Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH FILSAFAT

Disusun untuk memenuhi Tugas Filsafat

Disusun Oleh :
1. 2. 3. 4. XXXXXXXX (0000000000) XXXXXXXX (0000000000) XXXXXXXX (0000000000) XXXXXXXX (0000000000)

SMK MUHAMMADIYAH KARANGAYAR

TAHUN AJARAN 2011/2012

ii

KATA PENGANTAR

iii

DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL .............................................................................. KATA PENGANTAR ............................................................................ DAFTAR ISI ........................................................................................... BAB I PENDAHULUAN A. XXXXX........................................................................... B. XXXX ............................................................................. BAB II PEMBAHASAN A. XXXXX........................................................................... B. XXXX ............................................................................. BAB III PENUTUP A. XXXXX........................................................................... B. XXXX ............................................................................. DAFTAR PUSTAKA ............................................................................. 1 1 1 1 1 1 i ii iii

iv

ARISTOTELES Aristoteles lahir di Stagira, kota di wilayah Chalcidice, Thracia, Yunani (dahulunya termasuk wilayah Makedonia Tengah) tahun 384 SM. Ayahnya adalah tabib pribadi Raja Amyntas dari Makedonia. Pada usia 17 tahun, Aristoteles bergabung menjadi murid Plato. Belakangan ia meningkat menjadi guru di Akademi Plato di Athena selama 20 tahun. Aristoteles meninggalkan akademi tersebut setelah Plato meninggal, dan menjadi guru bagi Alexander dari Makedonia. Saat Alexander berkuasa di tahun 336 SM, ia kembali ke Athena. Dengan dukungan dan bantuan dari Alexander, ia kemudian mendirikan akademinya sendiri yang diberi nama Lyceum, yang dipimpinnya sampai tahun 323 SM. Filsafat Aristoteles berkembang pada waktu ia memimpin Lyceum, yang mencakup enam karya tulisnya yang membahas masalah logika, yang dianggap sebagai karya-karyanya yang paling penting, selain kontribusinya di bidang metafisika, fisika, etika, politik, kedokteran dan ilmu alam. Di bidang ilmu alam, ia merupakan orang pertama yang mengumpulkan dan mengklasifikasikan spesies-spesies biologi secara sistematis. Karyanya ini menggambarkan kecenderungannya akan analisa kritis, dan pencarian terhadap hukum alam dan keseimbangan pada alam. Plato menyatakan teori tentang bentuk-bentuk ideal benda, sedangkan Aristoteles menjelaskan bahwa materi tidak mungkin tanpa bentuk karena ia ada (eksis). Selanjutnya ia menyatakan bahwa bentuk materi yang sempurna, murni atau bentuk akhir, adalah apa yang dinyatakannya sebagai theos, yaitu yang dalam pengertian Bahasa Yunani sekarang dianggap berarti Tuhan. Logika Aristoteles adalah suatu sistem berpikir deduktif (deductive reasoning), yang bahkan sampai saat ini masih dianggap sebagai dasar dari setiap pelajaran tentang logika formal. Meskipun demikian, dalam penelitian ilmiahnya ia menyadari pula pentingnya observasi, eksperimen dan berpikir induktif (inductive thinking). Di bidang politik, Aristoteles percaya bahwa bentuk politik yang ideal adalah gabungan dari bentuk demokrasi dan monarkhi. Karena luasnya lingkup

