Anda di halaman 1dari 19

A. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Masalah 2. Perumusan Masalah 3.

Tujuan

B. PEMBAHASAHAN
1. Pengertian Desentralisasi Manajemen Pendidikan

Desentralisasi adalah Pendegelasian wewenang dalam membuat keputusan atau kebijakan. Peningkatan kualitas sumber daya manusia melalui pendidikan telah banyak dilakukan oleh pemerintah, dalam hal ini Kementerian Pendidikan Nasional, antara lain melalui pengembangan serta perbaikan kurikulum dan sistem evaluasi, perbaikan sarana pendidikan pengembangan dan pengadaan materi ajar, serta pembinaan manajemen sekolah.(Abdul wahab,1990:13) Secara teoritis struktur organisasi desentralisasi ditunjukkan dengan tingkat pengambilan keputusan yang terjadi dalam organisasi. Dalam struktur desentralisasi, sebagian keputusan diambil pada tingkat hirarkiorganisasi tertinggi, dan apabila sebagian besar otoritasdidelegasikan pada tingkat yang rendah dalam organisasi, maka organisasi tersebut tergolong pada organisasi yang desentralisasi. Dengan demikian inti dari desentralisasi adalah adanya pembagian kewenangan oleh tingkat organisasi di atas kepada organisasi di bawahnya. Implikasi dari hal tersebut adalah desentralisasi akan membuat tanggung jawab yang lebih besar kepada pimpinan di tiap level organisasi dalam melaksanakan tugasnya serta memberikan kebebasan dalam bertindak. Istilah desentralisasi manajemen mengandung makna bahwa proses pendelegasian atau pelimpahan kekuasaan atau wewenang dalam sistem organisasi diberikan dari pimpinan atau atasan ke tingkat bawahan. Dengan demikian desentralisasi manajemen pendidikan adalah pelimpahan wewenang dari pemerintah kepada daerah untuk membuat keputusan manajemen dan menyusun perencanaan sendiri dalam mengatasi masalah pendidikan, dengan mengacu kepada sistem pendidikan nasional. Tujuan desentralisasi pendidikan,

yang dalam bahasa kekaisaran adalah educational improvement, administrative efficiency, financial efficiency, political goals, effect on equity. Pembaharuan sistem manajemen dalam pemerintah mempunyai implikasi langsung terhadap sistem pendidikan nasional, terutama yang berkaitan dengan masalah substansi, proses dan konteks manajemen penyelenggaraan

pembangunan pendidikan. Namun, penyelenggaraan sistem pendidikan nasional untuk masa masa mendatang , walaupun telah memiliki perangkat pendukung perundang undangan, juga masih dihadapkan pada sejumlah factor yang menjadi tantangan dalam penerapan desentralisasi pendidikan di daerah. Seperti tingkat perkembangan ekonomi dan sosial budaya setiap daerah, tipe dan kualitas kematangan SDM yang diperlukan oleh daerah setempat, perkembangan ilmu dan teknologi, perkembangan dunia industry dan tingkat perkembangan lembaga lembaga satuan pendidikan di setiap daerah. Apabila kitab UU no.32/2004 dilaksanakan secara konsisten, secara teoritis kehendak pasal 31 ayat (1) kitab UUD/1945 kemungkinan besar dapat terealisasikan, karena pelayanan pemerintah kepada masyarakat di bidang pendidikan dan pengajaran, rentangnya tidak terlalu jauh. Dengan demikian, peranan proses manajemen dalam pembangunan pendidikan akan semakin strategis. Desentralisasi manajemen pendidikan berusaha untuk mengurangi campur tangan atau intervensi pejabat atau unit pusat terhadap persoalan persoalan pendidikan yang sepatutnya bisa diputuskan dan dilaksanakan oleh unit di tataran bawah, pemerintah daerah, atau masyarakat. Desentralisasi merupakan sarana untuk mengembangkan organisasi karena organisasi dapat bergerak lebih luwes dan alur informasi lebih bebas sesuai dengan karekteristik pembuatan keputusannya. Kebijakan yang nerdimensi lokal adalah semua hal yang sesuai dengan aspirasi dan kebutuhan masyarakat daerah. Kebijakan seperti ini sebaiknya rakyat dan pemerintah daerah yang

memutuskannya. Memilih loksi tempat berdirinya gedung sekolah, menambah dan mengangkat guru, memilih dan menetapkan kepala sekolah, mendidik dan melatih guru, menentukan kurikulum local dan sebagainya akan lebih tepat efisien

apabila daerah yang melakukannya. Desentralisasi jenjang pendidikan bisa dipili apakah semua jenjang pendidikan bisa ditangani oleh pemerinta daerah, atau hanya terbatas jenjang pendidikan tertentu sesuai dengan kemampuan pemerintah daerah.

