Anda di halaman 1dari 7

PERBANDINGAN SUBSTANSI PENGATURAN TENTANG TANAH TOLONG DIEDIT DALAM HUKUM BARAT, HUKUM ADAT DAN HUKUM ISLAM

Disusun Oleh :

Nurul Pratama 07.140.187


MATA KULIAH : PERBANDINGAN HUKUM PERDATA

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS ANDALAS PADANG

A. Pendahuluan Indonesia sebagai Negara yang telah lama merdeka yang berdasarkan hukum mempunyai system hukum sendiri dan tolong diedit punya hubungan antara satu sama lain. Sehubungan dengan itu , maka sistem hukum yang berlaku di Indonesia dalam bidang social ini masalah yang berhubungan dengan tanah ada tiga macam yang harus dilaksanakan di tengah-tengah masyarakat yaitu hukum perdata (Undang-undang Pokok Agraria No. 5 Tahun 1960), hukum islam, dan hukum adat. Ketiga bidang hukum itu mempunyai kaitan yang erat dan tidak bisa dipisahkan secara totalitas. Status tanah memiliki sifat yang sangat khusus, yang bukan sekedar berisikan kewenangan untuk memakai suatu bidang tanah yang dimiliki, tetapi juga mengandung hubungan psikologis-emosional antara pemegang hak dengan tanah yang bersangkutan. Hubungannya bukan sekedar hubungan lugas yang member kewenangan memakai suatu bidang tanah tertentu. Persoalan tentang hak milik dalam suatu sistem hukum adalah merupakan sendi pokok yang akan menentukan keseluruhan sistem hukum tersebut. Warna dari sistem hukum yang bersangkutan untuk sebagian besar adalah tergantung dari bagaimana pengaturan struktur pemilikan dalam masyarakat. Oleh karena itu, pengaturan mengenai struktur kepemilikan itu akan menentukan pula bagaimana pada akhirnya susunan kehidupan suatu masyarakat. B. Substansi hukum adat dalam perspektif hukum perdata mengenai tanah Dalam hukum adat diadakan perbedaan antara tanah dan barang-barang lainnya. Sebagaimana diketahui dalam BW, dalam hal tanah menganut apa yang dinamakan asas vertikal sedangkan hukum adat menganut asas horizontal. Menurut asas vertikal maka hak milik atas sebidang tanah meliputi benda-benda yang berada di atasnya (bangunan). Oleh karena itu, maka asas vertikal juga dinamakan asas absorpsi, artinya menyedot segala apa yang berada di atasnya. Menurut asas horizontal hak milik atas sebidang tanah tidak meliputi bangunan yang ada di atasnya.

Pasal 5 UUPA berbunyi sebagai berikut : "Hukum agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa ialah Hukum Adat, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa dengan sosialisme Indonesia serta aturan perundangan lainnya, segala sesuatu dengan mengindahkan unsur-unsur yang bersandarkan pada hukum agama". Penjelasan atas pasal ini berbunyi bahwa pasal ini adalah merupakan penegasan bahwa Hukum Adat dijadikan dasar dari hukum yang baru. Namun ketentuan Pasal 5 tersebut dengan penjelasannya terdapat perbedaan dalam menempatkan Hukum Adat. Pasal 5 menetapkan didalam kalimat bagian muka sendiri, bahwa Hukum Adat adalah hukum yang berlaku bagi persoalan-persoalan hukum agraria, sampai disini, tercermin dengan jelas bahwa untuk hukum agraria itu berlaku Hukum Adat mengenai tanah, artinya bahwa segala masalah hukum mengenai tanah harus diselesaikan menurut ketentuan daripada Hukum Adat mengenai tanah. Tetapi selanjutnya dari Pasal 5 itu menyatakan "sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan negara, hukum agama", sehingga menjadi kurang mengena, ini menunjukkan pandangan terhadap kedudukan Hukum Adat berbeda dengan kalimat sebelumnya. Kalimat terakhir ini menganggap bahwa Hukum Adat tidak selalu akan sesuai dengan kepentingan nasional. Menurut tanggapan hukum adat, kehidupan individu adalah kehidupan yang terutama diperuntukkan buat mengabdi kepada masyarakat. Dalam pada itu, maka hak-hak yang diberikan kepada individu adalah berkaitan dengan tugasnya dalam masyarakat. Berdasarkan konsepsi tersebut, maka tanah ulayat sebagai hak kepun yaan bersama dari suatu masyarakat hukum adapt dipandang sebagai tanah-bersama. Van Vollen Hoven pada tahun 1909 menggunakan istilah teknis beschikkingsrecht untuk menggambarkan konsep ulayat dengan tegas menyatakan dalam salah satu sifat dari kewenangan ulayat, yaitu bahwa hak ulayat tidak dapat dialihkan. Karena itu beschikkingen dalam kosakata bahasa hukum Belanda, ketika digunakan untuk menggambarkan konsep ulayat, tidak dapat diartikan sama dengan penguasaan secara mutlak sehingga dapat mengalihkan hak atas tanah kepada pihak lain.

