Anda di halaman 1dari 2

Hukuman mati sudah dikenal sejak ribuan tahun usia sejarah peradaban manusia.

Pemahaman sosiologis melihat sekalian hal, lembaga, proses dalam masyarakat itu dalam konteks sosial tertentu. Demikian pula pada waktu dihadapkan kepada masalah pidana mati. Membicarakan pidana mati secara sosiologis dilakukan juga dengan cara seperti itu. Masalah pidana mati adalah pidana mati dalam konteks sosial tertentu dan tidak pernah di luar konteks. Pembicaraan mengenai hukuman mati dewasa ini tidak dapat dilakukan seperti waktu kita membicarakannya sekian ribu tahun yang lalu. Ia kita bicarakan hic-et-nunc, sekarang dan di sini. Perubaan dan perkemabangan masyarakat dunia membawa kita kepada masalah pidana mati dalam konteks dunia abad XXI. Jauh di waktu lampau, segalanya tampak sederhana, seperti rumus nyawa dibalas nyawa. Dalam konteks sosial sperti itu, hukuman mati tidak banyak dipermasalahkan. Tetapi, sekarang keadaan tidak lagi dapat dipahami dengan cara yang sederhana seperti itu. Perkembangan peradaban membawa kita kepada peradaban yang sangat rentan (delicate), khususnya pada waktu membicarakan sesuatu yang berhubungan dengan manusia. Banyak ajaran, doktrin, lembaga, diciptakan untuk menjaga kemuliaan manusia. Dalam sejarah, berapa bayak sudah orang-orang dijatuhi pidana mati, digantung, dipancung, ditebas oleh Guillotine, ditembak, dan disuntik. Orang-orang terkenal tidak terkecuali dari eksekusi, mulai Raja Louis XVI, Permaisuri Marie Antoinette, Robes Pierre, Kaisar Rusia Nicholas, sampai ke Herman Goring serta sejumlah petingi Nazi Jerman di akhir PD II dan yang paling akhir, Saddam Husein. Indonesia masih mencantumkan ancaman hukuman mati sebagai salah satu bentuk ancaman hukuman dalam hukum positifnya. Oleh sebab itu, maka ukuman mati merupakan suatu bentuk hukuman yang secara perundang-undangan masih sah dilakukan di negeri ini. Hukuman mati berbicara mengenai suatu cara penghukuman yang mengakibatkan matinya seseorang. Maka di sini, persoalan kematian menjadi sentral. Pertama, kematian lazim diterima sebagai suatu peristiwa fisik. Bagaimana cara menjalankan hukum itu dan kapan terpidana itu dinyatakan telah mati, semua ditentukan oleh batasan kematian fisik. Biasanya, seorang dokter hadir pasa saat pelaksanaan hukuman mati tersebut dan ialah ahli yang menentukan, bahwa terpidana mati akhirnya sudah meninggal. Bentuk hukuman mati sebagai pidana fisik itulah yang sudah terpatri dalam pikiran orang, manakala berbicara megenai hukuman mati. Berbicara mengenai sifat HAM yang non-derogable rights, HAM memang tidak bisa dicabut, kecuali oleh yang memberikannya, yaitu Tuhan Yang Maha Esa. Namun, perlu diingat bahwa bukan hanya pemohon saja yang memiliki HAM. Setiap orang yang terlahir memiliki HAM sebagai anugerah dari Yang Kuasa hingga dia meninggal nanti. Tapi, HAM tidaklah tak terbatas. HAM seseorang terbatas dan dibatasi oleh HAM milik orang lain. Ketika seseorang menabrak HAM orang lain, maka sebenarnya dia juga telah menabrakkan HAM-nya sendiri. Dalam hal ini, lalu-lintas kepentingan HAM antarindividu sebagai subyek hukum dituangkan menjadi hukum positif dalam bentuk peraturan perundang-undangan, bahkan konstitusi kita sendiri. Dalam BAB X A tentang Hak Asasi Manusia, memang diatur tentang Hak Asasi Manusia mulai Pasal 28A-28I, tapi perlu dilihat juga Pasal 28J sebagai pasal pamugkas untuk menutup sekaligus menjelaskan bagaimana seharusnya suatu hak asasi

