Anda di halaman 1dari 8

REFORMASI BIROKRASI DAN KORUPSI DI INDONESIA

Editor: Subhilhar Muryanto Amin Evi Novida Ginting Tonny P. Situmorang Heri Kusmanto

2007

USU Press Art Design, Publishing & Printing Gedung F Jl. Universitas No. 9, Kampus USU Medan, Indonesia Telp. 061-8213737; Fax 061-8213737 Kunjungi kami di: http://usupress.usu.ac.id

Terbitan pertama 2007 USUpress 2007

Hak cipta dilindungi oleh undang-undang; dilarang memperbanyak, menyalin, merekam sebagian atau seluruh bagian buku ini dalam bahasa atau bentuk apapun tanpa izin tertulis dari penerbit.

ISBN: 979 458 289 1

Perpustakaan Nasional: Katalog Dalam Terbitan (KDT) Reformasi birokrasi dan korupsi di Indonesia/Editor Subhilhar ... [et al]. Cet. 1 Medan: USUpress, 2007. x, 232p.: ilus.; 24 cm Bibliografi ISBN: 979-458-289-1 1. BIROKRASI 352.63 dc22 2. KORUPSI I. Judul II. Subhilhar

Dicetak di Medan, Indonesia

ii

Kata Pengantar
REFORMASI DAN KEPERCAYAAN PADA BIROKRASI SERTA PEMBERANTASAN KORUPSI
Sebuah Pengantar

Di sela-sela perhelatan Seminar Nasional XX AIPI tentang Reformasi Birokrasi dan Pemberantasan Korupsi di Medan, 34 Mei 2006 selalu muncul diskusi-diskusi kecil mulai dari obrolan santai mengenai topik seminar sampai berkisar pada isu-isu praktis di sekitaran kekuasaan pada tingkat lokal dan nasional. Buku ini mengantarkan kepada pembacanya mengenai dua agenda penting yang seharusnya menjadi prioritas untuk diterapkan oleh eksekutif yaitu reformasi birokrasi dan pemberantasan korupsi. AIPI, sebagai pelaksana seminar, menilai bahwa agenda pemberantasan korupsi harus dimulai dengan reformasi birokrasi yang menyangkut penataan dan pengaturan pengelolaannya, bukan hanya dengan menambah daftar panjang pembentukan komisi negara. Pengantar ini juga merangkum beberapa diskusi informal yang muncul di sela-sela sesi seminar tersebut. Birokrasi adalah syarat dalam kehidupan bersama. Birokrasi menjadi alat untuk menjaga konsistensi, keteraturan, keseragaman, kekompakan betapapun menjengkelkannya, orang sering merasakannya. Birokrasi melayani setiap orang sesuai dengan aturan main. Birokrasi bisa mengakomodasi hak dan kebebasan begitu banyak orang dan kepentingan, tanpa menjadi anarkis. Birokrasi bukan hanya dibutuhkan di negara otoriter, tetapi juga di negara demokratis. Kalaupun ada yang berbeda dengan negara lain, itu adalah strategi birokratisasi di negeri ini, yang pada perkembangannya selalu diciptakan lebih sebagai alat untuk melanggengkan kekuasaan. Kinerja birokrasi berkembang menjadi jauh dari efisien. Inilah yang sering dalam diskusi disoroti sebagai kendala besar bangsa setelah delapan tahun memasuki era reformasi. Birokrasi bahkan bukan cuma dianggap part of the problems tetapi sudah menjadi root of the problems. Reformasi birokrasi yang pertama kali dilakukan Presiden Soekarno setelah kemerdekaan adalah membongkar birokrasi kolonial dan