karya-karya dari Aristoteles, maka dapatlah ia dianggap berkontribusi dengan skala ensiklopedis, dimana kontribusinya melingkupi bidang-bidang yang sangat beragam sekali seperti fisika, astronomi, biologi, psikologi, metafisika (misalnya studi tentang prisip-prinsip awal mula dan ide-ide dasar tentang alam), logika formal, etika, politik, dan bahkan teori retorika dan puisi. Meskipun sebagian besar ilmu pengetahuan yang dikembangkannya terasa lebih merupakan penjelasan dari hal-hal yang masuk akal (common-sense explanation), banyak teori-teorinya yang bertahan bahkan hampir selama dua ribu tahun lamanya. Hal ini terjadi karena teori-teori tersebut karena dianggap masuk akal dan sesuai dengan pemikiran masyarakat pada umumnya, meskipun kemudian ternyata bahwa teori-teori tersebut salah total karena didasarkan pada asumsi-asumsi yang keliru. Dapat dikatakan bahwa pemikiran Aristoteles sangat berpengaruh pada pemikiran Barat dan pemikiran keagamaan lain pada umumnya. Penyelarasan pemikiran Aristoteles dengan teologi Kristiani dilakukan oleh Santo Thomas Aquinas pada abad ke-13, dengan teologi Yahudi oleh Maimonides (11351204), dan dengan teologi Islam oleh Ibnu Rusyid (11261198). Bagi manusia abad pertengahan, Aristoteles tidak saja dianggap sebagai sumber yang otoritatif terhadap logika dan metafisika, melainkan juga dianggap sebagai sumber utama dari ilmu pengetahuan, atau "the master of those who know", sebagaimana yang kemudian dikatakan oleh Dante Alighieri. FILSAFAT MORAL ARISTO Aristoteles (384-322 SM) adalah murid terkemuka Plato (427-348 SM), seorang tokoh pemikir idealis. Meski demikian, ia tidak sependapat dengan gurunya yang menyatakan bahwa manusia telah mengenal idea Yang Baik dan bahwa hidup yang baik bisa tercapai dengan kontemplasi dengan idea Yang Baik tersebut. Menurut Aristoteles, kehidupan yang baik justru harus dicari dan bertolak dari realitas manusia sendiri. Dari realitas inderawi kongkret inilah akal budi manusia mengabstraksikan apa yang disebut kebaikan. Berangkat dari

pendekatan --yang serba-- empiris yang digunakan Aristoteles ini, kita akan mencoba membahas konsep-konsepnya tentang moral. Teleologis. Pembahasan etika biasanya dibedakan antara etika deontologis dan teleologis. Deontologis menyatakan bahwa kualitas etis tindakan tidak berhubungan dengan akibat tindakan, tetapi bertumpu pada tindakan itu sendiri, benar atau salah. Misalnya, bahwa dusta adalah tidak benar secara etis, entah baik atau buruk akibatnya.1 Sebaliknya, teleologis menyatakan bahwa tindakan bersifat netral; baru dinilai benar atau salah setelah melihat akibat atau tujuannya. Sebuah tindakan dinilai benar jika akibatnya baik, salah jika akibatnya tidak baik. Etika Aristoteles termasuk teleologis, karena ia mengkaitkan tindakan dengan dampak atau tujuan tertentu; kebahagiaan. Tindakan dinilai baik sejauh mengarah pada kebahagiaan dan salah jika mencegah kebahagiaan.2 Kebahagiaan siapa? Kebahagiaan si pelaku. Karena itu, etika Aristoteles tidak Universalistik, tetapi bisa dikata egoistik, karena lebih menekankan dampak bagi pelaku, bukan dampaknya pada orang umumnya.1 Eidemonia atau kebahagiaan adalah tujuan sekaligus penentu baik buruknya tindakan dalam etika Aristoteles.2 Menurutnya, sesuatu dinilai baik jika tujuannya mengarah pada pencapaian kebahagiaan, dan dinilai buruk jika tidak diarahkan kepada kebahagiaan.3 Persoalannya, apa yang dimaksud sebagai bahagia dalam pandangan Aristoteles? Apa unsur-unsurnya? Bagaimana cara mencapainya?

Namun, menurut Magnis, egoistik disini bukan berartihanya memperhatikan diri sendiri, tapi justru demi merealisasikan hakekat sosialnya sebagai zoon politikon. Jadi tidak egoistic dalam makna yang sesunguhnya. Magnis,Ibid, 41. Tanggapan dan kritik-kritik yang cukup bagus terhadap doktren eudemonisme ini, lihat De Vos,Pengantar Etika, (Tiara Wacana, Yogya, 1987), 168-176 Franz Magnis Suseno, 13 Tokoh Etika, (Kanisius, Yogya, 1996), 41; Muhammad Hatta, Alam Filsafat Yunani, (Tinta Mas, Jakarta, 1986), 132-134
33 2