2. Ruang Lingkup Desentralisasi Manajemen Pendidikan

Desentralisasi pemerintahan negara membawa implikasi terhadap ruang lingkup (substansi), proses, dan konteks pembangunan pendidikan, dan pada implementasinya dalam bidang pendidikan memerlukan model model yang relevan sesuai dengan konteks dan karakteristik pemerintahan daerah. Dalam aspek ini, terdapat tiga model desentralisasi pendidikan, yaitu: (1) Manajemen berbasis lokasi (site base management), (2) Pengurangan administrasi pusat, (3) Inovasi kurikulum. Model manajemen berbasis lokasi ialah model yang dilaksanakan dengan meletakkan semua urusan penyelenggaraan pendidikan pada sekolah. Model pengurangan administrasi pusat diikuti dengan peningkatan wewenang dan urusan pada masing masing sekolah. Model inovasi kurikulum menekankan pada inovasi kurikulum sebesar mungkin untuk meningkatkan kualitas dan persamaan hak bagi semua peserta didik. Kurikulum ini disesuaikan benar dengan kebutuhan peserta didik di sekolah sekolah yang tersebar pada daerah yang bervariasi. Substansi desentralisasi dalam bidang manajemen pendidikan, paling sedikit berkenaan dengan aspek aspek: (1) Perundang undangan pendidikan, (2) Struktur organisasi dan kelembagaan pendidikan, (3) Pengembangan kurikulum pendidikan, (4) Profesionalisasi tenaga kependidikan, (5) Sarana dan prasarana pendidikan, dan (6) Pembiayaan pendidikan. 1.1 Desentralisasi Perundang undangan Pendidikan Setiap penataan organisasi dan manajemen sebagai konsekuensi dari wewenang yang diterima tidak lepas dari adanya asas legalitas sebagai landasan berpijak dalam membangun perangkat perangkat operasional organisasi dan menajemen yang accountable bagi kepentingan masyarakat, sekaligus untuk

memenui kebutuhan masyarakatnya. Dengan demikian, maka salah satu keberhasilan dalam desentralisasi manajemen pendidikan sangat tergantung pada dukungan peraturan perundang undangan. Peraturan perundang undangan tersebut terdiri dari dua sumber: Pertama, komitmen politik yang bersumber dari amanat rakyat yang mencakup komitmen internal dan eksternal.Komitmen internal berkaitan dengan segala aktivitas masyarakat dan bangsa dalam percaturan global. Kedua, political will (kemauan politik) para pembuat kebijakan baik pada tatanan manajemen pendidikan di tingkat pusat maupun di tingkat daerah. Pelaksanaan pembangunan pendidikan di daerah sampai saat ini sudah memiliki tiga komponen utama yang dapat dijadikan rujukan dalam deregulasi perundang undangan pendidikan, yaitu: Pertama, struktur produk yang menjadi perangkat kendali sistem penyelenggaraan pembangunan pendidikan. Produk produk kebijakan ini berkenaan dengan UU yang mengatur tentang

kependudukan, kesehatan, hak azasi manusia (HAM), pemerintahan daerah, perimbangan keuangan, sistem pendidikan nasional, peraturan peraturan daerah, dan beberapa keputusan menteri dan kepala negara. Kedua, struktur program pembangunan yang menjadi perangkat operasional bagi pelaksanaan pembangunan pendidikan di daerah. Perangkat ini berkenaan dengan Garis garis Besar Haluan Negara (GBHN), pogram pembangunan nasional (Propenas) dan rencana strategis (Renstra), program pembangunan daerah (Propeda), dan rencana strategis daerah (Renstrada). Ketiga, orientasi dan tantangan tantangan pembangunan ke depan yang menjadi perangkat pendukung dalam pelaksanaan pembangunan pendidikan, Perangkat ini berkenaan dengan komitmen bangsa dalam percaturan dunia internasional dan tantangan tantangan pembangunan yang harus dihadapi di masa depan. Upaya menjamin kemandirian daerah dalam melaksanakan pembangunan pendidikan, pemerintah daerah diberi tanggung jawab yang besar. Dalam hal ini, peraturan daerah (Perda) dan peraturan kepala daerah (Perkepda) yang dapat dijadikan perangkat kendali sistem organisasi dan manajemen pendidikan di daerah tidak lagi memerlukan pengesahan dari pemerintah pusat, sepanjang

merujuk dan tidak bertentangan dengan peraturan hukum dan perundang undangan yang berlaku secara nasional. Oleh karena itu, dalam pelaksanaan desentralisasi manajemen pendidikan di daerah harus banyak menempatkan peran serta masyarakat dan pihak swasta dengan pola pola kemitraan melalui mekanisme pasar yang kompetitif. Peranan pemerintah daerah lebih banyak pada melaksanakan fungsi fungsi pengawasan, fasilitas, pengendalian dan pendampingan. Deregulasi dalam bidang hukum dan peraturan perundang undangan tersebut, paling tidak mencakup aspek aspek substansial dalam menjawab persoalan pendidikan.