iii

menggantikannya dengan birokrasi baru hasil kerja dengan Perdana Menteri Djuanda yang dibantu tenaga ahli dari Amerika Serikat. Saat itu, sistem pemerintahan yang dianut juga presidensial. Namun, dalam beberapa tahun perubahan sistem politik begitu sering terjadi sehingga birokrasi mulai terseok-seok menjalankan peran dan lebih terasa sebagai upaya melanggengkan kekuasaan, ketimbang memenuhi kebutuhan riil pemerintahan. Ini terlihat, misalnya dari Kabinet 100 Menteri yang pernah dibentuk Soekarno, yang jelas bertujuan mengakomodasi kepentingan politik kekuasaan. Inilah yang oleh Orde Baru pimpinan Soeharto dibongkar lagi, dengan melakukan reformasi birokrasi pada tahun 1974. Sejarah seperti berulang, Soeharto meminta pakar administrasi negara, Prof. Jenderal Awaloedin Djamin, menantu Djuanda, untuk mereformasi lembaga birokrasi pemerintahan pusat serta daerah. Untuk memperkuat posisi birokrasi, Presiden Soeharto mengatur sistem kepegawaian di birokrasi lewat apa yang disebut monoloyalitas. Tujuan Soeharto adalah menciptakan pemerintahan yang kuat, sentralistik dengan titik berat pada pembangunan dan pertumbuhan ekonomi yang mantap. Namun, pada perkembangannya, birokrasi di bawah Soeharto juga tidak lebih dari upaya menjaga stabilitas kepemimpinannya, ketimbang stabilitas pemerintahan. Perilaku korup dan penuh kolusi menyebabkan birokrasi di Indonesia berkembang jauh meninggalkan fungsi idealnya. Birokrasi menjadi sumber pemborosan anggaran negara, bukan saja di tingkat pusat, tetapi juga di daerah. Di hampir 450-an kabupaten/kota di Indonesia, 70 persen dari anggaran daerah dialokasikan untuk belanja pegawai dan operasional pemerintahan. Birokrasi juga menjadi penyebab penting ekonomi biaya tinggi yang menimpa dunia usaha dan ekonomi. Sebuah studi di satu kabupaten di Sumatera Barat, misalnya ditemukan ada 385 jenis persyaratan yang harus dipenuhi untuk mendapatkan 14 macam perizinan dan pungli (pungutan liar) yang menyebabkan pengiriman sebuah konteiner dari Jakarta menuju Batam menghabiskan biaya Rp 10 juta. Padahal, jika konteiner itu dikirim ke Jepang biayanya hanya Rp 6 juta, atau ke Amerika Serikat, biayanya cuma Rp 9 juta. Birokrasi yang sekarang bekerja sebenarnya merupakan peninggalan dari sistem birokrasi warisan Soeharto. Setiap pemimpin berikutnya yang lahir di era reformasi memang melakukan perombakan birokrasi. Namun, tak satu pun yang menyentuh sistem atau wataknya sehingga yang lebih terasa adalah reformasi bedak. Contohnya, saat pemerintah

