"Ada yang salah dalam Islam..," demikian pernah diungkapkan Ulil Abshar-Abdalla
suatu waktu. Dan saya pikir tidak hanya dalam Islam, tetapi juga dalam Kekristenan,
Yudaisme, dan lain-lain. Selama dalam agama ada masalah, agama tidak bisa
dijadikan solusi tuntas bagi kehidupan umat manusia, melainkan hanya akan
menimbulkan berbagai masalah baru. Pluralisme membantu kita menghargai agama
apa adanya. tapi tidak banyak membantu memperbaiki, mengkoreksi
ajaran/kepercayaan agama yang tidak harmonis dengan etika global dan nilai-nilai
kemanusiaan dunia saat ini.
Problemnya ada pada kitab suci yang sehari-hari kita gunakan. kitab suci sama yang
digunakan oleh para teroris. kitab sama yang dipegang para pelaku korupsi, para
pelaku kekerasan, dan lain-lain.
Sementara hampir semua bidang lainnya sudah mengalami kemajuan pesat, agama
tetap stagnan. Karena seluruh nilai-nilai moral ajarannya didasarkan semata-mata
pada moralitas peradaban jaman kitab-kitab itu ditulis. Dan ironis, ketika kalangan
moderat mencap para teroris itu bukan Islam, atau, perilaku kekerasan pada seseorang
bukan bersumber dari agamanya. Kontradiktif pada realitas bahwa kitab suci (Torah,
Alkitab dan AlQur'an misalnya) mengandung -selain nilai-nilai bijak- berbagai
pandangan yang memicu totalitarianisme yang secara langsung maupun tidak telah
merepresi kritik dan kebebasan, serta begitu banyak menanamkan nilai-nilai
kekerasan, barbarisme dan tribalisme ke dalam alam bawah sadar para penganutnya,
yang termanifestasi ke dunia seperti yang kita saksikan saat ini.
Para pemikir masa kini seperti antara lain Richard Dawkins (The God Delusion), Sam
Harris (The End of Faith), Sankara Saranam (God Without Religion), atau Neale
Donald Walsch (Tomorrow's God) sedikitnya telah berusaha memberikan warning
signs akan adanya problem krusial dlm agama-agama yang kita hadapi sekarang ini.
Saya menyadari bahwa komunikasi, dialog adalah cara yang baik untuk
menumbuhkan pluralisme, etika dan sikap-sikap yang toleran di antara umat,
beragama maupun tidak.
Akan tetapi berdialog dengan seorang yang terdogmatisir agama seringkali menjadi
satu hal yang tersulit, karena melekatnya beberapa logical fallacy dalam kerangka
berpikir yang digunakan untuk menutup dirinya dari ketakutannya akan kemungkinan
perubahan iman atau kepercayaan yang dianut jika seseorang menerima suatu gagasan
tertentu. Antara lain, "jangan gunakan logika / jangan berpikir," "itu ada di alkitab,"
serta “tunjukkan ayatnya.”
Saya akan mencoba menjelaskan secara singkat permasalahannya dari sudut pandang
dan pengalaman saya pribadi, implikasinya secara umum dalam agama-agama, dan
apa yang sebaiknya dilakukan untuk memperbaiki kondisi dunia saat ini.
Adalah kalimat yang hampir selalu diucapkan "orang percaya" ketika membahas atau
berdiskusi tentang misteri tuhan. Ketika saya pernah membahas dengan seorang rekan
mengenai hal-hal keagamaan yang diluar lingkup kepercayaan agama Katholik, saya
diingatkan untuk "jangan terlalu dipikirkan, yang penting percaya saja."
Saya ingat juga ketika para anggota milis salah satu gereja membahas seorang pastur
yang diketahui telah melanggar aturan selibat dan selama beberapa tahun telah
menjalin cinta dengan orang lain, kita kembali diingatkan untuk "tidak usah pusing,
biarlah para romo saja yang memikirkan hal itu."
Dalam hampir setiap pembicaraan dengan berbagai rekan, dapat muncul pernyataan
yang mengingatkan agar kita jangan memakai logika untuk membicarakan hal-hal
yang menyangkut agama, apalagi tuhan. Tuhan hanya dapat dirasakan keberadaannya
di hati.