1.2 Desentralisasi Organisasi Kelembagaan Pendidikan Pembaharuan struktur kelembagaan pendidikan di daerah perlu

memperhatikan tiga hal pokok, yaitu kewenangan, kemampuan dan kebutuhan masing masing daerah dengan berazaskan pada demokratisasi, pemberdayaan, dan pelayanan umum di bidang pendidikan. Kewenangan merupakan rujukan dasar pijakan dalam menentukan substansi manajemen pendidikan yang patut dilakukan. Kebutuhan berkaitan dengan potensi daera terutama dari hasil penggalian sumber daya yang dituangkan dalam PAD. Deregulasi struktur organisasi dan manajemen pendidikan diarahkan pada sistem pembagian kekuasaan dan kewenangan. Organisasi pengelolaan

pembangunan pendidikan berjenjang dari tingkat pusat sampai ke tingkat kelembagaan. Terminologi otonomi pemerintahan sebagaimana tertuang dalam UU. No. 22/1999 yang membagi otonomi ke dalam tiga bentuk, yaitu otonomi terbatas untuk organisasi tingkat provinsi, otonomi luas untuk tingkat kabupaten/kota, dan otonomi murni untuk tingkat desa, tidak serta merta dijawantahkan ke dalam organisasi pengelolaan pendidikan nasional seperti halnya otonomi pemerintahan. Pola hubungan manajemen pendidikan nasional, tidak terlepas dari kehendak pasal 2 ayat (7) UU. No. 32/2004, bahwa hal hal yang menyangkut kewewenangan, keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya menimbulkan hubungan administrasi dan kewilayahan antar

susunan organisasi. Depdiknas mempunyai kewenangan dalam melaksanakan prinsip tugas pembantuan, baik kepada Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota, tanpa harus melalui Dinas Pendidikan Provinsi, maupun kepada kepada organisasi pendidikan satuan pendidikan tanpa melalui Dinas Kabupaten/Kota. Begitu pula Dinas Pendidikan Provinsi mempunyai kewenangan melaksanakan prinsip tugas pembantuan kepada organisasi satuan pendidikan tanpa harus melewati Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota.

1.2.1 Organisasi Pendidikan Tingkat Pusat Organisasi pendidikan nasional pada tingkat pusat masih dikelola oleh Depdiknas, yang mana di dalamnya memiliki tugas pokok sesuai dengan apa yang menjadi bidang garapan tugas pembangunan pendidikan secara nasional. Struktur organisasi pada tingkat nasional ini harus disesuaikan dengan unit unit yang bersifat umum dan bersifat khusus yang menjadi substansi pembanguna pendidikan secara nasional. Unit unit organisasi umum berkenaan dengan bidang garapan pokok pendidikan pada setiap jenjang organisasi pendidikan yang menjadi kewenangan pemerintah pusat. Sedangkan unit unit khusus berkenaan dengan tugas pendidikan yang secara teknis harus dilaksanakan secara khusus. Unsur unsur pokok dalam struktur organisasi pendidikan pada pemerintah pusat menurut Peraturan Presiden Republik Indonesia No. 9/2005 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Susunan Organisasi dan Tata Kerja Kementrian Republik Indonesia, terdiri dari: (1) unsur pimpinan, (2) unsur pembantu pimpinan, (3) unsur pelaksana, dan (4) unsur pelaksana teknis.

1.2.2 Organisasi Pendidikan Tingkat Kabupaten/Kota Perubahan struktur organisasi pemerintahan pada tingkat kabupaten/kota turut pula mempengaruhi struktur organisasi pendidikan. Bentuknya sangat bervariasi, tergantung aspirasi, bidang garapan dan kebutuhan masing masing daerah kabupaten/kota yang bersangkutan.

1.3 Struktur Organisasi Pendidikan Tingkat Satuan Pendidikan Struktur organisasi pendidikan pada tingkat satuan pendidikan lebih bervariasi lagi, karena besar kecilnya, luas sempitnya dan banyak sedikitnya unit unit organisasinya ditentukan oleh bidang garapan manajemen dan karakteristik organisasi satuan pendidikan itu sendiri. Misalnya, organisasi satuan pendidikan umum akan berbeda dengan satuan pendidikan kejuruan. Desentralisasi kewenangan berdasarkan UU. No.32/2004 pada saat ini dianggap pilihan terbaik untuk melaksanakan manajemen pembangunan secara internal. Kalau konsep konsep desentralisasi kelembagaan sudah didesentralisasikan, menuntut pula tersedianya perangkat peraturan perundang undangan yang menjamin bahwa organisasi pegelolaan pendidikan itu tidak berubah menjadi sarang kkn. Ciri organisasi kependidikan yang mencerminkan jiwa desentralisasi, adalah : 1) Beban tugas organisasi lebih banyak pada unit organisasi tingkatan bawah, tetapi tidak disertai dengan imbalan yang memadai sesuai dengan beban pekerjaannya. 2) Setiap tugas pokok dan fungsi unit unit organisasi ditata dan diatur secara lengkap dan dituangkan dalam peraturan perundang undangan. 3) Mekanisme pelaksanaan kerja, tugas, kebijakan, keputusan yang menyangkut mekanisme sistem pelaksanaan tugas pokok dan fungsi setiap unit kerja, selalu diagendakan dan dibuat secara tertulis serta disampaikan kepada seluruh anggota organisasi. 4) Mempunyai rencana strategis yang berjenjang dengan target, acuan, alat, mekanisme pengendalian dan evaluasi serta akuntabilitas yang jelas. 5) Ada transparansi dalam setiap pengelolaan sumber sumber pembiayaan organisasi. 6) Ada perimbangan pembiayaan dan profit sharing antara unit unit pusat dengan unit unit pelaksana pada tingkat bawah.