Sebelum mendiskusikan masalah kebahagiaan dalam perspektif Aristoteles, ada baiknya kita lihat konsep kebahagiaan dalam perspektif tokoh-tokoh lain. Menurut Epicuras, kebahagiaan adalah kenikmatan. Seseorang akan bahagia jika merasa nikmat, dan apa yang dimaksud nikmat di sini adalah adanya ketentraman jiwa yang tidak dikejutkan dan tidak dibingungkan oleh sesuatu dengan cara menghindarkan diri dari sesuatu yang tidak mengenakkan. Jelasnya, bahagia dalam pandangan Epicuras adalah bebas dari rasa sakit dan penderitaan.4 Pengertian yang hampir senada juga diberikan John Stuart Mill. Menurut Mill, kebahagiaan adalah kesenangan (pleasure) dan bebas dari perasaan sakit (pain) sedang ketidakbahagiaan berarti adanya perasaan sakit (pain) dan tidak adanya kesenangan.5 Sementara itu, menurut Agustinus, kebahagiaan adalah menyatunya rasa cinta kasih manusia dalam Tuhan. Dalam pandangan Agustinus, tujuan hidup manusia adalah persatuan diri dengan Tuhan.8 Sedang dalam pandangan Stoa, kebahagiaan adalah kemampuan diri untuk menahan dorongan nafsu (self sufficiency) dengan cara menyatukan diri dan tunduk pada hukum alam. Jelasnya, kebahagian Stoa terletak pada kemampuan seseorang untuk --meminjam istilah Jawa-- menerima ing pandum. Menerima apa yang menjadi bagiannya.6 Bagaimana konsep kebahagiaan Aristoteles? Menurut Aristoteles, kebahagiaan manusia terdapat pada aktivitas yang khusus dan mengarah pada kesempurnaanya. Apa aktivitas khusus pada manusia yang mengarah pada kesempurnaanya? Menurut Aristoteles, potensi khas manusia yang membedakan dari binatang atau makhluk lain adalah akal budi dan spiritualitasnya. Tidak ada satupun mahluk hidup selain manusia yang mempunyai potensi ini. Karena itu, aktivitas dan aktualitas manusia yang bisa mengarahkan pada kebahagiaan adalah semua bentuk aktivitas yang melibatkan bagian jiwa yang berakal budi. Namun, karena manusia hidup dalam alam dunia dan masyarakat, maka aktualisasi dari akal budi tersebut bukan semata-mata diarahkan pada Yang Maha Budi dan Idea, tetapi juga diarahkan pada kehidupan konkrit melalui partisipasi dalam kehidupan
4 5

Franz Magnis Suseno,Ibid, 49 Ibid, 161 6 Ibid, 69

masyarakat. Tegasnya, kebahagiaan tercapai dengan cara memaksimalkan potensi diri untuk memandang realitas ruhani di satu sisi, dan aktif dalam berpartisipasi dalam kehidupan masyarakat disisi yang lain.7 Ini sama yang dirumuskan Erich Fromm, bahwa kebahagiaan tidak terletak atas apa yang kita miliki (having) tapi lebih pada kemampuan aktualisasi diri (being). Yaitu, kemampuan menyatakan dan menjadikan potensi-potensi yang dimiliki atau mimpi- mimpi menjadi kenyataan.8 Dengan demikian, jika kebahagiaan Epicuras dan John S. Mill terletak pada kemampuan lari dari rasa sakit, kebahagiaan Agustinus terjadi dalam Tuhan dan Stoa dalam alam, kebahagiaan Aristoteles terletak pada diri manusia sendiri, pada aktivitasnya untuk mengembangkan potensi-potensi hakikinya untuk menjadi sempurna. Namun demikian, aktivitas menuju kebahagiaan ini tidak bisa dilakukan sembarangan. Menurut Aristoteles, aktivitas yang menyebabkan kebahagiaan harus dijalankan menurut asas keutamaan. Hanya aktivitas yang disertai keutamaan yang dapat membuat manusia bahagia. Di samping itu, aktivitas tersebut mesti dilakukan secara stabil.9 dalam jangka waktu yang panjang, bukan hanya sporadis. Jelasnya, dilakukan secara istiqamah. Aktualisasi Diri Sebagai Kebahagiaan. Bagaimana aktualisasi diri bisa dinilai sebagai kebahagiaan? Dalam pandangan Aristoteles, aktualisasi diri yang dinilai sebagai kebahagiaan adalah aktualisasi yang mengakibatkan kesempurnaan pada yang bersangkutan. Kesempurnaan mata adalah melihat, kesempurnaan makhluk hidup adalah mengembangkan psikhisnya, dan kesempurnaan manusia adalah aktualisasi dari kemungkinan tertinggi yang hanya terdapat pada manusia; akal budi dan ruhaninya. Dengan demikian, kebahagiaan manusia sama dengan menjalankan