C. Pengaturan tanah dalam hukum perdata Hak Milik atas Tanah menurut Pasal 20 UU No. 5 Tahun 1980 berbunyi: "hak milik adalah hak turun temurun terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai orang atas tanah, dengan mengingat ketentuan yang tercantum dalam pasal 6 UUPA." Dari ketentuan tersebut, dapat dapat disimpulkan bahwa dalam menggunakan hak milik, harus memperhatikan empat hal sebagai berikut: (1). Ketentuan hukum yang berlaku, seperti UU Gangguan, UUPA, UU pencabutan hak atas tanah; (2). Ketertiban umum; (3). Hak-hak orang lain, seperti hak jasa pekarangan, hak guna usaha, dan lain-lain;
(4). Fungsi sosial.

Penjelasan pasal 20 menyebutkan, bahwa walaupun hak milik itu merupakan hak yang terkuat dan terpenuhi yang dapat dipunyai orang atas tanah. Tetapi pemberian sifat ini tidak berarti, bahwa hak itu merupakan hak yang mutlak dan tidak terbatas serta tidak dapat diganggu gugat sebagai hak eigendom menurut pengertiannya yang asli. Sifat yang demikian terang bertentangan dengan sifat hukum adat dan fungsi sosial dari tiap-tiap hak. Sifat terkuat dan terpenuhi hanya dimaksudkan untuk membedakannya dengan hak atas tanah lainya seperti, hak guna usaha, hak pakai dan sebagainya. Hak milik menurut pasal 20 ayat (1) UUPA adalah hak turun-temurun, terkuat, dan terpenuh dapat dipunyai atas tanah dengan mengingat ketentuan dalam pasal 6. Turun-temurun artinya hak milik atas tanah dapat berlangsung terus selama pemiliknya masih hidup dan bila pemiliknya meninggal dunia, maka hak milikmya dapat dilanjutkan oleh ahli warisnya sepanjag memenuhi syarat sebagai subjek hak milik. Terkuat, artinya hak milik atas tanah lebih kuat bila dibandingkan dengan hak atas tanah yang lain, tidak mempunyai batas waktu tertentu, mudah dipertahankan dari gangguan pihak lain, dan tidak mudah hapus. Terpenuh, Artinya hak milik atas tanah memberi wewenang kepada pemiliknya

paling luas bila dibandingkan dengan hak atas tanah yang lainya, bisa menjadi induk bagi hak atas tanah yang lain, tidak berinduk pada hak atas tanah yang lain, dan penggunaaan tanahnya lebih luas dibandingkan dengan hak atas tanah yang lain, hak atas tanah dapat dimiliki perseorangan warga negara Indonesia dan badan badan hukum yang ditunjuk oleh Pemerintah. Dalam hal menggunakan menggunakan hak milik atas tanah harus memperhatikan fungsi sosial atas tanah, yaitu dalam menggunakan tanah tidak memboleh menimbulkan kerugian bagi orang lain, penggunaaan tanah harus disesuaikan dengan keadaaan dan sifat haknya, adanya keseimbangan antara kepentingan pribadi dengan kepentingan umum, dan tanah harus dipelihara dengan baik agar bertambah kesuburan dan mencegah kerusakan. Sesuai dengan Pasal 571 jo 601 dan pasal 588 KUHPer. yang berkaitan dengan accesi (perlekatan) menentukan, bahwa hak milik atas sebidang tanah mengandung didalamnya hak milik atas segala apa yang ada diatas dan didalam tanah (pasal 71 KUHPer). Artinya segala bangunan yang didirikan diatasnya adalah kepunyaan pemiik pekarangan pula, asal bangunan itu melekat menjadi satu dengan tanah pekarangan (pasal 601 KUHPer). Segala apa yang melekat pada suatu benda atau yang merupakan setubuh dengan benda itu adalah milik orang yang menurut ketentuan Undang-Undang dianggap sebagai pemilik (Pasal 588 KUHPer). D. Pengaturan tanah dalam hukum islam Setiap orang yang mempunyai tanah pertanian dia diharuskan