1.4 Desentralisasi Manajemen Kurikulum Pendidikan Desentralisasi manajemen kuikulum berkenaan dengan kemampuan daerah dalam aspek relevansi. Permasalahan relevansi pendidikan selama ini diarahkan pada kurangnya kepercayaan pemerintah pada daerah untuk menata sistem pendidikannya yang setara dengan kondisi objektif di daerahnya. Situasi ini memacu terciptanya pengangguran lulusan akibat tidak relevannya kurikulum dengan kondisi daerah. Karena itu, desentralisasi kurikulum menjadi alternatif yang harus dilakukan. Pelaksanaan kurikulum muatan local yang selama ini memiliki pertimbangan persentase lebih kecil daripada kurikulum nasional belum cukup memadai situasi, kondisi dan kebutuhan daerah. Perubahan yang paling mendasar dalam aspek manajemen kurikulum, bahwa pendidikan harus mampu mengoptimalkan semua potensi kelembagaan yang ada dalam masyarakat, baik pada lembaga lembaga pendidikan yang dikelola pemerintah, masyarakat atau swasta. Persyaratan dasar penetapan jenis kurikulum antara lain: (1) Kurikulum dikembangkan berdasarkan minat dan bakat peserta didik, (2) Kurikulum berkaitan dengan karakteristik potensi wilayah setempat misalnya sumber daya alam, ekonomi, pariwisata dan sosial budaya, (3) Dapat dikembangkan secara nyata sebagai dasar penguatan sektor usaha pemberdayaan ekonomi masyarakat, (4) Pembelajaran berorientasi pada peningkatan kompetensi keterampilan untuk belajar dan bekerja, lebih bersifat aplikatif dan operasional, (5) Jenis keterampilan ditetapkan oleh pengelola program bersama sama dengan peserta didik, orang tua, tokoh masyarakat, dan mitra kerja. Persyaratan utama dalam bobot muatan kurikulum harus mendasar, kuat dan lebih luas. Mendasar dalam arti terkait dengan pemberian kemampuan dalam upaya memenuhi kebutuhan mendasar peserta didik sebagai individu maupun anggota masyarakat. Kuat, dalam arti terkait dengan isi dan proses pembelajaran atau penyiapan peserta didik untuk menguasai pengetauan, sikap, dan keterampilan yang kuat, sehingga memiliki kemampuan untuk mandiri dalam meningkatkan kualitas pemenuan kebutuhan mendasarnya. Luas, dalam arti

terkait dengan pemanfaatan dan pendayagunaan potensi dan peluang yang ada dan dapat dijangkau oleh peserta didik. Pengembangan kurikulum pendidikan ini harus didasarkan pada perkembangan kehidupan masyarakat, pengembangan jati diri manusia. Yang dibutuhkan dan mampu hidup dan menghidupi orang lain sesuai dengan fitrahnya sebagai pengelola alam beserta isinya. Isi dan muatan kurikulum pendidikan harus berorientasi pada dimensi dimensi penguasaan bidang keterampilan, keahlian dan kemahiran berkiprah dalm persaingan global. Misalnya (1) Kemampuan membaca dan menulis secara fungsional, (2) Kemampuan merumuskan dan memecahkan masala yang diproses lewat pembelajaran berpikir ilmiah, penelitian (explorative), penemuan (discovery), dan penciptaan (inventory), (3) Kemampuan menghitung dengan atau tanpa bantuan teknologi, dan lain lain. Dalam aspek desentralisasi kurikulum melalui implementasi kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP) pada tatanan implementasi akan menyangkut kinerja kelembagaan sekolah. Dan kinerja kelembagaan sekolah tersebut sangat bergantung pada para pengawas, kepala sekolah, guru, dan tenaga ketata usahaan, karena merekala yang secara langsung berhadapan dengan masyarakat sebagai kelompok sasaran yaitu para siswa. Seperti halnya dalam implementasi kebijakan KTSP yang dilakukan Dinas Pendidikan pada setiap kabupaten/kota, dari aspek responsitas, telah menunjukkan kinerja yang responsive dengan telah mengadakan pelatihan implementasi KTSP bagi tenaga pendidik. Berkenaan dengan upaya melihat dampak dan manfaat pelatihan, operasionalisasi strategi tersebut terbagi 3 (tiga) kegiatan. Pertama, menggali dan memunculkan kondisi awal calon peserta pelatihan yang bersumber dari program pengembangan yang bersifat uji coba penguatan manajemen berbasis sekolah. Kondisi ini disebut profil kemampuan kemampuan yang dibutuhkan atau diperlukan. Kedua, menggali dan memunculkan intensitas pelaksanaan

penguasaan/pemahaman materi yang dilatihkan. Ketiga, pengumpulan data tentang hambatan dan kesulitan dalam penerapan hasil pelatihan. Kegiatan yang kedua dan ketiga inilah sebagai bentuk operasional fasilitasi dan pendampingan.

