Anda di halaman 1dari 4

Pancasila dan Agama

Senin, 04 Januari 2010 | 17.22 WIB

Penulis: Yohanes Kopong Tuan

MASALAH konflik antar atau atas nama agama di negara Indonesia bukanlah rahasia umum lagi, baik di dalam negeri kita sendiri maupun di luar negeri. Boleh dikatakan bahwa masalah konflik antaragama sudah setua usia kemerdekaan bangsa Indonesia. Hal ini terjadi karena Pancasila sebagai simbol kekuatan bangsa yang seharusnya memberikan ruang gerak bagi setiap agama untuk mengembangkan teologi dan ajaran-ajarannya, menciptakan hubungan inter-subjektif yang dialogis dan manusiawi dalam semangat persatuan, membangun kedaulatan rakyat yang demokratis menuju keadilan yang sesungguhnya, justru masuk ke dalam lubang hitam kekuatan politik kelompok tertentu untuk mengamankan status quo kekuasaan kelompoknya.

Dengan kata lain, nilai-nilai luhur Pancasila yang menjadi keutamaan moral dalam hubungan dan kerja sama antarumat agama sebagaimana tertuang dalam kelima sila Pancasila justru hanya menjadi ritual politik teoritis belaka. Perdebatan mengenai bentuk negara yang hendak diciptakan theokrasi atau sekuler di bumi pertiwi Indonesia telah melahirkan konflik kemanusiaan yang menindas dan menghakimi makna toleransi antarumat beragama. Hancurnya semangat toleransi antarumat beragama yang dipicu egoisme kelompok tertentu dan kaburnya nilai-nilai moral Pancasila yang

terjadi di bangsa kita akhir-akhir ini, memunculkan beberapa pertanyaan dalam benak kita. Bagaimana semangat pengakuan agama dan negara terhadap seluruh agama dan keyakinan di bangsa kita? Sejauh mana relevansi Pancasila bagi keberagaman agama? Apa sumbangan agama dalam kehidupan komunitas yang plural dan masyarakat Pancasila? (Seminar Indonesia Beragama dalam Pancasila, Fakultas TeologiUniversitas SanataDharma, 11 November 2006).

*** BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Keberadaan Pancasila yang memuat kelima sila, semakin menegaskan dan memberi ruang gerak kepada setiap agama untuk mengaktualisasikan ajaran-ajarannya dalam tindakan konkret. Artinya Pancasila tidak hanya dijadikan retorika politik yang semakin memperkokoh kekuatan status quo kelompok atau agama tertentu melainkan menjadi inspirator agama-agama untuk membangun dialog dalam semangat saling menjaga, dan menghormati satu sama lain serta semangat perbedaan dalam persaudaraan sekaligus bersaudara dalam perbedaan (Prof. Dr. Syafii Maarif, Fakultas Teologi, 11 November 2006). Ketika Pancasila hanya dijadikan sebagai ritual politik belaka tanpa diterjemahkan dalam praksis kehidupan beragama maka pada saat itu juga agama tersebut menorehkan sikap anti Pancasila, karena agama tanpa keadilan adalah sesuatu yang non-sense, (Prof. Dr. Syafii Maarif, Fakultas Teologi, 11 November 2006). Paul Ricoeur, seorang Filsuf sosial berkebangsaan Prancis, mengatakan bahwa problematika untuk menegaskan gerak bersama dalam proses

mencapai keadilan adalah masalah presentasi, teks, dan action. Menurut Ricoeur presentasi dan teks dalam hal ini Pancasila senantiasa menjadi aksi atau tindakan refigurasi/transfigurasi dalam konteks, sehingga menjadi sebuah kisah yang membebaskan menuju dialog kontruktif dalam hubungan antaragama. Menghidupi Pancasila sebagai dasar gerak langkah bersama baik di kalangan umat beragama yang diakui maupun non-agama dalam kerangka menyelamatkan bangsa Indonesia dari keterpurukan moral, dibutuhkan kesadaran dan semangat penerimaan dari semua komponen agama sebagai kekuatan menerjemahkan kemanusiaan yang semakin manusiawi dalam semangat persatuan dan kedaulatan rakyat yang semakin adil. Jika tidak, Pancasila sendiri akan terus mengalami tragedi demi tragedi yang dikhianati dalam konflik dan tindakan anarkis antarumat beragama. Penulis mahasiswa Program Profesi Imamat, Fakultas Teologi, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.

Anda mungkin juga menyukai