iv

menetapkan hari kerja dari enam hari menjadi lima hari. Begitu juga dengan perubahan pakaian dinas dari stelan jas berdasi menjadi pakaian hansip. Tak ada konsep yang jelas untuk menyebutnya reformasi. Tidak pernah ada desain besar tentang apa konsep birokrasi yang dikehendaki, termasuk juga di era kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono saat ini. Apalagi dengan legitimasi yang begitu kuat saat terpilih, Presiden Yudhoyono masih juga mengakomodasi berbagai kepentingan politik. Yudhoyono memilih mengutamakan kompromi ketimbang menggarisbawahi kemenangannya yang kuat dan meyakinkan untuk mengambil prakarsa melakukan reformasi total atas birokrasi. Maka, dengan pilihan itu pula, intervensi politik pada birokrasi makin mendapatkan momentum baru untuk berkembang dan merambah ke semua bidang. intervensi politik kini malah bukan cuma terasa di posisi-posisi penting birokrasi, tetapi juga merambah ke badan-badan usaha milik negara. Partai politik menjadikan mesin birokrasi, juga sebagai mesin uang partai. Pada tingkat kelembagaan, reformasi justru menjauh dari usaha efisiensi. Jumlah lembaga pemerintah yang terlalu banyak dan tidak jarang tumpah tindih tidak juga dikurangi. Birokrasi dibongkar pasang untuk mengakomodasi masuknya politisi. Bahkan, berbagai lembaga kenegaraan baru, komisi, maupun badan independen, malah bermunculan, demi demokratisasi. Pada pemerintahan pusat ada lembaga kementrian negara yang fungsinya tidak berbeda dengan yang dilakukan lembaga pemerintah nondepartemen (LPND). Bedanya hanya pemimpinnya. Kementerian dijabat poleh pejabat politik berstatus menteri, sedangkan LPND dipimpin pegawai negeri. Kita punya jabatan Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional, tetapi mempertahankan juga Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas). Ada jabatan Menteri Negara Riset dan Teknologi, tetapi ada juga Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) dan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Kita punya Lembaga Administrasi Negara (LAN), tetapi ada juga Menteri Pendayagunaan Apartatur Negara. Tidak pernah ada evaluasi, mengapa kementrian dan badan pemerintahan itu perlu ada secara bersamaan. Pegawai negeri yang jumlahnya 3,65 juta orang sebenarnya tidak terlalu banyak untuk negara berpendudukan 220 juta ini. Masalahnya, dari sebuah riset di tahun 2004, terungkap yang efektif bekerja cuma sekitar 60 persen. Sisanya lebih mirip pengangguran terselubung.

Batasan Politik Padahal, perubahan sistem politik, mulai dari kepartaian, sistem pemilihan umum, pemilihan presiden hingga pemilihan kepala daerah mestinya diikuti perubahan kelembagaan birokrasi. Hubungan antara partai politik yang memerintah dan tatanan sistem birokrasi pemerintah mestinya ditata secara demokratis. Indonesia belum memiliki ketentuan perundangan yang mengatur jabatan politik, pejabat negara, dan pajabat karier birokrasi serta proses perekrutannya. Dulu, di era Orde Baru, tidak ada masalah dalam menentukan pejabatpejabat birokrasi karena semuanya dari Golkar. Tidak ada pejabat menteri, dirjen, sekjen, atau irjen yang berasal dari partai lain, kecuali Golkar, sehingga mesti disebut secara berbeda-beda, yaitu pejabat politik dan pajabat karier, sebenarnya tak ada bedanya. Keduanya sama-sama dari Golkar. Kalaupun ada yang non-Golkar, biasanya cuma untuk, apa yang disebut pejabat negara di DPR dan MPR. Namun, kini di era reformasi, ketika para menteri berasal dari berbagai partai politik, aturan main soal jabatan politik dan jabatan karier harus jelas untuk menghindari kesimpangsiuran dan saling intervensi antara kepemimpinan politik dan birokrasi. Jabatan politik yang diisi pejabat dari partai politik bisa datang dan pergi sesuai dengan mandat rakyat, sedangkan jabatan karier diperoleh berdasarkan kompetensi dan keahliannya. Jabatan karier birokrasi menjaga stabilitas administrasi pemerintahan, sesuai dengan visi politik yang ditetapkan oleh pejabat politik. Dengan begitu, kehadiran jabatan politik mestinya bukan untuk membongkar pasang pejabat karier birokrasi, melainkan untuk mendorong stabilitas administrasi pemerintahan yang demokratis. Ketika keinginan memasukkan pejabat politik dalam birokrasi pemerintahan muncul, timbul pertanyaan: di antara pejabat politik dan pejabat karier, siapa yang mengontrol siapa, dan siapa yang memimpin? Untuk menjawabnya, ada dua alternatif solusi, yaitu birokrasi sebagai subordinasi dari politik, atau birokrasi sejajar dengan politik. Untuk alternatif pertama, dominasi kepemimpinan politisi atau pejabat politik atas birokrasi sebenarnya dipacu oleh dikotomi antara politik dan administrasi. Pemikiran tentang supremasi kepemimpinan politisi atas birokrasi ini timbul dari perbedaan fungsi antara politik dan administrasi; dan adanya asumsi tentang superioritas fungsi-fungsi politik atas administrasi lewat slogan klasik, yaitu fungsi administrasi dimulai manakala fungsi politisi berakhir. Ini mengartikan bahwa birokrasi
vi