3. Tujuan Desentralisasi Pendidikan

Konsep desentralisasi pendidikan yang pertama terutama berkaitan dengan otonomi daerah dan desentralisasi penyelenggaraan pemerintahan dari pusat ke daerah, sedangkan konsep desentralisasi pendidikan yang memfokuskan pada pemberian kewenangan yang lebih besar pada tingkat sekolah dilakukan dengan motivasi untuk meningkatkan kualitas pendidikan. Adapun tujuan dan orientasi dari desentralisasi pendidikan sangat bervariasi berdasarkan pengalaman desentralisasi pendidikan yang dilakukan di beberapa negara Amerika Latin, di Amerika Serikat dan Eropa. Jika yang menjadi tujuan adalah pemberian kewenangan di sektor pendidikan yang lebih besar kepada pemerintah daerah, maka fokus desentralisasi pendidikan yang dilakukan adalah pada pelimpahan kewenangan yang lebih besar kepada pemerintah lokal atau kepada Dewan Sekolah. Implisit ke dalam strategi desentralisi pendidikan yang seperti ini adalah target untuk mencapai efisiensi dalam penggunaan sumber daya (school resources; dana pendidikan yang berasal yang pemerintah dan masyarakat). Di lain pihak, jika yang menjadi tujuan desentralisasi pendidikan adalah peningkatan kualitas proses belajar mengajar dan kualitas dari hasil proses belajar mengajar tersebut, maka desentralisasi pendidikan lebih difokuskan pada reformasi proses belajar-mengajar. Partisipasi orang tua dalam proses belajar mengajar dianggap merupakan salah satu faktor yang paling menentukan. Secara konseptual, terdapat dua jenis desentralisasi pendidikan, yaitu: 1) desentralisasi kewenangan di sektor pendidikan dalam hal kebijakan pendidikan dan aspek pendanaannya dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah (propinsi dan distrik), 2)desentralisasi pendidikan dengan fokus pada pemberian kewenangan yang lebih besar di tingkat sekolah. Dalam kenyataannya, desentralisasi pendidikan yang dilakukan di banyak Negara merupakan bagian dari proses reformasi pendidikan secara keseluruhan dan tidak sekedar merupakan bagian dari proses otonomi daerah dan desentralisasi fiskal. Desentralisasi pendidikan akan meliputi suatu proses pemberian

kewenangan yang lebih luas di bidang kebijakan pendidikan dan aspek pendanaannya dari pemerintah pusat ke pemerintah lokal dan pada saat yang bersamaan kewenangan yang lebih besar juga diberikan pada tingkat sekolah. Desentralisasi pendidikan yang terjadi di negara-negara Amerika Latin tersebut merupakan bagian dari desentralisasi politik dan fiskal penyelenggaraan pemerintahan, dari sistem pendidikan yang sentralistik ke sistem yang memberikan kewenangan lebih besar pada pemerintah daerah dan sistem yang melibatkan partisipasi masyarakat. Desentralisasi pendidikan diharapkan akan mampu meningkatkan kuantitas dan kualitas pendidikan, meskipun studi empiris tentang hal ini di negara-negara Amerika Latin belum dapat dilakukan karena keterbatasan data. Salah satu cara dalam mempersiapkan desentralisasi pendidikan adalah dengan mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi proses dan hasil belajar-mengajar, khususnya dari sekolah-sekolah unggulan. Sekolah unggulan memiliki karakteristik-karakteristik: kepemimpinan yang kuat, staf pengajar dengan kualifikasi dan komitmen tinggi, fokus pada proses pembelajaran, dan bertanggung jawab terhadap hasil yang dicapai (Mohrman and Wohlstetter, 1994). Proses desentralisasi sektor pendidikan yang meliputi pemberian kewenangan yang lebih besar ke pemerintah daerah dalam alokasi anggaran dan perencanaan pendidikan di daerah, serta pemberian kewenangan yang lebih besar pada sekolah dalam manajemen guru, pendanaan, pemilihan kepala sekolah manajemen proses belajar-mengajar diharapkan akan meningkatkan kualitas pendidikan.

4. Desentralisasi Pendidikan di Indonesia

Sistem pendidikan yang berlaku di Indonesia secara sentralistis yang hampir kasat mata sudah kelihatan sejak rezim orde baru. Banyak yang menilai bahwa pendidikan pada masa orba tersebut didesain untuk kepentingan politik kala itu. Beberapa mata pelajaran, pelatihan-pelatihan, serta program pendidikan lain lebih diarahkan kepada peneguhan nilai-nilai yang kemudian dimanfaatkan dengan baik oleh rezim penguasa. Kondisi tersebut telah dikritik secara habis-