itu dilaksanakan, yaitu dengan menghormati hak asasi manusia orang lain dan tunduk pada pembatasannya yang diatur oleh peraturan perundang-undangan. Hal yang tidak boleh dilupakan juga adalah bagaimana seseorang bisa melakukan sebuah kejahatan kemanusiaan yang besar hingga berakibat pada perampasan nyawa orang lain secara ilegal (illegal execution). Pengertian kejahatan terhadap kemanusiaan mensyaratkan adanya serangan yang bersifat meluas atau sistematis dan serangan tersebut ditujukan terhadap kelompok penduduk sipil atas dasar kebangsaan, politik, atau etnis. Tidak menutup kemungkinan di masa depan bahwa apabila subjek hukum yang seperti itu diberikan sebuah penghukuman yang setara dengan tindak pidana biasa, maka pelanggaran kemanusiaan yang sama atau lebih buruk akan terulang kembali karena ketiadaan efek jera (shock therapy). Kejahatan terhadap kemanusiaan adalah kejahatan luar biasa (extraordinary crime) yang membutuhkan penanganan secara luar biasa pula. Penjatuhan pidana mati ditolak karena pidana mati berkait dengan hidup mati seseorang, bagi kaum moralis hal ini berkait dengan hak Tuhan untuk menentukan kematian seseorang. Tentu kematian seseorang merupakan hak Tuhan, akan tetapi hak manusia untuk menjatuhkan pidana mati merupakan hak yang diberikan Tuhan kepada manusia. Artinya menjatuhkan sanksi tersebut bukan karena kesewenangan, melainkan hak yang diberikan Tuhan dengan sebuah kewenangan hukum. Dengan demikian tidak melanggar hak manusia itu sendiri. Tapi, pidana mati haruslah menjadi ultimum remidium untuk mengembalikan supremasi hukum dan menyembuhkan luka yang diakibatkan dari tindak pidana tersebut. Sebagaimana disebutkan dalam International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) Article 6: 1. Every human being has the inherent right to life. This right shall be protected by law. No one shall be arbitrarily deprived of his life (Setiap manusia memiliki hak yang melekat untuk hidup. Hak ini harus dilindungi oleh hukum. Tidak seorang pun boleh sewenang-wenang dirampas hidupnya). Dikatakan bahwa setiap manusia, artinya kita tidak bisa hanya melihat HAM pada diri seseorang saja, melainkan juga harus melihat HAM yang melekat pada diri setiap orang sebagai suatu susunan masyarakat beradab yang kompleks. Bahwa hukuman mati sebagai bentuk perampasan hak untuk hidup tidak boleh dilakukan sewenang-wenang oleh pihak lain, tetapi harus melalui suatu mekanisme hukum yang sah secara perundang-undangan negara terkait dan dilakukan oleh negara sebagai perwakilan kedaulatan tertinggi sehingga tidak terjadi suatu penghakiman massal oleh keluarga korban atau masyarakat. Dipertahankannya pidana mati dalam UU didasarkan pada ide menghindari tuntutan reaksi masyarakat atau pribadi yang bersifat balas dendam, emosional, sewenang-wenang, tak terkendali, atau extra-legal execution. Dimaksudkan untuk memberi perlindungan kepada masyarakat dan individu dari pembalasan yang sewenang-wenang dari keluarga korban atau masyarakat. Pidana mati merupakan channel sebagai bentuk penyaluran emosi balas dendam dan penegasan terhadap pembatasan HAM sebagaimana dituangkan dalam pasal 28J UUD 1945. Pidana mati itu bersifat eksepsional yang ditujukan hanya untuk extraordinary crime yang pelaksanaannya tidak boleh sewenang-wenang dan harus selektif.

Anda mungkin juga menyukai