Saya setuju, Tuhan yang tak terbatas tidak dapat dijelaskan sepenuhnya oleh logika
manusia yang terbatas. Tapi yang kemudian terjadi justru sangat kontradiktif, dimana
orang beragama diharuskan untuk melandaskan pemahamannya tentang Tuhan
semata-mata pada keterbatasan logika dan cara pandang orang-orang terkemuka
maupun para nabi yang pernah hidup di jaman ribuan tahun yang lalu yang diajarkan
dari mulut ke mulut dan kemudian dituliskan ke dalam apa yang menjadi kumpulan
manuskrip yang lalu dianggap sebagai inspirasi roh atau bisikan malaikat dan
kemudian dijadikan sebagai kitab suci. Dan karena telah dianggap "suci" -bahkan
masih banyak yang meyakini alkitab sebagai tulisan atau kata-kata langsung dari
Tuhan sendiri- sehingga pada akhirnya tidak boleh diperbantahkan oleh siapapun.
3. “Tunjukkan ayatnya…”
Adalah suatu bentuk logika penyangkalan, yang terbalik dari poin sebelumnya. Ini
hampir selalu saya temukan dalam diskusi apologia agama. Polanya cukup mudah
dikenali, biasanya, jika saya memenuhi permintaan untuk menunjukkan ayatnya,
maka pendiskusi akan menyangkal dengan menyatakan saya mengutip separuh atau
diluar konteks. Jika saya berhasil menunjukkan bahwa saya tidak separuh-separuh
atau mengutip diluar konteks, pendiskusi dapat menggunakan Ad Hominem,
menyerang pribadi saya untuk mengaburkan fokus diskusi.
Setelah menjumpai beberapa perilaku tersebut dalam cara pikir banyak orang, saya
dapat memahami mengapa kepercayaan dan tradisi dalam agama seringkali tidak
boleh dipertanyakan, karena mempertanyakan agama ekuivalen dengan
mempertanyakan atau dapat dianggap meragukan tuhan, dapat dinilai imannya lemah,
bahkan dapat dicap sesat, murtad.
Hidup beragama menjadi suatu bentuk hidup dalam penyangkalan yang menjadi
mengkhawatirkan karena manusia ditempa/diindoktrinasi untuk menempatkan
sekumpulan teks di atas hati nuraninya. Salah satu contoh, banyak istri yang harus
menyangkal diri, mengesampingkan hati nurani yang berteriak ketika suaminya
berpoligami, hanya karena suatu ajaran usang yang dianggap sebagai Hukum Allah
yang membenarkan laki-laki untuk beristri lebih dari seorang.
Kecenderungan yang sering saya jumpai, adalah kepercayaan bahwa kitab suci tidak
mungkin memiliki kesalahan. Alkitab atau AlQuran dipercaya sebagai kitab yang
ineran, infalibel, suci. Yang mungkin salah adalah interpretasi dari manusia-manusia.
Saya paham jika orang menuding kepada interpretasi yang dianggap menyimpang,
karena banyak sekali perbedaan interpretasi orang-orang percaya akan berbagai ayat
dalam alkitab yang diakui maupun tidak telah membuahkan kebingungan dan
perpecahan yang dahsyat di antara umat beragama.
Tapi dari yang saya pelajari, sebagian besar manuskrip yang terkumpul dalam kitab
suci banyak merupakan penggambaran akan peradaban dunia di masa lalu dimana
kepercayaan adanya perang antara dewa-dewa atau antara tuhan dengan setan masih
dominan. Kitab suci menunjukkan pemikiran orang-orang di masa itu tentang dua
wajah tuhan yang kontradiktif, yang mana di satu sisi maha pengasih dan penyayang,
di sisi lain maha pemarah, pendendam, pencemburu, haus darah, dan lain sebagainya.
Bagaikan pisau, sebuah kitab suci merupakan paradoks yang di satu sisi mengandung
kata-kata bijak, di sisi lain mengandung ayat-ayat yang terus menuai berbagai
interpretasi kepercayaan teologis yang absurd, sebagai contoh antara lain:
Sebagian besar pengikut aliran kepercayaan agama (Islam, Kristen, dan lainnya) telah
banyak mengesampingkan, dan menekan, merepresi akal budi, logika kita sebagai
mahluk yang memiliki kapasitas intelektual tinggi, demi suatu dogma atau
kepercayaan yang menjatuhkan akhlak manusia ke tingkat yang sulit dibayangkan
untuk abad ini, yang dilandaskan semata-mata pada sebuah -hasil terjemahan ribuan
tahun- kitab yang diterima dan diagungkan sebagai satu-satunya sumber kebenaran
yang mutlak.
Oleh karena satu hal dan yang lain yang saling kontradiktif tersebut, saya dapat
memahami mengapa orang dalam beragamanya merasa perlu menekan bahkan
menghilangkan rasionalitas, logikanya, yang akibatnya justru fatal.