habisan oleh YB. Mangunwijaya. Tokoh yang satu ini banyak mengkritik system pendidikan nasional pada masa rezim orba yang cenderung sentralistik dan banyak diintervensi oleh penguasa. Pendidikan kemudian hanya berfungsi sebagai alat (media) untuk melanggengkan kekuasaan rezim. Beberapa kelemahan dan ketimpangan pendidikan yang dikelola secara sentralistis ini sudah kelihatan sejak dimulai dari pemberlakuan satu kurikulum secara nasional, sampai dengan peranan pusat yang sangat dominan dalam pengelolaan guru (sekolah negeri). Misalnya, Pusat sangat dominan dan menentukan dalam setiap keputusan tentang proses rekrutmen, pengangkatan, penempatan, pembinaan dan mutasi guru. Demikian pula dari aspek keuangan. Gaji guru sekolah negeri ditetapkan dan dibayarkan pemerintah, meskipun gaji guru SD pengelolaannya dilaksanakan oleh Propinsi, sedangkan gaji guru SLTP dan SLTA langsung oleh Pusat melalui KPKN. Dari segi dana di luar gaji yang dialokasikan pemerintah ke masing-masing sekolah, diberikan dengan cara alokasi dana dari pusat ke daerah (kabupaten/kota) berdasarkan jumlah sekolah yang ada di daerah tersebut. Mekanisme alokasi dana dilakukan dengan perhitungan sejumlah dana yang sama untuk setiap sekolah berdasarkan jenjang pendidikan, tanpa memperhitungkan jumlah murid, lokasi ataupun tingkat kemakmuran ekonomi daerah tersebut. Cara seperti ini jelas mengandung banyak kelemahan, karena tidak memperhatikan sisi pemerataan (equity) dalam pengalokasian dana ke masing-masing sekolah. Memasuki Indonesia baru yang ditandai dengan gerakan reformasi total, maka pada tahun 1999 mulailah dicetuskan berbagai agenda reformasi, termasuk reformasi dalam dunia pendidikan yang ditandai dengan proses desentralisasi yang diimplementasikan pemerintah melalui UU nomor 22 tahun 1999 dan UU nomor 25 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Perimbangan Keuangan Pusat-Daerah. Melalui Undang-Undang tersebut dapat ditangkap prinsip-prinsip dan arah baru dalam pengelolaan sektor pendidikan dengan mengacu pada pembagian kewenangan antara pemerintah pusat, propinsi dan kabupaten/kota serta perimbangan keuangan pusat daerah sebagai berikut: a) Kewenangan Pemerintah Pusat:

Melaksanakan kewenangan-kewenangan Pemerintah dalam bidang-bidang Pertahanan/Keamanan, Politik Luar Negeri, Peradilan, Fiskal/Moneter, Agama serta kewenangan bidang Pemerintahan lainnya dan/atau Kebijakan Strategis yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah. Bidang lainnya yang tetap menjadi kewenangan Pemerintah Pusat adalah: (1) Perencanaan nasional dan pengendalian pembangunan sektoral dan nasional secara makro, (2) Kebijakan dana perimbangan keuangan, (3) Kebijakan sistem administrasi negara dan lembaga perekonomian negara, (4) Kebijakan pembinaan dan pemberdayaan sumberdaya manusia, (5) Kebijakan pendayagunaan teknologi tinggi dan strategis, serta pemanfaatan kedirgantaraan, kelautan, pertambangan dan kehutanan/lingkungan hidup, (6) Kebijakan konservasi, (7) Kebijakan standarisasi nasional. b) Kewenangan Pemerintah Propinsi: Kewenangan bidang pemerintahan yang bersifat lintas kabupaten dan kota yang menjadi tanggung jawab Propinsi, misalnya adalah kewenangan di bidang pekerjaan umum, perhubungan, kehutanan, dan perkebunan disamping

kewenangan bidang pemerintahan tertentu lainnya. Kewenangan bidang pemerintahan tertentu lainnya mencakup: (1) Perencanaan pembangunan regional secara makro, (2) Pelatihan kejuruan dan alokasi sumber daya manusia potensial, (3) Pelabuhan regional, (4) Lingkungan hidup, (5) Promosi dagang dan budaya/pariwisata, (6) Penanganan penyakit menular dan hama tanaman, (7) Perencanaan tata ruang Propinsi. c) Kewenangan Pemerintah Kabupaten/Kota: Mencakup semua kewenangan Pemerintahan selain kewenangan

Pemerintah Pusat dan Propinsi. Secara eksplisit dinyatakan bahwa bidang pemerintahan yang wajib dilaksanakan daerah kabupaten dan daerah kota meliputi: pekerjaan umum, kesehatan, pendidikan, pertanian, perhubungan, perdagangan dan industri, penanaman modal, lingkungan hidup, dan pertanahan.