Ibid,56-59. Lihat pula Poespoprodjo, Filsafat Moral Kesusilaan Dalam teori dan Praktek, (Bandung, Remaja Karya, 1986), 48. 8 Bertens, Sejarah Filsafat Yunani, (Kanisius, Yogya, 1997), 160-1 9 Magnis Suseno, Op Cit, 42

aktivitas yang spesifik baginya, yaitu mengembangkan

pemikiran dan

spiritualitas. Bagi manusia, kebahagiaan adalah memandang kebanaran.10 Akan tetapi, kebenaran yang harus dipandang tersebut tidak hanya yang ada pada alam Idea sebagaimana dikatakan Plato. Benar bahwa manusia mengandung dimensi-dimensi ruhani dari alam transendent, tetapi ia juga mengandung wadag yang inderawi; begitu pula, ia bukan pula wadag tetapi juga mengandung nilai ruhani. Manusia adalah paduan dimensi ruhani dan duniawi. Karena itu, kebahagiaan manusia hanya bisa dicapai dengan cara bertindak (aktif) mengaktualisasikan potensi atau nilai-nilai luhur manusia yang berasal alam transendent dalam kehidupan nyata, riil.11 Mengapa harus aktif? Menurut Aristoteles, manusia menjadi bahagia bukan dengan cara pasif menikmati sesuatu, atau bahwa segala yang diinginkan tersedia, melainkan dengan cara aktif. Dengan bertindak ia menjadi nyata. Hanya dengan perbuatan manusia menyatakan diri, ia menjadi riel. Sesuatu yang hidup bermutu tidak tercapai melalui nikmat pasif, melainkan melalui hidup yang aktif. Manusia bahagia dalam merealisasikan atau mengembangkan potensi-potensi dirinya.Selain itu, aktualisasi aktif dalam merealisasikan dan mengembangkan potensi khas manusia tersebut harus dilakukan menurut aturan keutamaan.12 Hanya aktivitas yang disertai keutamaan (aret) yang membuat manusia menjadi bahagia. Dan yang penting, tindakan maksimal atas potensi-potensi diri tersebut tidak terjadi secara sporadis atau berkala, tetapi terjadi dalam jangka waktu yang lama. Jelasnya, dilakukan secara istiqamah, langgeng.13 Dengan demikian jelas bahwa kebahagiaan yang dalam etika Aristoteles digunakan sebagai tolok ukur baik buruknya sebuah tindakan terletak pada kemampuan yang bersangkutan dalam mengaktualisasikan potensi-potensi khas dirinya. Semakin seseorang mampu mengaktualisasikan potensi khasnya, yang

Bertens, Op Cit, 161 Berten, Op Cit. 161 12 Ibid 13 Dalam sebuah hadits dikatakan bahwa perbuatan yang baik adalah perbuatan yang dilakukan secara terus menerus meski sedikit, bukannya banyak tapi hanya sekali dua kali.
11

10

tentu disertai keutamaan, maka semakin dinilai baiklah tindakannya, karena itu berarti semakin mengarah kepada kebahagiaan. Keutamaan. Aristoteles melukiskan keutamaan moral sebagai suatu sikap watak yang memungkinkan manusia untuk memilih jalan tengah antara dua kutub ekstrem yang berlawanan.14 Sebagai contoh, dalam belanja, pengeluaran terlalu banyak disebut boros, terlalu hemat disebut kikir. Diantara dua kutub ini, keutamaan adalah mengambil jalan tengah; tidak boros juga tidak kikir yang disebut murah hati. Yang perlu dicatat, bagi Aristoteles, keutamaan baru menjelma sebagai keutamaan yang sungguh-sungguh setelah yang bersangkutan mempunyai sikap tetap dalam menempuh jalan tengah tersebut. Bukan sekedar terjadi dalam beberapa kasus. Juga bahwa jalan tengah tidak dapat ditentukan dengan cara yang sama untuk semua orang. Artinya, apa yang dimaksud jalan tengah ini sangat subjektif, bukan objektif. Jika subjektif, bagaimana keutamaan bisa tentukan? Adakah norma-norma untuk itu? Menurut Aristoteles, rasio menetapkan pertengahan (keutamaan) tersebut dan harus menentukannya sebagaimana orang yang bijakasana dalam bidang praktis menentukan keutamaan. Aristoteles menganggap bahwa keutamaan bukan persoalan theori, tapi praktek. Seorang sarjana yang mengerti theori moral belum tentu bisa berlaku sesuai keutamaan moral, tapi orang yang mempunyai kebijaksanaan praktis (phronesis) mampu menentukan masalah ini, berdasarkan pertimbangan konkrit.15 Aristoteles --sebagaimana yang disinggung-- memisahkan praxis dari theori, meski menggunakan keduanya dalam menggapai kebahagiaan. Menurut Aristoteles, theori diarahkan pada realitas yang tidak berubah (idea), sedang praxis bergerak dalam alam manusia yang berubah yang mana manusia sendiri mempunyai kebebasan untuk memilih mana yang diambil. Nah, kemampuan bertindak tepat berdasarkan pertimbangan baik dan buruk ketika menghadapi
14 Ibid; Magnis, 13 Tokoh Etika, 39. Ini mungkin sama dengan sebuah hadits yang menyatakan, sebaik-baik perkara adalah yang sedang-sedang, tengah-tengah. 15 Bertens, Op Cit,164