mengelolanya agar tanah tersebut dapat menghasilkan sesuatu yang dapat dinikmatinya, sekaligus juga agar kepemilikan tanah tersebut dapat terus menjadi miliknya. Meskipun setiap tanah pertanian harus dikelola, namun pengelolaannya haruslah sesuai dengan ketentuan-ketentuan syara. Islam telah memperbolehkan seseorang memiliki lahan dari segi zat tanah itu sendiri sekaligus juga memiliki lahan dari segi memanfaatkannya. Kepemilikan lahan di dalam Islam sangat tergantung dengan status tanah yang bersangkutan apakah tanah yang diperoleh karena penaklukan atau tidak.

Kepemilikan atas tanah juga tergantung dengan status pemanfaatannya apakah untuk pertanian atau untuk selain pertanian. Juga status lahan tersebut apakah tanah yang mati ataukah tanah yang sudah pernah dihidupkan. Serta tanah tersebut apakah dimiliki oleh individu ataukah oleh negara. Kepemilikan dari segi manfaat (kegunaan) tanah tersebut telah memberikan hak-hak kepada pemiliknya untuk memanfaatkan mewariskannya. Persamaan antara Hukum Positif dan Hukum Islam tentang hak milik atas tanah adalah: 1. Kesamaan dalam hal memiliki fungsi sosial. secara langsung atau menjualnya, menghibahkan serta

2. Meniliki sifat terkuat/tak terbatas, terpenuh dan turun-temurun serta dapat beralih dan dialihkan. 3. Terjadinya hak milik bisa berupa pembukaan tanah aau juga karena penetapan pemerintah. 4. Dan hapusnya hak milik bisa dikarenakan tanahnya musnah, tanahnya ditelantarkan atau juga karena pencabutan hak untuk kepentingan umum. Sedangkan perbedaan antara Hukum Positif dan Hukum Islam dalam mengatur mengenai hak milik atas tanah adalah: 1. Bahwa kepemilikan tertinggi, menurut hukum positif, berada di tangan individu. Sedangkan menurut hokum Islam, kepemilikan tertinggi berada di tangan pemerintah (khalifah). 2. Hukum positif tidak memberikan ukuran yang jelas dalam peraturannya mengenai ukuran penelantaran tanah. Sedangkan Islam, menekankan dengan sangat tegas bahwa jangka waktu penelantaran adalah 3 (tiga) tahun. E. Hukum Tanah Nasional Konsepsi Hukum Tanah Nasional untuk pertama kali secara tepat dirumuskan oleh Prof. Boedi Harsono, yakni komunalistik-religius, yang memungkinkan penguasaan tanah secara individual dengan hak-hak atas tanah yang bersifat pribadi, sekaligus mengandung kebersamaan. Konsepsi ini sama dengan konsepsi hukum adat. Kesamaan itu merupakan implikasi dari sikap

konsisten untuk membangun hukum tanah nasional berdasarkan hukum adat. Sifat komunalistik religius dari hukum tanah nasional tampak pada pasal 1 butir 2 UUPA yang menyatakan Seluruh bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan yang terkandung di dalamnya dalam wilayah Republik Indonesia, sebagai Karunia Tuhan Yang Maha Esa, adalah bumi, air dan ruang angkasa Bangsa Indonesia dan merupakan kekayaan nasional. Sifat komunalistik tampak pada pasal 1 butir 1 UUPA yang menyatakan bahwa dalam hukum tanah nasional semua tanah dalam wilayah negara kita adalah tanah bersama seluruh rakyat Indonesia. Selanjutnya, unsur religius tampak dari pernyataan bahwa bumi, air dan ruang angkasa Indonesia, termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, merupakan karunia Tuhan Yang Maha Esa kepada Bangsa Indonesia. Ini merupakan salah satu perbedaan dari konsepsi hukum adat yang memandang Hak Ulayat sebagai kekuatan gaib yang belum jelas.

Anda mungkin juga menyukai