pemerintah adalah mesin pelaksana kebijakan politik yang dibuat pejabat politik. Adapun solusi kedua, yaitu birokrasi sejajar dengan politik didasarkan atas anggapan bahwa birokrasi pemerintahan tidak hanya berfungsi sebagai mesin pelaksana. Birokrasi yang riil memiliki kekuasaan terpisah dari kekuasaan yang dilimpahkan oleh pejabat publik. Artinya, pejabat birokrasi yang terlatih secara profesional juga memiliki kekuatan tersendiri, yang seimbang dengan pejabat politik atau disebut juga apolitic but highly politized. Birokrasi di sini bukan partisan politik, tetapi karena keahliannya memiliki kekuatan membuat kebijakan. Rekonstruksi Peran antara pejabat politik dan pejabat karier yang selama Orde Baru dikaburkan kini perlu direkonstruksi, sesuai dengan tuntutan demokratisasi. Sebagai contoh, departemen pemerintah ditetapkan sebagai lembaga yang dipimpin melalui jalur politik dari partai politik karena partai politik merupakan pengejawantahan dari demokrasi yang berintikan kekuasaan kepada rakyat, hanya pada departemen inilah partai politik mempunyai jalur untuk mewujudkan kebijakan politiknya dalam memimpin pemerintahan. Namun, kesempatan itu hanya dibatasi pada pimpinan departemen, bukan semua aparat departemen. Kalaupun di dalam departemen akan ditentukan ada pejabat politik lain yang masuk, harus ditegaskan untuk posisi apa jabatan itu bisa diberikan. Dengan begitu, komposisi departemen pemerintahan harus terdiri atas jabatan politik dan jabatan teknis yang berbasis kompetensi profesional dari para birokrat, demi kontinuitas administrasi negara. Untuk jabatan politik, misalnya, bisa dibentuk deputi menteri sehingga seorang menteri yang masuk untuk memimpin departemen tidak perlu membongkar pasang para direktur jenderal yang profesional di bawahnya. Dengan rumusan yang jelas tentang birokrasi, jabatan-jabatan politik dan karier dalam birokrasi serta batas tugas dan tanggung jawabnya, maka kesimpangsiuran saling intervensi dalam penyelenggaraan pemerintahan bisa dihindari. Di tingkat daerah, reformasi birokrasi juga harus dilakukan dengan semangat untuk sejauh mungkin menghindari sentralisasi kewenangan dan penyeragaman, kecuali untuk hal-hal yang memang diharuskan demi keutuhan sebuah negara kesatuan. Krisis ekonomi yang kini belum bisa diatasi mestinya justru menjadi
vii

momentum penting untuk reformasi birokrasi, untuk melakukan penghematan dengan mengevaluasi keberadaan lembaga birokrasi pemerintah. Pemborosan anggaran negara sama bahayanya dengan korupsi. Akhirnya, kita hanya masih bisa menunggu apa konsepnya tentang rancang bangun birokrasi Indonesia dan ke mana arah visioner pengelolaan pemerintahan ini akan dibawa. Buku ini merupakan kumpulan tulisan dari Seminar Nasional XX AIPI tentang Reformasi Birokrasi dan Pemberantasan Korupsi yang bisa dijadikan sebagai lensa untuk memotret konsep baru tentang birokrasi dan pemberantasan korupsi. Semoga menjadi lebih baik.

Editor

viii

Anda mungkin juga menyukai