pilihan-pilihan inilah yang disebut phronesis (kebijaksanaan praktis).16 Orang yang mempunyai phronesis mengerti bagaimana harus bertindak secara tepat. Menurut Aristoteles, phonesis tidak bisa diajarkan sebagaimana juga etika tidak bisa diajarkan, tapi bisa dikembangkan atau dilatih dengan cara dibiasakan. 17 Phronesis tumbuh dan berkembangan dari pengalaman dan kebiasaan bertindak etis. Semakin mantap seseorang bertindak etis, semakin kuat pula kemampuannya untuk bertindak menurut pengertian yang tepat; sama dengan orang yang semakin melatih jiwanya akan semakian peka perasaannya. Tanggapan. Konsep etika Aristoteles ini, dimana aktualisasi potensi tidak hanya dilakukan di dunia Idea, tetapi harus juga dalam kehidupan praksis, dalam kehidupan bermasyarakat, mendorong manusia untuk bertindak sosial. Manusia bisa dinilai hidup secara baik jika berpartisipasi dalam kehidupan negara dan tidak lepas dari norma-norma serta nilai-nilai masyarakat. Inilah sumbangan utama etika Aristoteles. Hanya saja, konsepnya tentang kebahagiaan sebagai tolok ukur baik dan buruk ini, sebagaimana dikatakan Immanuel Kant, tidak menyentuh masalah paling mendasar dari etika itu sendiri; apa yang membuat manusia menjadi baik.18 Persoalan baik dan buruk harus dilihat pada hakekat tindakan itu sendiri, baik atau buruk, yang oleh Kant disebut kehendak,19 bukan pada tujuannya. Selain itu, Aristoteles tidak menyediakan tolok ukur bagi nilai moral. Bagaimana kita bisa tahu bahwa itu tindakan etis dan tidak etis? Aristoteles memang menyatakan tentang adanya phronesis (kebijaksanaan atau pengertian yang tepat) dalam memilih tindakan. Akan tetapi, bagaimana kita tahu bahwa

16 Bertens,Ibid, 165. 17 Magnis Suseno, Op Cit, 38. Tentu saja, pada mulanya dengan melakukan tindakan-tindakan yang pada

umumnya dikenal tepa dan baik. Dari sana, lambat laun akan menjadi kebiasaan atau kemampuan yang kokoh untuk bertindak tepat.
18 19

Franz Magnis, Op Cit, 151 Ibid, 156.