d) Perimbangan Keuangan Pusat Daerah: Di sisi fiskal, Perimbangan Keuangan Pusat-Daerah menurut UU nomor 25 tahun 1999 (UU-PKPD) mengatur pembagian keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah, dengan mempertimbangkan aspek pemerataan antar daerah, potensi, kondisi, kebutuhan obyektif daerah serta tatacara pengelolaan dan pengawasan pelaksanaannya. Sumber-sumber penerimaan daerah menurut UUPKPD meliputi: (1). Pendapatan Asli Daerah (PAD); (2). Dana Perimbangan; (3). Pinjaman Daerah; (4). Lain-lain pendapatan yang sah. Daerah melaksanakan semua kewenangannya yang berkaitan dengan desentralisasi dengan dibiayai dari anggaran daerah. Penerimaan daerah yang berupa PAD masih mengacu pada UU nomor 18 tahun 1997 tentang pajak daerah dan retribusi daerah. Dana Perimbangan terdiri dari: bagian daerah atas hasil Sumber Daya Alam, Pajak Bumi dan Bangunan, Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan; Dana Alokasi Umum dan Dana Alokasi Khusus. Dana Alokasi Umum merupakan transfer dari pusat ke daerah dalam bentuk block grant, dengan kriteria alokasi berdasarkan potensi ekonomi daerah dan kebutuhan obyektif daerah. Penggunaan Dana Alokasi Umum diserahkan sepenuhnya pada daerah. Dalam system desentralisasi pendidikan di Indonesia ini, ada satu pertanyaan terpenting tentang arah desentralisasi pendidikan tersebut, yaitu sampai seberapa jauh sekolah-sekolah akan diberi kewenangan yang lebih besar menentukan kebijakan-kebijakan: organisasi dan proses belajar-mengajar, manajemen guru, struktur dan perencanaan di tingkat sekolah, dan sumbersumber pendanaan sekolah. Karena pada dasarnya desentralisasi pendidikan yang efektif tidak hanya melibatkan proses pemberian kewenangan dan pendanaan yang lebih besar dari pusat ke daerah, tetapi juga meliputi pemberian kewenangan yang lebih besar ke sekolah-sekolah, sehingga mereka dapat merencanakan proses belajar-mengajar dan pengembangan sekolah sesuai dengan kondisi dan kebutuhan masing-masing sekolah. Konsep desentralisasi pendidikan ini pada mulanya memang banyak membawa harapan bagi kalangan pakar dan praktisi pendidikan kita. Orang banyak yang menaruh optimis jika pendidikan di Indonesia akan mengalami

perubahan-perubahan yang cukup signifikan. Namun dalam praktiknya, masih banyak kalangan yang meragukan eksistensi kebijakan pendidikan nasional Indonesia. Berbagai kebijakan pendidikan justru dianggap kontroversial sehingga menuai kritik. Mulai dari Ujian Nasional, kasus privatisasi pendidikan, subsidi pendidikan setelah kenaikan BBM, dan lain sebagainya. Belum lagi jika berbicara tentang kualitas pendidikan tersebut. Untuk itu, sepertinya pemerintah perlu berbenah diri dalam memaknai serta mengaplikasikan makna desentralisasi secara menyeluruh demi menciptakan pendidikan yang berkualitas. Permasalahan lain yang muncul di sekitar implementasi kebijakan desentralisasi pendidikan di Indonesia antara lain adalah; bahwa pendelegasian urusan pendidikan wewenang dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah cenderung masih dimaknai sebagai penyerahan kekuasaan daripada penyerahan aspek pelayanan. Akibatnya Pemerintah Daerah (khususnya Kabupaten/Kota) berpotensi menjadi penguasa tanpa batas jika tidak diimbangi dengan pengembangan institusi dan SDM daerah. Hal ini diakui dan ditegaskan sendiri oleh Dr. H. Ace Suryadi, (mantan) Staf Ahli Mendiknas Bidang Desentralisasi Pendidikan sebagaimana yang dikutip oleh Harian Pikiran Rakyat.[13] Menurut Ace, masalah tersebut akan makin rumit kalau dalam melaksanakan fungsi pelayanan, pemkab/pemkot tidak mamiliki standar pelayanan minimum (SPM) yang memadai sebagai sarana kontrol. Jika tidak dibenahi sejak dini, maka masalah tersebut akan menjadi hambatan serius terhadap misi utama desentralisasi, termasuk desentralisasi pendidikan. Meskipun demikian, kebijakan desentralisasi pendidikan tidak harus disimpulkan gagal untuk dilaksnakan. Ada hal-hal yang merupakan kekuatan dan peluang bagi keberhasilan implementasi berikutnya. Berikut ini disajikan hasil analisis SWOT terhadap implementasi kebijakan desentralisasi pendidikan di Indonesia. Analisis SWOT ini dibuat berdasarkan kajian kualitatif, bukan kuantitatif. Analisis ini dibuat dengan merujuk hasil-hasil kajian dan referensi tentang desentralisasi pendidikan yang sudah ada, termasuk buku dan publikasi yang relevan. Berikut ini hasil identifikasinya: (a) Strength (Kekuatan)

Jika digunakan analisis SWOT terhadap implementasi kebijakan desentralisasi pendidikan ini, maka ada beberapa hal yang dapat diidentifikasikan sebagai faktor kekuatan, yaitu: 1. Secara politis kebijakan desentralisasi pendidikan telah dikenal luas oleh masyarakat dan merupakan kebijakan yang populis. 2. Proses kelahirannya dikawal sedemikian rupa oleh para pakar pendidikan dan digiring sedemikian rupa menjadi agenda pemerintah oleh kalangan politisi, baik yang ada di parlemen maupun yang ada di partai politik. 3. Jiwa dan ruh kebijakan desentralisasi pendidikan telah lama diidamkan oleh masyarakat, khususnya dalam menghadapi era persaingan bebas yang mengharuskan masyarakat kita memiliki kompetensi dan daya kompetitif yang tinggi. 4. Adanya dukungan anggaran yang cukup besar bagi pengembangan sektor pendidikan, sebagaimana dicerminkan dalam APBN sejak tahun 2003. Yaitu bahwa anggaran untuk sektor pendidikan secara nasional adalah 20% dari total pengeluaran pemerintah pada APBN 2003. 5. Kebijakan ini merupakan bentuk nyata dari diakuinya eksistensi pemerintah daerah dalam merencanakan dan melaksanakan pembangunan bidang pendidikan di daerah masing-masing. (b) Weakness (Kelemahan) Disamping adanya kekuatan-kekuatan sebagaimana dikemukakan di atas, kebijakan ini juga memiliki sisi kelemahannya, antara lain adalah: 1. Tidak meratanya kemampuan dan kesiapan pemerintah daerah untuk menjalankan kebijakan desentralisasi pendidikan, khususnya pemerintah daerah di wilayah terpencil. Bahkan untuk wilayah tertentu implementasi kebijakan desentralisasi pendidikan secara penuh justru cenderung menjadi masalah tersendiri di daerah tersebut. 2. Tidak meratanya kemampuan keuangan daerah (Pendapatan Asli Daerah) dalam menopang pembiayaan pendidikan di daerahnya masing-masing, terutama daerah-daerah miskin.

