang jujur, profesional, dan tidak terpengaruh oleh penguasa. Sehingga supremasi hukum ditegakkan untuk menjamin kepastian hukum, keadilan, dan pembelaan hak asasi manusia bukan lagi-lagi kata-kata milik para juru kampanye jelang Pemilu 2009 ini; melainkan bagaimana itu terimplementasikan, riil, dan terukur.

Tantangan itu kemungkinan besar bisa diladeni dan diatasi, mengingat dan mempertimbangkan kaharusan mempraktekkan sistem politik yang demokratis sebagai jawaban atas tantangan-tantangan yang berupa pewujudan kedaulatan di tangan rakyat, partisipasi rakyat yang tinggi dalam kehidupan politik, partai politik yang aspiratif dan efektif, dan pemilihan umum yang berkualitas. Sistem politik yang demokratis ini harus ditopang dengan budaya politik yang sehat, yaitu sportivitas, menghargai perbedaan, dan santun dalam perilaku.

6/9

Membangun Sistem Hukum Demokratis


Written by Administrator Tuesday, 02 March 2010 11:52 - Last Updated Tuesday, 02 March 2010 12:21

Dengan demikian secara realistis pembangunan hukum yang progresif-demokratis dapat diwujudkan. Membangun hukum berarti tidak semata hanya membentuk penataan kaidah hukum, melainkan pula sekaligus penguatan perangkat-perangkat yang berkaitan dengan tegaknya kehidupan tata hukum tersebut. Terlebih lagi proses pembangunan hukum, apalagi yang sesuai dengan nilai-nilai demokrasi, sangat dipengaruhi oleh pandangan hidup bangsa Indonesia yang selanjutnya akan menentukan rambu-rambu filsafati dalam pembentukan hukum tersebut.

Beberapa hal dapat dilakukan untuk menyelenggarakan proses pembangunan hukum yang progresif-demokratis itu, namun satu hal jangan diabaikan: mematangkan perencanaan pembangunan sehingga prosesnya dapat berkesinambungan secara ajeg. Hal ini tidak lain merupakan suatu bentuk antisipasi untuk menghindari pembangunan hukum yang hanya berdasarkan selera sesaat (het grillen van het ogenblik).

Perencanaan yang matang ini sebenarnya dapat ditempuh melalui pelaksanaan program legislasi nasional (prolegnas). Hanya saja pelaksanaan prolegnas sendiri masih banyak menuai kritik kalangan akademisi terkait dengan mekanisme pelaksanaannya yang dinilai belum jelas dan efektif. Di sinilah langkah pembangunan hukum yang progresif-demokratis dapat mulai ditatihkan. Evaluasi dan koreksi mengenai mekanisme serta hal-hal lain dari prolegnas yang telah berjalan harus segera diimplementasikan demi perencanaan pembangunan hukum yang matang dan pasti. Selain itu, prolegnas juga menentukan tingkat produktivitas lembaga pembentuk hukum yang secara spesifik berkaitan dengan masalah beban legislatif nasional. Menurut Padmo Wahjono, laju perkembangan hukum salah satunya dapat dilihat dari jumlah produk hukum yang dapat dihasilkan oleh lembaga pembentuk hukum.

Selanjutnya pembentukan hukum harus baku dan jelas proses atau prosedur yang harus ditempuh, dalam hal ini maka proses legislasi nasional harus dapat berjalan efektif dan efisien. Lebih mendalam lagi rumusan hukum harus bisa menjadi naskah yang baku pula bentuk dan susunannya dan dalam hal ini kita berhadapan dengan masalah teknik perundang-undangan dan bahasa hukum.

Sangat substansif dan krusial juga adalah proses pembangunan hukum harus bisa menjadi refleksi dari aspirasi masyarakat yang, secara umum, dapat pula dilihat sebagai manifestasi pandangan hidup bangsa. Untuk menjawab kebutuhan ini, maka pembentukan lembaga yang

7/9

Membangun Sistem Hukum Demokratis


Written by Administrator Tuesday, 02 March 2010 11:52 - Last Updated Tuesday, 02 March 2010 12:21

dapat menjadi akomodasi aspirasi rakyat merupakan alternatif yang sehat agar direalisasikan. Katakanlah semacam lembaga dengar pendapat umum yang nantinya menjadi akses bagi masyarakat luas untuk menyalurkan aspirasinya secara formal terkait dengan produk-produk hukum yang dihasilkan oleh lembaga pembentuk hukum negara.

Melalui strategi pembangunan hukum yang bersifat responsif-demokratis itu, dapat menguatkan sistem demokrasi Indonesia dengan kesempatan partisipasi masyarakat dalam proses pembentukan hukum yang berada dalam posisi yang menentukan. Partisipasi masyarakat luas yang terbuka lebar itu dapat menjadi jalan bagi masyarakat untuk mengubah keadaan yang merugikan dan memiskinkan mereka.

Dengan demikian pembangunan hukum yang responsif-demokratis merupakan cara ampuh untuk mengantisipasi sekaligus mengatasi kehadiran hantu lokal yang bernama hukum yang terancam kehilangan ruh sebagai pemenuhan tuntutan kebutuhan masyarakat.

Akhirnya dapat dipastikan bahwa pembangunan hukum yang responsif-demokratis merupakan tangga ekskalasi masyarakat untuk melakukan gerakan emansipasi sosial yang diperlukan untuk mewujudkan keadilan sosial masyarakat. Ini bukan dongeng, mungkin sesuatu yang sulit tapi bukan mustahil dapat kita wujudkan di Indonesia yang merdeka, yang demokratis, sehingga hukum tetap utuh dalam ruh pemenuhan kebutuhan masyarakat. Maka di sini hukum dan demokrasi, macam dua saudara sepupu yang yang saling menyapa, dan berkepentingan: membangun kontruksi berkeadilan. *** * Penulis adalah mahasiswa fakultas hukum Universitas Indonesia dan Pengurus Cabang PMII Depok

Bibliografi Alkostar, Artidjo dan M. Soleh Amin (editor). Pembangunan Hukum Dalam Perspektif Politik Hukum. Jakarta: Rajawali, 1986. Arinanto, Satya. Hukum dan Demokrasi. Jakarta: In-Dhill-Co, 1991.

8/9

Membangun Sistem Hukum Demokratis


Written by Administrator Tuesday, 02 March 2010 11:52 - Last Updated Tuesday, 02 March 2010 12:21

Asshidiqie, Jimly. Pilar Demokrasi. Jakarta: Konstitusi Press, 2006. Diamond, Larry. Revolusi Demokrasi. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1994. Fromm, Erich. Revolusi Harapan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996. Gautama, Sudargo. Pembaharuan Hukum di Indonesia. Bandung: Alumni, 1973. Kompas, 27 Februari, 2009. Persahi. Kerangka Landasan Pembangunan Hukum. Jakarta: Sinar Harapan, 1991. Nusantara, Abdul Hakim G. dan Nasroen Yasabari (editor). Beberapa Pemikian Pembangunan Hukum di Indonesia. Bandung: Alumni, 1980. Sekretariat Jenderal Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia. Panduan Pemasyarakatan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Jakarta: 2006. Wahjono, Padmo. Pembangunan Hukum di Indonesia. Jakarta: In-Dhill-Co, 1989.

9/9

Anda mungkin juga menyukai