tindakan yang kita lakukan tersebut tepat atau tidak? Semua tergantung kebiasaan yang dilakukan. Relatif sekali. Terakhir, dengan adanya konsep bahwa kebaikan berasal dari aktualisasi potensi manusia sendiri berarti Aristoteles telah mengabaikan persoalan yang transenden. Dalam etika Aristoteles, transendensi tidak memainkan peran. Keberadaan Tuhan menjadi terlupakan. Ini agak berbeda dengan Ibn Maskawaih,20 meski sama-sama menyatakan kebahagiaan sebagai tujuan etika. Menurut Ibn Maskawaih, kebahagiaan tercapai manakala manusia mampu mentranfer nilai-nilai atau sifat-sifat Tuhan dalam tindakannya sehari-hari. Artinya, tindakan- tindakannya tidak dilakukan sembarangan yang lepas dari dimensi-dimesi ruhani, tetapi justru tersoroti dan tercerminkan oleh nilai-nilai ketuhanan. Artinya lagi, persoalan transenden ikut memainkan peran, tatapi tidak sampai mnghancurkan apalagi menghilangkan kepribadian manusia sendiri sebagaimana dalam Stoa ataupun Aquinas. .Teori yang diciptakan Karya terbesar filsafat yang dihasilkan oleh Aristoteles adalah logika, sehingga banyak orang mengatakan dia sebagai penemu, atau bapak logika, sebebarnya istilah logika tidak pernah dipergunakan oleh Aristoteles, tapi juga kita mengenal ini dengan dealetika, inti dari logika adalah cara untuk menarik prosisi demi mencari kebenaran, juga sebagai sarana untuk pengembangan ilmu pengetahuan. Di bidang logika, aristoteles merupakan salah orang yang menggunakan pendekatan logika dalam kehidupan sehari-hari. Logika Aristoteles adalah suatu sistem berpikir deduktif (deductive reasoning), yang bahkan sampai saat ini masih dianggap sebagai dasar dari setiap pelajaran tentang logika formal. Meskipun demikian, dalam penelitian ilmiahnya ia menyadari pula pentingnya observasi, eksperimen dan berpikir induktif (inductive thinking). Teori silogisme yang dapat digunakan dalam menarik kesimpulan yang baru yang tepat dari dua kebenaran yang telah ada. Misalkan ada dua pernyataan (premis): Setiap manusia pasti akan mati (premis mayor)
20

Ibn Miskawaih, Menuju Kesempurnaan Akhlak, terj. Ilyas Hasan, (Bandung, Mizan, 1994), 98-99

Sokrates adalah manusia (premis minor) maka dapat ditarik kesimpulan bahwa Sokrates pasti akan mati. Semua benda bergerak untuk satu tujuan , seperti yang pernah dikatakannya :Semua yang bergerak di alam semesta ini bergerak menuju Tuhan katanya. Maka, orang yang ingin bahagia harus berbuat baik sebanyakbanyaknya, katanya lagi. Teori tentang bentuk ideal benda , dimana dia berfikir bahwa materi tidak mungkin tanpa bentuk karena ia ada (eksis). Di bidang ilmu alam , ia merupakan orang pertama yang mengumpulkan dan mengklasifikasikan spesies-spesies biologi secara sistematis. Karyanya ini menggambarkan kecenderungannya akan analisa kritis, dan pencarian terhadap hukum alam dan keseimbangan pada alam. orang pertama di dunia yang dapat membuktikan bahwa bumi itu bulat. Pembuktian yang dilakukannya dengan jalan melihat gerhana. Dia jugalah yang mengatakan bahwa manusia adalah makhluk sosial. tiap pernyataan harus dibuktikan kebenarannya kunci pengetahuan adalah logika .dasar pengetahuan adalah fakta. Kesimpulan: Aristoteles merupakan tokoh yang sangat berperan di bidang ilmu pengetahuan, hal ini terlihat dari masih digunakan dan masih relevan nya teori-teorinya dalam ilmu pengetahuan yang ada didunia saat ini. Teori logikanya tersebut pula yang banyak membuat orang lain berhasil, seperti muridnya Alexander the great dari Macedonia berhasil berkuasa, Ataupun pemecahan masalah/peristiwa yang selama ini dianggap mistis.

10

DAFTAR PUSTAKA Bertens, K, Sejarah Filsafat Yunani, cet. 14, Penerbit Kanisius, Yogyakarta, 1997 Hadiwijono, Harun, Sari Sejarah Filsafat Barat 1, cet. 15, Penerbit Kanisius, Yogyakarta, 1998 Hatta, Mohammad, Alam Pikiran Yunani, cet. 3, Penerbit Universitas Indonesia, Jakarta, 1986. H. De Vos, Pengantar Etika, Wacana, Yogya, 1987. Franz Magnis Suseno, 13 Tokoh Etika, Kanisius, Yogya, 1996. Poespoprodjo, Filsafat Moral Kesusilaan Dalam teori dan Praktek, Remaja Karya, Bandung, , 1986. Bertens, Sejarah Filsafat Yunani, Kanisius, Yogya, 1997. Ibn Miskawaih, Menuju Kesempurnaan Akhlak, terj. Ilyas Hasan, Mizan, Bandung, 1994.

11

Anda mungkin juga menyukai