3. Belum adanya pengalaman dari masing-masing pemerintah daerah untuk mengatur sendiri pembangunan pendidikan di daerahnya sesuai dengan semangat daerah yang bersangkutan. Sehingga dikhawatirkan implementasi kebijakan desentralisasi pendidikan akan dijadikan komoditas bagi pemerintah daerah tertentu untuk tujuan-tujuan jangka pendek. 4. Belum bersihnya aparat birokrasi dari mentalitas dan budaya korupsi. 5. Belum jelasnya pos-pos anggaran untuk pendidikan. (c) Opportunity (Peluang) Berikut ini diinventarisir sejumlah faktor yang diduga kuat dapat menjadi faktor peluang bagi keberhasilan pelaksanaan kebijakan desentralisasi pendidikan, yaitu: 1. Adanya semangat yang kuat dari masyarakat untuk menjadikan implementasi kebijakan ini (harus) berhasil, karena munculnya kebijakan ini disadari bersama sebagai keinginan masyarakat banyak. 2. Adanya semangat dari kalangan masyarakat untuk turut serta mengawasi pelaksanaan kebijakan desentralisasi pendidikan di daerah masing-masing. Bahkan muncul banyak LSM atau lembaga non-pemerintah yang merelakan diri memonitor dan mengawasi pelaksanaan kebijakan ini. (d) Threat (Ancaman/Tantangan) Selanjutnya adalah faktor ancaman. Ada beberapa faktor yang diduga menjadi faktor ancaman bagi implementasi kebijakan desentralisasi pendidikan, yaitu 1. Tidak meratanya hasil prestasi pendidikan dilihat secara nasional karena sangat dimungkinkan munculnya variasi kualitas di masing-masing lembaga pendidikan, baik di dalam satu wilayah daerah, maupun dibandingkan dengan daerah yang lain. 2. Faktor tidak meratanya kualitas guru di masing-masing daerah juga diduga sebagai ancaman.

BAB 3 PENUTUP Desentralisasi pendidikan yang efektif tidak hanya melibatkan proses pemberian kewenangan dan pendanaan yang lebih besar dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah, tetapi desentralisasi juga harus menyentuh pemberian kewenangan yang lebih besar ke sekolah-sekolah dalam menentukan kebijakan-kebijakan: organisasi dan proses belajar-mengajar, manajemen guru, struktur dan perencanaan di tingkat sekolah, dan sumber-sumber pendanaan sekolah. Dengan adanya desentralisasi pendidikan, maka segala hal yang berhubungan dengan manajemen pendidikan dapat dikelola dan dilaksanakan oleh tingkat daerah sampai kepada masyarakat. Meskipun dalam pelaksanaannya, masyarakat dan pemerintah daerah tetap melakukan acuan dan standarisasi pendidikan ke pemerintah pusat. Namun secara kewenangan implementasi tetap dilaksanakan oleh pemerintah daerah atau masyarakat. Salah satu tujuan desentralisasi pendidikan adalah berusaha untuk mengurangi campur tangan atau intervensi pejabat atau unit pusat terhadap persoalan-persoalan pendidikan yang sepatutnya bisa diputus dan dilaksanakan oleh unit di tataran bawah atau pemerintah daerah, atau masyarakat. Dengan demikian, diharapkan bisa memberdayakan peran unit di bawah atau peran rakyat dan masyarakat daerah. Tapi tentu saja setiap kebijakan yang dibuat, tentu tak lepas dari permasalahan di sanasini. Begitu juga dengan implementasi kebijakan desentralisasi pendidikan di Indonesia yang tak terlepas dari plus-minusnya. Meski begitu, bukan serta merta kebijakan desentralisasi pendidikan mesti disimpulkan sebagai produk yang gagal untuk dilaksanakan. Karena ada hal-hal yang merupakan kekuatan dan peluang bagi keberhasilan implementasi dari desentralisasi pendidikan tersebut. Yang perlu dilakukan adalah senantiasa melakukan pembenahan dan penyempurnaan dari semua pihak yang terlibat; baik langsung maupun tidak langsung dengan dunia pendidikan. Sehingga tujuan

mulia dari pelaksanaan desentralisasi pendidikan di tanah air benar-benar dapat terwujud dengan sempurna.

Anda mungkin juga menyukai