Implikasi
Agama telah meraup kebebasan orang, menghakimi orang lain menurut standar dan
doktrin yang ditetapkan. Akibatnya yang terjadi adalah sesama dan antar umat
beragama saling mengkafirkan, saling curiga, dan menumbuhkan antipati, kebencian,
amarah, dan kemungkinan terburuknya, perang atas nama tuhannya masing-masing
agama.
Kita kini menyadari bahwa bumi itu bulat, tidak datar, kita menyadari bahwa matahari
tidak mengelilingi bumi. Kita mengetahui bahwa seseorang yang mengalami kejang
akut tidak berarti dia dirasuki setan. Kita menyadari bahwa memukul anak bukanlah
cara yang bijak dalam mengasuh. Kita juga menyadari dari ratusan ramalan biblikal
tentang akhir jaman di masa lalu, tidak ada satupun yang terjadi.
Kemudian, jika saya amati Islam dan terorisme, fakta menunjukkan telah berulangkali
terjadi bom bunuh diri yang direncanakan secara sistematis, pembunuhan terhadap
golongan yang dianggap kafir, berbagai bentuk penindasan terhadap orang yang tidak
seagama, dan lain-lain. Kesemuanya itu merupakan hasil interpretasi dari kitab suci
oleh orang-orang yang dikatakan sebagai fundamentalis, literalis. Menjadi ironi ketika
sebagian kelompok yang moderat atau liberal menuding itu bukan bagian dari
agamanya. Disini kembali terjadi penyangkalan, pengesampingan logika.
Jika kelompok fundamentalis telah berada dalam penolakan, menutup pandangan
terhadap pluralisme yang terkandung dalam agamanya, kelompok moderat-liberal
telah menutup sebelah mata pada kenyataan bahwa agamanya memiliki kaitan yang
signifikan dengan kekerasan, penindasan, dan peperangan yang dilakukan kelompok
fundamentalis.
Perubahan
Yang ingin saya sampaikan adalah, salah satu persoalan utama yang sedang kita
hadapi (yang justru kita abaikan) terletak pada teks-teks, ayat-ayat yang ada di dalam
Alkitab, AlQur'an, yang -ditilik dari ekses negatifnya- telah melestarikan berbagai
bentuk kepercayaan-kepercayaan absurd di berbagai kalangan masyarakat yang
menjadi landasan untuk terjadinya berbagai bentuk kekerasan, penindasan dan
penderitaan di dunia hingga saat ini.
Sepanjang teman-teman kita dari kalangan moderat atau bahkan liberal tetap
menggunakan "mata pisau" yang sama digunakan oleh orang-orang konservatif-
fundamentalis untuk melestarikan kebencian dan keinginan membunuh
/menghancurkan, kekerasan dan pembunuhan atas nama tuhan akan berulang kembali
terus menerus. Dan dialog sebetapapun intensifnya dilakukan, akan sia-sia sepanjang
kerangka berpikir umat beragama mengandung logical fallacies.
Kita perlu mulai mengambil langkah konkrit untuk mengakui dan menghargai kitab-
kitab tersebut sebagai bagian dari sejarah masa lalu. Kita perlu membuka diri dan
membuang penyumbat-penyumbat dialog, serta mengakui secara tulus bahwa ada
yang salah dalam sebagian dari kepercayaan-kepercayaan yang kita anut.
Mungkin hal-hal semacam itu bisa kita lakukan. Kita perlu mau membuka diri, mau
menyadari dan mengakui berbagai kekeliruan yang ada dalam doktrin-doktrin agama
yang dianut, dan melakukan perbaikan pada kitab suci.
Singkatnya, agama-agama dunia (dan terutama Islam) sudah waktunya harus diubah,
disegarkan, diperbarui. Dan perubahan kali ini harus radikal, dan berkesinambungan.
Pandangan-pandangan dan pemahaman akan tuhan yang paradoksikal dan eksklusif,
perlu dialihkan menjadi open-source, yang saling bergantung dan saling melengkapi
satu sama lain, interdependen. Agama harus menarik dirinya yang telah begitu
mengakar ke dalam budaya, sosial dan politik masyarakat. Agama perlu kembali pada
jati dirinya sebagai murni agama, kembali pada fungsinya semula sebagai penasihat
bijak yang mampu beradaptasi pada berbagai perubahan sosial, menunjang stabilitas
moral dalam masa transisi perubahan, menumbuhkan persaudaraan antara umat
manusia dalam mengarungi perkembangan jaman yang dinamis.
***
[r.1.3]
http://airkehidupan.ca-net.com